• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAKIKAT BERLAKUNYA PRINSIP NON-REFOULEMENT"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

HAKIKAT BERLAKUNYA

PRINSIP NON-REFOULEMENT

A LITERATURE REVIEW

JANUARY 25, 2016

MALAHAYATI

(2)

1

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 2 Maksud ... 2 Tujuan ... 3 Metode Penulisan ... 3

Definisi dan Istilah ... 4

BAB II PEMBAHASAN ... 5

Pengertian Prinsip Non-Refoulement ... 5

Instrumen Hukum Prinsip Non-Refoulement ... 9

Pengecualian Terhadap Prinsip Non-Refoulement ... 11

BAB III ANALISIS KOMPREHENSIF ... 13

BAB IV KESIMPULAN... 25

(3)

2

BAB I PENDAHULUAN

Tema penelitian ini adalah hakikat berlakunya prinsip non-refoulement pada negara tujuan ke negara lain (third country) sebagai negara penerima, negara penampungan sementara, dan negara tempat pemrosesan klaim pengungsi. Rencana penelitian ini adalah dalam rangka menggali informasi maupun ilmu pengetahuan baru tentang prinsip non-refoulement. Prinsip non-refoulement adalah larangan pemulangan kembali pengungsi ataupun pencari suaka ke tempat dimana mereka menghadapi resiko terhadap keamanan, jiwa dan kebebasan mereka. Prinsip non-refoulement atau larangan pemulangan kembali telah dilakukan oleh beberapa negara. Indonesia merupakan salah satu contoh third country yang bekerja sama dengan Australia dalam bidang perlindungan pengungsi.

Selama ini, belum ada penelitian yang dilakukan terkait hakikat berlakunya prinsip non-refoulement. Beberapa penelitian tentang prinsip non-refoulement lebih bersifat kecil dan dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, terkait pada kasus-kasus pada kebangsaan atau etnis tertentu, atau pengelompokan umur atau jenis kelamin para pengungsi. Lebih jauh, penelitian yang telah ada lebih menitikberatkan pada lokasi geografis tertentu, dalam bentuk manuskrip ataupun laporan penelitian oleh lembaga-lembaga internasional. Selain itu, Penelitian yang telah ada di Indonesia terkait prinsip non-refoulement lebih terbatas dan umumnya dalam tataran empiris. Secara internasional, peningkatan jumlah pengungsi dan meningkatnya arus pengungsian dari berbagai daerah konflik sekaligus meningkatkan minat peneliti dalam bidang ini.

Maksud

Literature review ini merupakan bagian dari penyusunan rencana proposal disertasi. literature review ini dimaksudkan untuk membantu memberikan pemahaman tentang hakikat berlakunya prinsip non-refoulement di beberapa negara dan beberapa factor yang mempengaruhi keberlakuan prinsip non-refoulement itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk mengetahui asas-asas dasar berlakunya prinsip non-refoulement dan

(4)

3 perkembangan penerapannya di berbagai negara, baik negara anggota Konvensi 1951 maupun bukan.

Tujuan

Literature review ini bertujuan untuk:

a. Mendefinisikan ulang pengertian dan batasan-batasan prinsip non-refoulement, termasuk apakah setiap negara memiliki pengertian dan batasan yang sama terhadap keberlakuan prinsip non-refoulement;

b. Menggambarkan dalam perspektif hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia tentang status hukum prinsip non-refoulement bagi masing-masing negara, termasuk juga menentukan jenis-jenis pengungsi tertentu yang mendapatkan perlakuan yang berbeda, seperti etnis, kebangsaan, umur ataupun jenis kelamin tertentu.

c. Menemukan hakikat berlakunya prinsip non-refoulement secara filosofis, dalam aspek ontologis, epistimologis, maupun aksiologis.

Metode Penulisan

Literature review ini diperoleh melalui pencarian yang dilakukan dengan bantuan beberapa sumber bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem cluster dan diklasifikasikan menurut sumber dan hirarkhienya untuk kemudian dianalisis secara komprehensif. Penulis kemudian menguraikan dan menghubungkan seluruh bahan hukum yang ada untuk kemudian disajikan dalam penulisan yang sistematis sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

Penulis melakukan pencarian internet yang luas dari database khusus pengungsi seperti REFWORLD, Refugee Research Network (REFLINK), Child Rights Information Network (CRIN); Human Rights Web and International Refugee Documentation Network (IRDN), UNHCR, serta pencarian database masing-masing negara. Penulis juga

(5)

4 melakukan pencarian dari katalog digital lainnya, termasuk the University of Oxford Refugee Studies Centre, Journal of Refugee Studies, International Migration Review, International Migration and Migration World. Berbagai Dokumen UNHCR seperti the 1997 Review of Resettlement activities and the 1999 Resettlement Handbook. Salah satu baseweb yang paling membantu adalah Perpustakaan Republik Indonesia yang membuka akses terhadap banyak jurnal nasional maupun internasional, melalui sistem perpustakaan online. Penulis juga menggunakan sumber daya dalam jaringan yang luas dan kontak pribadi untuk mendapatkan bahan tambahan.

Bahan hukum dari dokumen utama dan tulisan-tulisan kontemporer adalah bahan hukum yang direview, dengan fokus pada literatur dari 2005 sampai sekarang. Hal ini dilengkapi dengan literatur berbahasa Inggris dari Australia, Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Eropa, dengan menggunakan online library seperti lexis nexis dan westlaw.

Definisi dan Istilah

Berbagai istilah atau terminology digunakan untuk mencari bahan-bahan hukum yang menjadi focus penelitian ini. Istilah seperti Convention on Refugees, Convention refugees, mandated refuges, Refugees’ protection, Asylum Seekers atau Pencari Suaka, dan yang utama adalah non-refoulement principle.

Beberapa negara, seperti Kanada, menggunakan istilah 'Konvensi pengungsi' untuk menutupi semua pengungsi diterima di bawah 1951 Konvensi PBB dan Protokol 1967, terlepas dari rute mana mereka datang untuk diterima sebagai pengungsi. Di Selandia Baru, istilah ini biasanya terbatas pada mereka yang mencari status pengungsi di luar pengungsian Selandia Baru yang ditentukan oleh PBB.

Dalam laporan ini, istilah 'mandated refugees' digunakan sedapat mungkin untuk menggambarkan pengungsi yang statusnya dikonfirmasi sebelum mereka mencapai negara tujuan dan yang, dalam banyak kasus, diterima di bawah pengaturan kuota PBB. Beberapa penulis dan negara-negara menggunakan istilah 'kuota pengungsi' atau ‘quota refugees’ untuk menyebut kelompok ini.

(6)

5 Istilah 'pencari suaka' digunakan sedapat mungkin untuk merujuk kepada orang-orang yang mencari status pengungsi baik pada saat kedatangan di suatu negara atau segera sesudahnya. Amerika Serikat juga menggunakan istilah 'asylees' untuk menggambarkan grup ini setelah mereka diberikan status pengungsi.

