• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlemakan Hati Non Alkoholik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlemakan Hati Non Alkoholik"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK

MELATI SILVANI NASUTION

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK

(2)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

II. Definisi ... 1

III Epidemiologi ... 2

IV Patogenesis ... 2

V Manifestasi Klinik ... 5

VI Diagnosis ... 5

VII Penatalaksanaan ... 13

VIII Kesimpulan ... 17

(3)

PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK

Melati Silvanni Nst, Ilhamd

I. PENDAHULUAN

Hubungan antara steatosis, inflamasi dan sirosis dengan obesitas dan diabetes

sudah diketahui sejak tahun 1958. Steatohepatitis pada pasien-pasien non alkoholik

pertama kali disampaikan oleh Peter dkk pada tahun 1975 pada kelompok obesitas

yang menjalani operasi bypass jejunoileal

Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang makin disadari dapat

berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan ini mulai

dari perlemakan hati sederhana (simple steatosis) sampai pada steatohepatitis non

alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis = NASH), fibrosis dan sirosis hati.

Steatohepatitis non alkoholik muncul setelah Ludwig dkk (1980) melaporkan

sekelompok pasien yang dapat dikatakan tidak mengkonsumsi alkohol tapi

memperlihatkan gambaran biopsi hati yang sulit dibedakan dengan hepatitis akibat

alkohol.

1

2

II. DEFINISI

Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam terminologi

penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah perlemakan hati non

alkoholik (nonalcoholic fatty liver = NAFL) atau penyakit perlemakan hati non

alkoholik (nonalcoholic fatty liver disease = NAFLD). Pada umumnya disepakati

bahwa steatohepatitis non alkoholik (nonalcoholic steatohepatitis = NASH)

merupakan perlemakan hati pada tingkat yang lebih berat

Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati (sebagian

besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran

berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis dibuat berdasarkan analisis

spesimen biopsi jaringan hati, yaitu ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari

keseluruhan hepatosit

2

Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas

untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna sempat menjadi

perdebatan, tetapi lebih banyak ahli yang menyepakati bahwa konsumsi alkohol

sampai 20 gram per hari masih bisa digolongkan sebagai non alkoholik

2

(4)

III. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20% pada

populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang dan Italia. Diperkirakan 20-30%

diantaranya berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non alkoholik). Di

Indonesia penelitian mengenai perlemakan hati non alkoholik masih belum banyak.

Lesmana melaporkan 17 pasien steatohepatitis non alkoholik, rata-rata berumur 42

tahun dengan 29% gambaran histologi hati menunjukkan steatohepatitis disertai

fibrosis. Sebuah studi populasi dengan sampel cukup besar oleh Hasan dkk

mendapatkan prevalensi perlemakan hati non alkoholik sebesar 30,6%.

Beberapa karakteristik klinis berhubungan dengan steatohepatitis non

alkoholik, termasuk diabetes mellitus, hiperlipidemia, hipertensi dan obesitas. Semua

penyakit ini berhubungan dengan keadaan resistensi insulin. Perlemakan hati non

alkoholik telah ditunjukkan dari beberapa studi berhubungan dengan resistensi

insulin. Obesitas ditemukan pada 40%-100% pasien perlemakan hati non alkoholik

dengan diabetes dan hiperlipidemia terjadi pada 21-75% dan 21-83%.

2

Perlemakan hati non alkoholik dapat terjadi pada semua usia termasuk

anak-anak, walaupun penyakit ini dikatakan paling banyak pada dekade keempat dan

kelima kehidupan. Jenis kelamin yang dominan berbeda-beda dalam berbagai

penelitian, namun umumnya menunjukkan adanya predileksi perempuan.

