• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Zingiber officinale roxb var rubrum) TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI HATI PADA PERLEMAKAN HATI NON- ALKOHOLIK TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI

DEEP FRYING OIL

TESIS

OLEH SUNARTI 147008015

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Zingiber officinale roxb var rubrum) TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI HATI PADA PERLEMAKAN HATI NON- ALKOHOLIK TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI

DEEP FRYING OIL

Diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH SUNARTI 147008015

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

Judul : EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANGJAHE MERAH (Zingiber officinale roxb var rubrum) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI PADA PERLEMAKAN HATI NON-ALKOHOLIK TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI DEEP FRYING OIL

Nama Mahasiswa : Sunarti

Nim : 147008015

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.) (dr. Delyuzar, M.Ked (PA), Sp.PA (K). )

Ketua Anggota

Komisi Pembanding

(dr. Tri Widyawati, MSi, PhD.) (dr. Lokot Donna Lubis, Sp.PA )

Ketua Anggota

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sunarti

Tempat/ Tgl Lahir : Pasar Gunung/ 12 April 1979 Agama : Islam

Alamat : Jln. Manggis LK I Kel. Limau Sundai Kec. Binjai Barat Kota Binjai

Telp : 081264080414 Nama Ayah : Alm. Kasri Nama Ibu : Sayini

Email : sunarti_1979imoet@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD Negeri 050712 Pasar Gunung : Tahun 1986-1992 SMP Negeri I Hinai Kiri Secanggang : Tahun 1992-1995 SMA Negeri I Percontohan Stabat : Tahun 1995-1998 D III Keperawatan Dep.Kes RI Medan : Tahun 1998-2001 S-I Keperawatan FK USU : Tahun 2004-2006

Profesi Ners FK USU : Tahun 2006-2007

PEKERJAAN

Dosen tetap di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Prima Indonesia dari Tahun 2007 s/d sekarang.

(5)

EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANGJAHE MERAH (Zingiber officinale roxb var rubrum) TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI HATI PADA PERLEMAKAN HATI NON- ALKOHOLIK TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI DEEP

FRYING OIL

ABSTRAK

Penggunaan minyak goreng berulang metode deep frying oil/DFO menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dan asam lemak trans. Asam lemak tersebut dapat menyebabkan Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD).

Prevalensi NAFLD meningkat di seluruh dunia dari 6,3% menjadi 33%, dengan bahayanya adalah penyakit sirosis hepatis dan kanker hati. Akan tetapi, belum ada obat-obatan spesifik untuk mencegah perkembangan penyakit ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek hepatoprotektif dari ekstak etanol rimpang jahe merah/EERJM.

Penelitian ini adalah true experimental dengan rancangan randomize post-test only control group design. Jumlah sampel 54 ekor tikus Wistar jantan yang terdiri dari sembilan kelompok perlakuan. Kelompok K0 diberi aquadest, K1 dan K2 diberi DFO 3 dan 6 kali penggorengan dosis 10 µl/g BB/hari. Pada kelompok perlakuan P1, P3, P5 dan P2, P4, P6 diberikan DFO 3 dan 6 kali penggorengan dan dosis EERJM bertingkat 100, 200, dan 400 mg/kg BB. Setelah 30 hari pelakuan dilakukan pengukuran histopatologi untuk menilai degenerasi lemak, derajat NASH dan derajat fibrosis, kemudian data dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.

Hasil uji Kruskal-Wallis adanya perbedaan yang bermakna antara keenam kelompok perlakuan (P=0,001). Hasil uji Mann-Whitney tidak ada perbedaan bermakna pada degenerasi hepatosit dan derajat NASH antara K1 dan K2, dan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada 3 dan 6 kali penggorengan. Sedangkan antar kelompok perlakuan dosis 200 mg/kg BB pada 3 kali penggorengan (P3) lebih efektif dibanding kelompok lainnya. Hasil penilaian fibrosis adalah F0. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian lanjut komponen zat aktif pada jahe merah yang berperan dalam pembentukan lipogenesis di hati.

Kata kunci: NAFLD, EERJM, DFO, degenerasi lemak, derajat NASH, fibrosis

(6)

THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACTOF RIMPANG JAHE MERAH (Zingiber officinale roxb var rubrum) ON LIVER HISTOPATHOLOGY

IMAGE IN NON-ALCOHOL FATTY LIVER OF MALE WISTAR MICE INDUCED BY DEEP FRYING OIL

ABSTRACT

The use of recycled frying oil with deep frying oil (DFO) method makes the increase in free fatty acid and trans fatty acid. These fatty acids can cause Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). The prevalence of NAFLD increases from 6,3% until 33% throughout the world which will cause the risk for cirrhosis of liver and heart cancer. However, there is no specific medicine for preventing from the development of this disease. The objective of this research was to find out the hepatoprotective effect of ethanol extract of rimpang jahe merah (EERJM).

The research used true experimental method with randomize post-test only control group design. The samples were 54 male Wistar mice that consisted of nine treatment groups. K0 was given aquadest, K1 and K2 were given DFO 3 and 6 times the frying dosage of 10 μl/g BB/day. The treatment groups of P1, P3, P5 and P2, P4, P6 were given DFO 3 and 6 times of frying, and the dosages of EERJM from 100, 200, to 400 mg/kg BB. After 30 days of treatment, the measurement of histopathology was conducted to assess fat degeneration, the standard of NASH, and the standard of fibrosis, and the data were analyzed by using Kruskal-Wallis test.

The result of Kruskal-Wallis is significant differences among the six treatment groups (P=0.001). The result of Mann-Whitney there is no significant difference in the degeneration of hepatocytes and NASH between K1 and K2, and between the control group to the treatment group at 3 and 6 times the frying pan.

While among the treatment group a dose of 200 mg/kg BB in the three times frying (P3) is more effective than other groups. The results of fibrosis are F0. Thus the need to do further research on the components of the active substance of red ginger for the formation of lipogenesis in the liver.

Keywords: NAFLD, EERJM, DFO, Fat Degeneration, NASH Standard, Fibrosis

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Efek Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum) Terhadap Gambaran Histopatologi Hati pada Perlemakan Hati Non- Alkoholik Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Deep Frying Oil”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan do’a dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH. M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. dr. Aldy Syafruddin Rambe, Sp.S, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memberi banyak masukan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., yang telah bersedia meluangkan waktu menjadi Ketua Komisi Pembimbing dan telah banyak memberikan bimbingan, masukan, saran serta motivasi dan dukungan kepada penulis untuk penyelesaian tesis ini.

4. Bapak dr. Delyuzar, M.Ked (PA), Sp.PA (K)., yang telah bersedia meluangkan waktu menjadi anggota Komisi Pembimbing dan memberikan masukan, saran serta motivasi untuk penyelesaian tesis ini.

5. Ibu dr. Tri Widyawati, MSi, PhD., Ketua Komisi Pembanding yang telah bersedia memberi masukan serta saran kepada penulis untuk perbaikan tesis ini.

6. Ibu dr. Lokot Donna Lubis, Sp.PA, anggota Komisi Pembanding yang turut memberi bimbingan, dan saran kepada penulis untuk perbaikan tesis ini.

7. Suami tercinta dan kedua putra penulis yang selalu berdo’a dan memberikan dukungan, semangat serta cintah kasih, sehingga membuat penulis lebih bersemangat untuk menyelesaikan pendidikan Program Magister Biomedik.

(8)

8. Teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014, terima kasih atas kerjasama dan dukungannya dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga segenap bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis mendapat ridha Allah SWT. Dengan senang hati penulis menerima masukan dan kritikan untuk perbaikan tesis ini. Harapan penulis, tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta bagi peningkatan pengetahuan dan pegembangan ilmu biomedik.