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Prinsip Non-Refoulement

Istilah non-refoulement berasal dari kata Bahasa Perancis ‘refouler’ yang berarti mengembalikan atau mengirim balik (to drive back).1 Prinsip non-refoulement adalah

larangan atau tidak diperbolehkannya suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan ada kelompok sosial tertentu, atau karena keyakinan politiknya.2

Makna utama dari prinsip non-refoulement ini adaah tidak boleh ada negara yang mengembalikan atau mengirim pengungsi atau pencari suaka ke suatu wilayah tempat kehidupan dan keselamatan mereka akan terancam, kecuali kehadiran mereka benar-benar menimbulkan masalah ketertiban dan keamanan bagi negara yang bersangkutan.

Non-refoulement harus dibedakan dengan pengusiran (expulsion) atau deportasi (deportation) atau pemindahan secara paksa (forced removal). Pengusiran atau deportasi terjadi ketika warga negara asing yang berada di wilayah sebuah negara, melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketertiban hukum dan kepentingan

1 Harun Ur Rashid, 2005, Refugee and the Legal Principle of Non-Refoulement

(Rejection), dalam Law and Our Rights, No. 197, Juli, 2005.

(7)

6 nasional negara setempat, atau tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses peradilan.

Prinsip non-refoulement merupakan salah satu prinsip yang paling dasar dalam sistem perlindungan internasional bagi pengungsi dan pencari suaka. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam perlindungan individu dan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyiksaan dana tau penghukuman yang kasar dan merendahkan martabat dan tidak manusiawi.3 Prinsip ini merupakan tulang punggung bagi pengungsi dan pencari suaka

yang telah dilembagakan dalam berbagai instrument hukum internasional maupun nasional.

Ada beberapa permasalahan penting yang diatur dan dijelaskan dalam Pasal tersebut, yaitu: (1) pihak-pihak yang terikat terhadap prinsip non-refoulement; (2) Perbuatan yang dilarang; (3) pihak-pihak yang dilindungi; (4) tempat yang dilarang untuk melakukan non-refoulement; (5) ancaman terhadap hidup dan kebebasan; dan (6) karakter ancaman. Pembahasan terhadap masing-masing poin di atas akan didiskusikan lebih lanjut pada bagian ini.

(1) pihak-pihak yang terikat terhadap prinsip non-refoulement;

Contracting State” pada Pasal 33 (1) di atas merujuk pada semua negara yang menjadi para pihak pada Konvensi 1951. Artinya, Pasal tersebut hanya mengikat bagi negara-negara peserta. Berdasarkan Pasal 1 (2) Protokol 1967, suatu negara yang tidak menjadi para pihak pada Konvensi 1951 namun menjadi pihak pada Protokol 1967, juga terikat pada Pasal 2 hingga Pasal 34 Konvensi 1951. Dengan demikian, Pasal 33 Konvensi 1951 mengikat begara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau Protokol 1967, atau pada kedua instrument hukum tersebut. Negara peserta juga termasuk semua wilayah pemerintahan yang berada di bawahnya, seperti provinsi ataupun negara bagian, serta seluruh

3 Sir Elihu Lauterpacht & Daniel Bethlehem, 2003, the Scope and Content of the Principle

of Non-Refoulement, dalam Erika Feller, Volker Turk, & Frances Nicholson (Eds.), 2003, Refugee Protection in International Law: UNHCR’s Global Consultations on International Protection, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 87-164.

(8)

7 aparatur pelaksana negara yang memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan.

(2) Perbuatan yang dilarang;

Makna larangan terhadap non-refoulement dapat dilihat pada kata “expel or return (refouler)… in any manner whatsoever” yang terdapat dalam Pasal 33 (1) di atas. Artinya aturan ini bertujuan melarang setiap tindakan pemindahan atau penolakan yang akan menempatkan seseorang dalam kondisi yang berbahaya. Bentuk perbuatan secara formal tidak dibatasi terhadap pengusiran (expulsion), deportasi (deportation), pengembalian (return), maupun penolakan (rejection) saja. Ada beberapa saran untuk tidak menerapkan non-refoulement terhadap kasus-kasus ekstradisi pada masa-masa penyusunan draft Konvensi, namun masukan tersebut tidak menjadi materi yang dibahas lebih lanjut.4

(3) pihak-pihak yang dilindungi;

Pasal 33 (1) secara jelas menyebutkan bahwa perlindungan diberikan kepada pengungsi (refugee). Berdasarkan Pasal 1A (2) Konvensi 1951, yang diamandemen oleh Pasal I (2) Protokol 1967, refugee adalah:

“any person who owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or ho, not having nationality and being outside the country of his former habitual residence, is unable to or, owing to such fear, is unwilling to return to it.” Penjelasan dari pasal di atas tidak membatasi penerapan non-refoulement hanya kepada pengungsi yang sudah mendapatkan status pengungsinya secara formal, melainkan lebih menekankan pada ‘who owing to well-founded fear of being

4 Paul Weis, 1995, Refugee Convention 1951: The Travaux Preparatoire Analysed with a

(9)

8 persecuted’. Maknanya, khusus untuk kepentingan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, yang dimaksud pengungsi dalam Pasal 1A (2) di atas adalah orang yang secara nyata ketakutan akan persekusi atau penyiksaan yang harus dihadapinya, tanpa harus mempermasalahkan status formalnya sebagai pengungsi yang sah secara hukum nasional negara penerima. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan the Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status sebagai berikut:

A person is a refugee within the meaning of the 1951 Convention as soon as he

fulfils the criteria contained in the definition. Thiswould necessarily occur prior to the time at which his refugee status is formally determined. Recognition of his refugee status does not therefore make him a refugee but declares himto be one. He does not become a refugee because of recognition, but is recognized because he is a refugee.5

(4) Tempat yang dilarang untuk melakukan non-refoulement;

Tempat yang dilarang untuk melakukan non-refoulement dapat dijelaskan pada kalimat “to the frontiers of territories”. Yang harus diingat bahwa yang dimaksud tempat ini bukan semata-mata negara asal pengungsi ataupun pencari suaka. Frontiers of territories disini dapat berarti tempat apa saja dan dimana saja yagn dapat menimbulkan kekhawatiran atau ketakutan akan keselamatan hidup dan kebebasannya. Selain itu, tempat ini juga tidak harus dalam bentuk sebuah negara atau states. Bisa juga tempat yang dapat menimbulkan resiko terhadap nyawa seseorang adalah wilayah negaranya sendiri, maka orang tersebut dapat saja meminta perlindungan di kantor diplomatic negara lain yang ada di negara si pengungsi.

(5) ancaman terhadap hidup dan kebebasan;

ancaman yang menjadi dasar seseorang memilih meninggalkan tempat asalnya harus dapat dibuktikan dan memiliki standar yang jelas terhadap resiko kematian, keselamatan atau kebebasan pengungsi atau pencari suaka. Akan

5 UNHCR, 1979, Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status,

(10)

9 dilakukan berbagai tes standar terhadap adanya ancaman yang nyata bagi pengungsi atau tidak.

(6) karakter ancaman.

Pasal 33 (1) memberikan batasan bahwa ancaman tersebut didapatkan pengungsi atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari sebuah kelompok social atau perbedaan pandangan politiknya. Artinya, semua ancaman tersebut harus berdasarkan alasan-alasan di atas, sehingga prinsip non-refoulement dapat diberlakukan kepada mereka.