1

2

IV. PATOGENESIS

Patogenesis perlemakan hati non alkoholik masih belum jelas. Dua kondisi

yang paling sering berhubungan dengan peningkatan suplai asam lemak ke hati serta

resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit

(5)

Gambar 1. Patogenesis Perlemakan Hati Non Alkoholik 1

First Hit

Steatohepatitis terjadi jika homeostasis lemak tidak seimbang. Normalnya,

trigliserida, komponen utama lemak pada hati berasal dari esterifikasi asam lemak

bebas yang berakumulasi di hati. Akumulasi asam lemak bebas ini melalui dua jalur.

Asam lemak bebas dihantarkan ke hati dengan albumin melalui absorpsi GUT atau

lipolisis jaringan adiposa atau disintesa di hati melalui lipogenesis. Asam lemak yang

berakumulasi di hati dapat juga terjadi oksidasi di dalam mitokondria hepatosit,

peroksisom atau mikrosom, atau diesterifikasi menjadi trigliserida. Trigliserida lalu

disekresi menjadi VLDL melalui eksositosis. Homeostasis metabolisme lemak dapat

terganggu dengan peningkatan hantaran asam lemak bebas ke hati, peningkatan

sintesis asam lemak di hati, penurunan β oksidase asam lemak di hati dan/atau

penurunan sintesis atau sekresi VLDL

1,2,3

Perubahan pada sinyal insulin (kemampuan adiposit dalam merespon

perubahan kadar glukosa) dan metabolisme lemak sepertinya menyebabkan terjadinya

steatosis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, resistensi insulin telah ditunjukkan

(6)

berhubungan dengan diabetes melitus, peningkatan sirkulasi insulin menyebabkan

peningkatan lipolisis dengan peningkatan hantaran asam lemak bebas ke hati. Di

dalam hepatosit asam lemak disintesis dan oksidasi asam lemak dihambat.

Peningkatan kadar insulin dapat meningkatkan degradasi apolipoprotein B100,

suatu komponen VLDL, sehingga menyebabkan ketidakmampuan trigliserida untuk

dihantarkan ke luar hati.

Secara klinis telah diperlihatkan adanya hubungan antara steatosis dan

peningkatan sirkulasi insulin. Pasien-pasien dengan paparan lokal terhadap insulin

memperlihatkan adanya steatosis hati fokal. Parenkim hati yang mengalami metastase

insulinoma juga dapat berkembang menjadi steatosis hati yang berlanjut.

Leptin, yang dihasilkan oleh adiposit merupakan hormon pengatur yang

memerankan peranan yang penting dalam berkembangnya steatosis hati. Hormon ini

diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan mengubah sinyal insulin pada

hepatosit yang menyebabkan peningkatan produksi asam lemak hepatoseluler.

Peningkatan kadar leptin dijumpai pada pasien dengan perlemakan hati non alkoholik

terutama pada pasien dengan BMI yang tinggi.

Second Hit

Faktor-faktor yang menyebabkan inflamasi hepatosit, degenerasi balloning,

nekrosis dan fibrosis masih diteliti. Namun data yang sekarang menduga bahwa

perjalanan penyakit terjadi pada tingkat hepatosit yang menyebabkan beberapa pasien

dengan steatosis berkembang menjadi perlemakan hati non alkoholik. Bagaimana

perjalanan dan peran dari faktor-faktor ini masih dalam penelitian.

1,2,3

Stres oksidatif dipikirkan sebagai salah satu pendorong katalisator dibalik

perkembangan steatosis menjadi perlemakan hati non alkoholik. Stres oksidatif terjadi

oleh berbagai sebab. Asam lemak bebas yang telah berakumulasi didalam hepatosit

mengalami oksidasi melalui mitokondria, mikrosom dan peroksisom, menyebabkan

Reactive Oxygen Species. Peningkatan asam lemak bebas juga merangsang

peningkatan regulasi CYP2E1, sebuah enzim yang bekerja sebagai katalis untuk

peroksidasi lemak. Jalur sitokrom p450 lainnya, seperti CYP3A4 telah juga telah

diimplikasikan sebagai sumber peroksidasi lemak juga. Stres oksidatif yang kronis

menyebabkan deplesi sumber antioksidan alami (glutation) dan menyebabkan

pengeluaran zat oksidatif reaktif di dalam hepatosit. Pengeluaran zat besi juga dapat

