• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1 Teori Keagenan

Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai suatu kontrak antara pemilik (principal) dengan manajer (agent) untuk menjalankan suatu tugas demi kepentingan pemilik (principal) dengan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada manajer (agent). Dalam prakteknya manajer sebagai pengelola perusahaan tentunya mengetahui lebih banyak informasi internal dan prospek perusahaan di waktu mendatang dibandingkan pemilik modal atau pemegang saham. Sehingga sebagai pengelola, manajer memiliki kewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Tetapi dalam hal ini informasi yang disampaikan oleh manajer terkadang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.

Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham (Widyaningdyah, 2001).

Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi (Widyaningdyah, 2001). Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadiantara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan

(2)

pengukuran kinerja agent. Asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.

2.2 Manajemen Laba

2.2.1 Definisi Manajemen Laba

Pada dasarnya manajemen laba memiliki beberapa definisi, antara lain: Scott (2009; 403) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut:

“Earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective”.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba adalah suatu tindakan manajer yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu. Kieso (2011; 145) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut:

“Earnings management is often defined as the planned timing of reveues, expenses, gains, and losses to smooth out bumps in earnings”.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba sering didefinisikan sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian untuk meratakan fluktuasi laba. Sedangkan National Association of Certified Fraud Examiners mendefinisikan manajemen laba, yaitu:

Earnings management is the intentional, deliberate, misstatement or omission of material facts, or accountin data, which is misleading and, when considered with all the information made available, would cause the reader to change or alter his or judgment or decision.”

Pernyataan tersebut menyatakan manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat

(3)

pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya.

Definisi lain menurut Schipper (2003) yaitu:

“Earnings management is disclosure management in the sense of purposeful intervention in external reporting process, with intent of obtaining some private gain”.

Pernyataan tersebut mendefinisikan manajemen laba sebagai upaya yang dilakukan manajer untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi tertentu. Dari definisi tersebut jelas bahwa manajemen laba merupakan intervensi langsung manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu.

Secara umum menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba dapat didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengetahui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh manajer dengan cara memanipulasi data atau informasi akuntansi agar jumlah laba yang tercatat dalam laporan keuangan sesuai dengan keinginan manajer, baik untuk kepentingan pribadi maupun perusahaan.

2.2.2 Klasifikasi Manajemen Laba

Menurut Subramanyam (2010) manajemen laba dapat berupa kosmetik jika manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi arus kas, dan manajemen laba juga dapat terlihat nyata jika manajer memilih tindakan dengan konsekuensi arus kas dengan tujuan mengubah laba.

1. Cosmetic Earnings Management

Cosmetic Earnings Management, terjadi jika manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Teknik ini merupakan hasil dari

(4)

kebebasan dalam aplikasi akuntansi akrual yang mungkin terjadi. Standar akuntansi keuangan dan mekanisme pengawasan mengurangi kebebasan ini tetapi tidak mungkin untuk meniadakan pilihan karena kompleksitas dan keragaman aktivitas usaha. Akuntansi akrual yang membutuhkan estimasi dan pertimbangan (judgements) menyebabkan kebebasan manajer dalam menetapkan angka akuntansi. Meskipun kebebasan ini memberikan kesempatan bagi manajer untuk menyajikan gambaran aktivitas usaha perusahaan yang lebih informatif, kebebasan ini juga memungkinkan mereka mempercantik laporan keuangan (windowdress financial statement) dan mengelola laba.

2. Real Earnings Management

Real Earnings Management, terjadi jika manajer melakukan aktivitas dengan konsekuensi cash flows. Misalnya, manajer menggunakan metode FIFO pada penilaian persediaan untuk melaporkan laba yang lebih tinggi meskipun penggunaan LIFO dapat menghasilkan penghematan pajak. Insentif untuk melakukan earnings management mempengaruhi keputusan investasi (investing) dan pendanaan (financing) oleh manajer. Real earnings management lebih bermasalah dibandingkan cosmetic earnings management karena mencerminkan keputusan usaha yang seringkali mengurangi kekayaan pemegang saham.