Instrumen Hukum Prinsip Non-Refoulement

Larangan mengembalikan pengungsi diatur dalam Pasal 33 (1) Konvensi 1951, yang berbunyi:

“No contracting State shall expel or return (refouler) a refugee in any mannar whatsoever to the frontier of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion.”

Prinsip non-refoulement juga diatur dalam beberapa instrument hukum internasional lainnya, seperti the 1966 Principles concerning Treatment of Refugees, yang diadopsi oleh the Asian-African Legal Consultative Committee,6 Pasal III (3), yang

berbunyi:

“No one seeking asylum in accordance with these Principles should, except for overriding reasons of national security or safeguarding the populations, be subjected to measures such as rejection at the frontier, return or expulsion which would result in compelling him to return to or remain in a territory if there is a well-founded fear of persecution endangering his life, physical integrity or liberty in that territory.”

6 Report of the Eighth Session of the Asian-African Legal Consultative Committee,

(11)

10 The 1967 Declaration on Territorial Asylum yang diadopsi oleh the United Nations General Assembly (UNGA) sebagai Resolution 2132 (XXII), 14 Desember 1967, Pasal 3 yang berbunyi:7

1. No person referred to in article 1, paragraph 1 [seeking asylum from persecution], shall be subjected to measures such as rejection at the frontier or, if he has already entered the territory in which he seeks asylum, expulsion or compulsory return to any State where he may be subjected to persecution. 2. Exception may be made to the foregoing principle only for overriding reasons of

national security or in order to safeguard the population, as in the case of a mass influx of persons.

3. Should a State decide in any case that exception to the principle stated in paragraph 1 of this article would be justified, it shall consider the possibility of granting the person concerned, under such conditions as it may deem appropriate, an opportunity, whether by way of provisional asylum or otherwise, of going to another State.

Selain itu, Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa oleh Organization of Africa Unity (OAU) pada tahun 1969, Pasal II(3) menegaskan: No person shall be subjected by a Member State to measures such as rejection at the frontier, return or expulsion, which would compel him to return to or remain in a territory where his life, physical integrity or liberty would be threatened for the reasons set out in Article I, paragraphs 1 and 2 [concerning persecution for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, or who is compelled to leave his country of origin or place of habitual residence in order to seek refuge from external aggression, occupation, foreign domination or events seriously disturbing public order].

American Convention on Human Rights Tahun 1969, Pasal 22(8) mengatur bahwa: In no case may an alien be deported or returned to a country, regardless of whether or not it is his country of origin, if in that country his right to life or personal freedom is in danger of being violated because of his race, nationality, religion, social status, or political opinions.

7 United Nations General Assembly (UNGA), A/RES/2132 (XXII), tanggal 14 Desember

(12)

11 Cartagena Declaration tahun 1984, Section III, paragraph 5 menyebutkan: “the importance and meaning of the principle of non-refoulement (including the prohibition of rejection at the frontier) as a corner-stone of the international protection of refugees. This principle is imperative in regard to refugees and in the present state of international law should be acknowledged and observed as a rule of jus cogens.”

Prinsip non-refoulement juga tercantum pada Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) Tahun 1949, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) tahun 1966, serta beberapa instrumen hukum hak asasi lainnya.

Pengecualian Terhadap Prinsip Non-Refoulement

Dalam penerapan prinsip non-refoulement dimungkinkan adanya pengecualian, maksudnya seorang pengungsi atau pencari suaka tidak mendapatkan perlindungan internasional karena alasan-alasan tertentu. Klausula pengecualian tersebut dapat dilihat pada Pasal 33 (2) Konvensi 1951, yang berbunyi:

(2) The benefit of the present provision [prohibiting refoulement] may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country.

Menurut Pasal 33 ayat (2) Konvensi 1951, larangan memaksa pengungsi kembali ke negara dimana ia mungkin mengalami persekusi tidak diterapkan kepada pengungsi yang mengancam keamanan negara, atau ia telah mendapatkan putusan akhir dari hakim atas kejahatan serius yang telah ia perbuat, serta membahayakan masyarakat negara setempat. Namun, ketentuan ini hanya berlaku untuk pengecualian yang sangat mendesak. Hal tersebut bermakna, apabila pengecualian tersebut akan diterapkan,

(13)

12 maka harus dibuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara keberadaan pengungsi di suatu negara dengan keamanan nasional negara itu yang terancam.8

Pada dasarnya penafsiran tentang ancaman bagi keamanan nasional merupakan kewenangan otoritas negara setempat sebagai pemegang kedaulatan. Namun demikian, penilian tentang adanya ancaman bagi keamanan nasional oleh negara setempat karena kehadiran pengungsi dilakukan secara kasus per-kasus dan harus didasari oleh itikad baik (good faith). Meskipun pada dasarnya penafsiran tentang ancaman bagi keamanan nasional merupakan otoritas negara setempat sebagai pemegang kedaulatan.9

Pengusiran pengungsi hanya akan dilakukan sebagai pelaksanaan suatu keputusan yang dicapai sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Kecuali apabila alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa mengharuskan lain, pengungsi itu akan diizinkan menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya serta mengajukan banding kepada instansi yang berwenang. Pengecualian penerapan non refoulement mensyaratkan adanya unsur ancaman terhadap keamanan negara dan gangguan terhadap ketertiban umum di negara setempat.10

Dalam arti sempit, ancaman dapat bersifat terencana ataupun residual. Ancaman terencana dapat berupa subversi, yakni menggulingkan pemerintahan sah yang sedang berkuasa, maupun pemberontakan dalam negeri serta infiltrasi (penyusupan), subversi, sabotase (pengerusakan) dan invasi (penyerbuan ke wilayah Negara lain). Ancaman residual adalah berbagai keadaan dalam masyarakat yang merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang apabila tidak ditangani secara tuntas pada waktunya, akan memicu kerusuhan yang dapat dipergunakan oleh unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk kepentingannya.

Secara umum, negara-negara di dunia mengecualikan prinsip non refoulement dengan berasumsikan pada konvensi 1951. Selain pada Pasal 33 ayat (2), hal terkait

8 Kadarudin, 2012, Penerapan Prinsip Non-Refoulement oleh Indonesia sebagai Negara

Transit Pengungsi Internasional, Tesis, Makassar, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

9 Sigit Riyanto, 2010, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum

Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3, Oktober 2010, hlm. 447

(14)

13 pengecualian juga terdapat pada Pasal 1F Konvensi 1951 bahwa pengungsi yang telah melakukan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan perang, atau suatu kejahatan kemanusiaan, seperti yang didefinisikan dalam instrumen-instrumen internasional yang disusun untuk membuat peraturan mengenai kejahatan-kejahatan tersebut, selain itu pengecualian dilakukan pada pengungsi yang telah melakukan suatu kejahatan non-politik yang berbahaya di luar negara pengungsian sebelum masuknya dia ke negara tersebut sebagai pengungsi, ataupun mereka telah bersalah karena melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.11

BAB III ANALISIS KOMPREHENSIF

UNHCR mendefinisikan pencari suaka sebagai orang yang menganggap dirinya pengungsi, tetapi klaim tersebut belum dievaluasi oleh sistem pemberi suaka nasional (UNHCR n.d.a). Aspinall dan Watters (2010: v) menyebutkan bahwa istilah pencari suaka diberikan kepada mereka yang mendaftar untuk mendapat suaka dan sedang menunggu keputusan dari pendaftaran tersebut serta mereka yang pendaftarannya telah ditolak. Sedangkan istilah pengungsi berarti:

"[T]hose who have a well-founded fear of persecution for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not

(15)

14 having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.” (The Refugee Convention 1951 Bagian A Pasal 2)

Maka, perbedaan antara definisi pencari suaka dan pengungsi sudah jelas, yaitu, pemberian status pengungsi harus berdasarkan ukuran obyektif sehingga terbukti bahwa pencari suaka berhak memperoleh status tersebut dari pihak maupun Negara lain. Pencari suaka seringkali jatuh pada situasi dimana mereka dianggap imigran ilegal. Pengertian ini secara konseptual masih menjadi perdebatan terutama bila digunakan untuk mengidentifikasi pencari suaka.