(7)

Keluarnya zat oksidatif reaktif menyebabkan pengeluaran tumor necrosis

factor (TNF)-α, sitokin proinflamasi, melalui hepatosit, sel kupffer dan jaringan

adiposa. Peningkatan regulasi TNF- α mengaktivasi redox-sensitive kinase spesifik

seperti IKK-β dimana meningkatkan regulasi jalur proinflamasi begitu juga resistensi

insulin

Sanyal dkk telah menunujukkan bahwa adanya stres oksidatif dan

abnormalitas struktur mitokondria pada pasien-pasien dengan perlemakan hati non

alkoholik dibandingkan dengan perlemakan hati sederhana.

Sel kupffer biasanya mengeluarkan sitokin yang memodulasi aktivitas TNF-α

seperti interferon-γ, IL-10 dan IL-12 begitu juga prostaglandin E2, superoksida dan

peroksida hidrogen. Interferon-γ dan IL-6 merupakan sitokin proinflamasi dan IL-10

merupakan sitokin anti inflamasi. Obesitas menyebabkan gangguan pada fungsi sel

kupffer seperti yang ditunjukkan oleh Yang dkk.

V. MANIFESTASI KLINIS

Mayoritas pasien-pasien dengan perlemakan hati non alkoholik asimptomatik.

Beberapa pasien akan mengeluhkan lemah seluruh tubuh, letargi, atau nyeri

epigastrium atau perut kanan atas. Satu studi memperlihatkan bahwa gejala-gejala ini

terjadi pada 30% pasien pada saat diagnosa ditegakkan.

Pada pemeriksaan fisik hepatomegali dijumpai pada sekitar 25% pasien,

walaupun masih diduga akibat habitus tubuh. Tanda klinis penyakit hati yang khas

seperti ginekomasti, spider navy, caput medusa dan penurunan massa otot perifer

tidak dijumpai.

1,2

1,2

IV. DIAGNOSIS

Biopsi hati merupakan baku emas pemeriksaan penunjang untuk menegakkan

diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metode untuk membedakan

perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi.

Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu dilakukan sebagai pemeriksaan

rutin dalam proses penegakan diagnosis perlemakan hati non alkoholik. Sebagian ahli

(8)

menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, membedakan steatosis dari steatohepatitis,

memperkirakan prognosis dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu. Alasan

dari kelompok yang menentang biopsi hati antara lain prognosis yang umumnya baik,

belum tersedianya terapi yang benar-benar efektif dan resiko serta biaya dari biopsi

itu sendiri.4,5

Tabel 1. Diagnosa Perlemakan Hati Non Alkoholik5

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium serum yang digunakan sebagai pemeriksaan non invasif

yang dapat membedakan perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan hati telah

banyak diteliti. Satu atau beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat secara akurat

mengidentifikasi stadium dan tingkatan perlemakan hati non alkoholik dapat

menyaring populasi pasien dengan NAFLD dan menghindari pemeriksaan invasif

(9)

Tabel 2. Biomarker non invasif perlemakan hati non alkoholik1

Peningkatan ringan sampai sedang kadar transaminase merupakan kelainan

hasil pemeriksaan laboratorium yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien

dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa pasien datang dengan enzim hati

yang normal sama sekali. Kenaikan enzim hati biasanya tidak melebihi empat kali

dengan rasio AST : ALT kurang dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat

mendekati atau bahkan melebihi satu. Perlu menjadi perhatian beberapa studi yang

melaporkan bahwa kadar AST dan ALT tidak memiliki korelasi dengan aktivitas

histologis, bahkan kadar enzim dapat tetap normal pada penyakit hati yang sudah

lanjut. Pemeriksaan laboratorium lain seperti alkali posfatase, GGT, feritin darah atau

