• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penggunaan Minyak Jelantah/ DFO Terhadap Kesehatan Minyak jelantah akan membentuk senyawa peroksida dan hidroperoksida;

Dalam dokumen EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Halaman 52-56)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hati

2.3 Minyak Goreng

2.3.3 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah/ DFO Terhadap Kesehatan Minyak jelantah akan membentuk senyawa peroksida dan hidroperoksida;

merupakan senyawa radikal bebas akibat proses oksidasi ketika pemanasan minyak goreng DFO. Proses pemanasan akan melepaskan asam lemak dari trigleserida sehingga asam lemak bebas mudah teroksidasi menjadi aldehid, keton, asam-asam, dan alkohol yang menyebabkan bau tengik. Penggunaan minyak goreng berulang akan menyebabkan deposisi sel lemak di berbagai organ tubuh seperti hati, ginjal, dan arteri sehingga mengganggu kesehatan (Susianti, 2014).

Makanan hasil penggorengan pada umumnya mengandung 4%-14% lemak dari total beratnya. Kualitas minyak goreng yang digunakan juga mempengaruhi penyerapan minyak ke dalam makanan. Menggunakan minyak jelantah akan meningkatkan polaritas minyak dan menurunkan tegangan permukaan antara bahan pangan dan minyak sehingga penyerapan lemak semakin tinggi. Selain penyerapan minyak, makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah juga menyerap produk degradasi seperti radikal bebas, keton, aldehid, polimer yang menyebabkan perubahan pada organ misalnya bertambahnya berat organ ginjal dan hati serta timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, disfungsi endotelial, hipertensi, dan obesitas (Suwandi, 2012).

Kerusakan minyak setelah proses penggorengan DFO tergantung dari mutu minyak goreng segar yang digunakan serta perlakuan terhadap minyak goreng ulang. Penggunaan minyak yang telah rusak tidak hanya berdampak negatif bagi gizi dan kesehatan namun berdampak pada tekstur dan rasa makanan (Sartika, 2009).

Penggunaan minyak khususnya minyak nabati, mengandung asam-asam lemak esensial yang banyak mengandung HDL yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan kolesterol. Dengan demikian, minyak yang berkualitas baik adalah yang memiliki kandungan HDL tinggi, sementara minyak dengan kualitas rendah mengandung LDL yang tinggi, dan dapat menyumbat pembuluh darah, memicu timbulnya penyakit jantung koroner, diabetes, tumor, dan kanker penyebab utama kematian pada manusia. Minyak yang mengandung HDL tinggi mempunyai ikatan rangkap dua pada struktur molekulnya. Jika terjadi pemanasan pada suhu penggorengan DFO akan memutuskan ikatan rangkap molekul HDL menjadi asam lemak jenuh dan mengandung LDL (Wahab, et al., 2011).

Penggorengan pada suhu tinggi dan penggunaan minyak goreng yang berulang akan merusak ikatan rangkap pada asam lemak dan membentuk senyawa akrolein yang bersifat racun dan berbagai radikal bebas yang dikenal sebagai ROS yang akhirnya merusak DNA sel, jaringan protein dan lemak tubuh (Edwar, et al., 2011).

Radikal bebas yang terkandung pada minyak goreng menyerang lemak tidak jenuh membran organel sel hati. Proses tersebut menimbulkan peroksidasi lipid. Lipid peroksida yang terbentuk akan merusak retikulum endoplasma kasar sehingga sintesis protein pembentuk lipoprotein terganggu. Jumlah lipoprotein yang rendah menyebabkan sejumlah lemak di dalam hati tidak dapat berikatan dengan lipoprotein untuk diangkut ke bagian-bagian lain yang membutuhkan.