2.2.3 Bentuk Manajemen Laba

Dalam melakukan earnings management, terdapat beberapa bentuk yang biasanya digunakan oleh manajemen bergantung pada tujuan mereka. Scott (2009) mengungkapkan jenis-jenis manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajer, antara lain:

1. Taking a big bath. Tindakan ini dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan tidak bisa dihindari pada periode berjalan, dengan cara

(5)

mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan.

2. Meminimumkan laba (income minimation), dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan sebagainya.

3. Memaksimumkan laba (income maximization), yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak utang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk memaksimalkan laba.

4. Perataan laba (income smoothing), merupakan bentuk manajemen laba yang dilakukan dengan cara menaikkan dan menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.

Badruzaman (2010) mengemukakan teknik-teknik untuk melakukan manajemen laba, di antaranya sebagai berikut :

a. Earnings Management within Boundary of GAAP a) Perubahan metode penyusutan.

b) Perubahan masa manfaat aset yang akan disusutkan. c) Perubahan estimasi nilai sisa aset yang disusutkan. d) Penentuan penyisihan piutang tidak tertagih. e) Penentuan penyisihan kewajiban garansi. f) Penilaian penyisihan untuk deferred tax assets. g) Penentuan keberadaan impaired assets.

h) Estimasi tahap penyelesaian long-term contract. i) Estimasi kemungkinan terjadinya klaim atas kontrak. j) Estimasi penurunan nilai investasi.

(6)

l) Menentukan perlunya penurunan nilai persediaan. m) Estimasi beban akrual lingkungan.

n) Membuat asumsi actuarial untuk pension plan. o) Menentukan nilai R & D cost yang boleh diakui. p) Mengubah periode amortisasi intangible assets. q) Memutuskan kapitalisasi biaya-biaya tertentu.

r) Menentukan apakah investasi mengakibatkan adanya pengaruh signifikan terhadap invested.

s) Menentukan permanen atau tidaknya suatu penilaian nilai investasi jangka pendek.

b. Abusive Earnings Management

a) Mempercepat pengakuan pendapatan (revenue recognition) yang seharusnya menjadi pendapatan periode berikutnya, atau bahkan mengakui pendapatan fiktif.

b) Mencatat understated expenses.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan manajemen untuk melakukan manajemen laba menghasilkan berbagai bentuk manajemen laba, yaitu tindakan kepalang basah (taking a big bath), meminimumkan laba (income minimization), memaksimumkan laba (income maximization), dan perataan laba (income smoothing). Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh manajemen dengan cara memanfaatkan fleksibilitas yang diperbolehkan oleh Prinsip-prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) yaitu memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memberikan informasi laba lebih baik dalam menyusun laporan keuangan maupun dengan cara abusive earnings management untuk memperlihatkan kinerja manajemen yang baik dalam menghasilkan laba bagi perusahaan.

(7)

2.2.4 Motivasi Manajemen Laba

Scott (2009) menjelaskan bahwa motivasi manajer perusahaan dalam melakukan manajemen laba adalah :

1. Bonus purpose (rencana bonus). Secara lebih spesifik, ini merupakan perluasan hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis), yang menyatakan bahwa manajer – manajer perusahaan yang menggunakan rencana bonus akan memaksimalisasikan pendapatan masa kini atau tahun berjalan mereka. Manajer yang bekerja di perusahaan dengan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan bonus yang akan diterimanya.

2. Debt covenant (kontrak utang jangka panjang). Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian utang maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak.

3. Political motivation (motivasi politik). Perusahaan-perusahaan besar dan industri strategis cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, khususnya selama periode kemakmuran tinggi. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.

4. Taxation motivation (motivasi perpajakan). Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. 5. Pergantian CEO. CEO yang akan habis masa penugasannya atau pensiun

akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian pula dengan CEO yang kinerjanya kurang baik, ia

(8)

akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya.

