• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patogenesis NAFLD

Dalam dokumen EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Halaman 29-38)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hati

2.2 Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik .1 Definisi .1 Definisi

2.2.3 Patogenesis NAFLD

Patogenesis yang menjadi dasar perlemakan hati dan perkembangannya menjadi NASH belum dimengerti sepenuhnya dan mungkin diakibatkan oleh sejumlah faktor dan genetik. Hipotesis yang umum diterima adalah two-hit theory yang dikemukakan oleh Day dan James pada tahun 1998 (Setiati, et al, 2014).

Kejadian NAFLD didapatkan kadar lemak berlebih dalam tubuh seperti obesitas terutama obesitas sentral, hipertrigliseridemia, dan DM akan menimbulkan lemak dalam jaringan hati sehingga terjadi perlemakan hati (first hit). Kemudian terjadi proses oksidasi dan esterifikasi lemak pada mitokondria sel hati sehingga terjadi kerusakan mitokondria (second hit). Setelah itu diikuti berbagai reaksi pada sel hati sehingga terjadi proses inflamasi yang progresif, pembengkakan sel hati, kematian sel hati, serta proses fibrosis. Progesitas patogenesis NAFLD terus berlanjut sehingga makin dipercaya yang terjadi adalah bukan two-hit akan tetapi multi-hit (Attar, et al., 2013) (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Patogenesis hit teori NAFLD (Attar, et al., 2013) 2.2.3.1 First Hit dalam Patogenesis NAFLD

First hit adalah suatu keadaan penumpukan lemak di hepatosit yang terkait perubahan metabolik seperti obesitas dan resistensi insulin. Insulin bekerja melalui perantaraan protein substrat reseptor insulin (ISR). Thyrosine phosporilation yang terdapat pada IRS akan mengaktifkan jalur phosphatidylinositol 3'-kinase (PI3K-Akt) yang terlibat dalam metabolisme glukosa, lemak dan protein. Keadaan resistensi insulin akan menyebabkan akumulasi asam lemak di jaringan adiposa (Yusri, et al., 2014). Ada lima mekanisme yang menyebabkan terjadinya akumulasi lemak di hepatosit adalah:

a. Peningkatan konsumsi makanan berlemak dan peningkatan masuknya asam lemak.

Diet tinggi lemak mempengaruhi akumulasi lipid intra-hepatik.

Peningkatan lipid intra-hepatik menyebabkan steatosis hati. Terutama masukan energi yang berlebihan yang dapat menyebabkan obesitas, namun

tidak hanya energi tetapi kualitas diet dapat memainkan peranan penting terhadap perkembangan NAFLD seperti diet kaya lemak jenuh, kolestrol, rendah lemak tak jenuh ganda serta renda serat dan rendah antioksidan seperti vitamin C dan E (Katherine, et al., 2014).

NAFLD terjadi karena asupan kalori yang berlebihan terutama karbohidrat dan lemak. Asupan lemak yang berlebihan akan meningkatkan asam lemak bebas dalam darah yang kemudian mengalami esterifikasi melalui enzim lechitin cholesterol acyl transferase (LCAT) menjadi cholesteril ester. Peningkatan kolesterol dalam jaringan akan diikat oleh HDL sehingga melui kerja enzim cholesterol ester transfer potein (CETP) akan memindahkan kolesteril ester dari HDL ke lipoprotein kaya trigliserida (kilomikron dan VLDL) dengan demikian terjadi kebalikan arah transpor kolesterol (reverse cholesterol transport) sehingga HDL yang kaya akan trigleserida menuju ke hati dan terdeposisi lemak pada hati serta terjadi penurunan kadar HDL dalam darah. Hal ini sesuai dengan karakteristik dislipidemia pada NAFLD (Astari, et al., 2015, Dahlia, 2014) (Gambar 2.10).

Akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh juga menyebabkan terjadi peningkatan pengangkutan asam lemak dari lapisan viseral ke hati melalui vena porta. Asam lemak bebas berlebihan juga akan menurunkan fungsi mitokondria dan peroksimal β-Oksidasi yang akan mengganggu oksidasi asam lemak di mitokondria, sehingga terjadi akumulasi lemak pada hepatosit (Astari, et al., 2015).

Makanan yang mengandung lemak trans juga berkontribusi terjadinya steatosis hati. Makanan yang mengandung asam lemak trans terisomerisasi oleh ikatan ganda asam lemak sehingga bakteri dalam saluran cerna tidak mampu mencerna dan tidak mengalami β-Oksidasi di mitokondria, hal ini mampu meningkatkan risiko steatosis hati (Jung, et al., 2010). Diet lemak trans juga dapat menyebabkan kerusakan hati karena peningkatan peroksidasi lipid di hati dan penurunan enzim antioksidan (superoxide dismutase, catalase, dan glutathione peroxidase) sehingga menyebabkan stress oksidatif yang mengarah pada perkembangan NAFLD. Pemberian minyak trans pada tikus menyebabkan stress oksidatif dan meningkatkan perkembangan NAFLD (Dhibi, et al., 2011) (Gambar 2.10).