Akumulasi lemak di hati menimbulkan degenerasi lemak sel hati. Selain

disebabkan oleh radikal bebas yang terbentuk selama proses penggorengan, degenerasi lemak juga disebabkan oleh tingginya kandungan asam lemak jenuh dalam minyak goreng bekas. Proses penggorengan mengakibatkan asam lemak tidak jenuh dalam minyak goreng berubah menjadi asam lemak jenuh. Diet tinggi asam lemak jenuh mengakibatkan pengangkutan lemak ke hati meningkat sehingga terjadi akumulasi lemak di hati yang selanjutnya dapat menimbulkan degenerasi lemak. Degenerasi merupakan perubahan morfologi sel akibat adanya jejas/injuri. Jejas menyebabkan gangguan metabolisme intraselular selanjutnya merubah struktur sel (Dewi dan Sutejo, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan pada tikus menujukkan bahwa pemberian diet tinggi lemak trans meningkatkan berat badan, penumpukan lemak abdominal, penumpukan lemak di hati, sel adiposa, dan otot yang dapat menginduksi resistensi insulin. Peningkatan lipid pada hepatik yang diberikan minyak trans berhubungan dengan peningkatan kolesterol dan peningkatan trigleserida di hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam lemak di hati. Hal ini dapat menyebabkan obesitas, sindrom metabolik, steatohepatis, dan lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak) (Kavanagh, et al., 2007; Dorfman, et al., 2009).

Penelitian yang dilakukan Susianti, et al., 2014 menyebutkan bahwa pemberian minyak goreng bekas pada tikus sebanyak 10 µl/gram berat badan tikus menyebabkan rusaknya sel hepatosit dan edema serta kerusakan sel otot jantung berupa pembengkakan, inti selnya terlihat membesar dan banyak di perifer serta terlihat infiltrasi lemak di antara sel otot jantung.

Tingkat kerusakan hepatosit baik nekrosis hepatosit, peningkatan jumlah neutropil ataupun kadar malondialdehida (MDA) hati, meningkat sejalan dengan banyaknya penggunaan minyak goreng kelapa sawit bekas secara berulang (Oeij, et al., 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Machado, et al., 2010 dengan menggunakan tikus yang diberi diet asam lemak trans, FUFA, dan SFA, ditemukan bahwa asam lemak trans mendorong perubahan yang mirip dengan sindrom metabolik pada manusia termasuk profil lipid plasma proarteriogenik dan hepatomegali. Asupan asam lemak trans menginduksi asam lemak di hati yang dapat memicu NASH seperti lesi dengan steatosis makrovesikular grade 3 dan infiltrasi inflamasi grade 2. Kolesterol total serta trigleserida secara signifikan lebih besar pada tikus yang diberikan trans dibanding tikus yang diberikan PUFA dan SFA.

Asupan minyak yang teroksidasi menyebabkan peroksida lipid lebih tinggi dan antioksidan plasma lebih rendah dibanding tikus yang diberi minyak segar.

Pemberian 20% minyak teroksidasi selama empat minggu, pada histologi tikus terlihat peningkatan insiden hipertropi hepatosit, penumpukan lemak, dan infiltrasi inflamasi sel hati serta degenerasi balloning hepatosit yang ditandai pembengkakan sel dan nekrosis sel. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara penggunaan TFA dengan minyak teroksidasi terhadap terjadinya NAFLD (Dhibi, et al., 2011; Aisyah , et al., 2015).

Penelitian kohort yang dilakukan terhadap 464 pasien NAFLD dan 181 yang kontrol pada masyarakat India dengan sasaran gaya hidup dan faktor risiko

diet ditemukan bahwa gaya hidup menetap seperti mengkonsumsi makanan non-vegetarian, makanan gorengan memiliki risiko menderita NAFLD lebih tinggi, begitu juga pada pasien dengan obesitas abdominal, resistensi insulin, dan dislipidemia (Shivaram, et al., 2015).

2.4 Jahe Merah (Zingiber officinale roxb var rubrum)

Dalam dokumen EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Halaman 52-56)