saturasi transferin juga dapat meningkat sedangkan hipoalbuminemia, waktu

protrombin yang memanjang dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien

yang sudah menjadi sirosis.2,5

Stres oksidatif diduga sebagai penyebab utama dalam patogenesis penyakit

hati non alkoholik sehingga pemeriksaan laboratorium yang mengukur stres oksidatif

menggunakan Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan pemeriksaan yang sangat

potensial dalam kasus perlemakan hati non alkoholik. Pemeriksaan lain yang dapat

digunakan adalah pemeriksaan yang mengukur kadar adipositokin (dihasilkan oleh

jaringan adiposa) seperti leptin dan adiponektin (ADP). Obesitas dan ambilan

(10)

pengantaran asam lemak bebas menuju hati, yang berhubungan dengan steatosis hati.

Pemeriksaan awal menunjukkan hunbungan antara kadar leptin yang tinggi dan

timbulnya perlemakan hati non alkoholik dan tingkatan steatosis walaupun tidak

dijumpai inflamasi atau fibrosis. Namun, beberapa studi telah gagal menunjukkan

adanya hubungan antara kadar leptin dengan ada atau tidaknya steatosis hati,

inflamasi atau fibrosis.

Bertolak belakang dengan leptin, ADP diduga meningkatkan sensitivitas

terhadap insulin dan peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak bebas

di hati. Hui dkk menemukan kadar ADP serum yang rendah pada pasien NAFLD

ketika dibandingkan dengan kontrol normal dan individu dengan perlemakan hati.

Targher dkk baru-baru ini menunjukkan kadar ADP berhubungan dengan beratnya

gambaran histologi hati termasuk steatosis, nekroinflamasi dan fibrosis. Walaupun

ketiga komponen gambaran histologi hati tadi berhubungan dengan kadar ADP, hanya

steatosis dan nekroinflamasi yang ditemukan sebagai faktor independen pada analisis

multivariat. Studi yang lebih lanjut diperlukan untuk menggambarkan hubungan

antara ADP dan beratnya penyakit hati pada pasien dengan NAFLD.

5,6

Penanda inflamasi sistemik seperti C-reactive Protein (CRP) juga telah

ditunjukkan berguna. Satu studi di Australia menunjukkan tidak ada perbedaan antara

tingginya kadar CRP pada pasien dengan perlemakan hati dan perlemakan hati non

alkoholik. Hal ini berbeda dengan studi lainnya yang menunjukkan adanya

peningkatan kadar CRP yang signifikan pada pasien perlemakan hati non alkoholik

dan NAFLD.

5

Apoptosis hati merupakan gambaran yang mencolok pada perlemakan hati non

alkoholik dan sepertinya hal ini merupakan pemeriksaan yang cukup potensial dalam

mendeteksi perlemakan hati non alkoholik. Wieckowska dkk menunjukkan hubungan

yang rendah antara kadar cascape-generated cytokeratin-18 plasma, sebuah protein

yang berhubungan dengan akhir apoptosis dan muncul pada pemeriksaan histologi

pada biopsi hati pasien dengan perlemakan hati non alkoholik. Pemeriksaan ini

nampaknya dapat menjadi modalitas yang cukup menjanjikan nantinya dalam

membedakan perlemakan hati dengan perlemakan hati non alkoholik.

5,6

(11)

2. Evaluasi Pencitraan

Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk mendeteksi perlemakan hati.

Agaknya ultrasonografi merupakan pilihan terapi terbaik saat ini, walaupun

Computerized Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat

digunakan. Pada ultrasonografi, infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan

peningkatan difus ekogenisitas (hiperekoik) bila dibandingkan dengan ginjal.

Sensitivitas USG 89% dan spesitivitasnya 93% dalam mendeteksi steatosis.