Menurut Koser (2005: 4) penggunaan istilah ilegal banyak menuai kritik. Pertama, ia dikonotasikan dengan kriminalitas. Sebagian besar pencari suaka dan pengungsi yang bergerak dalam pola irregular (pergerakan yang terjadi di luar norma aturan dari Negara pengirim, transit, maupun penerima seperti masuk dan tinggal tanpa ijin atau dokumen yang dibutuhkan di bawah regulasi imigrasi) bukanlah kriminal.

UN Special Rapporteur on the Rights of Non-Citizens (2006: 28) menyebutkan bahwa:

“States should ensure that individuals caught in an illegal situation, such as asylum-seekers who are in a country unlawfully and whose claims are not considered valid by the authorities, are not treated as criminals”.

Kedua, memberi label ilegal pada seseorang bisa dianggap menolak aspek kemanusiaannya. Sangat mudah dilupakan bahwa pencari suaka juga adalah manusia yang memiliki hak-hak fundamental apapun status mereka (CDMG 2004: 29). Ketiga, Koser juga menyadari kekhawatiran utama dari UNHCR ketika memberi label ilegal pada pencari suaka adalah kemungkinan bahwa ini akan membahayakan klaim suaka yang mereka cari.

Namun, negara melalui para pembuat kebijakan mengembangkan terminologi mixed flows untuk mengidentifikasi migran yang difasilitasi oleh penyelundup manusia, yang tidak seluruhnya diakui sebagai pencari suaka. Beberapa dari mereka disebut

(16)

15 sebagai economic migrants; mereka bermigrasi terutama karena alasan-alasan ekonomi, sedangkan beberapa lainnya, yang diberikan akses terhadap fasilitas penentuan status pengungsi disebut sebagai pengungsi seperti yang disebutkan dalam Konvensi 1951 (Mountz 2010:4). Banyak perdebatan meliputi keberadaan pencari suaka dan bagaimana seharusnya negara meresponnya. Price (2009: 2) mengajukan premis bahwa „[S]tates should open their borders to all who seek to enter‟.

Hal ini terutama bila menyangkut situasi yang membahayakan keamanan individu lain. Tetapi, premis ini mendapat tantangan. Misalnya, kehadiran immigration restrictions. Mengapa negara harus membuka perbatasan atau menurunkan standar dan kontrol imigrasi jika menutup perbatasan akan meningkatkan kepentingan nasionalnya? Respon ini berhubungan dengan tujuan negara adalah untuk menjaga kepentingan dan keamanan nasionalnya dalam pengertian yang lebih realis. Lebih detail lagi bahwa negara menganggap kewajiban untuk membantu orang lain terbatas pada mereka yang sudah menjadi anggota masyarakat di dalam teritorinya atau warga negaranya di negara lain.

Dalam konteks ini identitas nasional bersifat sangat signifikan (2009). Menurut Price, respon tersebut bisa dijawab dengan memasukkan unsur-unsur tanggung jawab dan perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Pertama, batas negara merupakan pemisah antara the haves dan the havenots dengan konsekuensi mereka yang lahir di dalam suatu batas negara harus menerima kondisinya. Keadilan diperlukan bahwa kesempatan hidup seseorang seharusnya tidak bergantung pada arbitrary facts semacam itu sehingga kebebasan untuk bergerak melintasi batas-batas negara harus dianggap sebagai hak dasar setiap individu. Kedua, negara lain dan komunitas internasional, termasuk organisasi-organisasi non-pemerintah, memiliki tanggungjawab moral untuk membantu siapapun yang ingin menghindari penyiksaan serius. Tanggungjawab moral tersebut setidaknya bisa diartikan dalam bentuk bantuan dengan resiko minimal.

Ketiga, negara-negara itu bertanggung jawab atas aliran pencari suaka yang mencari perlindungan karena mereka menawarkan dukungan diplomatic dan politik kepada rezim berkuasa yang menyiksa rakyatnya atau memaksakan SAP (Structural Adjustment Programs) yang terbukti tidak bisa memberikan stabilitas domestik bagi

(17)

16 ekonomi berkembang atau miskin melalui IMF maupun Bank Dunia. Bisa pula dikatakan bahwa ketika sebuah negara secara langsung bertanggungjawab dalam membuat kondisi negara lain tidak layak ditinggali, misalnya melalui invasi atau dukungan terhadapnya, maka negara tersebut semakin memiliki tanggungjawab lebih besar terhadap pencari suaka yang berasal dari negara itu (2009: 3-4). Bagi Negara Pihak yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, mereka dianggap bersedia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut termasuk memberikan status pengungsi kepada para pencari suaka yang telah melalui proses evaluasi.

Tetapi, bukan berarti Non-Negara Pihak bisa lepas tangan terhadap permasalahan pencari suaka ini. Prinsip non-refoulement, diterjemahkan sebagai prinsip yang melarang pengembalian (dengan cara apapun) orang-orang ke negara asal mereka dimana mereka menghadapi penyiksaan, telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional dan mengikat bagi seluruh negara. Sebagai akibatnya adalah tidak ada pemerintah yang diperbolehkan untuk mengusir orang-orang tersebut (UNHCR n.d.b). Dalam kaitannya dengan control perbatasan dan imigrasi ada dua diskurus utama yang terjadi sehubungan dengan hak pencari suaka untuk bermigrasi. Pertama, sejak tahun 1990an terjadi peningkatan penyelundupan manusia di Amerika Utara, Australia, dan Eropa yang kemudian memulai securitization of migration bersamaan dengan criminalization of smuggling (Huysmans 2006). Apa yang dimaksud dengan securitization of migration ini adalah bahwa migrasi dikaitkan dengan isu keamanan negara dan pemerintah melakukan segala upaya yang berorientasi kontrol dan pengetatan perbatasan serta standar imigrasi. Kedua, negara semakin intensif dalam pengetatan perbatasan baik di dalam maupun di luar teritorinya. Ini mempersulit pencari suaka untuk menjangkau negara penerima pengungsi (UNHCR 2000c). Banyak orang yang mencari suaka atau status pengungsi menjadi korban pengamanan perbatasan dan tidak pernah mencapai teritori berdaulat untuk memperoleh klaim (Mountz 2010: xvii).