Medan, Februari 2017

Penulis

Sunarti

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR……….. xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Konsep ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum……… .. 5

1.3.2 Tujuan Khusus………... 6

1.6 Manfaat Penelitian……….. .. 6

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Hati ... 7

2.1.1 Anatomi dan Histopatologi Hati ... 7

2.2 Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik………. 10

2.2.1 Definisi ... 10

2.2.2 Penyebab dan Faktor Resiko NAFLD ... 10

2.2.3. Patogenesis NAFLD... 13

2.2.3.1 Fist Hit Dalam Patogenesis ... 14

2.2.3.2 Second Hit Dalam Patogenesis ... 21

2.2.4. Diagnosis NAFLD ... 22

2.2.5 Gambaran Histologi NAFLD ... 24

2.2.6 Pengobatan ... 27

2.3 Minyak Goreng ... 29

2.3.1 Komposisi Minyak Goreng……… .... 30

2.3.2 Proses Menggoreng (Deep Frying) dan Minyak Jelantah………. .. 33

2.3.3 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Deep Frying Oil Terhadap Kesehatan……… ... 36

2.4 Jahe Merah……… . 40

2.4.1 Nama Ilmiah dan Nama Daerah…………. ... 40

2.4.2 Gambaran Jahe Merah …………... 41

2.4.3 Morfologi…………. ... 42

2.4.4 Taksonomi…………. ... 43

(10)

2.4.5 Komponen dan Struktur Kimia…………. ... 46

2.4.6 Penggunaan Secara Umum…………. ... 48

2.4.7 Aktifitas Jahe Merah pada NAFLD…………. ... 48

2.4.8 Farmakokinetik Jahe Merah……… ... 50

2.5 Hewan Coba………. . 50

2.5.1 Tikus Putih (Ratus norvegicus)……… . 50

2.5.2 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium ... 51

2.6 Kerangka Teori……… ... 52

BAB III : METODE PENELITIAN ... 53

3.1 Jenis Penelitian ... 53

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 53

3.2.1 Tempat penelitian ... 53

3.2.2 Waktu penelitian ... 53

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 53

3.3.1 Populasi Penelitian ... 53

3.3.2 Besar Sampel Penelitian ... 53

3.3.3 Cara Pengambilan Sampel Penelitian……… . 54

3.3.4 Rancangan Penelitian ... 54

3.4 Variabel Penelitian ... 55

3.4.1 Variabel Bebas ... 55

3.4.2 Variabel Terikat ... 55

3.5 Definisi Operasional ... 56

3.6 Etika Penggunaan Hewan Coba ... 57

3.7 Bahan dan Alat Penelitian ... 57

3.7.1 Bahan Penelitian ... 57

3.7.2 Alat Penelitian ... 58

3.8 Prosedur Penelitian ... 58

3.8.1 Persiapan Hewan Coba……… ... 58

3.8.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah ... 59

3.8.3 Deep Frying Oil ... 62

3.8.4 Simplisia dan Ekstrak ... 62

3.8.5 Pembuatan Sediaan Histopatologi Hati……… .. 66

3.8.6 Prosedur Pembacaan Preparat Histopatologi ... 68

3.9 Kerangka Operasional ... ... 70

3.10 Analisis Data………... 71

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 72

4.1 Hasil ... 72

4.1.1 Hasil Karakteristik Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum) ... 72

4.1.2 Hasil Standarisasi Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum) ... 72

(11)

4.1.3 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var

rubrum. ... 73

4.1.4 Nilai Rendemen Simplisia dan Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum) ... 73

4.1.5 Gambaran Histopatologi Serat Kolagen dan Hepatosit Yang Mengalami Degenerasi Lemak ... 74

4.1.6 Hasil Perhitungan Jumlah Hepatosit Yang Mengalami Degenerasi Lemak ... 77

4.2 Pembahasan ... 81

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

5.1 Kesimpulan ... 90

5.2 Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA……… 92 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Halaman

2.1 Beberapa Faktor dan Kondisi Terkait Penyebab Perlemakan hati

Non-Alkoholik ... 11

2.2 Skoring Degenerasi Lemak pada NAFLD ... 25

2.3 Skoring Fibrosis ... 27

2.4 Komposisi Minyak Goreng Sawit ... 32

3.1 Rancangan Penelitian ... 55

3.2 Definisi Operasional………. 56

4.1 Hasil Standarisasi Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum)………... ... 72

4.2 Hasil Identifikasi Kandungan Kimia Simplisia dan Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum)……… .. 73

4.3 Persentase Nilai Rendemen Simplisia dan Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum)……… ... 74

4.4 Efek Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah Terhadap Perlemakan hati Non-Alkoholik; Jumlah Steatosis, Lobular Inflamation, Hepatosit Balloning dan Derajat NASH pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Deep Frying Oil pada 3 kali Penggorengan. Data Dianalisis Dengan Uji Kruskal-Wallis dan Uji Lanjut Mann-Whitney (n=6) ... 78

4.5 Efek Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah Terhadap Perlemakan hati Non-Alkoholik; Jumlah Steatosis, Lobular Inflamation, Hepatosit Balloning dan Derajat NASH pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Deep Frying Oil pada 6 kali Penggorengan. Data Dianalisis Dengan Uji Kruskal-Wallis dan Uji Lanjut Mann-Whitney (n=6) ... 78

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Halaman

1.1 Skema Kerangka Konsep ... 4

2.1 Struktur Anatomi Hati ... 8

2.2 Asinus Hati ... 9

2.3 Patogenesis Hit Teori NAFLD ... 14

2.4 Peran SFA dan TFA Dalam Pembentukan NAFLD………. 18

2.5 Gambaran Histologi Tipe dari NAFLD……….. . 26

2.6 Struktur Kimia Asam Lemak Tak Jenuh Cis (Asam Oleat), Asam Lemak Tak Jenuh Trans (Elidat) dan Asam Lemak Jenuh (Asam Stearat) ... 32

2.7 Gambar Pohon Jahe Merah ……… ... 45

2.8 Struktur Kimia Gingiber officinale………. . 47

2.9 Pengaruh Ginger Terhadap Penekanan Nf-kB di Liver……….. . 50

2.10 Kerangka Teori………... 52

3.1 Alur Penelitian……… ... 70

4.1 Gambaran Degenerasi Hepatosit pada Pewarnaan H & E Anak Panah Menunjukkan Adanya Steatosis.……… ... 74

4.2 Gambaran Degenerasi Hepatosit pada Pewarnaan H & E Anak Panah Menunjukkan Adanya Balloning Hepatosit.……… ... 75

4.3 Gambaran Degenerasi Hepatosit pada Pewarnaan H & E Anak Panah Menunjukkan Adanya Lobular Inflamation.……… ... 75

4.4 Gambaran Degenerasi Hepatosit pada Pewarnaan H & E Anak Panah Menunjukkan Adanya Neutrofil Dalam Sinusoid Normal.………... 76

4.5 Gambaran Serat Kolagen……… .... 77

(14)

DAFTAR SINGKATAN ALT : Alanin transaminase

APO : Apolipoprotein APoB-100 : ApolipoproteinB-100

ARE : Element respon antioksidant AST : Aspartat transaminase ATP : Adenosin trifosfat BMI : Body mass index CAT : Catalase

CETP : Cholesterol ester transfer protein

ChREBP : Carbohydrate response element binding protein CIO- : Ion Hypoclorit

CPT-1 : Carnitine palmitoyl transferase-1 CRP : C-reactive protein

CT : Computerized tomography DM : Diabetes Mellitus

DNA : Deoxyribose-nucleic acid FFA : Free fatty acids

GGT : Glutamyl transferase GPx : Glutathion peroxidase H2O2 : Hydrogen peroxyl HDL : High density lipoprotein HE : Hematoxylin-eosin HFD : High fat diet

HOMA-IR : Homeostasis model formula for insulin resistance HMG-CoA : Hydroxy methylglutaryl Coenzim A

HNE : Hydroxynoneal

IHTG : Intrahepatic trygleserida

ILDL : Intermediate density lipoprotein

(15)

IL 6 : Interleukin 6 IL 8 : Interleukin 8

Ik-kB : Inhibitor kappa kinase betha ISR : Substrat reseptor insulin JN-K : Jun-N terminal kinase KL : Korpus luteum

LCAT : Lecithin cholesterol acyl transferase LCFA : Long chain fatty acids

LDL : Low density lipoprotein LH : Luteinizing hormone LSD : Least significant different Lpα : Lipoprotein alpha

NADPH : Adenin dinukleotida fosfat NAFLD : Non-alcoholic fatty liver disease NAFL : Non-alcoholic fatty liver

NASH : Non-alcoholic steatohepatis Nf-kB : Nuclear factor kappa betha

Nrf2 : Nuclear factor erythroid 2- related factor 2 NIH : National institutes of health

NO : Nitric oxide MDA : Malondialdehyde

MRI : Magnetic resonance imaging MUFA : Mono unsaturated fatty acid O2 : Singlet oxygen

OH : Oxygen hydroxyl pCAT : Peroxisomal catalase

PI3K-AKt : Phosphatidylinositol 3 kinase PNPLA3 : Patatin-like phospholipase 3 PPR : Proliferator activated reseptor

PTPM : Permeabilitas transition pore mitochondria PUFA : Poly unsaturated fatty acid

(16)

RNA : Ribonucleic acid

RNS : Reactive nitrogen species ROS : Reactive oxygen species SFA : Saturated fatty acids

SGOT : Serum-glutamic-oxaloacetic SOD : Superoxide dismutase

SR-B1 : Scavenger reseptor class B type I

SREBP-1c : Sterol regulatory element binding protein-1c TGF-β : Transforming growth factor- betha

TM6SF2 : Transmembran 6 Superfamily 2 TNFα : Tumor necrosis factor alpha UCP-2 : Uncoupling protein 2

USG : Ultrasonography

VLDL : Very low density lipoprotein

.

