• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI Asal Mula Tipografi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI Asal Mula Tipografi"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Landasan teori dalam penelitian diperlukan sebagai salah satu pedoman dalam menganalis data dan sebagai landasan pemikiran peneliti dalam meneliti suatu masalah. Dalam karya ilmiah, landasan teori juga dipergunakan sebagai alat untuk menjawab rumusan permasalahan yang ada.

2.1. Tipografi

Tipografi adalah seni dan teknik yang terbatas dengan huruf atau font, seperti: jenis, ukuran, efek dan warnanya. Tipografi juga dapat berarti komposisi materi dari tipe-tipe huruf (dictionary reference, 2003: online). Pemilihan tipografi dalam majalah seringkali tidak menjadi perhatian desainer, padahal tipografi merupakan salah satu elemen penting dalam membentuk teks, dalam hal ini disebut artikel/ isi bacaan. Dengan tipografi yang terstruktur dan legible, pesan yang disampaikan pada majalah akan tersampaikan dengan baik. Tipografi yang digunakan pada majalah hendaknya yang mudah dibaca, sehingga pembaca majalah tersebut tidak mengalami kesulitan pada saat membaca isi majalah itu.

2.1.1. Asal Mula Tipografi

Cerita tentang tipografi tidak langsung dimulai dengan bagaimana huruf itu, namun dimulai dari hak dan kemasyarakatan. Tipografi sendiri baru dapat dikatan eksis selama 550 tahun ini, hal itu merupakan evolusi dari kebutuhan dan kebiasaan. Selama bertahun-tahun, manusia pertama kali berkomunikasi dengan suara. Bahasa verbal yang hanya dapat didengarkan namun tidak dapat dilihat secara visual mempunyai banyak kekurangan dan keterbatasan. Cerita, sejarah dan banyak informasi lain yang diturunkan turun-temurun seringkali hanya bersifat sementara karena cerita itu hanya diteruskan mulut ke mulut saja.

Manusia mengenal simbol untuk yang pertama kalinya yaitu sekitar 25.000 B.C (Sebelum Masehi). Simbol, gambar atau pictograf ini sangat mudah

(2)

dimengerti. Meskipun bentuknya sangat sederhana namun simbol diyakini lebih mampu bertahan daripada hanya sekedar suara.

Gambar 2.1 Pictograf

(Sumber: Danton Sihombing, 2001: 2)

Setelah itu, simbol-simbol yang sederhana itu mengalami perubahan dan penyempurnaan yang terus-menerus. Simbol yang pada mulanya tidak ada artinya secara khusus perlahan-lahan berkembang menjadi sebuah gambar atau lukisan-lukisan yang terdapat di dinding-dinding gua. Contohnya yaitu lukisan-lukisan gua di Queensland, Australia; yang merupakan salah satu cara orang Aborigin berkomunikasi pada mulanya.

Gambar 2.2 Aboriginal Rock Painting (Axel Poignant Archive) 13.000 B.C

(3)

Selang waktu berjalan, manusia mulai berpikir bagaimana sebuah simbol atau gambar tidak hanya merupakan penyampaian ide saja, namun bagaimana ide dan aksi itu dapat direpresentasikan sehingga ada komunikasi dengan dua pihak dan saling mengerti. Manusia pada mulanya sangat sulit mengerti dua macam komunikasi verbal dan visual secara bersama-sama. Setelah kondisi yang rumit itu bertambah kompleks, manusia akhirnya berpikir untuk menciptakan suatu kesepakatan untuk membuat simbol dan bagaimana simbol itu akhirnya dapat dimengerti.

Yunani merupakan tempat pertama yang menggunakan huruf phonetic (Phoenician Alphabet). Huruf-huruf phonetic itu diwakilkan dengan simbol-simbol tertentu, namun simbol-simbol yang bukanlah simbol-simbol gambar atau pictograf lagi, melainkan lebih menyerupai tulisan. Dari huruf-huruf phonetic yang sederhana yang hanya konsonan itu, Yunani mengembangkan berbagai ragam tulisan lagi dan menambah dengan vokal. Dengan ide tulisan phonetic mereka yang sederhana itu, mereka dapat menghemat ratusan gambar yang mereka gunakan sebelumnya. Konsep unik mereka ini mendasari berkembangnya tulisan yang berhubungan dengan suara/bahasa yang digunakan.

(4)

Gambar 2.3 Huruf Phonetic Yunani. 1.000 B.C

(Sumber: Ilene Strizver, 2001: 14)

Gambar 2.4 Huruf phonetic Yunani, setelah mereka mengerti bagaimana

menulis huruf menjadi garis satu ke garis yang lainnya. (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 15)

(5)

Setelah Yunani, yang mengembangkan huruf sesudah itu yaitu Roma. Setelah banyak penyempurnaan yang dilakukan, Roma menjadikan huruf itu menjadi alfabet yang kita kenal sekarang. Dengan memperhitungkan keleluasaan, cepatan dan efesiensi menulis, Roma menyempurnakan huruf-huruf itu dengan gerakan natural dari tangan kita.

Gambar 2.5 Huruf Yang Telah Disempurnakan Oleh Roma.

(Sumber: Ilene Strizver, 2001: 15)

Gambar 2.6 Huruf Yang Telah Disempurnakan Oleh Roma (alfabet).

(Sumber: Ilene Strizver, 2001: 15)

Ada beberapa kasus yang tidak disebutkan yaitu mengenai huruf Cina, Jepang dan negara-negara Asia yang lain. Meskipun mereka menulis tidak dengan alfabet namun mereka memberikan kontribusi tentang seni kaligrafi, menulis

(6)

artistik, indah dan memberikan inspirasi untuk yang berhubungan langsung dengannya.

Ketika perguruan tinggi pertama kali berdiri di Eropa pada awal milennium kedua, teknologi cetak belum ditemukan pada masa itu sehingga sebuah buku harus disalin dengan tangan. Pada tahun 1450, Johann Gesnsfleisch

zum Guttenberg dari Jerman menemukan mesin cetak yang pertama dengan

sistem movable type. Setiap blok huruf yang dibuat oleh Guttenberg disusun paralel dan memiliki ketinggian yang sama.

Gambar 2.7 Bentukan Huruf Yang Pertama (type mold) Penemuan Johann Guttenberg.