6. Initial Public Offering (penawaran saham perdana). Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan. Berdasarkan penjelasan motivasi manajemen laba tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika pada suatu kondisi yang mana pihak manajemen tidak berhasil mencapai target laba yang ditentukan maupun laba yang dihasilkan melebihi dari target laba yang ditentukan, maka manajemen termotivasi untuk melakukan manajemen laba, motivasi manajer melakukan manajemen laba dibagi menjadi dua tujuan, yang pertama ditujukan untuk meningkatkan utilitas manajer itu sendiri, yaitu dalam hal memaksimalkan perolehan bonus, yang kedua meningkatkan nilai perusahaan seperti menghindari pelanggaran kontrak, meminimalkan biaya politik, meminimalkan besarnya pajak serta memaksimalkan nilai perusahaan pada saat penawaran saham perdana.

2.2.5 Pengukuran Manajemen Laba

Penelitian yang berkaitan dengan metode deteksi manajemen laba antara lain dilakukan oleh (Dechow et al., 1995) yang mengevaluasi berbagai aleternatif model untuk deteksi manajemen laba berdasarkan accruals. Perbandingan dilakukan terhadap lima model adalah sebagai berikut:

1. Model Healy, pengujian Healy untuk manajemen laba dengan cara membandingkan rata-rata total akrual (dibagi total aktiva periode sebelumnya). Healy (1985) menganggap non discretionary accruals (NDA) tidk dapat diobservasi.

2. Model DeAngelo, model DeAngelo (1986) menguji manajemen laba dengan menghitung perbedaan awal dalam total akrual dan dengan asumsi bahwa

(9)

perbedaan pertama tersebut diharapkan nol, yang berarti tidak ada manajemen laba. Model ini menggunakan total akrual periode terakhir (dibagi total aktiva periode sebelumnya) untuk mengukur non discretionary accruals.

3. Model Jones, Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa non discretionary accruals adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol pengaruh perubahan keadaan ekonomi perusahaa pada non discretionary accruals.

4. Model Modified Jones, model ini dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang terdapat dalam The Jones Model.

5. Model Industri, Industry Adjusted Model (Dechow dan Sloan, 1991) mengasumsi bahwa variasi determinan dari non discretionary accruals adalah sama dalam jenis industry yang sama. Pengujian dilakukan untuk mengetahui kemampuan model dengan menerapkan pengujian statistik.

2.2.5.1 Discretionary Accruals

Jones (1991) mengembangkan model manajemen laba dengan membagi total akrual perusahaan menjadi non discretionary accruals (tingkat akrual yang wajar) dan discretionary accruals (tingkat akrual yang abnormal). Discretionary accruals yaitu bentuk kebijakan akrual yang bukan karena kebutuhan dari kondisi perusahaan namun dilakukan oleh manajemen untuk menggeser biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode lainnya sehingga tujuan tertentu manajemen dapat terpenuhi. Discretionary accruals merupakan suatu cara yang efektif untuk mengurangi pelaporan laba (earnings), dimana cara tersebut sulit untuk dideteksi dan digunakan untuk memanipulasi kebijakan akuntansi yang berhubungan dengan akrual.

Akrual diskresioner merupakan akrual yang berasal dari diskresi manajemen. Tingkat akrual yang abnormal (discretionary accruals) inilah yang menjadi perhitungan bagi para peneliti untuk menentukan apakah perusahaan melakukan praktik manajemen laba atau tidak, sedangkan non discretionary accruals yaitu

(10)

kebijakan akrual yang disebabkan oleh tuntutan kondisi perusahaan dan terjadi secara alami seiring dengan perubahan dari aktivitas perusahaan.

2.2.5.2 NonDiscretionary Accruals

Non discretionary accruals merupakan kebijakan akuntansi yang dipilih perusahaan untuk langsung membebankan (expense) atau mengkapitalisasi (assets) padahal seharusnya perusahaan belum dapat merealisasikannya, karena non discretionary accruals dapat ditolelir, maka discretionary accruals akhirnya dijadikan ukuran mengetahui besarnya manajemen laba yang dilakukan manajemen.