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit perlemakan hati non-alkoholik atau non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan penyakit hati yang secara histopatologis ditandai oleh adanya steatosis (perlemakan) hati makrovesikular 5-10% tanpa mengkonsumsi alkohol berat (Kelishadi, et al., 2013).

Prevalensi NAFLD di seluruh dunia meningkat berkisar 6,3% menjadi 33% (Chalasani, et al., 2012). Kejadian NAFLD tahun 2012 di Amerika sebanyak 27-34%, di negara Eropa mencapai 20-30% dan di negara Asia seperti Sri Lanka, Malaysia, dan Indonesia mencapai 15-20% (Chowdhury and Younossi, 2016).

NAFLD dianggap sebagai salah satu penyebab penyakit hati kronis.

Bahaya yang akan terjadi oleh kejadian perlemakan hati adalah sirosis hepatis dan kanker hati, akibat inflamasi hati oleh steatosis (Geoffrey, et al., 2013).

Deep frying oil (DFO) disebut dengan minyak jelantah merupakan minyak goreng yang didapatkan dari proses memasak atau memanaskan makanan dengan menggunakan minyak dalam jumlah banyak, berulang dan suhu yang tinggi sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan asam lemak trans (Sartika, 2009). Masyarakat Indonesia menggunakan minyak goreng berulang masih tinggi, berdasarkan survey 90% masyarakat menggunakan minyak goreng berulang 4-8 kali per hari (Siswanto, 2015).

Kadar asam lemak bebas pada minyak goreng bermerek terjadi setelah digunakan untuk menggoreng ke lima kali sedangkan pada minyak goreng curah

(18)

terjadi setelah digunakan untuk menggoreng ke tiga kali yaitu 0,69 mg KOH/g, ke empat 0,76 mg KOH/g dan ke lima 0,81 mg KOH/g (Alfiani, et al., 2014), hal ini telah melewati standar mutu kadar asam lemak bebas yang ditetapkan oleh SNI 01-3741-2013 dengan syarat kandungan asam lemak bebas maksimal 0,6 mg KOH/g (BSN, 2013).

Penelitian yang dilakukan pada 30 tikus Wistar dengan pemberian minyak jelantah 0,42 ml per hari selama 14 hari terjadi peningkatan jumlah steatosis (Setiawan, 2014). Hasil penelitian 38 Mencit jantan dengan pemberian minyak jelantah 1 ml/100 g berat badan per hari selama 14 hari dapat menyebabkan degenerasi hepatosit yang merupakan perkembangan penyakit perlemakan hati (Dewi dan Sutejo, 2011).

Penelitian pada 12 tikus Wistar jantan dengan pemberian minyak trans meningkatkan peroksidasi lipid ditandai dengan peningkatan malondialdehyde (MDA), menurunkan enzim antioksidan seperti catalase (CAT), superoxide dismutase (SOD) serta glutathion peroxidase (GPx) sehingga menyebabkan stres oksidatif (Dhibi, et al., 2011). Hasil penelitian Sunaryo, 2015; Nammi, et al., 2009 menyebutkan bahwa jahe merah (Zingiber officinale roxb var rubrum) mampu menghambat peroksidasi lipid dan meningkatkan enzim antioksidan, mengatur reseptor LDL dan 3-Hydroxy-3-Methylglutaryl Coenzyme-A (HMG-CoA) yang bekerja untuk mempengaruhi penyerapan kolesterol di dalam hati pada tikus yang diberikan diet tinggi lemak.

Pencegahan penyakit perlemakan hati non-alkoholik perlu dilakukan, sebagai suatu alternatif penanganan agar tidak terjadi komplikasi yang

(19)

membahayakan kesehatan. Tingkat penyembuhan yang lama juga akan berakibat terhadap gangguan kesehatan lain akibat efek obat yang digunakan dalam jangka lama. Salah satu yang ditawarkan adalah dengan mengkonsumsi jahe merah yaitu rimpang yang memiliki banyak sekali manfaat, salah satunya adalah komponen polifenol seperti Gingerol, Shogaol dan Zingeron yang merupakan komponen aktif sebagai anti oksidan dan anti hiperkolesterol (Winarti dan Nurdjanah, 2005).

Penelitian pada tikus dengan pemberian larutan serbuk rimpang jahe merah (Zingiber officinale roxb var rubrum) secara oral dosis 100, 200 dan 400 mg/kg BB dengan atorvastatin pada diit tinggi kolesterol, ditemukan bahwa dosis 200 dan 400 mg/kg BB efektif menurunkan kolesterol dibanding atorvastatin (Sayed, et al., 2010).

Pemberian minyak jelantah pada tikus Wistar juga meningkatkan kadar profil lipid seperti peningkatan kolesterol total, LDL, VLDL dan penurunan HDL (Bagoriani dan Ratnayani, 2015). Namun penelitian pada manusia tidak memperoleh hubungan antara perlemakan hati dengan kadar kolesterol total, HDL, dan trigeserida tetapi korelasi positif hanya terkait dengan peningkatan derajat perlemakan hati dangan peningkatan kadar LDL (Jones, 2013), sehingga pemeriksaan histologi merupakan gold standar pada perlemakan hati non- alkoholik (Chalasani, et al., 2012). Dengan demikian peneliti tertarik melakukan penelitian secara histopatologi tentang efek ekstrak etanol rimpang jahe merah (EERJM) dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB pada perlemakan hati non-alkoholik tikus Wistar jantan yang diinduksi DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

a. apakah terdapat perbedaan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

b. apakah ada efek EERJM pada dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB terhadap penurunan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis dengan kelompok kontrol pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

1.3 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut (Gambar 1.1):

Variabel bebas/ independent Variabel terikat/ dependent

Gambar 1.1 Skema kerangka konsep penelitian

1.4 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Ho: a. tidak ada perbedaan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

Perlemakan hati non-alkoholik:

- degenerasi hepatosit 1. steatosis (0-3)

2. inflamasi lobular (0-4) 3. balloning hepatosit (0-2) - derajat NASH (0-5)

- derajat fibrosis (0-4)

Ekstrak etanol rimpang

jahe merah dosis:

- 100 mg/kg BB - 200 mg/kg BB - 400 mg/kg BB

(21)

Ha: b. ada perbedaan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

2. Ho: a. tidak ada efek EERJM dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB terhadap penurunan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis dengan kelompok kontrol pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

Ha: b. ada efek EERJM dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB terhadap penurunan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis dengan kelompok kontrol pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan umum penelitian adalah: untuk mengetahui efek EERJM terhadap pencegahan perlemakan hati non-alkoholik tikus Wistar jantan yang diberi DFO.

1.5.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum di atas, maka tujuan khusus penelitian adalah untuk:

a. mengetahui perbedaan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

b. mengetahui efek EERJM pada dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB terhadap penurunan degenerasi hepatosit dan derajat fibrosis dengan kelompok kontrol pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan.

(22)

1.6 Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian adalah:

a. memberikan informasi ilmiah dan referensi dalam dunia kedokteran tentang bahan obat alam khususnya mengenai efek pemberian ekstrak etanol rimpang jahe merah oral terhadap perlemakan hati non-alkoholik.

b. sebagai pertimbangan masyarakat bahwa jahe merah dapat menurunkan perlemakan hati non-alkoholik dengan suplemen berbahan dasar tanaman sehingga ketergantungan terhadap obat sintesis dapat dikurangi.

c. sebagai dasar pengembangan bahan obat alam khususnya jahe merah dan sebagai dasar penelitian lanjut pada manusia.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hati

2.1.1 Anatomi Dan Histopatologi Hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar dengan berat rata-rata 2% sampai 3% dari tubuh atau sekitar 1000-1500 gram yang terletak di kuadran kanan atas rongga perut bagian bawah. Hati mendapatkan suplai darah dari arteri hepatika dan cabang vena porta (Ganong, 2013). Hati memiliki lobus kanan dan kiri, lobus hati terdiri dari sel parenkim yang disebut dengan sel hepatosit dan non-parenkim yaitu sel endotelium, sel kuffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang serta sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang bermakna. Sel hepatosit meliputi 60% dari seluruh sel hati yang memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak (Setiati, et al., 2014).