Hasil penelitian Laura, et al., 2008 menemukan bahwa pemberian lemak trans pada tikus selama 4 minggu secara histopatologi terjadi steatosis makrovesikuler pada zona I yang berkontribusi terjadinya cidera hepatoseluler dan NAFLD.

Hati memainkan peranan penting dalam metabolisme lemak dan karbohidrat. Gangguan metabolisme normal seperti sintesis, transportasi dan eksresi asam lemak rantai panjang (LCFA/long-chain fatty acids) dan trigliserida (TG) merupakan faktor pembentukan NAFLD. Peningkatan pengiriman dan penyerapan ke dalam hepatosit dari LCFA karena asupan makanan berlebih atau pelepasan lemak dari jaringan adiposa. Jaringan adiposa aktif secara metabolik akan banyak melepaskan produk aktif

biologis termasuk mediator metabolisme karbohidrat (leptin, adiponektin dan resistin), metabolisme lipid (apolipoprotein E dan lipoprotein lipase), dan adipocytokines (a, IL-6 dan TGF-β). Ekspresi adiposa dan TNF-α mengaktifkan IKB kinase b (Ikkb) dan menghambat fosforilasi insulin substrat reseptor (IRS-1 dan IRS-2), pada gilirannya ini akan menyebabkan kegagalan penekanan insulin-mediated hormon-sensitif lipase (HSL) dan meningkatkan pelepasan LCFA ke sirkulasi dan pada akhirnya menyebabkan peningkatan steatosis hepatik (Anstee and Goldin, 2006).

Peningkatan jaringan adiposa juga akan meningkatkan sinyal molekul intraseluler termasuk Jun-N terminal kinase (JN-K), inhibitor kappa-beta (NF-kβ) melalui peningkatan TNF-α dan IL-6 sehingga menyebabkan resistensi insulin (William, 2014).

Resistensi insulin menyebabkan faktor transkripsi peroxisome proliferator activated reseptor (PPR) terutama PPR-α dan PPR-γ akan memodulasi fungsi sel, termasuk diferensiasi adiposit, metabolisme glukosa, oksidasi fatty acid (FA) dan penghambatan ekspresi gen inflamasi. Pada penelitian dengan model hewan percobaan dengan model obesitas, insulin resisten dan diabetes mellitus akan meningkatkan PPR-γ yang potensial terhadap kejadian steatosis. PPR-γ memainkan peranan dalam kontrol gen yang terlibat dalam jalur lipogenik adiposit, dengan akibat peningkatan trigleserida di adiposit dan pengurangan pengirima FA ke liver dan juga mensensitisasi insulin dan mengaktivasi transkripsi gen

adiponektin adiposit. Sedangkan PPR-α memainkan peranan penting dalam mengendalikan oksidasi FA dengan memodulasi ekpresi gen yang mengkode enzim yang terlibat dalam oksidasi FA di mitokondria, peroksisomal dan mikrosomal; meregulasi ekpresi protein yang terlibat dalam pengikatan FA dan esterifikasi pengiriman FA ke VLDL (Pattinelli, et al., 2011).

TNF-α juga mengaktifkan jalur proaterogenik yang berbahaya melalui pengurangan kolesterol HDL, Mengekspresi peningkatan gen cholesterogenic, merangsang sintesis asam lemak di hati, meningkatkan kadar trigleserida serum, merangsang produksi VLDL di hati, merangsang kematian sel hepatosit dan proliferasi hepatosit yang terlibat dalam fibrosis pada perkembangan NASH. TNF-α dan IL-6 juga merangsang lipogenesis.

Sedangkan TGF-β1 berperan dalam apoptosis hati, fibrogenesis dan produksi kolagen selama cidera hati kronis yang secara signifikan dapat meningkatkan NAFLD (Das and Balakrishnan, 2011) (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Peran SFA dan TFA dalam terjadinya hepatik injuri pada NAFLD antara lain; leptin, Jun-N terminal kinase, Nf-kB,

b. Peningkatan de novo lipogenesis

De novo lipogenesis merupakan pembentukan kelebihan asam lemak pada karbohidrat yakni ketika asupan energi total dari karbohidrat melebihi pengeluaran energi total (Jung, et al., 2010).

Peningkatan sintesis asam lemak (lipogenesis) dan trigleserida secara de novo di hati berkontribusi terhadap akumulasi lemak hepatik dan triasilgliserol 25% pada pasien NAFLD dibanding dengan kelompok kontrol pada lipogenesis de novo yang hanya berkontribusi sebesar 5%

(Anania and Parekh, 2007).

Sintesis asam lemak secara de novo di dalam hati di regulasi secara independen oleh insulin dan glukosa. Kemampuan insulin dalam mengaktivasi sterol regulatory element binding protein-1c (SREBP-1c) menyebabkan lipogenesis dan steatosis hati (Anania and Parekh, 2007).

