• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Perhitungan Jumlah Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak Lemak

Dalam dokumen EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Halaman 93-106)

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

4.1.6 Hasil Perhitungan Jumlah Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak Lemak

Gambar. a Gambar. b

Gambar. c Gambar. d

Keterangan: Vs = Vena sentralis, Vp = Vena porta, Si = sinusoid dan He = sel hepatosit

A B

C D

Gambar 4.5 Gambaran serat kolagen pada pewarnaan Masson’s Trichrome A. Serat kolagen terlihat jelas pada vena sentralis, B. Serat kolagen terlihat jelas pada sinusoid, C dan D. Serat kolagen terlihat jelas pada vena portal. Vs= vena sentralis dan Vp= vena porta

4.1.6 Hasil Perhitungan Jumlah Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak

Rerata jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak dihitung dibawah mikroskop cahaya pada empat area dengan pembesaran 400x (Tabel. 4.4 dan Tabel 4.5).

Tabel 4.4 Efek ekstrak etanol rimpang jahe merah terhadap perlemakan hati non-alkoholik; jumlah steatosis, lobular inflamation, hapatosit balloning dan derajat NASH pada tikus Wistar jantan yang diinduksi DFO pada 3 kali penggorengan. Data dianalisis dengan uji Kruskal- Wallis dan

Tabel 4.5 Efek ekstrak etanol rimpang jahe merah terhadap perlemakan hati non-alkoholik; jumlah steatosis, lobular inflamation, hapatosit balloning dan derajat NASH pada tikus Wistar jantan yang diinduksi DFO pada 6 kali penggorengan. Data dianalisis dengan uji Kruskal- Wallis dan

Berdasarkan Tabel 4.4 dan 4.5 di atas dapat dilihat bahwa pemberian DFO untuk 6 kali penggorengan pada kelompok kontrol (K2) mengalami degenerasi

lemak lebih tinggi dibanding 3 kali penggorengan (K1). Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan hepar makin tinggi apabila diberikan DFO yang berulang seperti pada kelompok K2. Namun rerata jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak tertinggi pada kelompok P1 dan P2, dan kelompok yang mengalami degenerasi lemak paling rendah pada kelompok P3

Pada pengujian normalitas (Lampiran 2), ditemukan bahwa data untuk semua kelompok mempunyai sebaran yang tidak normal berdasarkan hasil uji Komogorov-Smirnov, diperoleh nilai (p<0,05), demikian juga hasil uji varians (Lampiran 3) diperoleh data jumlah steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning, dan derajat NASH tidak bervariasi homogen dengan nilai (p<0,05), dengan demikian data yang diperoleh tidak memenuhi syarat untuk dianalisis dengan uji one way ANOVA. Oleh karena itu dilakukan transformasi data menggunakan rumus square root (akar) sesuai dengan nilai slope dan power yang diperoleh (Lampiran 4). Hasil transformasi data ternyata tetap tidak terdistribusi normal dan varians tetap tidak sama, maka sebagai alternatif dipilih uji Kruskal-Wallis (Dahlan, 2011).

Berdasarkan hasil uji Kruskal- Wallis, diperoleh bahwa nilai p= 0,001 untuk steatosis, inflamasi lobular, dan NASH, serta nilai p= 0,000 untuk nilai hepatosit balloning, sehingga secara keseluruhan (p< 0,05), dapat diambil kesimpulan paling tidak terdapat perbedaan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak; steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning dan derajat NASH antar kelompok.

Untuk mengetahui kelompok mana yang mengalami perbedaan dari hasil

pengukuran ini, maka dilakukan uji Mann-Whitney. Hasil uji akan ditunjukkan dengan perbedaan notasi pada masing-masing kelompok dengan nilai signifikansi α< 0,05.

Hasil uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada 3 kali penggorengan terhadap jumlah hepatosit yang mengalami steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning dan derajat NASH diperoleh hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai P> 0,05. Hanya ada perbedaan bermakna terhadap jumlah steatosis antara kelompok kontrol (K1) dengan kelompok perlakuan (P1) yaitu pada dosis 100 mg/kg BB. Hal ini terlihat pada hasil bahwa jumlah steatosis kelompok P1 lebih tinggi dari kelompok kontrol (K1) (Lampiran 7.a).