Akibatnya, mereka memilih menggunakan jasa penyelundup manusia untuk mencapai negara tujuan (Koser 2000: 9111; Kyle dan Kowslowski 2001; Nadig 2002: 1-25). Konsekuensinya adalah penyelundupan migran, termasuk pencari suaka, adalah tindakan kriminal dan layak mendapat hukuman seberat-beratnya.

(18)

17 Kedua mainstream ini sebenarnya memiliki benang merah yang sama, yakni, negara semakin terbebani dengan kehadiran pencari suaka sehingga kebijakan imigrasi dan kontrol perbatasan diperketat. Menurut Mountz (2010: xiv-xv) negara penerima pengungsi menciptakan the long tunnel thesis, yaitu, sebuah kondisi dimana pencari suaka yang mendaftarkan klaim harus melalui proses panjang dan memakan waktu bertahun-tahun untuk memperoleh kepastian status. Bahkan, negara memodifikasi geografinya dengan pengetatan perbatasan di luar teritorinya maupun dengan mengarahkan para pencari suaka ke negara lain. Ini berpengaruh terhadap keputusan pencari suaka untuk menggunakan jasa penyelundup manusia. Situasi ini melahirkan dilema antara aspek kemanusiaan dan kedaulatan negara. Adapun anggapan oleh negara bahwa sejak akhir tahun 1980an „[T]here has been significant abuse of the asylum system by those who are economic migrants but claim to be persecuted‟ (Anie dan Nicholas et al 2005: 17).

Negara menyebutnya sebagai migration/asylum nexus yang merujuk pada hubungan antara pencari suaka dan meningkatnya jumlah orang yang menggunakan jalur suaka meski tujuan mereka tidak sesuai dengan kriteria yang disebutkan dalam Konvensi Pengungsi 1951 (Colleen dan Channac 2006: 373). Para akademisi yang fokus pada isu pencari suaka dan pengungsi meyakini persepsi tersebut sebagai bukti culture of mistrust yang mendalam terhadap pencari suaka (Finch 2005). Pemberitaan di media massa mengenai terorisme juga memberi efek bahwa pencari suaka yang menggunakan jasa penyelundup manusia merupakan ancaman terhadap keamanan negara dan menerima mereka dalam teritori negara adalah keputusan yang salah. Hasilnya adalah diskursus seputar pencari suaka bukan fokus pada elemen kemanusiaan seperti hak asasi mereka untuk memperoleh perlindungan, melainkan mengenai kedaulatan dan keamanan negara melalui kontrol perbatasan dan imigrasi, serta kriminalisasi penyelundupan manusia.

Baru sedikit penelitian mengenai RCP tetapi ada beberapa karakter yang membuatnya berbeda dari institusi regional maupun internasional (Klekowski von Koppenfels 2001: 9). Pertama, RCP merupakan arena multilateral dan secara esensial berisi negara yang bersifat informal. Ia adalah sebuah proses, bukan institusi, yang berarti bahwa bekerja untuk tujuan akhir adalah sebuah aspek penting, meski ada

(19)

18 beberapa proses yang kemudian menjadi institusi. Aspek informal tidak hanya terbatas pada struktur dari proses tersebut, melainkan juga pada kerahasiaan dari negosiasi dan diskusi yang terjadi di dalamnya. Misalnya, partisipasi antar pemerintah yang terbatas dan eksklusif adalah cara untuk melindungi kerahasiaan tersebut.

Karakter kedua adalah keterbukaan dan keputusan yang tidak mengikat karena konsultatif dengan pemerintah-pemerintah berpatisipasi dalam proses secara sukarela dan mendukung rekomendasi-rekomendasi yang bersifat tidak mengikat. Dengan tidak adanya komitmen formal, pendekatan yang dilakukan pemerintah-pemerintah yang berpartisipasi di dalamnya relatif bebas sebab tidak ada paksaan untuk menerima keputusan politik yang sama dan mengikat.

Klekowski von Koppefels (2001) menyebutkan bahwa inilah yang dimaksud dengan keterbukaan, lahir dari sifat RCP yang rahasia. Karena ia juga bukan institusi yang dimaksudkan untuk menciptakan standar, persetujuan atau peraturan legal yang mengikat, ia juga tidak memiliki tanggungjawab untuk menilai dan mengevaluasi apakah pemerintah yang bersangkutan menghormati komitmen dari RCP atau tidak.

Ketiga, merupakan aspek efisiensi. RCP berfungsi dengan struktur administratif yang relatif kecil dan sekretariatnya biasanya menempel pada sebuah organisasi internasional. Ini adalah aspek penting bagi RCP untuk menjamin efisiensi. Pertukaran informasi antar negara yang berpartisipasi menjadi efisien dan tepat waktu karena tidak ada filter atau penghubung administratif yang menghalangi. Douglas dan Schloenhardt (2012: 5-6) membagi tiga alasan terbentuknya Bali Process ini. Pertama, pertemuan awal pada Februari 2002 menandakan sebuah pengakuan formal tentang memburuknya permasalahan irregular migration, terutama penyelundupan pencari suaka dengan kapal, di wilayah Asia Pasifik.

Pernyataan resmi dari para Menteri yang hadir adalah: “Illegal movements were growing in scale and complexity, including in the Asia Pacific region, creating significant political, economic, social and security challenges.” (Australia dan Indonesia sebagai Co-Chairs 2002)

(20)

19 Kompleksitas tersebut juga dikaitkan dengan potensi terorisme melalui penyelundupan manusia. Kedua, pertemuan tersebut mengekspresikan perlawanan kolektif terhadap penyelundupan pencari suaka. Ketiga, adanya komitmen sukarela atas nama seluruh negara untuk bekerjasama sebagai sebuah wilayah untuk melawan penyelundupan pencari suaka dalam kerangka kewajiban internasional dan penghargaan terhadap kondisi nasional masing-masing negara.

Douglas dan Schloenhardt juga mengakui bahwa terlalu sedikit literature yang membahas RCP serta belum ada evaluasi mengenai Bali Process. Bali Process juga tidak memiliki kehadiran fisik (sekretariat) serta tidak memiliki agenda atau jadwal jelas sehingga sulit untuk diidentifikasi kemajuan maupun pencapaiannya. Evaluasi kelebihan dan kekurangannya hanya terbatas pada koordinasi forum, bukti dan hasil, agenda kebijakan, serta akuntabilitas (2012:10). Keduanya juga menemukan fakta bahwa dana Australia untuk penanganan penyelundupan pencari suaka paling besar diberikan kepada Bali Processdibandingkan kepada ONODC, IOM, dan organisasi regional serta internasional lain yang fokus pada persoalan serupa (2012: 11). Ini menandakan bahwa Australia sebagai Co-Chairs dan anggota Steering Group menganggap penting peran Bali Process.