(Sumber: Danton Sihombing, 2001: 6)

2.1.2 Anatomi Huruf

Setiap bentukan huruf yang dalam sebuah alfabet mempunyai karakter yang berbeda-beda. Setiap karakter dibuat dengan partikel yang berbeda. Keunikan ini dibuat bukan hanya berdasarkan keindahan saja, tetapi bagaimana mata manusia dapat mengenali huruf dan mengerti sebuah tulisan. Langkah awal untuk mengerti tipografi adalah mengenali anatomi huruf. Huruf mempunyai banyak unsur-unsur pembentuknya, dengan mengenali unsur-unsur pembentuk huruf ini, maka akan menjadi masukan untuk menganalisis tipografi dalam penelitian ini.

(7)

Gambar 2.8 Anatomi huruf.

(8)

Berikut ini adalah beberapa terminologi umum yang digunakan untuk mengenali komponen-komponen fisik yang ada terdapat pada sebuah huruf:

Gambar 2.9 Komponen Fisik Pada huruf

(Sumber: Danton Sihombing, 2003: 12)

1. Baseline

Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari bagian yang paling bawah dari setiap huruf besar.

2. Capline

Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari bagian yang paling atas dari setiap huruf besar.

3. Meanline

Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari bagian yang paling atas dari setiap huruf kecil.

4. X-Height

Ukuran tinggi dari badan huruf kecil, atau jarak ketinggian dari baseline sampai ke meanline. Biasanya untuk mempermudah mengukur X-Height yaitu dengan menggunakan huruf x.

5. Ascender

Bagian dari huruf kecil yang posisinya tepat berada di antara meanline dan

capline. 6. Descender

(9)

7. Counter (lihat gambar 2.9)

Partikel yang menutup penuh spasi dalam karakter.

8. Serif (lihat gambar 2.9)

Proyeksi keluar dari sebuah karakter huruf. Serif dibagi menjadi 2 yaitu

brackets dan unbrackets, bergantung pada jenis hurufnya. 9. Stem (lihat gambar 2.9)

Garis lurus atau diagonal dalam sebuah huruf.

2.1.3 Tipografi dan Elemen-elemen Visualnya

Untuk memahami tipografi tidak hanya mengenal karakter hurufnya saja, tetapi juga bagaimana huruf tersebut dapat diolah, dikembangkan dan bagaimana sebuah huruf dapat memvisualkan bahasa verbal. Banyak pengembangan tipografi yang telah dilakukan sehingga memperkaya variasi dalam memilih huruf. Namun dalam memahami tipografi ada hal-hal mendasar yang sering dipergunakan sebagai variasi dalam tipografi dari dahulu sampai sekarang, yaitu:

1. Italics / kemiringan

Huruf italic ini biasanya disebut huruf yang dicetak miring. Italic ini sering dipergunakan untuk memberikan penekanan terhadap kata yang dimaksud, dan juga dapat digunakan untuk menunjukkan istilah bahasa asing. Huruf italic ini tidak hanya diciptakan sekedar miring, tetapi juga mempertimbangkan toleransi kenyamanan mata manusia dalam membaca.

Yesterday is a history, Tomorrow is a mystery. Today is a gift. (Author Unknown)

Yesterday is a history, Tomorrow is a mystery. Today is a gift. (Author Unknown)

9.10 Kemiringan Huruf (italics)

2. Boldface / ketebalan huruf

Apabila ditinjau dari ketebalan hurufnya, maka anggota dari keluarga huruf dapat dibagi menjadi 3 yaitu: light, regular dan bold. Dengan mengkombinasikan ketiganya, dapat diperoleh banyak variasi huruf yang menarik. Khusus untuk huruf bold (tebal), biasanya digunakan untuk menjadi aksentuasi kalimat-kalimat yang penting.

(10)

Litograph light

The text combination can evoke emotional responses or convey information for purposes as varied as motivating a sale to furthering a cause. (Laura Bix, 2001)

Litograph regular

The text combination can evoke emotional responses or convey information for purposes as varied as motivating a sale to furthering a cause. (Laura Bix, 2001) L i t o g r a p h B o l d

L i t o g r a p h B o l d

The text combination can evoke emotional responses The text combination can evoke emotional responses o r c o n v e y i n f o r m a t i o n f o r p u r p o s e s a s v a r i e d a s o r c o n v e y i n f o r m a t i o n f o r p u r p o s e s a s v a r i e d a s m o t i v a t i n g a s a l e m o t i v a t i n g a s a l e t o f u r t h e r i n g a c a u s e . t o f u r t h e r i n g a c a u s e . ( L a u r a B i x , 2 0 0 1 ) ( L a u r a B i x , 2 0 0 1 )

Gambar 2.11 Ketebalan Huruf (boldface)

3. Point size / ukuran tinggi huruf.

Pada tahun 1937, Pierre Fournier seorang pembuat huruf (type founder) dari Paris menemukan satuan pengukuran huruf yang disebut point. Sekitar 40 tahun kemudian, ditemukan satuan huruf yang lain oleh

François Ambroise Didot dari Prancis. Dari penemuan-penemuan itu,

acuan yang dipakai dan dikenal sekarang yaitu dengan sistem Anglo-Saxon dengan perhitungan 72 pt setara dengan 1 inch atau 2,539 cm. (Danton Sihombing, 2001: 20). Sekarang, point digunakan secara umum untuk menunjukkan ukuran besar dan tinggi huruf yang biasa disingkat pt.

(11)

Times New Roman 72 pt (1 inch)

When

Times New Roman 18 pt

When creating messages, designers must be careful

to not affect basic letters, thus weakening

communication (Craig, 1980)

Times New Roman 12 pt

When creating messages, designers must be careful to not affect basic letters, thus weakening communication (Craig, 1980)

Times New Roman 10 pt

When creating messages, designers must be careful to not affect basic letters, thus weakening communication (Craig, 1980)

(12)

4. Underscores (garis bawah)

Garis bawah merupakan cara tipografi sederhana untuk menekankan sesuatu pada kalimat/ kata yang dimaksud.

Effective designers develop a high level awareness of typeface in order to construct messages that not only attract readers, but allow them to easily read and understand the message created. (Laura Bix, 2001)

Effective designers develop a high level awareness of typeface in order to construct messages that not only attract readers, but allow them to easily read and understand the message created. (Laura Bix, 2001)

Gambar 9.13 Garis Bawah (underscores)

2.1.4. Jenis Tipografi

Tipografi mempunyai kekuatan untuk menciptakan atau merusak sebuah karya. Setiap jenis tipografi memiliki identitas yang berbeda-beda, bergantung pada perasaan, pikiran dan hal-hal yang lain. Menurut Danton Sihombing, 2003; tipografi merupakan konsep yang abstrak, sama halnya dengan musik. Dengan tipografi yang berbeda, sebuah desain dapat menampilkan sisi lain dari desain itu. Jadi dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa fungsi tipografi adalah untuk mengkomunikasikan ide, cerita, dan informasi melalui segala bentuk media.