Hasil uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada 6 kali penggorengan terhadap jumlah hepatosit yang mengalami steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning dan derajat NASH diperoleh hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai P> 0,05 (Lampiran 7.b)

Hasil uji Mann-Whitney antar kelompok kelompok perlakuan pada 3 kali penggorengan terhadap jumlah hepatosit yang mengalami steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning dan derajat NASH diperoleh hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai P> 0,05. Hanya ada perbedaan bermakna terhadap jumlah steatosis dan derajat NASH antara kelompok perlakuan (P1) dengan kelompok perlakuan (P3) yaitu pada dosis 100 dangan 200 mg/kg BB. Hal ini terlihat pada hasil bahwa dosis 200 mg/kg BB jumlah steatosis dan derajat NASH lebih baik pada pemberian DFO 3 kali penggorengan (Lampiran 7.c).

Hasil uji Mann-Whitney antar kelompok perlakuan pada 6 kali penggorengan terhadap jumlah hepatosit yang mengalami steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning dan derajat NASH diperoleh hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai P> 0,05 (Lampiran 7.d).

Hasil uji Mann-Whitney antar kelompok perlakuan 3 dengan 6 kali penggorengan terhadap jumlah hepatosit yang mengalami steatosis, inflamasi lobular, hepatosit balloning dan derajat NASH diperoleh hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai P> 0,05 (Lampiran 7.e).

4.2 Pembahasan

Kandungan pada jahe merah seperti senyawa fenol; gingerol, shogaol dan zingerone mempunyai efek farmakologi dan fisiologi sebagai antioksidan, antiinflamasi, analgesik, antikarsinogenik non-toksik, dan non-mutagenik yang dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor. Antioksidan alami dalam jahe merah cukup tinggi dan sangat efisien dalam menghambat radikal bebas (Henarni dan Winarti, 2013). Efek antioksidan sangat dibutuhkan untuk mencegah NAFLD akibat akumulasi lemak yang berlebihan sehingga menimbulkan stress oksidatif (Tannaz, et al., 2015). Efek antioksidan jahe sangat efektif sebagai penangkal radikal bebas untuk mencegah kerusakan hepar (Attia, et al., 2013). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada skrining fitokimia bahwa EERJM memiliki kandungan antioksidan yaitu Flavanoid.

Gingerol sebagai komponen utama jahe terjadi konversi menjadi shogaol atau gingeron. Shogaol terbentuk oleh proses pemanasan terutama pada jahe kering sehingga rasanya lebih pedas. Salah satu komponen senyawa yang tertinggi

dalam jahe merah adalah gingerol dibanding dengan jahe lainnya. Gingerol merupakan senyawa turunan fenol sebagai antioksidan (Henarni dan Winarti, 2013).

Flavonoid adalah senyawa yang termasuk golongan fenolik, merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Fenolik memiliki satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah mengandung oksigen serta mengandung satu gugus hidroksil atau lebih (Redha, 2010). Gugus hidroksil dalam fenolik adalah gugus yang memiliki aktivitas antioksidan dan berperan penting menangkap radikal bebas, karena gugus hidroksil ini mendonorkan atom hidrogen sehingga menstabilkan senyawa radikal bebas (Adawiah, et al., 2013; Vanamu, 2012).

Berdasarkan hasil karakterisasi EERJM ditemukan polifenol yang yaitu flavonoid. Kandungan Flavanoid dalam EERJM mencapai 870,1 mg/g ektrak kering, sangat efektif sebagai free radical scavenger/ penangkapan radikal bebas dan sekaligus pencegahan radikal hidroksil yang menginduksi peroksidasi lipid atau oksidasi lemak dengan menunjukkan kapasitas chelatoforming/ perlekatan lebih tinggi pada Fe3+, dan kerjanya lebih baik dari quercetin (Stoilova, et al., 2007).