Dengan keanggotaan lebih dari 43 negara, menurut Hansen (2010: 34), Bali Process adalah notable exception dari aturan umum RCPs untuk memiliki sedikit anggota agar efektif. Steering Group yang terdiri dari Australia, Indonesia, Selandia Baru, Thailand, UNHCR, dan IOM, dimaksudkan sebagai pemimpin yang mewakili anggota-anggota lainnya supaya Bali Process lebih efektif. Namun, Bali Process dianggap kurang dalam information sharing padahal ini adalah salah satu aspek penting Bali Process. Kurangnya pembagian informasi teknis maupun intelijen mengenai irregular migration adalah hambatan utama untuk mengatasi penyelundupan pencari suaka. Adapun Regional Immigration Liaison Officer Network (RILON) yang dikembangkan Bali Process Working Group sejak 2009 namun hanya menargetkan irregular migration jalur udara (2012: 12) tanpa menyertakan jalur maritim.

Mengukur hasil dan pencapaiannya dalam skala absolut merupakan hal yang mustahil karena Bali Process adalah forum diskusi informal dan tidak mengikat. Ini juga serupa dengan tujuan RCP lain yang fokus pada migrasi, salah satunya, untuk

(21)

20 membangun jaringan antar negara yang berpartisipasi agar mudah menjalin kepercayaan dan berbagi pemahaman mengenai prioritas-prioritas irregular migration. Dengan kata lain persamaan persepsi mengenai penyelundupan pencari suaka secara gradual diterjemahkan ke dalam sebuah proses peleburan dan harmonisasi praktek dan kebijakan (Channac dan Thouez 2006: 385-386). Tetapi, terlihat bahwa Bali Process dilingkupi oleh kerahasiaan dan kekhawatiran mengenai kedaulatan negara meskipun Bali Process juga menandai negara-negara kawasan Asia Pasifik semakin terbuka dalam mendiskusikan penyelundupan pencari suaka dibanding sebelum keberadaan Bali Process (2012: 13).

Koser (2008: 18) mencatat bahwa Bali Process telah mengembangkan guidelines mengenai topik-topik berkaitan dengan kerjasama penegakan hukum antar lembaga di wilayah Asia Pasifik selama 2002-2011. Sayangnya, guidelines tersebut tidak tercatat dan diterbitkan dalam satu dokumen. Meski demikian, Douglas dan Schloenhardt menganggapnya sebagai salah satu pencapaian Bali Process selain pengembangan dan diseminasi kampanye informasi anti penyelundupan pencari suaka di Bangladesh, Sri Lanka, Indonesia, dan Pakistan. Douglas dan Schloenhardt juga menggarisbawahi bahwa pembentukan Regional Cooperation Framework (RCF) pada Konferensi Bali Process IV tahun 2011 adalah pencapaian penting.

Penelitian lain yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Amy Nethery dari Deakin University, Melbourne; Brynna Rafferty-Brown dari La Trobe University, Melbourne; dan Savitri Taylor dari La Trobe University, Melbourne yang berjudul “Exporting Detention: Australia funded Immigration Detention in Indonesia”. Penelitian karya Amy Nethery et al. berupa tulisan dalam jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2012. Dalam tulisan karya Amy Nethery et al. dijelaskan bahwa perkembangan hukum asylum seeker di Indonesia terasa begitu signifikan sejak tahun 1992 sampai dengan 2011.

Pada awalnya, permasalahan pengungsi atau pencari bagi Pemerintah Indonesia belum menjadi sebuah prioritas kebijakan. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak memiliki dana dan infrastruktur untuk menangani dan menampung pengungsi atau pencari suaka. Meskipun Undang-Undang 1992 tentang Imigrasi telah diberlakukan, Indonesia tidak serta merta menahan pengugnsi atau pencari suaka yang tertangkap

(22)

21 sebelum akhirnya Australia mulai aktif mendorong Indonesia untuk melakukannya. Bantuan finansial dan tekanan diplomatik Australia kepada Indonesia membuat Indonesia mulai mengambil tindakan dan menaruh perhatian terhadap fenomena UMAs.

Hasil penelitian Amy Nethery et al. menggunakan dua indikator penguji yaitu indikator yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia) dan indikator tentang perlindungan dan keamanan menurut UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees). Dalam indikator HAM, Nethery et al. menjelaskan bahwa rudenim (rumah detensi imigrasi) di Indonesia telah over capacity dan tidak layak dijadikan tempat tinggal. Selain itu, rudenim di Jakarta juga digambarkan seperti penjara lengkap dengan sel dan kuncinya. Hal ini membuat UMAs tidak merasakan kebebasan dalam bergerak. Kemudian, komunikasi pun terbatas karena beberapa rudenim di Tanjung Pinang melarang para pencari suaka ini menggunakan telepon genggam mereka pribadi. Kebutuhan akan makanan dan fasilitas kesehatan pun tidak memadai selayaknya manusia di kehidupan normal.

Indikator perlindungan dan keamanan menurut UNHCR juga gagal dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia. Pertama, para pencari suaka tentu tidak bisa dipulangkan secara sukarela ke tempat asal yang penuh dengan konflik. Kedua, integrasi dengan penduduk lokal yang cukup sulit karena terdapat perbedaan ras, budaya, dan kebiasaan. Ketiga, pada kenyataannya butuh waktu bertahun-tahun hingga puluhan tahun untuk mendapatkan status pengungsi dan dipindahkan ke negara lain sebagai tempat resettlement (Taylor and Rafferty-Brown dalam Nethery et al., 2012). Berdasarkan dua indikator yang digunakan, Amy Nethery et al. menunjukan bahwa pelaksanaan kerjasama antara Australia dan Indonesia ini belum mampu untuk memenuhi Hak Asasi Manusia serta memberikan perlindungan kepada UMAs. Hasil penelitian Amy Nethery et al. juga mengasumsikan bahwa kerjasama antara Australia dan Indonesia cenderung menitikberatkan tanggung jawab kepada Pemerintah Indonesia sendiri. Disebutkan dalam tulisan tersebut, Australia menganggap perannya dalam hal monitoring dan pelaksanaan kerjasama sangat terbatas karena tidak ingin mengintervensi Pemerintah Indonesia secara mendalam. Menurut pihak Australia, untuk menjaga kerjasama dengan Indonesia agar terus berjalan, tidak ada alasan bagi Australia untuk mengeluh kepada Pemerintah Indonesia jika ada Hak Asasi tahanan yang

(23)

22 dilanggar. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan Hak Asasi Manusia para pencari suaka yang tertahan di Indonesia tidak terjamin.

Kajian pustaka kedua sebagai acuan dalam membuat penelitian ini adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Rutvica Andrijasevic berjudul How to Balance Rights and Responsibilities on Asylum at the EU’s Southern Border of Italy and Libya. Rutvica Andrijasevic adalah seorang ESRC post-doctoral di Centre on Migration, Policy, and Society University of Oxford. Tulisan ini termuat dalam jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh COMPAS Oxford tahun 2006. Pada tulisan ini, Andrijasevic memaparkan tentang kerjasama bilateral antara Pemerintah Italia dengan Pemerintah Libya dalam penanganan kasus imigrasi ilegal asal Afrika menuju Italia dengan tujuan mencari suaka. Dalam upaya kontrol aliran imigrasi ilegal dari Afrika menuju Italia, Pemerintah Italia menjalankan sebuah kerjasama dengan Pemerintah Libya dimulai sejak tahun 2000. Kerjasama tersebut berupa perjanjian untuk memberantas terorisme, organized crime, dan imigrasi ilegal. Kemudian pada tahun 2003, hubungan kerjasama Italia-Libya semakin luas mencakup readmission agreement, training untuk polisi dan border guards Libya serta pemberian bantuan dana untuk pembangunan tempat detensi para imigran ilegal tujuan Italia yang melewati Libya. Readmission agreement adalah istilah yang digunakan oleh European Union (EU) dalam menjelaskan kebijakan negara untuk memindahkan para asylum seeker dari negara tujuan ke negara lain sebagai third country.