Infiltrasi lemak di hati menghasilkan gambar parenkim hati dengan densitas

rendah yang bersifat difus pada CT, meskipun adakalanya berbentuk fokal. Gambaran

fokal ini dapat disalahartikan sebagai massa ganas di hati. Pada keadaan seperti ini

MRI bisa dipakai untuk membedakan nodula akibat keganasan dari infiltrasi fokal

lemak di hati.

2,6

2,6

3. Histologi

Secara histologi perlemakan hati non alkoholik tidak dapat dibedakan dengan

kerusakan hati akibat alkohol. Gambaran biopsi hati antara lain berupa steatosis,

infiltrasi sel radang, hepatocyte balloning dan nekrosis, nukleus glikogen, Mallory’s

hyaline dan fibrosis. Sayangnya, gambaran histologi minimal pada perlemakan hati

non alkoholik belum dapat ditemukan. Pada beberapa studi dalam diagnosa histologi

perlemakan hati non alkoholik bergantung ditemukannya steatosis makrovesikuler

dan inflamasi lobuler sendiri. Pemeriksaan histologi perlemakan hati non alkoholik

telah dianjurkan sebagai tahapan yang penting dalam mendiagnosa perlemakan hati

non alkoholik dan mengurangi kebingungan mengenai epidemiologi dan perjalanan

(12)

Gambar 2. Gambaran histologi Perlemakan Hati non Alkoholik1

Perubahan gambaran lemak pada perlemakan hati non alkoholik dapat

mempengaruhi lobus hati baik secara difus maupun primer pada zona pusat. Derajat

steatosis berhubungan dengan BMI dan biasanya lebih berat pada perlemakan hati non

alkoholik daripada hepatitis alkoholik. Inflamasi lobuler pada berbagai stadium

dijumpai pada semua kasus dan dapat terdiri dari limfosit, sel mononuklear lainnya

dan netrofil. Nukleus glikogen timbul pada 35-100% kasus perlemakan hati non

alkoholik. Hepatocyte balloning dan/atau nekrosis hepatosit pada berbagai stadium

biasanya dijumpai dan telah disetujui oleh berbagai ahli sebagai penentu diagnosa

perlemakan hati non alkoholik. Mallory’s body biasanya lebih menonjol pada

perlemakan hati non alkoholik yang lebih berat.

Fibrosis periseluler, perisinusoidal dan periportal ditunjukkan pada 37-84% pasien

dengan perlemakan hati non alkoholik. Fibrosis sering terjadi pada zona 3. Fibrosis

lebih sering terjadi pada anak-anak dengan perlemakan hati non alkoholik daripada

dewasa. Pada pemeriksaan biopsi dijumpai fibrosis pada 7-16% pasien dengan

perlemakan hati non alkoholik. Gambaran histologi fibrosis atau sirosis berhubungan

dengan temuan laboratorium dan gambaran klinis yang lebih buruk, namun para

peneliti telah menunujukkan bahwa usia yang lebih tua, obesitas dan diabetes melitus

merupakan prediktor independen derajat fibrosis.

5,6

(13)

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai interpretasi

histopatologis perlemakan hati non alkoholik. Kontroversi terutama dalam hal

penentuan kriteria unutk membedakan perlemakan hati sederhana dengan perlemakan

hati non alkoholik. Klasifikasi dari Brunt merupakan kriteria histopatologis yang

banyak dipakai untuk menentukan derajat perlemakan hati non alkoholik.2,6,7

(14)
(15)

IV. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini modalitas pengobatan yang terbukti baik masih terbatas.

Belum ada terapi yang secara universal dapat dikatakan efektif, strategi pengobatan

cenderung dilakukan dengan pendekatan empiris karena patogenesis penyakit juga

belum begitu jelas diketahui. Penelitian terapi medikamentosa perlemakan hati non

alkoholik yang dipublikasikan sebagian besar merupakan uji klinis tanpa kontrol.