Permukaan hepatosit licin, intinya bulat dengan kelompok heterokromatin di tepian dangan satu atau dua nukleoli yang jelas. Ukuran inti sedikit bervariasi 40- 60% merupakan poliploid. Hepatosit memiliki satu inti 25% binuklear (Bloom, 2002). Pada hepatosit terdapat glikogen, glikogen hati merupakan timbunan glukosa dan dimobilisasi jika kadar glukosa di bawah normal. Hepatosit juga menyimpan trigleserida berupa droplet lipid kecil, yang bertindak sebagai cadangan energi (Anthony, 2012). Sel hepatosit tersusun di antara sinusoid dalam lempeng-lempeng yang terbentuk oleh dua sel, sehingga masing-masing tepi lateral menghadap kearah pengumpulan darah sinusoid (Sherwood, 2012).

(Gambar 2.1).

(24)

Gambar 2.1 Struktur anatomi hati terdiri dari; vena porta, arteri hepatika, sinusoid, sel kuffer, kanikuli dan saluran empedu (Setiati, et al., 2014).

Hati secara mikroskopis memiliki 50000-100000 lobuli; setiap lobulus berbentuk heksagonal (segi enam) yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara sel hati terdapat kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid hati memiliki lapisan endotelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik kuffer yang merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial dan sel stellata juga disebut sebagai sel Ito, liposit atau perisit yang memiliki aktivitas miofibroblastik untuk membantu pengaturan aliran darah sinusoidal, di samping sebagai faktor perbaikan dalam kerusakan hati. Peningkatan aktivitas sel stellata merupakan faktor kunci dalam pembentukan fibrosis hati (Setiati, et al., 2014).

Kanikuli biliaris berada diantara dua sel hepatosit, bagian pertama kanikuli merupakan sistem duktus biliaris. Duktus biliaris dilapisi epitel kuboid atau silindris dan mempunyai selubung jaringan ikat khusus. Duktus ini secara berangsur membesar, menyatu dan membentuk duktus hepatikus kiri dan kanan.

(25)

Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus dari kandung empedu dan berlanjut ke deudenum sebagai duktus koledokus (Anthony, 2012).

Hepatosit secara fungsional merupakan sel yang paling penting dalam tubuh. Konsep terbaru dari unit fungsional hati adalah asinus hati (Gambar 2.2).

Asinus memiliki hepatosit berupa area berbentuk berlian atau lonjong tidak teratur yang terbentang dari dua trias porta hingga dua sentral terdekat. Hepatosit yang terdekat dengan arteriol hepatika yaitu zona I yang memperoleh paling banyak oksigen dan nutrien dan dapat dengan mudah melaksanakan sebagian besar fungsi yang memerlukan metabolisme oksidatif seperti sintesis protein. Di zona III dekat vena sentralis memperoleh paling sedikit oksigen dan nutrien. Hepatosit di zona tersebut merupakan tempat untuk glikolisis, pembentukan lipid dan biotransformasi obat dan merupakan hepatosit pertama yang mengalami akumulasi lemak dan nekrosis sistemik. Zona II merupakan zona pertengahan untuk fungsi metabolik di antara zona I dan III. Sel-sel hapatosit dalam ketiga zona memiliki potensi yang sama untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai respon atas perubahan lingkungan mikronya (Anthony, 2012).

Gambar 2.2 A. Asinus hati yang terdiri dari 3 zona yaitu; zona I, zona II, zona III B. Sistem lobulus hati yang tersusun atas vena porta, arteri hepatika

dan duktus biliaris (Setiawan, 2014).

(26)

2.2 Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik 2.2.1 Definisi

Penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease = NAFLD)adalah perubahan patologi klinis yang ditandai dengan akumulasi lemak (trigliserida) dalam hepatosit tanpa mengkonsumsi alkohol atau konsumsi alkohol dalam jumlah sedikit (kurang dari 20 gr etanol per minggu). NAFLD secara histopatologis terbagi atas non-alcoholic fatty liver (NAFL) dan non-alcoholic steatohepatitis (NASH). NAFL didefinisikan adanya steatosis hati atau perlemakan hati tanpa cidera hepatoseluler dalam bentuk ballooning sedangkan NASH adalah steatosis hati atau perlemakan hati dan peradangan disertai cidera hepatosit (ballooning) sel hepatosit dan fibrosis (Chalasani, et al., 2012 ).

Penyakit Perlemakan hati juga didefinisikan sebagi penumpukan lemak dalam hepatosit lebih dari 5% atau 5% dari berat hati karena lemak (Amarapurkar, 2010).

2.2.2 Penyebab dan Faktor Resiko NAFLD

Penyebab terjadinya NAFLD diantaranya dislipidemia dan hipertensi (Berlanga, et al., 2014). Faktor penyebab NAFLD yang lain adalah manifestasi sindroma metabolik seperti obesitas, diabetes tipe 2, resistensi insulin, kelainan metabolisme bawaan lahir, keadaan kondisi medik untuk menurunkan berat badan, faktor nutrisi, obat-obatan, toksin dan disfungsi hipofisis (Chalasani, et al., 2012). Selain itu juga dapat terjadi pada usia lanjut, penyakit hepatitis C, lipoproteinemia, gaya hidup dan aktifitas yang rendah, penyakit Wilson (Douglas, et al., 2012) (Tabel 2.1).

(27)

Tabel 2.1 Beberapa faktor dan kondisi terkait penyebab perlemakan hati non- alkoholik (Douglas, et al., 2012).

Faktor Resiko Perkembangan Penyakit Kondisi Terkait Insulin resisten/sindrom

metabolik

Bedah baypass jejunun Usia 40-65 tahun Genetik

Obat-obatan dan racun seperti: Amidaron, Koralgil, Tamoxifen, Perheksilin maleat, Kortikosteroid, Estrogen sintetis, Metotreksat, Tetrasiklin IV, Obat antiretroviral.

Obesitas dan peningkatan BMI

Diabetes tak terkontrol Gaya hidup dan aktifitas yang rendah

Insulin resisten Umur

Faktor Genetik

Hiperlipidemia DM tipe 2/ Metabolik sindrom

Hepatitis C

Kelebihan berat badan Nutrisi total parenteral Penyakit Wilson’s, Penyakit Weber–

Christian, lipoproteinemia,

divertikulosis, polikistik sindrom, obstruktif sleep apnea

Keterangan: Penyebab perlemakan hati non-alkoholik; faktor resiko, perkembangan penyakit, kondisi terkait NAFLD (Douglas, et al., 2012).

NAFLD kebanyakan di negara Asia disebabkan oleh asupan makanan berlebihan, konsumsi makanan dengan kadar lemak jenuh tinggi, gizi tidak seimbang, konsumsi minuman ringan mengandung sukrosa dan fruktosa serta aktifitas yang rendah. Perubahan sosial ini dapat menyebabkan kelebihan gizi atau obesitas sebagai predisposisi terjadinya NAFLD (Geoffrey, et al., 2013).

Obesitas merupakan faktor risiko paling tinggi terjadinya NAFLD. Pasien yang mengalami obesitas dangan tindakan bedah bariatrik/bedah obesitas mengalami NAFLD sebanyak 90% dan 5%nya mengalami sirosis. Prevalensi yang cukup tinggi berikutnya adalah faktor risiko dari DM tipe 2 yaitu ±69%

mengalami NAFLD dan dari studi lain ditemukan 87% mengalami NAFLD.

Faktor dislipidemia dapat menyebabkan NAFLD oleh peningkatan trigleserida

(28)

dan rendahnya serum HDL. Secara klinis ditemukan kasus dislipidemia dengan kejadian NAFLD mencapai 50% (Chalasani, et al., 2012).

Prevalensi NAFLD meningkat sesuai dengan peningkatan umur yaitu >50 tahun, Body Mass Index (BMI) >23 kg/m² untuk orang Asia, DM tipe 2, Peningkatan AST dan peningkatan Trigliserida >150 mg/dl (Amarapurkar, 2010).

Selain itu gender dan ethnik juga menentukan prevalensi NAFLD, dimana didapatkan 31% laki-laki dan 16% perempuan menderita NAFLD dan ethnik kulit putih lebih tinggi prevalensinya untuk menderita NAFLD dibanding kulit hitam.

yaitu 2,2% pada kulit putih dan 0,6% pada kulit hitam (Chalasani, et al., 2012).