Dalam Jurnal Nirmana tahun 1999, Vol 1 No 1, hal 6 yang ditulis oleh Christine Suharto Cenadi menyebutkan:

seorang tipografer harus mengerti bagaimana orang berpikir dan bereaksi terhadap suatu image yang diungkapkan oleh huruf-huruf. Seorang tipografer berusaha untuk mengkomunikasikan ide dan emosi dengan menggunakan bentuk huruf yang telah ada. Tipografi masih dianggap sebagai salah satu elemen kunci dalam Desain Komunikasi Visual, sehingga kurangnya perhatian pada pengaruh dan pentingnya elemen tipografi dalam suatu desain akan mengacaukan desain dan fungsi desain itu sendiri.

Akhir-akhir ini banyak bermunculan jenis-jenis huruf yang baru, dengan ciri-ciri yang unik, dekoratif dan menarik. Semakin banyak variasinya desainer

(13)

dapat lebih bebas memilih dan mengkombinasikan huruf. Pengklasifikasian jenis huruf secara umum menurut Didik Prasetyo, 1999 yaitu sebagai berikut:

1. Serif

Jenis huruf (typefaces) dengan strokes/ekor yang dinamakan serif. Cirinya yaitu bentuk hurufnya formal karena serif mengekspresikan organisasi dan intelektualitas, anggun dan konservatif.

Times New Roman 14 pt

The challenge is to make the most effective use of the

enormous flexibility that is inherent in typographic design.

(Bigelow & Day, 1983)

Gambar 2.14 Serif

2. San-serif

Jenis huruf yang tidak memiliki stroke/ekor. Ujungnya bias berbentuk tumpul (rounded corner) atau tajam. Cirinya yaitu kurang formal, lebih hangat dan bersahabat. San-serif biasanya sangat cocok sebagai

screen-font (tampilan layar monitor) karena mudah dibaca.

Arial 14 pt

The challenge is to make the most effective use of the

enormous flexibility that is inherent in typographic design.

(Bigelow & Day, 1983)

Gambar 2.15 San-serif

3. Monospace

Setiap huruf yang berjenis monospace mempunyai jarak/lebar yang sama setiap hurufnya. Huruf W dan I akan mempunyai ruang yang sama. Cirinya yaitu huruf yang berdasar pada mesin ketik. Jenis monospace

(14)

banyak digunakan oleh programmer untuk coding dan untuk preformatted

text.

Courier New 14 pt

The challenge is to make the most effective

use of the enormous flexibility that is

inherent in typographic design. (Bigelow &

Day, 1983)

Gambar 2.16 Monospace

4. Decorative / dekoratif

Bentuk huruf yang sangat rumit designnya. Bentuk huruf ini tidak enak dibaca apabila ditempatkan pada body text, hanya cocok untuk dipakai secara terbatas. Cirinya adalah banyak ornamen-ornamen pada teks sehingga mempersulit mata manusia untuk membaca.

Matisse ITC 14 pt

The challenge is to make the most effective use of the

enormous flexibility that is inherent in typographic design.

(Bigelow & Day, 1983)

Gambar 2.17 Decorative/ dekoratif

5. Script

Bentuk huruf yang menyerupai tulisan tangan. Jenis huruf ini sering disebut jenis Kursif (Cursive). Cirinya yaitu memberikan kesan keanggunan dan sentuhan pribadi. Namun dalam menggunakan huruf ini

(15)

sebaiknya tidak di semua bagian, lebih baik digunakan hanya pada bagian-bagian tertentu saja.

BinghamsHand 14 pt

The challenge is to make the most effective use of

the enormous flexibility that is inherent in typographic

design. (Bigelow & Day, 1983)

Gambar 2.18 Scripts

Klasifikasi huruf juga dapat didasarkan pada latar belakang sejarah perkembangan tipografi yang diambil dari momentum penting (Deddi Dutto Hartanto, 2003: 204) , yaitu:

1. Old style (1617)

Cirinya yaitu sudut bawah lengkung, tipis-tebal huruf kontras.

Garamond

2. Transitional (1757)

Cirinya yaitu sudut bawah lengkung, tipis-tebal stroke kontras.

Times New Roman

3. Modern (1788)

Cirinya adalah sudut siku, tipis-tebal ekstrem)

Bodoni

4. Egyptian (1895)

Cirinya yaitu sudut lengkung lebar sama, tipis-tebal sedikit kontras.

(16)

5. Contemporary (1957)

Cirinya yaitu tidak memiliki serif, tipis-tebal umumnya sama besar.

News Gothic

2.1.5. Keterbacaan

Ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari desain tipografi, yaitu tingkat kemudahannya untuk dibaca (legibility). Suatu huruf dapat dikatakan legible apabila huruf itu dapat dibaca dan dimengerti dengan baik. Dalam hal ini jenis font juga mempengaruhi tingkat legibility suatu huruf. Semakin banyak ornamen seperti huruf-huruf dekoratif, tentunya akan semakin mempersulit orang membaca.

Huruf-huruf yang berserif didesain sedemikian rupa untuk memudahkan mata manusia membaca. Dilihat dari segi fungsinya, serif bertindak sebagai pengait yang secara maya dapat menjembatani ruang antara huruf yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu huruf serif dapat menyebabkan kerja mata menjadi lebih ringan pada saat membaca naskah dalam jumlah yang banyak.

(Danton Sihombing, 2001: 59)

Berikut ini adalah contoh-contoh huruf yang kurang legible untuk teks, yaitu seperti: Thunderbird BT

Abduction

Aerosol Menace

Fillmore

Pants Patrol

Overexposed

(17)

Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi legibilitas huruf yaitu interval huruf dan ukuran huruf. Interval huruf yang terlalu kecil atau terlalu besar akan mempersulit huruf itu untuk dibaca, sebaiknya menggunakan interval yang seimbang. Untuk ukuran huruf, sebaiknya menggunakan huruf yang seimbang dengan layoutnya. Untuk naskah yang panjang sebaiknya menghindari ukuran huruf yang kecil karena akan melelahkan mata manusia membaca. Sedangkan untuk display sebaiknya menggunakan huruf yang agak besar supaya mudah dilihat.

Gambar 2.20 Contoh Huruf Legible

Gambar 2.21 Contoh Huruf Kurang Legible

Gambar 2.20 diatas menunjukkan proporsi huruf yang legible, sesuai dengan pandangan mata dan sesuai dengan proporsi tempatnya. Sebagai perbandingan yaitu pada gambar 2.21, dimana huruf yang sama mengalami

(18)

perubahan ukuran, proporsi dan penempatan. Dengan perubahan itu, huruf “g” di atas menjadi lebih susah dibaca. Hal ini menunjukkan bahwa huruf “g” pada gambar 2.21 kurang legible.