Penelitian yang menggunakan kontrol pada umumnya dilakukan terhadap pasien

dalam jumlah kecil atau bervariasi dalam menentukan kriteria steatohepatitis dan

parameter keberhasilan. Oleh karena pengobatan lebih ditujukan pada tindakan untuk

mengontrol faktor resiko seperti memperbaiki resistensi insulin dan mengurangi

asupan asam lemak ke hati, selanjutnya baru pemakaian obat yang dianggap memiliki

potensi hepatoprotektor.2

1. Pengontrolan Faktor Resiko

a. Pengurangan kalori

Pasien dengan perlemakan hati non alkoholik biasanya overweight atau obese,

resistensi insulin dan memiliki ambilan energi yang lebih tinggi dibandingkan

individu tanpa perlemakan hati.

Derajat pengurangan kalori masih dipertanyakan. Studi kecil oleh Anderson dkk

menunjukkan bahwa pengurangan berat badan yang ekstrim dengan kelaparan

menyebabkan keparahan pada histologi hati termasuk fibrosis. Huang dkk

menganjurkan pasien-pasien untuk melakukan diet 1400 kkal/hari selama 12 bulan

dan pada 15 pemeriksaan biopsi pasien perlemakan hati non alkoholik menunjukkan

pengurangan berat badan 2,9 kg (3% berat badan). 9 diantara 15 pasien (60%)

memiliki kemajuan pada pemeriksaan histopatologi dengan pengurangan berat badan

mencapai 7%.

4

b. Latihan Jasmani

4

Latihan jasmani dan pengaturan diet menjadi inti terapi dalam usaha mengurangi

berat badan. Aktivitas fisik hendaknya berupa latihan bersifat aerobik paling sedikit

30 menit sehari. Sangat penting untuk mencapai target denyut nadi, tetapi tidak perlu

(16)

2. Terapi Farmakologis

a. Antidiabetik dan Insulin Sensitizer

Thiazolidindione

Thiazolidindione memperbaiki resistensi insulin di otot rangka, jaringan adiposa

dan hati melalui kerjanya sebagai agonis Peroksisome Proliferator Activated Receptor γ (PPAR- γ) yang meningkatkan kadar adiponektin plasma dan oksidasi asam lemak dan menurunkan sintesis asam lemak. Agen ini telah banyak diteliti banyak digunakan

sebagai insulin sensitizer pada kasus perlemakan hati non alkoholik. Pioglitazone dan

rosiglitazone merupakan jenis obat thiazolidindione yang telah banyak digunakan.

Efek samping Thiazolidindione haruslah diperhatikan. Peningkatan berat badan

2-3 kg telah ditunjukkan menjadi penyebab peningkatan deposisi lemak perifer.

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa Thiazolidindione meningkatkan kehilangan

tulang dan dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis dan meningkatkan resiko

fraktur terutama pada wanita post menopause.

Resiko untuk terjadinya gagal jantung juga dilaporkan oleh karena adanya efek

retensi cairan dan disfungsi diastolik sehingga tidak dianjurkan pada penderita gagal

jantung dengan NYHA 3-4.4

(17)

Metformin

Metformin meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan produksi

glukosa hati. Lin dkk menunjukkan perbaikan penyakit perlemakan hati pada model

hewan dengan perlemakan hati non alkoholik. Hal ini dianggap terjadi melalui

penghambatan TNF-α sehingga terjadi perbaikan insulin.4,9

Penelitian lain dilakukan oleh Marchesini dkk. 14 pasien perlemakan hati non

alkoholik mendapat terapi metformin 3 x 500 mg /hari selama 4 bulan dan sebagai

kelompok kontrol adalah 6 pasien perlemakan hati non alkoholik yang hanya

mendapat terapi diet. Didapatkan perbaikan kadar rata-rata transaminase, peningkatan

sensitivitas insulin dan penurunan volume hati pada pasien yang mendapatkan terapi

metformin.