Sumber antioksidan yang sangat baik dalam jahe terutama gugus gingerol dan shogaol. Secara in vitro sangat efektif sebagai radical scavenger dengan cara mendonasikan atom hidrogen untuk menetralisir radikal bebas (Tanweer, et al., 2016). Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemberian ekstrak etanol jahe merah yang mengandung senyawa antioksidan golongan polifenol seperti gingerol

dan shogaol dapat mengurangi pengaruh radikal bebas terhadap jaringan hati tikus yang diberi DFO, untuk menurunkan kerusakan sel hepar berupa jumlah sel yang mengalami degenerasi dibandingkan kelompok tikus yang tanpa pemberian ekstrak etanol jahe merah, sehingga dapat diketahui bahwa flavonoid terbukti memiliki efek hepatoprotektif untuk melindungi hati pada kejadian NAFLD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa 200 mg/kg BB dapat menurunkan derajat steatosis, sel-sel radang dan NASH walaupun hasilnya tidak ada perbedaan secara bermakna antara kelompok kontrol K1 dan K2.

Pada penelitian ini pembentukan asam lemak di hati akibat akumulasi berlebihan setelah pemberian DFO bekas penggorengan lele sebanyak 10 µl/g BB selama 30 hari. Akumulasi ini lebih tinggi terjadi pada kelompok K2 yakni setelah digunakan menggoreng lele sebanyak 6 kali dibanding dengan K1 setelah pemberian DFO bekas menggoreng lele sebanyak 3 kali dan K0 yang hanya diberi aquadest.

Hasil pada penelitian ini didapatkan bahwa pada pemberian DFO 3 dan 6 kali penggorengan pada kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna. Sesuai dengan penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa; sel-sel tubuh juga memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas dengan menggunakan enzim Nrf2 (nuclear factor erythroid 2-related factor 2) yang merupakan faktor transkiripsi untuk melindungi tubuh terhadap kerusakan akibat radikal bebas. Dalam keadaan stress oksidatif Nrf2 tidak didegradasi melainkan menuju inti sel untuk mengikat promoter DNA dan elemen respon antioksidan (ARE) untuk memulai transkripsi mebentuk gen anti Oksidan (Jaiswal, 2010).

Hasil pada penelitian ini didapatkan bahwa pemberian EERJM pada dosis 100, 200 dan 400 mg/kg BB pada 3 dan 6 kali penggorengan tidak terjadi perbedaan yang bermakna hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa; 6-shogaol dapat meningkatkan ekspresi Nrf2 dan enzim antioksidan seperti heme-oxygenase-1 (HO-1), SOD, GPx, CAT serta menurunkan AST, ALT dan peroksidasi lipid (Bak, et al., 2012).

Pemanasan minyak pada suhu tinggi untuk menggoreng lele dilakukan untuk menurunkan kualitas minyak yang kandungannya dapat menginduksi NAFLD (Susianti, 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah steatosis pada kelompok K2 lebih tinggi 50% dengan jumlah tetesan lemak 5-33%

dibanding dengan kelompok K1. Dalam keadaan steatosis gambaran histopatologi minimal harus 5% dari sel hepatosit terdapat tetesan lemak baik tanpa ada tanda-tanda inflamasi maupun kerusakan hepatoselular (Takahashi, 2014). Dengan demikian DFO 3 maupun 6 kali penggorengan dapat menginduksi NAFLD.

Hasil yang sama dikemukakan oleh Alfiani (2014) bahwa kadar asam lemak bebas akan meningkat seiring dengan penggunaan minyak berulang terutama pada minyak goreng curah akan meningkat setelah penggorengan ketiga dan minyak goreng bermerek peningkatan asam lemak terjadi pada penggorengan kelima. Sehingga pada penelitian ini terlihat jelas makin tinggi pengulangan penggorengan akan semakin tinggi pula degenerasi lemak dan derajat NASH.

Sartika (2009) juga membuktikan bahwa penggorengan dengan suhu tinggi yaitu 200ᵒC akan terbentuk asam lemak trans melalui reaksi polimerasi termal dan oksidasi setelah penggorengan pengulangan kedua selama 30 menit. Asam lemak

trans akan menghambat enzim metabolisme lipid (fatty acid desaturase elongase dan lecithin cholesterol acyl transferase; LCAT) yang berperan memetabolisme HDL untuk membuang kolesterol dari hati dan pembentukan lipoprotein (Sartika, 2008).

Penggorengan pada suhu tinggi akan membentuk berbagai radikal bebas yang dikenal dengan ROS. ROS dapat menyerang lemak tidak jenuh yang terkandung dalam membran organel sel hati sehingga terjadi peroksidasi lipid.