Gambar 2.22 Contoh Pemotongan Pada Kata

Pada gambar 2.22 ditunjukkan mengenai pemotongan pada kata “legible”. Kotak nomor 1 adalah tidak mengalami pemotongan huruf, tetapi pada kotak nomor 2,3 dan 4 mengalami pemotongan huruf yang berbeda. Kotak nomor 2 mengalami pemotongan pada tengah-tengah kata, kotak nomor 3 di bagian atas dan kotak nomor 4 di bagian agak ke bawah.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa mata manusia masih dapat mentolerir pemotongan pada kotak nomor 2. Pada kotak nomor 3 dan 4, pemotongan tersebut agak mempersulit mata untuk mengenali kata “legible” yang terpotong.

Dalam menyusun sebuah desain, legibilitas adalah hal perlu diperhitungkan, karena tujuan teks itu ada karena untuk dibaca dan dimengerti pesan yang terdapat didalamnya.

2.2. Layout

Layout adalah tata letak elemen-elemen visual pada sebuah media, dalam

hal ini media diwakilkan dengan majalah dan buletin. Layout dapat juga berarti aksi atau instansi dari menata letak (dictionary reference, 2003, online). Pada majalah, penataan layout yang baik diperlukan untuk mengarahkan susunan teks

(19)

dan gambar supaya enak dibaca. Layout dapat juga merupakan visual identity pada suatu majalah.

2.2.1. Pola Struktur Bentuk Layout

Tata susun atau layout erat kaitannya dengan garis-garis/ grid yang memberikan batasan maya pada bidang desain. Grid adalah suatu batasan pada spasi garis horisontal dan vertikal pada suatu bidang, diagram, fotografi, dan sering digunakan sebagai poin penempatan (dictionary reference, 2003, online). Dengan adanya grid, desainer lebih mudah menentukan arah susunan obyek-obyek pada bidang desainnya. Grid juga membuat desain menjadi lebih terstruktur sehingga memudahkan mata manusia untuk melihat alur suatu desain mulai dari

headlines, sub-headline, bodycopy dan seterusnya. Grid dalam layout dapat

dikelompokkan menjadi 5 bagian, yaitu: 1. Modular Grid

Modular grid adalah sebuah tata susun letak yang membagi bidang desain

menjadi seperti bidang-bidang kotak. Biasanya digunakan untuk menempatkan foto-foto pada majalah.

Ciri-cirinya: susunan letaknya pada bidang desain mirip kotak-kotak.

Gambar 2.23 Modular Grid

(20)

2. Hierarkhi Grid

Hierarkhi grid adalah sebuah tata susun letak yang mengkategorikan elemen visual berdasarkan grup dan kategorinya. Biasanya digunakan sebagai layout pada situs (web site) dan katalog.

Ciri-cirinya: bentuk susunannya kompleks (umumnya merupakan gabungan dari 2 atau lebih tata susun letaknya)

Gambar 2.24 Hierarkhi Grid

Projects of: Literature and branding scheme for a creative media and marketing awards ceremony and conference

(Sumber: Roger Walton, 2002: 70)

3. Coloum Grid

Coloum grid adalah sebuah tata susun letak yang membagi bidang dengan

garis kolom-kolom tertentu. Biasanya digunakan untuk layout surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya.

(21)

Ciri-cirinya: susunan letaknya terstruktur pada kolom-kolom yang teratur.

Gambar 2.25 Coloum Grid

Projects of: The Substation, a center for the arts

(Sumber: Roger Walton, 2002: 108)

4. Manuscript Grid

Manuscript grid adalah sebuah tata susun letak yang teratur

penempatannya berdasarkan batas kiri dan batas kanan. Biasanya digunakan untuk layout kartu nama, dan selebaran pengumungan.

(22)

Gambar 2.26 Manuscript Grid

(Sumber: Danton Sihombing, 2001: 122)

5. Ungrid

Dilihat dari namanya, ungrid berarti tidak ada grid atau tanpa grid. Ungrid adalah penataan letak yang tidak ada aturan grid-nya. Gambar maupun teks bebas diletakkan dimana saja tanpa ada grid yang membatasi. Biasanya digunakan sebagai layout poster eksperimental.

Ciri-cirinya: tidak terstruktur dan seakan-akan tidak ada garis yang mengatur peletakkannya.

(23)

Gambar 2.27 Ungrid

Projects of: Series of posters for the 2000-2001 program of events at the Centre Dramatique National d’Orléans in France

(Sumber: Roger Walton, 2002: 80)

2.2.2. Elemen-elemen Desain pada Layout

Elemen-elemen dan prinsip desain merupakan hal yang sebelumnya harus diketahui sebelum membuat suatu karya desain. Elemen-elemen desain tidak hanya terdapat pada gambar, tetapi juga ada ada lukisan, desain grafis, dan sebagainya. Menurut John Lovett, 1999 ada 7 elemen desain yang penting diketahui dalam menciptakan suatu karya desain, yaitu:

1. Line / garis

(24)

2. Shape / bentuk

Gambar 2.29 Shape

3. Direction / arah

Semua garis mempunyai arah, seperti: horizontal, vertical dan oblique.

Horizontal memberikan kesan tenang, damai dan stabil. Vertical

memberikan kesan keseimbangan dan formalitas. Oblique memberikan kesan dinamis, pergerakan dan aksi.

Gambar 2.30 Direction

4. Size / ukuran

(25)

5. Texture / tekstur

Semua bidang mempunyai tekstur seperti lembut, soft hard, glossy dan sebagainya. Tekstur dapat diartikan secara fisik atau visual.

Gambar 2.32 Texture

6. Colour / warna

Gambar 2.33 Colour

7. Value / nilai

Value dapat diartikan sebagai tingkat terang-gelapnya warna. Terkadang value disebut tone.

(26)

2.2.3. Prinsip-prinsip Desain pada Layout

John Lovett, 1999 berpendapat bahwa dalam mendesain tidak hanya ada

elemen-elemen desain, tetapi ada prinsip-prinsip desain yang seharusnya diketahui dan dimengerti. Prinsip-prinsip itu antara lain:

1. Balance / keseimbangan

Gambar 2.35 Balance

(Sumber: John Lovett, 1999: online)

2. Gradation / gradasi

Gradasi dapat membantu mata manusia untuk mengikuti alur warnanya dan dapat membuat desain jadi lebih dinamis.