4,9

b. Terapi Antioksidan

Pengurangan antioksidan di dalam hepatosit yang menyebabkan gangguan

inaktivasi ROS merupakan dasar pemberian suplemen antioksidan pada terapi pasien

dengan perlemakan hati non alkoholik. Antioksidan larut lemak tokoferol (vitamin E)

telah ditunjukkan menghambat peroksidase lemak dan menekan sitokin inflamasi

seperti TNF-α, dan penggunaannya dalam terapi perlemakan hati non alkoholik telah

banyak diteliti. Satu studi membandingkan 6 bulan pemakaian 1000 IU vitamin E dan

1000 mg vitamin C per hari vs plasebo memperlihatkan perbaikan yang signifikan

fibrosis hati pada kelompok dengan vitamin tapi tidak diantara kelompok dan tidak

ada perubahan pada kadar aminotransferase dan inflamasi hati.

Betain, antioksidan lain pada terapi perlemakan hati non alkoholik, meningkatkan

kadar S-adenosilmetionin dan diduga dapat menurunkan deposisi lemak di hati.

Perbaikan pada kadar aminotransferase, steatosis hati, aktivitas inflamasi dan fibrosis

ditunjukkan pada trial pada 10 pasien perlemakan hati non alkoholik yang diterapi

dengan betain anhidrous 20 mg sehari dalam 12 bulan.

4

4

c. Hepatoprotektor

Ursodeoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu dengan banyak efek seperti

efek imunomodulator, pengaturan lipid dan efek sitoproteksi. Pertama kali digunakan

pada perempuan berusia 66 tahun dengan perlemakan hati non alkoholik yang

menunujukkan normalisasi enzim transaminase setelah terapi UDCA selama 1 tahun.

(18)

pasien perlemakan hati non alkoholik. Pada studi terhadap 40 pasien yang mendapat

UDCA 13-15 mg/kb/hari selama 1 tahun terbukti adanya perbaikan ALT, alkali

fosfatase, GGT dan steatosis, tapi tidak ada perbaikan bermakna dalam derajat

inflamasi dan fobrosis. Pada studi lain tes fungsi hati mengalami perbaikan pada 13

pasien setelah mendapat UDCA 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Studi paling baru

tentang UDCA dilakukan terhadap 24 pasien dengan dosis 250 mg 3 kali sehari

selama 6-12 bulan. Dilaporkan adanya perbaikan kadar aminotransferase dan petanda

fibrogenesis.2

c. Obat Anti Hiperlipidemia

Studi menggunakan gemfibrozil menunjukkan perbaikan ALT dan kadar lipid

setelah pemberian obat selama 1 tahun, tapi evaluasi histologi tidak dilakukan. Sebuah

studi pendahuluan dengan sampel kecil menunujukkan perbaikan parameter

biokimiawi dan histologi pada kelompok pasien yang mendapat atorvastatin.

Sebaliknya studi lain menunujukkan tidakn adanya perbedaan bermakna antara

kontrol dan pasien menggunakan berbagai jenis statin.2

(19)

V. KESIMPULAN

Perlemakan hati non alkoholik merupakan penyakit kronis yang meningkat

pada pasien dengan fungsi hati terganggu. Kebanyakan pasien adalah wanita dan

obesitas dengan DM tipe 2 dan/atau hiperlipidemia. Namun perlemakan hati non

alkoholik dapat juga terjadi pada laki-laki dan perempuan tanpa keadaan yang

disebutkan tadi. Perlemakan hati non alkoholik sangat sulit dibedakan secara histologi

dengan hepatitis alkoholik dan biasanya dengan gambaran steatosis makrovaskuler,

nekroinflamasi, hepatocyte balloning dan fibrosis.