Peroksidasi lipid akan merusak retikulum endoplasma kasar sehingga sintesis protein dalam pembentukan lipoprotein terganggu. Jumlah lipoprotein yang rendah akan berakibat pada proses penurunan pengangkutan lemak sehingga terakumulasi lemak di hati. Lemak yang berlebihan akan meningkatkan jejas sel.

Jejas sel menyebabkan gangguan metabolisme intraseluler yang kemudian mampu merubah struktur sel dan menimbulkan degenerasi. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya pada mencit, pemberian minyak goreng berulang 1 ml/100 g/BB, ditemukan bahwa 90% sampel mengalami degenerasi >50% disertai nekrosis, dan 10% mengalami degenerasi 25-50% sel hati tiap lapangan pandang dengan pembesaran 400 kali, dengan ciri-ciri degenerasi seperti ballon cell, microvesiculer (vakuola lemak), inti sel hiperkromatin; serta ciri-ciri nekrosis seperti piknosis, karioeksis, kariolisis, sel tanpa inti dan kumpulan sel radang (Dewi dan Sutejo, 2011).

Minyak hasil DFO memiliki kandungan TFA yang tinggi (Bruhl, 2014).

TFA akan menurunkan efisiensi sistem enzimatik antioksidan dengan cara meningkatkan signal pro-inflamasi, sehingga meningkatkan stress oksidatif di

hati. Secara in vitro terbukti bahwa TFA dapat menyebabkan kegagalan hati dalam mensintesis apolipoprotein B-100 (apo B-100) untuk mengangkut lemak dari hati, mencegah akumulasi trigleserida dan NAFLD (Dhibi, et al., 2011).

Perkembangan NAFLD yaitu NAFL menjadi NASH setelah pemberian DFO pada dosis 10 µl/ g dengan penggorengan 3 kali (K1) dan 6 kali (K2) tidak hanya menyebabkan steatosis tetapi juga menyebabkan ballon cell, dan inflamasi lobular walaupun tidak sampai menyebabkan jaringan fibrosis, Hal ini mungkin pemberian hanya selama 30 hari. Untuk membentuk jaringan fibrosis perlu waktu lebih lama dan pengulangan penggorengan juga perlu lebih banyak.

Pemberian EERJM apabila ditinjau dari pengaruh dosis, maka ditemukan pada dosis 200 mg/kg BB/hari merupakan dosis yang efektif dalam menurunkan degenerasi lemak terutama menurunkan derajat steatosis, inflamasi lobular dan derajat NASH dibanding kelompok kontrol K1 dan K2. Keefektifan EERJM dosis 200 mg/kg BB/hari, hal tersebut membuktikan akan konsep pemakaian obat maupun mengkonsumsi vitamin, karena setiap obat maupun vitamin memiliki aturan dosis yang berbeda-beda sehingga tidak sampai membahayakan atau menimbulkan penyakit baru. Keefektifan dosis 200 mg/kg BB/hari lebih cenderung baik pada pemberian DFO setelah 3 kali penggorengan sebab pada 3 kali penggorengan dengan minyak kemasan belum terbentuk asam lemak bebas.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa EERJM dosis 200 mg/kg BB/hari secara histopatologi menurunkan kerusakan hepatosit dan menurunkan kadar SGPT tikus yang di papari allethrin (Fathir, 2010). Hasil penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa EERJM dosis 200 mg/kg BB secara

bermakna menurunkan sitokin pro-inflamasi seperti (IL-1β, IL-2, IL-6 danTNF-α) (Fouda, et al., 2009).