Gambar 2.36 Gradation

(Sumber: John Lovett, 1999: online)

3. Repetition / pengulangan

Pengulangan dengan variasi akan menjadi desain lebih menarik, namun jangan terlalu banyak pengulangan karena akan membuat desain menjadi monoton.

4. Contrast / kontras

Di tempat-tempat strategis ada baiknya juga diberikan sedikit kontras. Namun perlu diperhatikan bahwa kontras yang terlalu banyak akan

(27)

menghancurkan desain itu sendiri. Kecuali jika memang ingin membuat desain yang ekstrim pemakaian kontras dapat dilebih-lebihkan.

5. Harmony / harmoni

Salah satu faktor yang dapat membuat mata manusia merasa tenang dan rileks yaitu keharmonisan dalam desain, dimana elemen-elemen visual desain yang ada menyatu dengan harmonis.

6. Dominance / dominan

Dominan memberikan kesan menjadi pusat perhatian. Desainer harus pandai-pandai mengatur bagian mana yang mau ditonjolkan menjadi dominan dalam karya desainnya.

Gambar 2.37 Dominance

(28)

7. Unity / kesatuan

Seperti apapun desain yang dibuat, semuanya itu haruslah merupakan suatu kesatuan, baik itu garis horizontalnya, kekontrasannya, teksturnya dan lain-lain.

Gambar 2.38 Unity

(Sumber: John Lovett, 1999: online)

2.3 Warna

Warna merupakan elemen visual yang penting dalam desain komunikasi visual. Pemilihan warna juga seringkali diperhatikan oleh desainer, karena hal itu penting dalam menentukan respon dari pembaca. Warna adalah hal yang pertama dilihat oleh seseorang dalam melihat suatu bentuk desain. Selain untuk menarik perhatian, warna juga sering dihubungkan dengan psikologi dan sifat-sifat manusia

(29)

2.3.1. Asal mula warna

Sudah lebih dari 2000 tahun, manusia mengenal warna dan mencoba mempelajari warna yang ada di sekitar kita. Pada tahun 1960, seorang ahli antropologi dari Berlin dan Kay memberikan sumbangsih pada dunia tentang penamaan warna. Untuk mempermudah penamaan warna-warna dinamakan dengan bahasa Inggris, seperti: black (hitam), white (putih), red (merah), orange (orange), yellow (kuning), green (hijau), blue (biru), purple (ungu tua), pink (merah muda), grey (abu-abu) dan brown (coklat).

Seorang filosofer ternama, Aristotle pada tahun 400 B.C (Sebelum Masehi), mengelompokkan warna biru dan kuning menjadi warna primer, sesuai dengan kehidupan yang ada seperti perumpaan matahari dan bulan. Kemudian ia mengelompokkan warna-warna berdasarkan 4 elemen yaitu fire (api), water (air),

earth (bumi) dan air (udara).

Hippocrates, seorang bapak dari praktek kedokteran, mulai menggunakan warna untuk pengobatan dan untuk terapi. Misalnya warna white violet yang menyejukkan dianggap memiliki efek psikologis yang menguntungkan untuk kesehatan. Pada abad ke 11, Avicenna dari Iran mempercaya teori dari Hipocrates, dan mengembangkan teori itu untuk membantu pasien untuk lebih sehat.

Pada tahun 1672, Sir Isaac Newton, seorang ilmuwan terkemuka mempublikasikan teori warna di atas kertasnya. Dan kemudian 40 tahun kemudian ia menemukan “Opticks” dimana sinar dapat diseparasikan lagi menjadi banyak warna. Johannes Wolfgang von Goethe sangat tertarik dengan penemuan Newton ini. Ia menerbitkan buku “Teory of Colours”, dimana ia setuju dengan Newton bahwa sebuah warna sangat mungkin dapat diseparasikan menjadi warna-warna yang lain. Hasil penemuannya ini agak mirip dengan penemuan Aristotle, yaitu

”Blue is the first colour to appear out of darkness (and most visible at night) and yellow is the first colour to appear out of light (and the most visible colour in light conditions), (Angela Wright, 2000: online).

Sekarang ini teori warna sudah banyak berkembang dalam berbagai bidang, baik itu dalam desain komunikasi visual, mode, psikologi, kedokteran, dan di berbagai bidang keilmuan yang lainnya.

(30)

2.3.2. Teori dan Penamaan Warna

Apabila ditelusuri sebenarnya ada banyak teori-teori tentang warna dan penamaannya. Menurut John Lovett, ada 12 warna dalam roda warna. Warna-warna tersebut dikelompokkan menjadi:

a. Primary Colours / warna primer

Terdiri dari: Red (merah), Yellow (kuning) dan Blue (biru). b. Secondary Colours / warna sekunder

Warna ini merupakan gabungan dari 2 warna primer.

Terdiri dari: Green (hijau), Orange (orange) dan Violet (ungu muda), dan sebagainya.

c. Tertiary Colours / warna tersier

Warna ini merupakan gabungan dari warna primer dan sekunder. Terdiri dari: Yellow orange, Blue violet, dan sebagainya.

Di luar warna primer, sekunder dan tersier, ada pula warna komplementer (complementary colours). Warna-warna tersebut merupakan warna asli yang tidak tercampur warna hitam dan putih. Warna komplementer merupakan campuran dari ketiga jenis warna primer, sekunder dan tersier.

Gambar 2.39. 12 part Colour Wheel

(31)

Sekarang ini banyak variasi pencampuran warna-warna yang kreatif. Baik itu pencampuran warna primer (primary), sekunder (secondary), tersier (tertiary), dan kuantener (quantenary) sehingga menghasilkan nama-nama warna baru. Sekarang warna biru (blue) tidak hanya satu warna saja, namun sudah banyak ragamnya. Contoh: biru muda, biru langit, biru violet, dan sebagainya.

Abelard, (pada Jurnal Naming Colours, 1998) mengelompokkan dan

memberi nama warna tersier sebagai berikut:

Tabel 2.1 Warna-warna Tersier (Sumber: Abelard, 1999: online)

raspberry aquamarine

purple lime

cobalt orange

Selain itu, Abelard juga mencampur warna-warna tersebut menjadi 12 warna kuantener (Quaternary Colours).