Indikasi adanya manajemen laba dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manajemen laba dalam laporan keuangan diteliti melalui penggunaan akrual. Konsep akrual dapat dibedakan menjadi dua, yaitu discretionary accruals dan non discretionary accruals. Discretionary accruals adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajemen, artinya manajer memberikan intervensinya dalam proses pelaporan keuangan, sedangkan non discretionary accruals adalah komponen akrual di luar kebijakan manajemen atau merupakan pengakuan akrual laba yang wajar yang tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum, oleh karena non discretionary accruals merupakan akrual yang wajar dan apabila dilanggar akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan, maka non discretionary accruals tidak relevan dalam penelitian ini, oleh karena itu bentuk akrual yang Ordinarynalisis dalam penelitian ini adalah bentuk discretionary accruals yang merupakan akrual tidak normal dan merupakan pilihan kebijakan manajemen dalam pemilihan metode akuntansi.

Nilai discretionary accruals (DA) untuk mengukur tingkat manajemen laba dihitung dengan menggunakan Jones yang dimodifikasi (Modified Jones Model) pada (Dechow et al., 1995). Model ini menggunakan total akrual (TA) yang diklasifikasikan menjadi komponen discretionary (DA) dan non discretionary (NDA). Menurut (Rachmawati dkk, 2007) Modified Jones Model dapat mendeteksi

(11)

manajamen laba lebih baik dibandingkan dengan model-model lainnya sejalan dengan hasil penelitian (Dechow et al., 1995).

Untuk mendapatkan nilai DA maka langkah pertama adalah mencari total akrual (TA) dengan rumus:

Selanjutnya menghitung total accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi Ordinary Least Squars (OLS):

Pada persamaan regresi diatas (α1α2α3), NDA dapat dihitung dengan memasukan kembali koefisien-koefisien 𝛼.

Selanjutnya discretionary accruals (DA) dapat dihitung sebagai berikut:

Keterangan:

𝑇𝐴𝑖𝑡 : Total accruals perusahaan i pada periode t

𝑁𝑖𝑡

:

Laba bersih perusahaan (Net Income) i pada periode t

𝑇𝐴

𝑖𝑡

= 𝑁

𝑖𝑡

− 𝐶𝐹𝑂

𝑖𝑡

𝑇𝐴𝑖𝑡/𝐴𝑖,𝑡−1 = α1(1/𝐴𝑖,𝑡−1) + α2(∆𝑅𝐸𝑉𝑖𝑡 /𝐴𝑖,𝑡−1) + α3(𝑃𝑃𝐸𝑖𝑡/𝐴𝑖,𝑡−1)

𝑁𝐷𝐴𝑖𝑡 = α1(1/𝐴𝑖,𝑡−1) + α2((∆𝑅𝐸𝑉𝑖𝑡− ∆𝑅𝐸𝐶𝑖𝑡)/𝐴𝑖,𝑡−1) + α3(𝑃𝑃𝐸𝑖𝑡/𝐴𝑖,𝑡−1)

(12)

𝐶𝐹𝑂𝑖𝑡 : Arus kas operasi perusahaan (Operating Cash Flow) i pada periode t 𝑇𝐴𝑖𝑡/𝐴𝑖,𝑡−1 : Total accruals pada perusahaan i pada periode t

𝐴𝑖,𝑡−1 : Total aktiva perusahaan i pada periode t

∆𝑅𝐸𝑉𝑖𝑡 : Pendapatan (Revenue) perusahaan i pada periode t dikurangi Pendapatan (Revenue) perusahaan i pada periode t-1

∆𝑅𝐸𝐶𝑖𝑡 : Piutang (Receivable) perusahaan i pada periode t dikurangi Piutang (Receivable) perusahaan i pada periode t-1

𝑃𝑃𝐸𝑖𝑡 : Nilai aktiva tetap (gross) perusahaan i pada periode t 𝐷𝐴𝑖𝑡 : Discretionary Accruals perusahaan pada periode t 𝑁𝐷𝐴𝑖𝑡 : Non-Discretionary Accruals perusahaan pada periode t 2.3 Ukuran Perusahaan

Menurut Kusumawadhani (2012) ukuran perusahaan adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks sehingga dimungkinkan melakukan manajemen laba. Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Ukuran perusahaan biasanya diukur dengan menggunakan total penjualan, total aset, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar nilai total penjualan, total aset, dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan.