Patogenesis perlemakan hati non alkoholik masih belum jelas namun stres

oksidatif dikatakan paling berperan. Diagnosa perlemakan hati non alkoholik

haruslah dipikirkan pada pasien-pasien dengan fungsi hati abnormal, tidak ada riwayat

konsumsi alkohol, tidak dijumpai tanda-tanda penyakit hati kronis an dijumpai

steatosis hati pada pencitraan. Namun, perlemakan hati non alkoholik merupakan

diagnosa histologi, sehingga biopsi hati sangat penting dilakukan. Tidak ada terapi

definitif perlemakan hati non alkoholik namun penurunan berat badan merupakan

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison SA, MC, MD, Kadakia S, MD. Nonalcoholic Steatohepatitis: What

We Know in the New Millenium. The American Journal of Gastroenterology,

2002; 97; 2714-20

2. Hasan I. Perlemakan Hati Non Alkoholik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, ed 4, jilid I, 2006: 464-67

3. Day, CP, Daly AK. NASH is genetically determined disease. In : Fatty Liver

Disease : NASH and Related Disorder, Blackwell Publishing, 1st ed, 2005,

66-75

4. Torres DM, Harrison SA. Diagnosis and Therapy of Nonalcoholic

Steatohepatitis. Gastroenterology, 2008; 134; 1682-98

5. Harrison SA, Tetri BN. Clinical Manifestation and Diagnosis of NASH. In:

Fatty Liver Disease: NASH and Related Disorder, Blackwell Publishing, 1st

ed, 2005, 159-67

6. Hall, P dela M, Kirch R. Pathology of Hepatic Steatosis, NASH and Related

Condition. In : Fatty Liver Disease: NASH and Related Disorder, Blackwell

Publishing, 1st ed, 2005, 13-22

7. Portincasa P, Grattagliano I. Nonalcoholic steatohepatitis: recent advances

from experimental models to clinical management. Clinical Biochemistry,

2005; 38; 203-17

8. Reid, AE. Nonalcoholic Steatohepatitis. Gastroenterology, 2001 ; 121 ;

710-723

9. Jansen PLM. Nonalcoholic Steatohepatitis. The Journal of Medicine, 2004;

Gambar

Gambar 1. Patogenesis Perlemakan Hati Non Alkoholik 1
Gambar 4. Penatalaksanaan Perlemakan Hati non Alkoholik4
Tabel 4. Terapi Farmakologis dalam Penatalaksaan Perlemakan Hati Non Alkoholik4

Referensi

Dokumen terkait

4.4 Efek Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah Terhadap Perlemakan hati Non-Alkoholik; Jumlah Steatosis, Lobular Inflamation, Hepatosit Balloning dan Derajat NASH pada Tikus

Mengingat latar belakang tersebut penelitian ini akan melihat adanya penyakit perlemakan hati non alkohol akibat pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % pada

Berdasarkan penelitian ini didapat simpulan pemberian asam lemak trans.. dosis 5 % dan 10 % menyebabkan penyakit perlemakan hati non alkohol

Penelitian Dorfman tahun 2009 tentang efek asam lemak trans terhadap metabolisme lemak hati yang menyebabkan penyakit perlemakan hati masih jarang dilakukan, penelitian

Perbandingan kadar serum aminotransferase pada kelompok penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PPHNA) dengan bukan PPHNA didapatkan 39 orang remaja obesitas dengan

(10,15,17,19) Penelitian yang dilakukan oleh Wang CL dkk pada tahun 2008 terhadap penderita anak mendapatkan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan kadar

Definisi Non-alcoholic fatty liver disease NAFLD mendefinisikan spektrum kelainan hati mulai dari simple fatty liver steatosis, yaitu perlemakan hati tanpa inflamasi dan fibrosis;

Non-alcoholic fatty liver disease NAFLD mendefinisikan spektrum kelainan hati mulai dari simple fatty liver steatosis, yaitu perlemakan hati tanpa inflamasi dan fibrosis;