Genetik juga memainkan peran utama terhadap kerentanan dan perkembangan NAFLD. Untuk saat ini gen PNPLA3 I148M (patatin-like phospholipase 3) dan TM6SF2 E167K (transmembran 6 superfamily 2) merupakan varian gen penentu utama terjadi steatosis hati dan kerentanan terhadap perkembangan progresif NASH (Dongiovanni, 2015).

Hasil penelitian Yan-Lin, et al, 2014 menemukan bahwa gen TM6SF2 merupakan gen utama penyebab fibrosis hati pada NAFLD. Gen ini berhubungan dengan perubahan metabolisme kolesterol. Dari hasil klinis bahwa gen TM6SF2 merupakan penentu penting terhadap beberapa aspek kerusakan yang terkait sindroma metabolik. Akumulasi kolesterol dalam sel Ito menunjukkan terjadinya NAFLD dan gen TM6SF2 dapat bertindak sebagai pengatur untuk meretensi trigleserida dan kolesterol di hati sebagai penyebab fibrosis NAFLD dengan ekresi VLDL. Hasil penelitian Kawaguchi, 2012 menyatakan bahwa gen PNPLA3 merupakan gen yang berhubungan erat sebagai penyebab NASH di masyarakat

(29)

Jepang. Sehingga di Jepang kasus NAFLD mencapai 31 sampai 86 kasus per 1000 orang per tahun (Chalasani, et al., 2012).

Faktor lingkungan juga akan mempengaruhi perkembangan NAFLD.

Faktor lingkungan tersebut antara lain gaya hidup seperti minuman bersoda, konsumsi minuman sirup jagung tinggi fruktosa dan asupan makanan yang mengandung lemak trans yang tinggi hal ini tidak menghasilkan sekresi leptin namun meningkatkan de novo lipogenesis, menyebabkan lipotoksik, resistensi insulin, meningkatkan ekspresi TNF dan deplesi ATP yang kemudian meningkatkan perkembangan steatosis (Attar, et al., 2013).

2.2.3 Patogenesis NAFLD

Patogenesis yang menjadi dasar perlemakan hati dan perkembangannya menjadi NASH belum dimengerti sepenuhnya dan mungkin diakibatkan oleh sejumlah faktor dan genetik. Hipotesis yang umum diterima adalah two-hit theory yang dikemukakan oleh Day dan James pada tahun 1998 (Setiati, et al, 2014).

Kejadian NAFLD didapatkan kadar lemak berlebih dalam tubuh seperti obesitas terutama obesitas sentral, hipertrigliseridemia, dan DM akan menimbulkan lemak dalam jaringan hati sehingga terjadi perlemakan hati (first hit). Kemudian terjadi proses oksidasi dan esterifikasi lemak pada mitokondria sel hati sehingga terjadi kerusakan mitokondria (second hit). Setelah itu diikuti berbagai reaksi pada sel hati sehingga terjadi proses inflamasi yang progresif, pembengkakan sel hati, kematian sel hati, serta proses fibrosis. Progesitas patogenesis NAFLD terus berlanjut sehingga makin dipercaya yang terjadi adalah bukan two-hit akan tetapi multi-hit (Attar, et al., 2013) (Gambar 2.3).

(30)

Gambar 2.3 Patogenesis hit teori NAFLD (Attar, et al., 2013) 2.2.3.1 First Hit dalam Patogenesis NAFLD

First hit adalah suatu keadaan penumpukan lemak di hepatosit yang terkait perubahan metabolik seperti obesitas dan resistensi insulin. Insulin bekerja melalui perantaraan protein substrat reseptor insulin (ISR). Thyrosine phosporilation yang terdapat pada IRS akan mengaktifkan jalur phosphatidylinositol 3'-kinase (PI3K-Akt) yang terlibat dalam metabolisme glukosa, lemak dan protein. Keadaan resistensi insulin akan menyebabkan akumulasi asam lemak di jaringan adiposa (Yusri, et al., 2014). Ada lima mekanisme yang menyebabkan terjadinya akumulasi lemak di hepatosit adalah:

a. Peningkatan konsumsi makanan berlemak dan peningkatan masuknya asam lemak.

Diet tinggi lemak mempengaruhi akumulasi lipid intra-hepatik.

Peningkatan lipid intra-hepatik menyebabkan steatosis hati. Terutama masukan energi yang berlebihan yang dapat menyebabkan obesitas, namun

(31)

tidak hanya energi tetapi kualitas diet dapat memainkan peranan penting terhadap perkembangan NAFLD seperti diet kaya lemak jenuh, kolestrol, rendah lemak tak jenuh ganda serta renda serat dan rendah antioksidan seperti vitamin C dan E (Katherine, et al., 2014).

NAFLD terjadi karena asupan kalori yang berlebihan terutama karbohidrat dan lemak. Asupan lemak yang berlebihan akan meningkatkan asam lemak bebas dalam darah yang kemudian mengalami esterifikasi melalui enzim lechitin cholesterol acyl transferase (LCAT) menjadi cholesteril ester. Peningkatan kolesterol dalam jaringan akan diikat oleh HDL sehingga melui kerja enzim cholesterol ester transfer potein (CETP) akan memindahkan kolesteril ester dari HDL ke lipoprotein kaya trigliserida (kilomikron dan VLDL) dengan demikian terjadi kebalikan arah transpor kolesterol (reverse cholesterol transport) sehingga HDL yang kaya akan trigleserida menuju ke hati dan terdeposisi lemak pada hati serta terjadi penurunan kadar HDL dalam darah. Hal ini sesuai dengan karakteristik dislipidemia pada NAFLD (Astari, et al., 2015, Dahlia, 2014) (Gambar 2.10).

Akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh juga menyebabkan terjadi peningkatan pengangkutan asam lemak dari lapisan viseral ke hati melalui vena porta. Asam lemak bebas berlebihan juga akan menurunkan fungsi mitokondria dan peroksimal β-Oksidasi yang akan mengganggu oksidasi asam lemak di mitokondria, sehingga terjadi akumulasi lemak pada hepatosit (Astari, et al., 2015).

(32)

Makanan yang mengandung lemak trans juga berkontribusi terjadinya steatosis hati. Makanan yang mengandung asam lemak trans terisomerisasi oleh ikatan ganda asam lemak sehingga bakteri dalam saluran cerna tidak mampu mencerna dan tidak mengalami β-Oksidasi di mitokondria, hal ini mampu meningkatkan risiko steatosis hati (Jung, et al., 2010). Diet lemak trans juga dapat menyebabkan kerusakan hati karena peningkatan peroksidasi lipid di hati dan penurunan enzim antioksidan (superoxide dismutase, catalase, dan glutathione peroxidase) sehingga menyebabkan stress oksidatif yang mengarah pada perkembangan NAFLD. Pemberian minyak trans pada tikus menyebabkan stress oksidatif dan meningkatkan perkembangan NAFLD (Dhibi, et al., 2011) (Gambar 2.10).

Hasil penelitian Laura, et al., 2008 menemukan bahwa pemberian lemak trans pada tikus selama 4 minggu secara histopatologi terjadi steatosis makrovesikuler pada zona I yang berkontribusi terjadinya cidera hepatoseluler dan NAFLD.

Hati memainkan peranan penting dalam metabolisme lemak dan karbohidrat. Gangguan metabolisme normal seperti sintesis, transportasi dan eksresi asam lemak rantai panjang (LCFA/long-chain fatty acids) dan trigliserida (TG) merupakan faktor pembentukan NAFLD. Peningkatan pengiriman dan penyerapan ke dalam hepatosit dari LCFA karena asupan makanan berlebih atau pelepasan lemak dari jaringan adiposa. Jaringan adiposa aktif secara metabolik akan banyak melepaskan produk aktif

(33)

biologis termasuk mediator metabolisme karbohidrat (leptin, adiponektin dan resistin), metabolisme lipid (apolipoprotein E dan lipoprotein lipase), dan adipocytokines (TNF-a, IL-6 dan TGF-β). Ekspresi adiposa dan TNF- α mengaktifkan IKB kinase b (Ikkb) dan menghambat fosforilasi insulin substrat reseptor (IRS-1 dan IRS-2), pada gilirannya ini akan menyebabkan kegagalan penekanan insulin-mediated hormon-sensitif lipase (HSL) dan meningkatkan pelepasan LCFA ke sirkulasi dan pada akhirnya menyebabkan peningkatan steatosis hepatik (Anstee and Goldin, 2006).

Peningkatan jaringan adiposa juga akan meningkatkan sinyal molekul intraseluler termasuk Jun-N terminal kinase (JN-K), inhibitor kappa-beta (NF-kβ) melalui peningkatan TNF-α dan IL-6 sehingga menyebabkan resistensi insulin (William, 2014).