Biro Pusat Statistik mengelompokan tingkatan skala perusahaan berdasarkan tingkatan penjualan adalah sebagai berikut:

Skala Perusahaan Tingkat Penjualan Setahun

Kecil < Rp 3 milyar

Sedang Rp 3 milyar – Rp 10 milyar

(13)

Keputusan Ketua Bapepam No. Kep 11/PM /1997 menyebutkan perusahaan kecil dan menengah berdasarkan aktiva (kekayaan) adalah badan hukum yang memiliki total aktiva tidak lebih dari seratus milyar rupiah, sedangkan perusahaan besar adalah badan hukum yang memiliki total aktivanya di atas seratus milyar rupiah.

Variabel ukuran perusahaan perusahaan diukur dengan logaritma natural (Ln) dari total aset. Hal ini dikarenakan besarnya total aktiva masing-masing perusahaan berbeda bahkan mempunyai selisih yang besar, sehingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim. Untuk menghindari adanya data yang tidak normal tersebut maka dari total asset perlu di Ln kan. Menurut (Hartono, 2000: 254) variabel ukuran perusahaan dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

Ukuran perusahaan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan dari besarnya total aktiva yang dimiliki perusahaan. Total aktiva dipilih sebagai proksi ukuran perusahaan dengan mempertimbangkan bahwa nilai aktiva relatif lebih stabil dibandingkan dengan nilai market capitalized dan penjualan (Wuryatiningsih, 2002). Jika nilai dari total aktiva, penjualan, atau modal itu besar, maka digunakan natural logaritma dari nilai tersebut (Miswanto dan Husnan, 1999).

2.4 Leverage

Leverage adalah perbandingan antara total kewajiban dengan total aktiva perusahaan. Rasio ini menunjukkan besarnya besar aktiva yang dimiliki perusahaan yang dibiayai dengan hutang. Semakin tinggi nilai leverage maka risiko yang akan dihadapi investor akan semakin tinggi dan para investor akan meminta keuntungan yang semakin besar. Leverage menurut Van Horne (2007) adalah penggunaan biaya

(14)

tetap dalam usaha untuk meningkatkan profitabilitas. Leverage merupakan pedang bermata dua menurut Van Horne (2007) yang mana jika laba perusahaan dapat diperbesar, maka begitu pula dengan kerugiannya. Dengan kata lain, penggunaan leverage dalam perusahaan bisa saja meningkatkan laba perusahaan, tetapi bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai harapan, maka perusahaan dapat mengalami kerugian yang sama dengan persentase laba yang diharapkan, bahkan mungkin saja lebih besar. Leverage dalam konteks bisnis terdiri atas dua macam yaitu leverage operasional (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Van Horne (2007) juga menyatakan bahwa leverage ini menjadi tahapan dalam proses pembesaran laba perusahaan. Sebagai tahap pertama yaitu leverage operasional, yang akan memperbesar pengaruh perubahan dalam penjualan atas perubahan laba operasional. Dalam tahap kedua, manajer keuangan memiliki pilihan untuk menggunakan leverage keuangan agar dapat makin memperbesar pengaruh perubahan apa pun yang dihasilkan dalam laba operasional atas perubahan EPS (Earning Per Share).

Rasio leverage menunjukkan besarnya modal yang berasal dari pinjaman (hutang) yang digunakan untuk membiayai investasi dan operasional perusahaan. Menurut Ma’ruf (2006), sumber yang berasal dari hutang akan meningkatkan risiko perusahaan. Oleh karena itu, semakin banyak menggunakan hutang maka leverage perusahaan akan besar dan semakin besar pula risiko yang dihadapi perusahaan. Leverage dapat diukur menggunakan beberapa rasio, yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah debt to total assets atau debt ratio.