Tulisan karya Andrijasevic ini memperdebatkan bahwa implementasi dari kerjasama ini tidak benar-benar merelokasi para pencari suaka ke tempat penanganan yang tepat, namun justru seperti menghalangi prosedur mereka untuk mendapatkan kesempatan klaim status sebagai pengungsi. Menurut analisis Andrijasevic, tujuan dari kerjasama ini dari sudut pandang Italia adalah untuk mencegah kematian para UMAs di laut yang hendak melanjutkan perjalanan menuju Italia dari Afrika. Namun, tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan efek deterrence kepada UMAs yang hendak bermigrasi ke Eropa. Hasil jurnal ini adalah pemaparan tentang tanggung jawab politik dari semua aktor yang terlibat dalam pelaksanaan readmission agreement tersebut. Aktor yang dimaksud adalah Pemerintah Italia dan Pemerintah Libya serta organisasi internasional seperti EU dan UNHCR.

(24)

23 Penelitian ini menggunakan karya ilmiah yang ditulis oleh Amy Nethery et al. dan Andrijasevic sebagai kajian pustaka karena kedua penelitian tersebut memiliki kesamaan tema dengan penelitian ini. Garis besar dalam penelitian keduanya adalah tentang kerjasama pemindahan UMAs ke negara lain sebagai third country. Kedua kajian pustaka di atas juga memiliki kontribusi dalam proses pembuatan penelitian ini. Kajian pustaka pertama karya Amy Nethery et al. menghasilkan sebuah pernyataan bahwa proses transfer of asylum seeker antara Australia dan Indonesia cenderung bersifat menitikberatkan tanggung jawab kepada Indonesia dan pada praktiknya tidak mampu melindungi HAM para pencari suaka. Oleh sebab itu, hasil karya ilmiah tersebut menjadi referensi dan sumber pertanyaan selanjutnya yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil tulisan Nethery et al., penelitian ini merumuskan sebuah pertanyaan mengapa Pemerintah Papua Nugini bersedia menerima bentuk kerjasama PNG Solution sementara contoh yang terjadi di Indonesia tidak menunjukan hasil yang cukup baik bagi pihak third country. Kajian pustaka kedua karya Andrijasevic fokus terhadap tanggung jawab masing-masing pihak dalam permasalahan transfer of asylum seeker. Pihak yang dimaksud adalah pemerintah masing-masing negara, organisasi internasional, dan kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, kajian pustaka kedua membantu penelitian ini dalam membahas tanggung jawab seluruh pihak yang terlibat dalam PNG Solution. Penelitian ini membahas tanggung jawab Pemerintah Australia sebagai negara pengirim dan sejauh mana tanggung jawab Pemerintah Papua Nugini sebagai third country. Hal ini sejalan dengan isu yang dibahas pada kajian pustaka 15 pertama yakni titik berat tanggung jawab negara. Persoalan tanggung jawab ini tentu berkaitan dengan alasan dan motif Papua Nugini bersedia menerima kerjasama dengan pihak Australia.

Tulisan karya Amy Nethery et al. tidak membahas faktor-faktor yang memengaruhi Indonesia bersedia melakukan kerjasama internasional dengan Australia dalam hal penahanan dan pemrosesan UMAs. Oleh sebab itu, penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai motivasi dan faktor pendukung third country, yang dalam kasus ini adalah Papua Nugini, bersedia untuk menjadi tempat resettlement para UMAs. Hal ini menarik untuk diangkat menjadi sebuah penelitian karena menurut Foster (2008) dalam tulisannya yang berjudul Responsibility Sharing or Shifting? “Safe” Third Countries

(25)

24 and International Law dikatakan bahwa pelaksanaan transfer of asylum seeker cenderung bersifat burden shifting bukan burden sharing.

Sama halnya seperti penelitian Amy Nethery et al., penelitian karya Andrijasevic belum menjelaskan mengenai motivasi third country menerima bentuk kerjasama internasional transfer of asylum seeker dari negara tujuan sebenarnya. Selain itu, kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini hanya membahas mengenai pemindahan UMAs ke negara yang wilayahnya dilewati oleh jalur UMAs tersebut. Namun, penelitian ini menggunakan contoh kasus pemindahan UMAs oleh Australia ke Papua Nugini karena kerjasama ini cukup unik. Australia akan memindahkan UMAs yang berasal dari mana pun ke Papua Nugini, baik itu yang ditemukan di Pulau Christmas atau wilayah lepas pantai Australia lainnya maupun yang sudah tiba di mainland Australia. Hal ini juga berarti Papua Nugini bersedia menerima UMAs yang tidak melewati batas wilayahnya seperti UMAs asal Afghanistan, Irak, dan Sri Lanka. Maka dari itu, penelitian ini dapat mengisi gap yang ada di dalam dua penelitian sebelumnya dengan menambahkan informasi yang belum dibahas pada kedua penelitian tersebut. Informasi tambahan yang dimaksud yakni motivasi negara penerima UMAs yang wilayahnya tidak dilewati namun mendapatkan tanggung jawab untuk menangani UMAs tersebut.

Made Prama Astika, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam skripsinya pada tahun 2011 yang berjudul “Analisis Hukum Penanganan Imigran Ilegal sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional”. Penelitian tersebut berfokus pada pengaturan hukum internasional secara umum dalam menangani masalah imigran ilegal yang menjadi pencari suaka dan pengungsi yang bertumpu pada prinsip umum yaitu prinsip non-refoulement sebagai jus cogens. Sedangkan perbedaan yang mencolok dengan penulisan hukum ini adalah bahwa Penulis menitikberatkan penelitian ini secara khusus, pada kesesuaian praktik penanganan pengungsi dan pencari suaka di Rudenim berdasarkan pengaturan hukum internasional.

Adapun penelitian hasil karya Farah Ramafitri, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 2011 yang berjudul “Perlindungan Pengungsi Asal Sri Lanka di Indonesia Berdasarkan Deklarasi DUHAM dan Urgensi Ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951”. Fokus penelitian dititiktekankan pada urgensi

(26)

25 ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dalam perspektif deklarasi DUHAM untuk menjamin serta menegakkan HAM dari para Pengungsi sebagai individu yang membutuhkan perlindungan Internasional. Sedangkan perbedaan pada penulisan hukum ini adalah bahwa Penulis menitikberatkan pengaturan perlindungan pengungsi dan pencari suaka menurut regulasi nasional pada Rudenim berdasarkan pengaturan hukum internasional.