EERJM dosis 100 mg/kg BB dalam 3 kali penggorengan menunjukkan peningkatan derajat steatosis dan NASH dan hasilnya ada perbedaan bermakna dibanding kelompok kontrol K1. Dan dosis 100 mg/kg BB dalam 6 kali penggorengan terjadi peningkatan derajat steatosis, inflamasi lobular dan derajat NASH tidak ada perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol K2. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak jahe merah dengan dosis 100 mg/kg BB mampu menurunkan stress oksidatif yang dipicu oleh radikal bebas pada tikus yang di induksi cadmium chloride melalui peningkatan enzim antioksidan seperti catalase (CAT) superoxide dismutase (SOD), glutathione (GSH), glutathione peroxidase (GPx), serta menurunkan enzim hati seperti alanine aminotransferase (ALT) dan Aspartate aminotransferase (AST) begitu juga jaringan histopatologi di parenkim hati

berada dalam keadaan normal dengan kongesti fokal pada pembuluh darah hepatik (Saber and Ali, 2013). Hasil penelitian lain pemberian ekstrak etanol jahe merah dosis 125 mg/kg BB menurunkan vakuola lemak dan meringankan peradangan pada vena portal hati tikus yang diinduksi dengan oksitertrasiklin (Helal, et al., 2012). Hal ini mungkin dikarenakan bahwa dosis 100 mg/kg BB/hari belum mencapai dosis efektif sebagai antioksidan yang dapat menyeimbangkan kadar radikal bebas dalam tubuh akibat pemberian DFO serta resiko resistensi insulin akibat peningkatan asam lemak dalam tubuh dengan pemberian DFO.

EERJM dosis 400 mg/kg BB/hari pada 3x penggorengan dan 6 kali penggorengan meningkatkan derajat steatosis dan derajat NASH dan hanya menurunkan hepatosit balloning, hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa dosis 400 mg/kg BB menurunkan perlemakan hati non-alkoholik melalui kerjanya yang dapat menurunkan enzim HMG-CoA dan mengatur reseptor LDL pada tikus yang diberi diit tinggi lemak (Nammi, et al., 2009). Hal ini mungkin dikarenakan dosis tersebut sudah mengalami efek toksik pada tubuh sendiri yang berakibat pada penurunan kerja obat dan memicu pembentukan generasi toksik reactive oxygen species (ROS).

Peningkatan ROS dari efek toksik obat dan Oksidasi asam lemak bebas (FFA) akibat pemberian DFO mengoksidasi asam lemak tak jenuh sehingga menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid secara langsung akan merusak DNA mitokondria dan meningkatkan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, TGF-β, IL 6, dan IL 8 serta mengaktifasi NF-kB (Yusri, et al., 2014 dan Veronica, et al., 2013). Pengaktifan sitokin pro-inflamasi akan mengakibatkan injuri yang berpotensi mengganggu metabolisme intraseluler dan selanjutnya merusak struktur sel hingga terjadi degenerasi sel (Dewi dan Sutejo, 2011), selain itu juga mengganggu β-Oksidasi mitokondria sehingga semakin meningkatkan steatosis, terbentuknya nekrosis serta fibrosis yang berkontribusi pada penyakit perlemakan hati non-alkoholik (NAFLD) (Jung, et al., 2010). Begitu juga penggunaan dosis tinggi pada EERJM akan meningkatkan pemasukan gingerol dalam tubuh.

Senyawa gingerol merupakan senyawa yang bersifat pedas, sehingga pemberian dalam dosis tinggi menyebabkan iritasi dan perdarahan yang berpotensi pada

peningkatan jejas di hati sehingga akan memperburuk steatosis pada induksi DFO.

Hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa pemberian EERJM dengan dosis 250 mg/kg BB dapat menurunkan 62% degenerasi dan nekrosis hati serta menurunkan 64% deposisi fibrosis hati pada tikus yang diinduksi adriamycin (Ahmed, 2013). Sehingga penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa secara histopatologi menujukkan EERJM mampu melindungi dan mengurangi sebagian besar kerusakan hati dengan penurunan steatosis, inflamasi lobular, dan derajat NASH pada dosis 200 mg/kg BB/hari dan lebih baik pada 3 kali penggorengan. Perbedaan pada penelitian sebelumnya bahwa dosis yang digunakan 100, 200 dan 400 mg/kg BB dapat menurunkan perlemakan hati, namun penelitian ini hanya dosis 200 mg/kg BB yang dapat menurunkan perlemakan hati dan hasilnya tidak ada perbedaan yang bermakna. Penelitian ini langsung penilaianya pada Gold Standar yaitu histologi hati terutama degenerasi hepatosit (jumlah steatosis, lobular inflammation, belloning hepatosit) derajat NASH dan fibrosis.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG JAHE MERAH (Halaman 93-106)