Tabel 2.2 Warna-warna Primer, Sekunder, Tersier dan Kuantener (Sumber: Abelard, 1999: online)

colour 1 "Red" (primary) colour 13 "Cyan" (secondary) colour 2 "Coral" (quaternary) colour 14 "Sky" (quaternary) colour 3 "Orange" (tertiary) colour 15 "Cobalt Blue" (tertiary) colour 4 "Tangerine" (quaternary) colour 16 "Indigo" (quaternary) colour 5 "Yellow" (secondary) colour 17 "Blue-violet" (primary) colour 6 "Peridot" (quaternary) colour 18 "Plum" (quaternary) colour 7 "Lime" (tertiary) colour 19 "Purple" (tertiary) colour 8 "Apple" (quaternary) colour 20 "Mallow" (quaternary) colour 9 "Green" (primary) colour 21 "Magenta" (secondary) colour 10 "Leaf" (quaternary) colour 22 "Rhodium" (quaternary) colour 11 "Aquamarine" (tertiary) colour 23 "Raspberry" (tertiary) colour 12 "Turquoise" (quaternary) colour 24 "Mulberry" (quaternary)

(32)

Gambar 2.40. Penamaan Warna-warna.

(Sumber: Abelard, 1999: online)

Keterangan:

1 Red 13 Cyan 2 Coral 14 Sky

3 Orange 15 Cobalt Blue 4 Tangerine 16 Indigo 5 Yellow 17 Blue-violet 6 Peridot 18 Plum 7 Lime 19 Purple 8 Apple 20 Mallow 9 Green 21 Magenta 10 Leaf 22 Rhodium 11 Aquamarine 23 Raspberry 12 Turquoise 24 Mulberries

(33)

Dalam mengerti dan mengaplikasikan warna ke dalam desain komunikasi visual, psikologi warna dapat digunakan sebagai acuan dan untuk membantu desainer mendesain sesuatu, sehingga tidak terjadi kesalahan makna dalam pengaplikasiannya. Berikut di bawah ini adalah korelasi umum warna dan manusia.

Tabel 2.3 Psikologis Warna dan Manusia (Sumber: Didik prasetyo, 1999: online)

WARNA Respon Psikologi Catatan

Merah Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya

Warna Merah kadang berubah arti jika dikombinasikan dengan warna lain. Merah dikombinakan dengan Hijau, maka akan menjadi simbol Natal. Merah jika dikombinasikan dengan Putih, akan mempunyai arti 'bahagia' di budaya Oriental.

Biru Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Tehnologi, Kebersihan, Keteraturan

Banyak digunakan sebagai warna pada logo Bank di Amerika Serikat untuk memberikan kesan

'kepercayaan'. Hijau Alami, Sehat, Keberuntungan,

Pembaharuan

Warna Hijau tidak terlalu 'sukses' untuk ukuran Global. Di Cina dan Perancis, kemasan dengan warna Hijau tidak begitu mendapat sambutan. Tetapi di Timur Tengah, warna Hijau sangat disukai.

Yellow Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidak jujuran, Pengecut (budaya Barat),pengkhianatan.

Kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu.

Ungu/Jingga Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi, Kekasaran, Keangkuhan

Warna Ungu sangat jarang ditemui di alam.

Oranye Energy, Keseimbangan,

Kehangantan

Menekankan sebuah produk yang tidak mahal.

Coklat Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan.

Kemasan makanan di Amerika sering memakai warna Coklat dan sangat sukses, tetapi di Kolumbia, warna Coklat untuk kemasan kurang begitu membawa hasil.

Abu Abu Intelek, Masa Depan (kayak warna Milenium),

Kesederhanaan, Kesedihan

Warna Abu abu adalah warna yang paling gampang/mudah dilihat oleh mata.

Putih Kesucian, Kebersihan,

Ketepatan, Ketidak bersalahan, Setril, Kematian

Di Amerika, Putih melambangkan perkawinan (gaun pengantin putih), tapi di budaya Timur (India dan Cina), warna Putih melambangkan kematian. Hitam Power, Seksualitas,

Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan, Kesedihan, Keanggunan

Melambangkan kematian dan kesedihan di budaya Barat. Sebagai warna Kemasan, Hitam

melambangakan Keanggunan (Elegance), Kemakmuran (Wealth) dan Kecanggihan (Sopiscated)

(34)

2.4. Dekonstruktivisme

Dekonstruksi (deconstruction) adalah sebuah nama yang diberikan oleh filsuf Prancis Jacques Derrida. Dekonstruksi pada awalnya muncul sebagai kritik sastra yaitu metode dalam membaca teks, namun sekarang sudah banyak dikembangkan ke bidang-bidang lain yaitu: arsitektur, desain grafis dan mode.

2.4.1 Hakikat Dekonstruksi

Salah satu dari prosedur analisis dekonstruksi berfokus pada oposisi biner (binary oppositions) mengenai teks (J. Douglas Kneale, 1997) maksudnya adalah untuk:

1. Menunjukkan bahwa oposisi-oposisi tersebut terstruktur secara hierarki. 2. Mengembalikan hierarkhi itu sementara waktu

3. Meneliti dan menganalisis kedua oposisi dengan konsep “difference”.

Dari sudut etimologis, dekonstruksi adalah ampas yang selalu ada antara ‘krisis’ dan ‘kritik sastra’ (Christoper Noris, 2003: 19). Yang diperlihatkan yaitu kenyataan bahwa pergeseran radikal yang terjadi dalam pemikiran interpretatif selalu datang menghadang batas-batas yang terlihat absurb. Dekonstruksi bermain di kekaburan batas, pengalaman dan kemungkinan-kemungkinan lain dari komunikasi ‘normal’ antar manusia.

2.4.2 Ciri-ciri Dekonstruksi

Dekonstruksi tidak mempunyai ciri-ciri visual khusus, dekonstruksi merupakan cara atau metode membaca teks, sehingga dalam perjalanannya, dekonstruksi bersifat filosofis (Inyiak Ridwan Muzir, 2002), yaitu unsur-unsur dilacak oleh dekonstruksi untuk dibongkar, bukanlah argumen yang lemah ataupun premis yang tidak akurat yang terdapat pada teks, sebagaimana biasanya dilakukan oleh pemikiran modernisme, melainkan yaitu unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis.

Dalam pembacaan dekonstruktif, filsafat lebih diartikan sebagai tulisan, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran secara langsung.

(35)

Adapun pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

Derrida hanya ingin menumbangkan susunan hierarkhi yang menstrukturkan teks.

2.4.3 Tujuan Dekonstruksi

Tujuan dari dekonstruksi adalah untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut. Langkah-langkah dekonstruksi menurut

Rodolphe Gasche (tahun tidak diketahui) yaitu sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi hierarkhi oposisi dalam teks, untuk melihat istilah mana yang diistimewakan dan mana yang tidak.

2. Oposisi-oposisi itu dibalik dengan saling menunjukkan saling ketergantungan diantara yang bertentangan/ privilisenya dibalik.