Kadar glukosa yang tinggi juga akan mengaktifkan sintesis asam lemak secara de novo di hati melalui carbohydrate response element binding protein (ChREBP). Baik SREBP-1c maupun ChREBP merupakan regulator transkripsi utama lipogenesis di dalam hati (Bernadette, et al., 2014). Ekspresi yang berlebihan SREBP-1c pada percobaan tikus transgenik menyebabkan peningkatan lipogenesis dan perkembangan steatosis hati. ChREBP memicu transkiripsi gen yang terlibat dalam glikolisis dan lipogenesis yang pada akhirnya menyebabkan konversi glukosa berlebihan dan menjadi asam lemak. Meskipun pengaktifan ChERBP sangat penting dalam keadaan hiperglikemik, namun aktivasinya

juga berkontribusi terhadap akumulasi lemak di hati pada pasien diet tinggi kalori karbohidrat (Anania and Parekh, 2007).

c. Penurunan very low density lipoprotein (VLDL) dan pengeluaran trigleserida di hati

Lipid terutama di kirim ke hati dalam bentuk VLDL, suatu kompleks yang terdiri dari protein ApoB-100, trigleserida atau ester kolesterol, dan fospolipid. ApoB-100 messeger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin tanpa terpengaruh metabolism lipid. Oleh karena itu resistensi insulin akan mengganggu kapasitas biosintesis ApoB-100.

ApoB-100 dapat membatasi pembentukan dan disposisi VLDL di hati.

Resistensi insulin atau hiperglikemia dapat merusak biosintesis ApoB-100 dengan demikian akan terjadi akumulasi trigleserida di hepatosit (Anania and Parekh, 2007).

d. Penurunan β-Oksidasi mitokondria

β-Oksidasi pada mitokondria untuk mengatur asam lemak agar dalam keadaan normal, namun FA β-Oksidasi dapat terganggu akibat peningkatan beban FFA yang tinggi sehingga menjadi sumber utama produksi ROS. Stress oksidatif yang dihasilkan akan menyebabkan luka pada liver, peradangan dan perkembangan fibrosis serta gangguan mitokondria (Sandra, et al., 2014). Keadaan lemak yang tidak baik akan mempengaruhi fungsi mitokondria hepatosit karena akan menginduksi enzim sitokrom P450 termasuk peningkatan CYP2 sebagai penyimpanan trigleserida di hepatosit pada NAFLD (Anania and Parekh, 2007).

Penurunan pembakaran asam lemak akibat gangguan β-Oksidasi mitokondrial di hati akan mengganggu metabolisme asam lemak, karena β-Oksidasi mitokondrial merupakan jalur utama metabolisme asam lemak. Proses ini akan terganggu oleh adanya beberapa reaksi enzimatik seperti carnitine palmitoyl transferase-1 (CPT-1). CPT-1 ini berperan dalam transesterifikasi dan pengiriman asam lemak pada matrik mitokondria (Jung, et al., 2010).

CPT-1 merupakan tempat pengaturan masuknya asam lemak rantai panjang ke dalam mitokondria. Sebagian besar elektron berperan dalam rantai respirasi dan bermigrasi sepanjang rantai respirasi ke cytochrom c oxidase. Ketidakseimbangan antara masuknya elektron menyebabkan reduksi yang berlebihan pada kompleks 1 dan III rantai respirasi. Berkurangnya oksigen pada kompleks I dan III akan menghasilkan radikal anion superoksida yang mengalami dismutase menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh enzim mangan superoksida dismutase (MnSOD). Proses inilah yang akan bereaksi dengan reactive oxygen species (ROS) (Yusri, et al., 2014).

2.2.3.2 Second Hit dalam Patogenesis NAFLD

Second hit adalah generasi toksik reactive oxygen species (ROS) yang akan membentuk cidera hati dan inflamasi sebagai akibat oksidasi FFA yang akhirnya mengarah ke inisiasi dan perkembangan fibrosis (Attar, et al., 2013).

ROS mengoksidasi asam lemak tak jenuh yang menyebabkan lipid peroksidasi membentuk produk seperti 4-hydroxynoneal (HNE) dan

malondialdehyde (MDA). ROS dan produk reaktif aldehid lipid peroksidasi secara langsung merusak DNA mitokondria dan meningkatkan ekpresi sitokin proinflamasi seperti (TNF-α, TGF-β, IL-8) akan mengaktifkan kaspase dan meningkatkan permebilitas mitokondria, pembentukan badan malori dan sintesis kolagen di sel-sel stellata. ROS juga akan menyebabkan apoptosis secara langsung melalui aktifasi Nf-kB (Yusri, et al., 2014; Veronica, et al., 2013). Efek-efek ini akan memicu nekrosis hepatosit dan fibrosis sehingga second hit berkontribusi terhadap penyakit NAFLD dan perkembangan NASH (Jung, et al., 2010).

Dalam dokumen EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Halaman 29-38)