2.5 Profitabilitas

Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Tingkat profitabilitas yang tinggi menunjukkan

Debt Ratio = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠

(15)

bahwa kinerja perusahaan baik dan pengawasan berjalan dengan baik, sedangkan dengan tingkat profitabilitas yang rendah menunjukkan bahwa kinerja perusahaan kurang baik, dan kinerja manajemen tampak buruk di mata principal. Secara garis besar, laba yang dihasilkan perusahaan berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan daya tarik perusahaan menjadikan perusahaan tersebut makin diminati investor, karena tingkat pengembalian akan semakin besar. Semakin tinggi rasio yang diperoleh maka semakin efisien manajemen aset perusahaan. Rasio profitabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah rasio return on assets (ROA).

2.6 KepemilikanInstitutional

Kepemilikan intitusional merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh lembaga lain. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memonitori kinerja manajer dalam mengelola perusahaan sehingga dengan adanya kepemilikan oleh institusi lain diharapkan bisa mengurangi perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer.

Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif. (Cornett et al, 2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor institusional dapat membatasi perilaku manajer. (Moh’d et al, 1998) menyatakan bahwa investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar, sehingga motivasi manajer untuk mengatur laba menjadi berkurang.

ROA = 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔 𝐴𝑓𝑡𝑒𝑟 𝑇𝑎𝑥 (𝐸𝐴𝑇) 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

(16)

2.7 Kerangka Pemikiran

Perbedaan kepentingan antara principal (pemilik/stakeholder) dan agent (manajemen) menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik (principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Widyaningdyah, 2001).

Manajemen laba merupakan salah satu bentuk akibat dari agency problem atau dengan kata lain akibat dari asimetris informasi dalam teori agensi. Hal ini dikarenakan manajer lebih mengetahui informasi tentang perusahaan yang dikelolanya. Agency problem dapat dikurangi dengan salah satu caranya dengan adanya konsentrasi kepemilikan. Penelitian ini menggunakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya manajemen laba dalam suatu perusahaan yaitu ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas,dan kepemilikan institusional.

2.7.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba

Menurut Kusumawardhani (2012) ukuran perusahaan merupakan salah satu indikator yang digunakan investor dalam menilai asset maupun kinerja perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan biasanya informasi yang tersedia untuk pengambilan keputusan dalam perusahaan tersebut semakin banyak. Cornett et al. (2009) menemukan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap besaran pengelolaan laba. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar perusahaan maka semakin kecil tindakan manajemen laba yang dilakukan. Menurut Jao dan Pagalung (2011) perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan dan melaporkan kondisinya lebih akurat. Semakin besar ukuran

(17)

perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan semakin banyak dan memperkecil kemungkinan terjadinya asimetri informasi yang bisa menyebabkan terjadinya praktik manajemen laba pada perusahaan.

2.7.2 Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba

Berdasarkan penelitian Tarjo (2008) leverage berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini sesuai dengan debt covenant hypothesis yang menyatakan bahwa jika semua hal yang lain tetap sama dan semakin dekat perusahaan dengan pelanggaran perjanjian hutang yang berbasis akuntansi, maka lebih mungkin manajer perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode sekarang. Hal tersebut dilakukan karena laba bersih yang dilaporkan naik akan mengurangi kemungkinan kegagalan membayar hutang-hutangnya pada masa mendatang.

Perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi mempunyai risiko yang lebih tinggi pula maka laba perusahaan berfluktuasi dan perusahaan cenderung untuk melakukan perataan laba agar laba perusahaan kelihatan stabil karena investor cenderung mengamati fluktuasi laba pada suatu perusahaan (Kustiani dan Ekawati, 2006). Lebih lanjut Utomo dan Siregar (2008) menemukan bukti empiris bahwa leverage berpengaruh positif terhadap perataan laba. Perusahaan yang terancam default cenderung melakukan perataan laba dengan menaikkan laba nya. Hal ini dilakukan dalam rangka memperbaiki posisi bargaining saat negosiasi utang atau untuk mendapatkan dana segar karena kesulitan mencari dana pinjaman. Perbedaan hasil penelitian ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan Indriani (2010), yang menyatakan bahwa leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak debtholders (pihak ketiga). Ketatnya monitoring menyebabkan manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan debtholders dan shareholders.