Selanjutnya adalah skripsi Intan Pelangi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam skripsinya pada tahun 2009 berjudul “Pengaruh United Nation Declaration On The Territorial Assylum 1967 Terhadap Para Pencari Suaka di Indonesia”. Fokus penelitian dititikberatkan pada konvensi tentang suaka teritorial yang terwujud dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan perbedaan pada penulisan hukum ini adalah bahwa Penulis menitikberatkan pada perlindungan terhadap pengungsi dan pencari suaka berdasarkan konvensi pengungsi tahun 1951 dan Protokol Pengungsi tahun 1967. Ketiga penulisan hukum tersebut berbeda dengan Penulisan Hukum yang dilakukan oleh Penulis. Penulisan ini didalamnya dilakukan penelitian oleh Penulis yaitu terhadap regulasi penanganan pengungsi dan pencari suaka pada Rudenim di Semarang yang didasarkan kepada peraturan tentang Keimigrasian di Indonesia. Selain melalui kepustakaan, beberapa informasi yang dimuat di internet, terkait dengan penulisan ini mengenai “Kesesuaian Praktik Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka pada Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Indonesia Berdasarkan Ketentuan Hukum Pengungsi Internasional” adalah asli dan layak untuk diteliti.

BAB IV KESIMPULAN

Selama ini, belum ada penelitian yang dilakukan terkait hakikat berlakunya prinsip non-refoulement. Beberapa penelitian tentang prinsip non-refoulement lebih bersifat kecil dan dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, terkait pada kasus-kasus pada kebangsaan atau etnis tertentu, atau pengelompokan umur atau jenis kelamin para

(27)

26 pengungsi. Lebih jauh, penelitian yang telah ada lebih menitikberatkan pada lokasi geografis tertentu, dalam bentuk manuskrip ataupun laporan penelitian oleh lembaga-lembaga internasional.

Penelitian yang telah ada di Indonesia terkait prinsip non-refoulement lebih terbatas dan umumnya dalam tataran empiris. Secara internasional, peningkatan jumlah pengungsi dan meningkatnya arus pengungsian dari berbagai daerah konflik sekaligus meningkatkan minat peneliti dalam bidang ini.

Literatur menunjukkan bahwa definisi prinsip non-refoulement itu sendiri terbuka untuk dipertanyakan. Ruang lingkup dan kekuatan berlakunya masih sangat terbuka untuk didiskusikan dan dilakukan perbandingan antara pengaturan negara satu dengan negara yang lainnya.

Berlakunya suatu hukum internasional di dalam wilayah sebuah negara sangat erat kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Teori hubungan hukum internasional dan hukum nasional telah memberikan gambaran tentang kedudukan sebuah hukum internasional di dalam sistem hukum sebuah negara. Aliran monism dan dualism masih terus menjadi perdebatan yang sengit di antara pakar hukum internasional. prinsip non-refoulement sebagai hukum kebiasaan internasional menjadi sebuah focus kajian menarik untuk dibahas, karena dasar dan proses pemberlakuannya dalam sebuah negara anggota Konvensi 1951 dengan negara bukan anggota konvensi menjadi sangat berbeda secara hukum. Untuk itu, penelitian ini akan terus menggali informasi terkait pertanyaan hakikat berlakunya sebuah hukum internasional di sebuah negara.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold D. McNair, 1944, the Method Whereby International Law is Made to Prevail in Municipal Courts on an Issue of International Law, Transaction of the Grotius Society.

Damos Dumoli Agusman, 2014, Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study, Remaja Rosda Karya, Bandung.

(28)

27 Edwin Borchard, 1940, the Relation between International Law and Municipal Law, 27

Va. Law Review, No. 2.

Guy S. Goodwin-Gill, 1988, the Refugees in International Law (Second Edition), Oxford University Press, Oxford.

Harun Ur Rashid, 2005, Refugee and the Legal Principle of Non-Refoulement (Rejection), dalam Law and Our Rights, No. 197, Juli, 2005.

Hathaway, Oona & Shapiro, Scott J, Outcasting: Enforcement in Domestic and International Law, the Yale Law Journal, Vol. 121, No. 2 (Nov 2011).

J.G. Starke, 1936, Monism and Dualism in the Theory of International Law, 17 Britain Y.B. International Law, No. 66.

J.H. Merryman, 1985, the Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems of Western Europe and Latin America, 2. Ed. Stanford University Press, California. Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,

Surabaya.

Jun Justinar, 2011, “Prinsip Non-Refoulement dan Penerapannya di Indonesia”, Opinio Juris, Vol. 03, Pustaka Hukum UGM, Yogyakarta.

Kadarudin, 2012, Penerapan Prinsip Non-Refoulement oleh Indonesia sebagai Negara Transit Pengungsi Internasional, Tesis, Makassar, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Kusnanto Anggoro, “Keamanan Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum”, makalah pembanding dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hotel Kartika Plaza, Denpasar, Bali, pada tanggal 14 Juli 2003. Michael Akehurst, 1977, Modern Introduction to International Law, George Allen &

Unwin, London.

Paul Weis, 1995, Refugee Convention 1951: The Travaux Preparatoire Analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, Cambridge University Press.

Sigit Riyanto, 2010, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3, Oktober 2010.

Sir Elihu Lauterpacht & Daniel Bethlehem, 2003, the Scope and Content of the Principle of Non-Refoulement, dalam Erika Feller, Volker Turk, & Frances Nicholson (Eds.), 2003, Refugee Protection in International Law: UNHCR’s Global Consultations on International Protection, Cambridge University Press, Cambridge.

UNHCR, 1979, Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status, Genewa, Re-Edit 1992, paragraph 28.

(29)

28 UNHCR, 2007, Melindungi Pengungsi & Peran UNHCR, UNHCR.

UNHCR, Refugee Protection: A Guide to International Refugee Law, Desember 2001. United Nations General Assembly (UNGA), A/RES/2132 (XXII), tanggal 14 Desember 1967. Yanuarda Yudo Persian, 2010, Pengaturan dalam Hukum Internasional Mengenai Pengungsi Akibat Perubahan Iklim yang Melintasi Batas Internasional (Environmental Refugees).

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab dari masih rendahnya pemberian ASI Eksklusif, karena dalam ANC akan diberikan suatu pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil uji t diperoleh nilai t-hitung (6,735) > t-tabel (2,405), hasil tersebut diartikan Ha: diterima dan Ho: di tolak, sehingga

Sedangkan kekurangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini antara lain dari SDM dengan kualifikasi yang dibutuhkan masih kurang, masih ada pelaksana yang belum

Bahasa jurnalis adalah bahasa yang khususnya digunakan di surat kabar dan terealisasi dalam ragam bahasa yang berbeda dengan ragam bahasa lain.. Perbedaan satu ragam bahasa

Pada tanggal 22 Juni 2004, PT Bank Pan Indonesia Tbk (BP), pemegang saham, melakukan transaksi penjualan saham Perusahaan melalui PT Bursa Efek Jakarta sebanyak 16.000.000

- Melihat dari pentingnya komitmen dan kesiapan menikah, serta dari ditemukannya hubungan positif dan signifikan antara komponen komitmen dari cinta dengan kesiapan menikah,

Analisis karakteristik gempa di kota Bengkulu dibagi dalam beberapa analisis sederhana, yaitu penentuan frekuensi kejadian gempa dalam rentang tahun yang ditinjau,

Retribusi pemerikasaan alat pemadam kebakaran, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan pemeriksaan dan atau