Resistensi insulin menyebabkan faktor transkripsi peroxisome proliferator activated reseptor (PPR) terutama PPR-α dan PPR-γ akan memodulasi fungsi sel, termasuk diferensiasi adiposit, metabolisme glukosa, oksidasi fatty acid (FA) dan penghambatan ekspresi gen inflamasi. Pada penelitian dengan model hewan percobaan dengan model obesitas, insulin resisten dan diabetes mellitus akan meningkatkan PPR-γ yang potensial terhadap kejadian steatosis. PPR-γ memainkan peranan dalam kontrol gen yang terlibat dalam jalur lipogenik adiposit, dengan akibat peningkatan trigleserida di adiposit dan pengurangan pengirima FA ke liver dan juga mensensitisasi insulin dan mengaktivasi transkripsi gen

(34)

adiponektin adiposit. Sedangkan PPR-α memainkan peranan penting dalam mengendalikan oksidasi FA dengan memodulasi ekpresi gen yang mengkode enzim yang terlibat dalam oksidasi FA di mitokondria, peroksisomal dan mikrosomal; meregulasi ekpresi protein yang terlibat dalam pengikatan FA dan esterifikasi pengiriman FA ke VLDL (Pattinelli, et al., 2011).

TNF-α juga mengaktifkan jalur proaterogenik yang berbahaya melalui pengurangan kolesterol HDL, Mengekspresi peningkatan gen cholesterogenic, merangsang sintesis asam lemak di hati, meningkatkan kadar trigleserida serum, merangsang produksi VLDL di hati, merangsang kematian sel hepatosit dan proliferasi hepatosit yang terlibat dalam fibrosis pada perkembangan NASH. TNF-α dan IL-6 juga merangsang lipogenesis.

Sedangkan TGF-β1 berperan dalam apoptosis hati, fibrogenesis dan produksi kolagen selama cidera hati kronis yang secara signifikan dapat meningkatkan NAFLD (Das and Balakrishnan, 2011) (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Peran SFA dan TFA dalam terjadinya hepatik injuri pada NAFLD antara lain; leptin, Jun-N terminal kinase, Nf-kB,

(35)

b. Peningkatan de novo lipogenesis

De novo lipogenesis merupakan pembentukan kelebihan asam lemak pada karbohidrat yakni ketika asupan energi total dari karbohidrat melebihi pengeluaran energi total (Jung, et al., 2010).

Peningkatan sintesis asam lemak (lipogenesis) dan trigleserida secara de novo di hati berkontribusi terhadap akumulasi lemak hepatik dan triasilgliserol 25% pada pasien NAFLD dibanding dengan kelompok kontrol pada lipogenesis de novo yang hanya berkontribusi sebesar 5%

(Anania and Parekh, 2007).

Sintesis asam lemak secara de novo di dalam hati di regulasi secara independen oleh insulin dan glukosa. Kemampuan insulin dalam mengaktivasi sterol regulatory element binding protein-1c (SREBP-1c) menyebabkan lipogenesis dan steatosis hati (Anania and Parekh, 2007).

Kadar glukosa yang tinggi juga akan mengaktifkan sintesis asam lemak secara de novo di hati melalui carbohydrate response element binding protein (ChREBP). Baik SREBP-1c maupun ChREBP merupakan regulator transkripsi utama lipogenesis di dalam hati (Bernadette, et al., 2014). Ekspresi yang berlebihan SREBP-1c pada percobaan tikus transgenik menyebabkan peningkatan lipogenesis dan perkembangan steatosis hati. ChREBP memicu transkiripsi gen yang terlibat dalam glikolisis dan lipogenesis yang pada akhirnya menyebabkan konversi glukosa berlebihan dan menjadi asam lemak. Meskipun pengaktifan ChERBP sangat penting dalam keadaan hiperglikemik, namun aktivasinya

(36)

juga berkontribusi terhadap akumulasi lemak di hati pada pasien diet tinggi kalori karbohidrat (Anania and Parekh, 2007).

c. Penurunan very low density lipoprotein (VLDL) dan pengeluaran trigleserida di hati

Lipid terutama di kirim ke hati dalam bentuk VLDL, suatu kompleks yang terdiri dari protein ApoB-100, trigleserida atau ester kolesterol, dan fospolipid. ApoB-100 messeger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin tanpa terpengaruh metabolism lipid. Oleh karena itu resistensi insulin akan mengganggu kapasitas biosintesis ApoB-100.

ApoB-100 dapat membatasi pembentukan dan disposisi VLDL di hati.

Resistensi insulin atau hiperglikemia dapat merusak biosintesis ApoB-100 dengan demikian akan terjadi akumulasi trigleserida di hepatosit (Anania and Parekh, 2007).

d. Penurunan β-Oksidasi mitokondria

β-Oksidasi pada mitokondria untuk mengatur asam lemak agar dalam keadaan normal, namun FA β-Oksidasi dapat terganggu akibat peningkatan beban FFA yang tinggi sehingga menjadi sumber utama produksi ROS. Stress oksidatif yang dihasilkan akan menyebabkan luka pada liver, peradangan dan perkembangan fibrosis serta gangguan mitokondria (Sandra, et al., 2014). Keadaan lemak yang tidak baik akan mempengaruhi fungsi mitokondria hepatosit karena akan menginduksi enzim sitokrom P450 termasuk peningkatan CYP2 sebagai penyimpanan trigleserida di hepatosit pada NAFLD (Anania and Parekh, 2007).

(37)

Penurunan pembakaran asam lemak akibat gangguan β-Oksidasi mitokondrial di hati akan mengganggu metabolisme asam lemak, karena β-Oksidasi mitokondrial merupakan jalur utama metabolisme asam lemak. Proses ini akan terganggu oleh adanya beberapa reaksi enzimatik seperti carnitine palmitoyl transferase-1 (CPT-1). CPT-1 ini berperan dalam transesterifikasi dan pengiriman asam lemak pada matrik mitokondria (Jung, et al., 2010).

CPT-1 merupakan tempat pengaturan masuknya asam lemak rantai panjang ke dalam mitokondria. Sebagian besar elektron berperan dalam rantai respirasi dan bermigrasi sepanjang rantai respirasi ke cytochrom c oxidase. Ketidakseimbangan antara masuknya elektron menyebabkan reduksi yang berlebihan pada kompleks 1 dan III rantai respirasi. Berkurangnya oksigen pada kompleks I dan III akan menghasilkan radikal anion superoksida yang mengalami dismutase menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh enzim mangan superoksida dismutase (MnSOD). Proses inilah yang akan bereaksi dengan reactive oxygen species (ROS) (Yusri, et al., 2014).

2.2.3.2 Second Hit dalam Patogenesis NAFLD

Second hit adalah generasi toksik reactive oxygen species (ROS) yang akan membentuk cidera hati dan inflamasi sebagai akibat oksidasi FFA yang akhirnya mengarah ke inisiasi dan perkembangan fibrosis (Attar, et al., 2013).

ROS mengoksidasi asam lemak tak jenuh yang menyebabkan lipid peroksidasi membentuk produk seperti 4-hydroxynoneal (HNE) dan

(38)

malondialdehyde (MDA). ROS dan produk reaktif aldehid lipid peroksidasi secara langsung merusak DNA mitokondria dan meningkatkan ekpresi sitokin proinflamasi seperti (TNF-α, TGF-β, IL-8) akan mengaktifkan kaspase dan meningkatkan permebilitas mitokondria, pembentukan badan malori dan sintesis kolagen di sel-sel stellata. ROS juga akan menyebabkan apoptosis secara langsung melalui aktifasi Nf-kB (Yusri, et al., 2014; Veronica, et al., 2013). Efek- efek ini akan memicu nekrosis hepatosit dan fibrosis sehingga second hit berkontribusi terhadap penyakit NAFLD dan perkembangan NASH (Jung, et al., 2010).

2.2.4 Diagnosis NAFLD

Pasien yang didiagnosis NAFLD biasanya tanpa gejala klinis dan sebanyak 50%, mengeluh nyeri kuadran kanan atas, 25%-50% mengeluh kelelahan disertai dengan hepatomegali, bahkan ditemukan sudah dalam keadaan sirosis. Diagnosis NAFLD harus dilakukan secara ekslusif dengan mencermati riwayat medis pasien dan didukung temuan laboratorium, spektroskopi resonansi magnetik seperti; Computerized Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), Ultratrasonography (USG/metode pencitraan) (Anania and Parekh, 2007; Amarapurkar, 2010). Namun tidak satupun tehnik pencitraan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang adekwat untuk membedakan antara steatosis sederhana dengan NASH dengan atau tanpa fibrosis sehingga harus dilakukan biopsi hati (Arora and Praveen, 2012).