(18)

2.7.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap Manajemen Laba

Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan perusahaan (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Profitabilitas menunjukkan kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang digunakan dalam kegiatan operasi. Perusahaan dengan laba yang besar akan tetap mempertahankan labanya karena untuk memberikan dampak kepercayaan terhadap investor dalam hal berinvestasi. Oleh sebab itu manajemen termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor. Selain itu, manajer melakukan tindakan manajemen laba juga terkait dengan pemberian bonus atau kompensasi. Dalam Bonus Plan Hypothesis menyatakan bahwa apabila pada tahun tertentu kinerja sesungguhnya berada di bawah syarat untuk memperoleh bonus, maka manajer akan melakukan manajemen laba agar labanya dapat mencapai tingkat minimal untuk memperoleh bonus. Sebaliknya, jika pada tahun itu kinerja yang diperoleh manajer jauh di atas jumlah yang diisyaratkan untuk memperoleh bonus, manajer akan mengelola dan mengatur agar laba yang dilaporkan menjadi tidak terlalu tinggi.

Berdasarkan penelitian Widyastuti (2009) semakin besar perubahan profitabilitas menunjukan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba. Hal ini mempengaruhi investor dalam memprediksi laba dan memprediksi risiko dalam investasi sehingga memberikan dampak pada kepercayaan investor terhadap perusahaan. Sehubungan dengan itu, manajemen termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor. Pernyataan ini didukung oleh penelitian I Guna dan Herawaty (2010) yang menyatakan semakin besar tingkat profitabilitas maka semakin besar terjadinya manajemen laba. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh secara positif terhadap manajemen laba.

(19)

2.7.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba

Para investor institusional mempunyai kesempatan, sumber daya dan kemampuan untuk melakukan pengawasan, menertibkan dan mempengaruhi para manajer perusahaan dalam hal tindakan oportunistik manajemen (Chung et al., 2002). Investor institusional dengan kepemilikan saham dalam jumlah besar akan mempunyai dorongan yang cukup kuat untuk mengumpulkan informasi, mengawasi tindakan-tindakan manajemen dan mendorong kinerja yang lebih baik. Jika investor institusional mempunyai kepemilikan saham dalam jumlah yang relatif rendah, maka para investor institusional hanya memiliki sedikit dorongan untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan oportunistik manajer. Oleh karena itu, keberadaan investor institusi ini dipandang mampu menjadi alat monitoring efektif bagi perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti (2009) menunjukkan bahwa variabel kepemilikan institusional berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accruals dengan arah koefisien negatif. Tindakan pengawasan perusahaan yang dilakukan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku mementingkan diri sendiri. Berbeda dengan penelitian Linda dan Sri (2012) yang menyatakan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap perataan laba.

(20)

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Financial Leverage Ukuran Perusahaan Pemilik Perusahaan (Prisipal) Teori Keagenan Laporan Keuangan Manajemen Perusahaan (Agen)

Kondisi Keuangan Informasi keuangan Manajemen Laba Asimetri Informasi Struktur Kepemilikan Tingkat Profitabilitas Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial

(21)

Hubungan variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.2. Hubungan Variabel

(-)

(+)

(+)

(-)

Sumber: pengembangan dari berbagai sumber

2.8 Perumusan Hipotesis

Hipotesis adalah hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Sekaran, 2009). Suatu hipotesis diterima apabila telah melalui analisis data empiris yang menunjukkan bahwa hipotesis tersebut benar dan begitu pula sebaliknya suatu hipotesis akan ditolak apabila analisis data empiris menunjukan bahwa hipotesis tersebut salah. Penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, dan kepemilikan institusional sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen.

Berdasarkan uraian keterkaitan antara ukuran perusahaan, leverage,profitabilitas, dan kepemilikan institusional terhadap manajemen laba di atas mengacu pada kerangka pemikiran dan rumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ukuran Perusahaan (Total Assets) Manajemen Laba (Discretionary Accruals) Profitabilitas (ROA) Leverage (DAR) Kepemilikan Institusional

(22)

H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

H2 : Leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

H3 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap manjemen laba.