3. Memperkenalkan istilah/gagasan baru yang tidak bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama.

Menurut Derrida (Christoper Norris, 2003: 58) tugas dekonstruksi adalah untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini mengasa metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan bahwa rasio dapat lepas dari bahasa sampai kepada kebenaran, atau metode otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam pengertian ini, tulisan-tulisan Derrida lebih mirip kritik sastra. Tulisan-tulisannya dibangun berdasarkan asumsi bahwa pola-pola analisis retorikal yang awalnya diterapkan pada kritik sastra tidak dapat dihindari dalam setiap pembacaan filsafat.

2.4.4. Latar Belakang Munculnya Paham Dekonstruksi

Dekonstruksi tidak langsung lahir dari pemikiran sesaat saja, namun merupakan proses panjang dari pemikiran-pemikiran filsuf yang terdahulu. Pada walnya, dekonstruksi dapat dikatakan sebagai subyek yang membongkar obyek yang tersusun dari unsur-unsur, untuk itu diperlukan berbagai pengertian mengenai latar belakangnya dan bagaimana mengerti dekonstruksi pada awalnya, secara singkat.

(36)

2.4.4.1 Sosok dan Kiprah Jacques Derrida

Bapak dekonstruktivisme, Jacques Derrida lahir pada tahun 1930 di keluarga berdarah Sephardic Jews di Prancis. Pada usia 10 tahun, ia mulai mempunyai pemikiran-pemikiran intelektual. Sayangnya pada saat itu terdapat diskriminasi oleh gurunya dengan mengatakan “French culture is not made for

little Jews” atau kebudayaan Prancis tidak dibuat untuk seorang Yahudi kecil.

Akibat diskriminasi itu, Derrida kecil terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Kemudian pada usia 19 tahun, ia pindah ke Paris untuk belajar filosofi di école

Normale Supérieure. Pada tahun 1957, ia menikah dengan Marguerite Aucouturier, seorang psikoanalis.

Karena tulisannya yang dinilai sangat baik, Derrida mendapatkan beasiswa ke Havard tahun 1956. Setelah lulus pada tahun 1960, ia mengajar filosofi di Sorbonne, Paris. Dua tahun kemudian Derrida mengeluarkan buku dengan terjemahannya Husserl’s Origin of Geometry. Pada tahun 1967, ia menulis 3 buku seminar yaitu Speech and Phenomena, Writing dan Difference , and Of

Grammatology yang diterjemahkan dalam 22 bahasa. Derrida menjadi proffesor

tamu di University of California di Irvine pada tahun 1986. Sekarang Derrida sudah tinggal menetap dan mengajar di Irvine.

Gambar 2.41 Jacques Derrida ; menggebrak dunia lewat dekonstruksinya.

(37)

Selain merupakan “bapak” dari dekonstruktivisme, Derrida adalah salah satu orang yang memimpin kehidupan intelektual pada 25 tahun terakhir. Ia mengeluarkan pendapat-pendapat mengenai sistim analisis dan membuka bias-bias dan kesalahan asumsi. Dekonstruksi adalah reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme menggangap bahwa kelebihan manusia terletak pada rasionya (Achmad Chusairi, 2000). Dengan begitu manusia mulai terkotak-kotak pemikiran-pemikiran yang struktruralis. Dengan Derrida berasumsi bahwa manusia seharusnya tidak terpaku pada struktur-struktur dan pemikiran-pemikiran yang mengekang dan kaku.

2.4.4.2 Strukturalisme dan Poststrukturalisme

Paham dekonstruksi muncul setelah strukturalisme dan post-strukturalisme. Tokoh-tokoh strukturalisme beberapa diantaranya yaitu Claude

Lévi-Strauss (seorang antropolog Prancis), Ferdinand de Saussure. Pada

strukturalisme, teks muncul pada format (pattern) tertentu, sistem dan struktur-struktur. Menurut kaum strukturalis, teks adalah fungsi dari sistem, bukan individual. Maksudnya adalah arti sebuah tanda datang hanya dari relasinya ke tanda-tanda lain dari sistem. Contohnya seperti sebuah kata yang satu selalu berkaitan dengan kaya yang lain. Salah satu ide mereka yaitu “Language speaks

us, rather than we speak languange” atau bahasa membicarakan kita, lebih

daripada kita membiacarakan bahasa. Sehingga setiap teks dan setiap kalimat yang dibicarakan dibuat seolah-olah ‘sudah tertulis’. Dengan pemikiran yang seperti itu, kaum strukturalis susah untuk berkembang.

Kaum strukturalis mempresentasikan pengalaman utamanya yang sekarang dikenal sebagai ‘humanis liberal’ tradisi pada kritik sastra. Model strukturalisme berpendapat bahwa segala sesuatu sudah ada strukturnya, dan memproduksi kenyataan (reality), (Klages, 2003:online).

Dalam bicara strukturalisme, bahasa dapat ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference) dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition) (Muzir, 2002: 9). Oposisi biner ini merupakan inti dari pemikiran Saussurean, yaitu oposisi antara penanda/petanda, tuturan/tulisan,

(38)

baik/buruk, benar/salah, jiwa/badan, dan sebagainya. Filsafat Barat menganggap bahwa istilah pertama lebih unggul atau superior, dari istilah yang kedua.

Bagi Saussure (Ritzer, 2003: 53), bahasa merupakan sistem yang tertutup (a close stystem) di saat semua bagian terinterelasi (Marks dan de Courtivron, 1981: 3). Maksudnya, dalam oposisi biner yang terpenting adalah hubungan perbedaan (difference). Jadi contoh kata hot (panas) bukan berasal dari sifat intrinsik dunia ‘nyata’ namun berasal dari hubungan kata itu dengan oposisi binernya, yaitu cold (dingin).

Piliang, 2004 mengartikan strukturalisme adalah sebagai gerakan intelektual yang berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai pemikiran dan tingkah laku manusia, yang prinsipnya adalah bahwa satu totalitas yang kompleks hanya dapat dipahami sebagai satu perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan.

Strukturalisme dapat dipahami sebagai usaha untuk menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktifitas manusia. Melihat dari sudut pandang ini, suatu struktur dapat didefinisikan sebagai:

sebuah unit yang tersusun dari beberapa elemen dan selalu ditemukan pada hubungan yang sama dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit ini tidak apat dipecah dalam elemen-elemen tunggal, bagi kesatuan struktur tidak terlalu dipahami oleh sifat elemen yang substantif sebagaimana ia tidak terlalu dipahami oleh hubungannya.