Biopsi hati merupakan gold standart untuk diagnosis NAFLD. Biopsi hati merupakan salah satu cara yang akurat untuk menentukan stadium fibrosis

(39)

NAFLD dengan pasti melalui fitur histopatologi seperti stetosis, infiltrasi sel inflamatori, badan mallory dan fibrosis (Anania and Parekh, 2007). Fitur utama untuk NASH pada biopsi hati adalah adanya perubahan lemak hepatosit makrovesikuler dengan perpindahan inti ke tepi sel, degenerasi ballooning hepatosit, inflamasi lobuler seperti fibrosis perisinusoidal-periselular, badan mallory, megamitokondria, asidopil dan inti glikogen. Fibrosis hati merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan prognosis NAFLD. Dengan demikian, histopatologi tetap sebagai standar emas yang memberikan informasi penting mengenai tingkat kerusakan hati, perubahan sel hati secara keseluruhan serta tingkat keparahan inflamasi dan fibrosis (Wieckowska and Feldstein, 2008).

Pemeriksaan biopsi dalam praktek klinik hati masih sangat penting sehingga National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) menentukan sistem skor NAFLD yang didasarkan atas 3 gambaran patologi seperti steatosis, inflamasi lobuler, dan degenerasi ballooning.

Keterbatasan biopsi lainnya adalah potential sampling error sehingga menyebabkan interpretasi ahli patologi menjadi bervariasi. Hal ini menyebabkan tindakan biopsi mahal dan invansif dengan mortalitas 0,01% dan komplikasi perdarahan intraperitoneal 0,3% (Nurman and Huang, 2007).

Spesimen hasil biopsi agar terlihat dengan baik terutama adanya nekroinflamatori dan fibrosis pada jaringan hati diperlukan beberapa pewarnaan antara lain; Hematoxylin-Eosin (H-E) merupakan pewarnaan yang secara rutin di lakukan untuk melihat gambaran secara umum seluruh sel-sel hati yang ada, Trichrome Masson; terlihat kolagen berwarnah hijau khusus untuk melihat

(40)

jaringan ikat dan gambaran fibrosis, pewarnaan Retikulin atau Gomori Reticulin;

pada sediaan akan terlihat retikulin (jaringan ikat) berwarnah hitam dengan latar belakang abu- abu digunakan untuk melihat jaringan fibrosis pada jaringan hati, pewarnaan Orcein; pada pewarnaan ini terlihat coklat gelap digunakan untuk melihat serat elastis, protein dan antigen hepatitis B, pewarnaan Picro Sirius Red di gunakan untuk melihat fibrosis dengan images analysis (Saxena, 2010).

2.2.5 Gambaran Histopalogi NAFLD

NAFLD secara histopatologi dikategorikan menjadi NAFL dan NASH non-alkoholic fatty liver (NAFL) dan non-alcoholic steatohepatitis (NASH).

NAFL di temukan oleh adanya steatosis hepatik tanpa bukti cidera hepatoseluler dalam bentuk ballooning hepatosit. NASH di temukan oleh keberadaan steatosis hati yang disertai peradangan dan cidera (balon) hepatosit dengan atau tanpa fibrosis (Chalasani, et al., 2012).

Steatosis merupakan akumulasi lemak (trigleserida) di intrahepatoseluler (Lawrence, 2014). Steatosis hepatoseluler lebih dari 5% merupakan ciri khas NAFLD dan merupakan persyaratan penting dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis hepatoseluler dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu makrovesikuler dan mikrovesikuler. Steatosis makrovesikuler merupakan suatu lipid droplet besar yang menempati sitoplasma hepatosit dan mendorong inti sel ke pinggir. Sedangkan mikrovesikuler sitoplasma hepatosit diisi dengan lipid droplet kecil sehingga inti masih terpusat di sel. Steatosis pada NAFLD biasanya berupa makrovesikuler tetapi kadang-kadang juga terdapat steatosis mikrovesikuler 10% dan steatosis NAFLD pada zona III (Takahashi, 2014).

(41)

Degenerasi lemak ditandai adanya mikrovesikular (vakuola lemak) dan peningkatan jumlah granule sitoplasma (round glass appearance), sel membengkak (balloned cell), membran sel rusak, inti sel terdesak ke tepi (crescent cell), inti sel hiperkromatin, dan tampak nekrosis sel yang ditandai adanya fragmen sel, sel tanpa pulasan inti, atau tidak tampaknya sel disertai reaksi radang, kromatin menggumpal menjadi untaian kasar, inti mengkerut, memadat, dan menjadi sangat basofilik (biru tua), yang disebut piknosis; inti piknosis pecah menjadi peningkatan jumlah partikel basofilik kecil (karioreksis) atau mengalami lisis (kariolisis) (Dewi dan Sutejo, 2011).

Kerusakan sel hati akibat degenerasi lemak pada NAFLD dapat diamati secara histopatologi dengan diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu; steatosis, ballon sel dan inflamasi lobular berdasarkan persentase rerata sel hati yang mengalami degenerasi tiap lapangan pandang (Brunt, 2016) dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini;

Tabel 2.2 Skoring degenerasi lemak pada NAFLD (Brunt, 2016)

Skor Steatosis Balloning Inflamasi Lobular

0 < 5% Tdk ada ballon sel Tdk ada inflamasi

1 5-33% Sedikit ballon sel 1-2 foci/200x

2 34-66% Banyak ballon sel 2-4 foci/200x

3 >66% > 4 foci/200x

Keterangan:

≤ 2 : tidak NASH (negatif) 3-4 : borderline

≥ 5 : NASH (positif)

Perlemakan hati pada NAFLD juga dibagi pada empat tipe yaitu tipe I, hanya terdapat steatosis oleh trigleserida pada hepatosit, tipe II terdapat steatosis disertai infiltrasi polimorfonuklear leukosit (PMN) yang menyebabkan inflamasi

(42)

dan steatohepatitis, tipe III terdapat steatosis, dan hepatosit injuri, inflamasi, degenerasi ballooning dan pembentukan badan mallory yang mengindikasikan kerusakan sel hepatosit, tipe IV selain hepatosit injuri juga terbentuk fibrosis periselular dan perisentral yang mengarah pada perkembangan sirosis (Anania and Parekh, 2007) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Gambaran histopatologi NAFLD; tipe I, II, III dan IV A. Steatosis:

adanya trigleserida dalam hepatosit yang ditunjukkan oleh anak panah, B. Polimorfonuklear leukosit (PMN) infiltrasi, yang dapat menyebabkan peradangan dan steatohepatitis yang ditunjukkan oleh lingkaran, C. Cidera hepatosit, balloning, pembentukan badan malory yang di tujukkan dengan anak panah, D. Steatosis dan fibrosis pericelular dan pericentral mengindikasikan steatohepatitis dan sirosis yang ditujukan dengan anak panah (Anania and Parekh, 2007).

Inflamasi lobular dan portal yang terjadi pada NASH, biasanya masih ringan dan terdiri dari infiltrasi sel radang seperti limfosit, neutrofil, eosinofil dan sel kuffer. Inflamasi portal yang kronis biasanya dikaitkan dengan sejumlah besar lokasi steatosis, ballooning dan fibrosis. Hepatosit ballooning ditandai dengan sitoplasma hepatosit jernih dan adanya cidera hepatoseluler. Hepatosit tampak menggelembung oleh adanya lipid droplets dan badan mallory. Balloning

(43)

Apoptosis badan asidopil merupakan bentuk lain dari cidera hepatosit dan fitur sel mati terprogram yang umum terjadi pada NASH. badan asidopil sebagai biomarker NASH merupakan fitur histopatologi ketika diagnosis NASH tidak pasti ditegakkan (Brunt, et al., 2010).

NASH juga ditandai oleh adanya fibrosis perisinusoid atau periseluler.

Fibrosis dapat diamati dengan adanya reaksi nekroinflamasi yang aktif dan apabila berlanjut ke portal/periportal, akan menjembatani terjadinya sirosis. Bila NASH berkembang menjadi sirosis maka derajat steatosis dan nekroinflamasi berkurang dan status ini dikenal sebagai brunt-out NASH, keadaan ini mengarah pada sirosis kriptogenik (sirosis tanpa penyebab yang pasti) (Takahashi, 2014).