H4: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

2.9 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu No

.

Nama Peneliti dan Tahun

Penelitian

Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1. Tri Widyastuti (2009) Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Kinerja Keuangan Terhadap Manajemen Laba Variabel Independen: 1. Struktur Kepemilikan Institusional 2. Struktur kepemilikan Manajerial 3. Ukuran Perusahaan 4. Leverage 5. Profitabilitas; Variabel Dependen: Manajemen Laba Kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan terhdap earnings management; ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas mempunyai pengaruh signifikan terhadap

earnings management.

2. Robert Jao dan Gagaring Pagalung (2011) Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, dan Leverage terhadap Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur Indonesia Variabel Independen: 1. Kepemilikan Manajerial 2. Kepemilikan Institusional 3. Ukuran Dewan Komisaris; 4. Komposisi Dewan Komisaris Independen 5. Komite Audit 6. Ukuran Perusahaan 7. Leverage Variabel Dependen: Manajemen laba Kepemilikan manajerial, komposisi dewan komisaris independen, jumlah pertemuan komite audit dan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap

manajemen laba;

kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, dan leverage mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba

3. I Guna dan Herawaty (2010) Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Variabel Independen: 1. Kepemilikan Institusional 2. Kepemilikan Manajerial 3. Komite Audit

Leverage, kualitas auditor berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba; Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit,

(23)

Audit dan Faktor lainnya terhadap Manajemen Laba 4. Komisaris Independen 5. Independensi Auditor 6. Leverage 7. Kualitas Audit 8. Profitabilitas 9. Ukuran Perusahaan Variabel Dependen: Manajemen Laba komisaris independen, independensi auditor dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba. 5. Indra Kusumawardhani (2012) Pengaruh Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba Variabel Independen: 1. Corporate Governance 2. Struktur Kepemilikan Institusional 3. Struktur Kepemilikan Manajerial 4. Ukuran Perusahaan Variabel Dependen: Manajemen Laba Corporate governance,

struktur kepemilikan, dan ukuran perusahaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Corporate governance, struktur kepemilikan institusional tidak mempengaruhi manajemen laba. Struktur kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. 6 Linda Kurniasih

dan Butar Butar Sri Sudarsi (2012) Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, dan Kepemilikan Institusional terhadap Perataan Laba Variabel Independen: 1. Ukuran Perusahaan 2. Profitabilitas 3. Leverage 4. Kepemilikan Institusional Variabel Dependen: Perataan Laba Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Profitabilitas, leverage, dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap perataan laba.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran  Financial  Leverage  Ukuran Perusahaan Pemilik Perusahaan (Prisipal)  Teori Keagenan Laporan Keuangan  Manajemen Perusahaan (Agen)
Gambar 2.2. Hubungan Variabel
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah Pengurus ...orang Jumlah Anggota ...orang Jumlah Pemilih pada Pemilu Terakhir ...orang Alamat Sekretariat/Kantor

Dalam format ini komunikasi elektronik digunakan dalam format asinkron dan sinkron.Kehadiran pengajar yang kadang-kadang, di mana beberapa pertemuan dilakukan dengan

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Ijin Kepemilikan senjata api dapat diberikan kepada masyarakat sipil dengan syarat dan mekanisme yang ketat, namun kelemahan kontrol terhadap kepemilikan senjata api oleh

Apabila ada yang ingin mendapatkan informasi tentang air Kerawang maka harus menyiapkan pertanyaan dan langsung menanyakan kepada pihak air Kerawang, Sehingga

Peneliti menggunakan batik Sidomukti dari Solo Jawa Tengah yang mengandung harapan terlaksananya cita-cita (Kusrianto, 2013:132), batik ini dipakai karena batik sering

Dengan mengacu pada kebutuhan nurturance khususnya menyayangi anak-anak, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi para pengasuh mengenai pengaruh

Kompetensi yang tercakup dalam unit kompetensi ini harus diujikan secara konsisten pada seluruh elemen dan dilaksanakan pada situasi pekerjaan yang sebenarnya di tempat kerja atau