Fibrosis juga dapat dilihat dengan kolagen lebih tebal hingga terbentuk rangkaian fibrosis atau septa, dimana serabut halus kolagen ini berperan untuk menyokong sinusoid dan hepatosit (Setyowati, 2015). Untuk skoring fibrosis dapat dilihat pada ( Tabel 2.3) dibawah ini;

Tabel 2.3 Skoring fibrosis (Brunt, 2016).

Skor Kriteria

F0 Tidak ada fibrosis

F1 Zona 3 perisinusoidal

F2 Zona 3 perisinusoidal dan periportal

F3 Bridging

F4 sirosis

2.2.6 Pengobatan

Terapi NAFLD terutama NASH sangat dibutuhkan, diantaranya yang dapat digunakan untuk pengobatan NAFLD adalah statin dan atorvastatin yang memiliki efek untuk menurunkan dislipidemia, enzim liver terutama menurunkan

(44)

ALT (alanin transaminase), untuk mengurangi perkembangan fibrosis dan menurunkan resiko HCC (hepatocellular carcinoma) (Chalasani, et al., 2012).

Pengobatan NASH juga di targetkan pada sensitifitas insulin seperti penggunaan obat metformin yang di indikasikan pada penurunan resistensi insulin dan aminotransferase, dapat mengurangi resiko kanker hati pada pasien dengan DM tipe 2, tetapi tidak signifikan untuk perbaikan hati secara histopatologi.

Pengobatan yang lain adalah golongan thiazolidinedion diantaranya pioglitazon dan rosiglitazon yang efektif untuk memperbaiki aminotransferase dan steatosis hepatik, ballooning, dan inflamasi tetapi tidak untuk perbaikan fibrosis (Chalasani, et al., 2012).

Stress oksidatif dianggap sebagai kunci dari mekanisme terjadinya cidera hepatoselular dan perkembangan penyakit NASH, oleh sebab itu perlu pilihan terapi sebagai antioksidan; seperti vitamin E yang berfungsi menurunkan aminotransferase, memperbaiki steatosis, peradangan, ballooning sel dan perbaikan steatohepatitis pada orang dewasa, namun tidak untuk perbaikan fibrosis (Chalasani, et al., 2012).

Bahan aktif antioksidan di Indonesia selain vitamin E adalah; vitamin C, pro vitamin A, organosulfur, α-tocopherol, flavonoid, thymoquinone, statin, niasin, phycocyanin (Werdhasari, 2014). Antioksidan lain seperti ubiquinon dan beta caroten adalah antioksidan larut lemak yang akan menangkap radikal pada membran sel dan plasma lipoprotein. Selain antioksidan larut lemak juga ada berbagai antioksidan yang larut air seperti ascorbat, asam urat, dan derivate polifenol yang berasal dari tanaman. Antioksidan tersebut sebagai antioksidan

(45)

yang akan menangkap radikal larut air, kemudian membentuk radikal yang relatif stabil dan dapat bertahan cukup lama sampai bereaksi dengan produk non-radikal.

Berdasarkan pada kerja antioksidan tersebut maka mengkonsumsi antioksidan akan lebih baik bila diberikan tidak dalam bentuk tunggal, tetapi kombinasi (Widayati, 2012).

2.3 Minyak Goreng

Minyak adalah golongan lipid (netral) berwujud cair dalam suhu 25ᵒC mengandung trigleserida, lipid kompleks (lesithin, cephalin, fosfatida, dan glikolipid), sterol yang berada dalam keadaan bebas atau terikat dengan asam lemak, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak dan hidrokarbon.

Komponen tersebut dapat mempengaruhi warna dan rasa serta berperan dalam proses ketengikan (Ketaren, 2012).

Minyak yang dikonsumsi dihasilkan oleh alam bersumber dari nabati atau hewan. Minyak dapat digunakan sebagai medium penggorengan bahan pangan yang berfungsi sebagai penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori bahan pangan (Ketaren, 2012). Minyak yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat adalah berupa hasil olahan dari kelapa sawit yang diekstraksi dari biji kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit. Selain itu, minyak juga dapat berasal dari jagung, biji zaitun, biji kapas, kacang kedelai dan biji bunga matahari (Edwar, et al., 2011).

Lemak atau minyak yang kita kenal sehari-hari terdiri dari trigleserida campuran yang merupakan ester gliserol dan asam lemak rantai panjang (Ketaren, 2012). Asam lemak biasanya merupakan asam-asam monokarboksilat dengan

(46)

rantai tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap, terdiri dari dua golongan yaitu asam lemak tidak jenuh dalam bentuk cis yang memiliki posisi ikatan rangkap struktur bengkok, dan asam lemak jenuh serta bentuk trans yakni strukturnya lebih linier atau lurus pada ikatan rangkapnya (Winarno, 1992).

Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam minyak dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia. Penyebab perubahan atau kerusakan antara lain karena proses oksidasi spontan dengan udara pada suhu ruang sehingga akan menurunkan tingkat kejenuhan minyak akhirnya minyak berbau tengik.

Keadaan ini akan dipercepat dengan logam tertentu seperti, tembaga, timah, dan seng. Asam lemak juga akan mengalami kerusakan apabila dimasak pada temperatur tinggi sehingga mengalami pirolisis, peristiwa ini merupakan reaksi dekompensasi akibat panas yang membentuk akreolin bersifat racun (Edwar, et al., 2011).

Penelitian yang dilakukan Sartika, 2009 dengan tehnik menggoreng deep frying singkong dan daging dengan empat kali pengulangan ternyata terbentuk asam lemak trans (elaidat) dari asam lemak cis (oleat) pada penggunaan minyak goreng pengulangan kedua. Perubahan ini akan berdampak terhadap kesehatan, nilai gizi dan tekstur makanan. Selain itu asam lemak trans juga dapat meningkatkan LDL dan menurunkan HDL (Edwar, et al., 2011).

2.3.1 Komposisi Minyak Goreng

Minyak tersusun dari unit-unit asam lemak. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat, linoleat atau asam linolenat dengan titik cair rendah. Sedangkan minyak

(47)

hewani pada umumnya berbentuk padat karena mengandung asam lemak jenuh seperti asam lemak palmitat dan stearat. Struktur molekul minyak dapat dibedakan oleh ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur molekulnya minyak (Ketaren, 2012).

a. Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids)

Pada umumnya asam lemak jenuh minyak mempunyai rantai lurus monokarboksilat dengan jumlah atom karbon genap, bersifat lebih stabil atau tidak mudah berubah menjadi jenis asam lemak lain. Jenis asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan dalam bahan pangan adalah asam palmitat 15-50% dan stearat 25%.

b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA/mono-unsaturated fatty acids ) atau majemuk (PUFA/poly-unsaturated fatty acids)

Asam lemak tak jenuh biasanya dalam bentuk cis yakni memiliki ikatan rangkap dengan struktur bengkok walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh dalam bentuk trans. Asam lemak yang memiliki satu ikatan rangkap seperti pada asam lemak oleat disebut asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap dua atau tiga seperti pada asam lemak linoleat dan linolenat disebut asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) (Winarno, 1992).

c. Minyak dengan asam lemak trans (trans fatty acids)

Merupakan asam lemak tak jenuh, setidaknya mengandung satu ikatan ganda dalam konfigurasi trans (struktur lebih linier), secara termodinamik strukturnya lebih stabil dari cis. Isomer trans lebih menyerupai asam lemak

Referensi

Dokumen terkait

Berbeza dengan pemerian lampau tentang bahasa Negeri Sembilan yang lebih berkisar pada huraian fonologi (seperti Sharman 1973, 1974; Mohd Pilus 1977; Arbak 1994), kosa kata

Bagi peneliti lain diharapkan penelitian ini sebagai bahan awal yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan desain penelitian lain mengenai

The Effect Of Price, Service Quality, Customer Value, And Brand Image On Customers Satisfaction Of Telkomsel Cellular Operators In East Java Indonesia.

Pengamatan terhadap perilaku makan sejak larva didedahkan hasilnya menunjukkan hal yang serupa seperti hasil yang dilaporkan Hermawan (1994), yaitu larva lebih memilih

Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepakbola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang berganti nama menjadi

Sistem digestivus atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat

Pembelajar an Paket Tr acer Cr eated by: Admin-TKJ-SMKN1 MOJOKERTO Page 24  Setelah Router yang anda konfigurasi maka langkah berikutnya adalah melakukan konfigurasi untuk

Untuk itulah Karsono pergi menuju kemarkas BKR untuk menemui dan bertanya kepada salah satu temannya yang merupakan anggota dari BKR kota yaitu Heru Suaji untuk