(Spivak, 1974: iv)

Setelah strukturalisme, munculah kaum poststrukturalisme yang menentang strukturalisme. Tokoh-tokoh poststruktualisme diantaranya adalah

Michael Foucault dan Jean Baudrillard. Asumsi strukturalis bahwa bahasa

adalah suatu sistem tanda yang terdiri dari keseimbangan antara the signifier/ penanda (referent, yaitu suatu jejak perwakilan visual atau audio) dan the

signified/ petanda (konsep, yaitu arti yang disebabkan oleh tanda). Contohnya

yaitu perbedaan antara ‘style’ dan ‘attitude’. Jika ‘style’ meupakan pembuatan format yang diasosiasikan dengan sebuah sejarah khusus dan kondisi budaya, mungkin ‘attitude’ tidak diartikulasikan, hanya keluar dari latar belakang fokus untuk menspesifikasikan gaya (Ellen Lupton & J. Abott Miller, 1994). Poststrukturalisme menganggap tanda-tanda mempunyai arti ganda dan berubah-ubah, maka sifat penanda lebih menonjol daripada petanda.

(39)

Yasyaf Amir Piliang (2004), mengartikan poststrukturalisme

(post-structuralism) sebagai gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap

strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarkhi dan validitas kebenaran universal; sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.

Strategi-strategi poststrukturalisme berlaku sebagai metodologi untuk debat pada praktek tipografi kontemporer karena pengertian bahasa dan artinya mencerminkan perubahan-perubahan sosial budaya yang lebih lebar yang dipengaruhi oleh teknologi digital elektronik. Menurut kaum poststrukturalis, suatu teks adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda dan menghasilkan arti, sehingga penting untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud oleh anggapan dalam suatu teks.

2.4.4.3 Logosentrisme

Dalam metode Saussure dalam menyelidiki bahasa, ada oposisi biner (binary opposition) yang dalam budaya filsafat Barat, menganaktirikan istilah kedua dengan menganggap bahwa istilah pertama lebih unggul. Maka menurut

Derrida, istilah-istilah tersebut adalah milik ‘Logos’ yaitu ‘kebenaran dari

kebenaran’. Sedangkan istilah yang kedua merupakan representasi palsu dari yang pertama (Norris, 2003: 10). Tradisi yang demikian ini dinamakan logosentrissme dan dipergunakan untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang istilah pertama dan ‘pelecehan’ terhadap istilah kedua.

Logosentrisme (Logocentrism) berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘Logos’ yang berarti ‘word’ (kata), ‘reason’ (alasan) atau ‘plan’ (rencana). Dalam bahasa Inggris penggunaan kata ‘word’ dalam huruf kecil diartikan sebagai ‘kata’, tetapi ‘Word’ dengan huruf besar di awal dapat diartikan sebagai ‘Firman’. Filsafat Barat mempelajari ‘Logos’ dari Alkitab St.John (Glusberg, 1991: 48) yaitu: “pada mulanya adalah ‘Word’, dan ‘Word’ itu ada bersama dengan Tuhan, dan ‘Word’ itu adalah Tuhan. Jadi, “Logos” sebagai ‘Word’ berarti Tuhan (kebenaran). Jadi logosentrisme merupakan ‘kebenaran dari kebenaran’ atau ‘kebenaran mutlak’.

(40)

Menurut Ellis, 1989; logosentrisme mengandung:

1) Suatu kepercayaan bahwa sesuatu ada dalam ‘realitas’.

2) ‘Realitas’ merujuk pada petanda dengan pesan transedental dari makna ‘the Logos’ yang berdiri sendiri dari apapun bahasa manusia.

3) ‘The Logos’ adalah pondasi semua hal-hal positif yang mungkin dan sebuah makna.

4) Dalam logosentrisme, macam-macam petanda mengelompokkan mereka sendiri secara alami ke dalam kategori-kategori yang jelas, tidak ambigu dan tidak berubah.

5) Kata-kata bahasa spesifik adalah penanda yang simple untuk petanda-petanda ini, termasuk di dalamnya ‘the Logos’

6) Penanda-penanda bahasa memudahkan kita untuk mengekstrak petanda keluar dari ‘the Logos’ dan membawa mereka keluar dari pikiran kita.

7) Berbicara memberikan kita jalan langsung kepada pikiran pembicara, yang memberikan kita akses langsung juga kepada petanda sebagai eksistensi mereka didalam, ‘the Logos’.

Ellis (1989) berpendapat bahwa logosentrisme adalah ilusi dimana sebuah

makna kata mempunyai struktur realitas yang asli dan membuat kebenaran tentang struktur yang langsung ditujukan kepada pikiran.

Kembali kepada pemikiran Derrida (Glusberg, 1991: 30), ia mengatakan bahwa logosentrisme hanyalah merupakan suatu kepercayaan bahwa akan semua eksistensi, ada ‘kebenaran’ abstrak yang tertata dalam kategori-kategori absolut dan tak terhindari. Hal ini eksis hanya dalam ‘Pikiran dan Firman’ Tuhan, tetapi semua hal-hal yang ‘nyata’ dibentuk dari mereka. Hal ini dapat ditembus hanya dalam penggunaan bahasa.

2.4.4.4 Postmodernisme dan Hiperealitas Media

Postmodernisme atau yang biasa disebut postmo jika dilihat dari segi bahasanya yaitu post dan modernisme. Post berarti suatu keadaan yang sudah lewat, berlalu, dan terpisah. Namun dalam arti yang sesungguhnya,

(41)

postmodernisme tidak dapat dilihat secara bahasa saja, namun ada beberapa pandangan yang melatarbelakangi timbulnya postmodernisme.

Dalam memahami postmodernisme, Judith Butler (1995: 51) membedakan postmodern menjadi berbagai pemahaman seperti:

a) Postmodernitas

Merujuk pada suatu epos -jangka waktu, zaman, masa-sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman histories (Kumar, 1995; Crook, Pakulski, dan Walters, 1992)

b) Postmodernisme

Merujuk pada produk cultural (dalam seni, film, arsitektur dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk cultural modern (Kumar, 1995; Jameson, 1991)

c) Teori Sosial Postmodern

Merujuk pada bentuk teori sosial yang berbeda daei teori sosial modern (Best dan Kellner, 1991)

Postmodernitas adalah sebuah sebuah perspektif yang muncul dari bangkitnya modernitas (Ritzer, 2003: 269), hal ini sebagaimana diindikasikan sebelumnya, modernisme yang melihat kepada dirinya sendiri dan menilai kekuatan dan kelemahannya sendiri:

Postmodernitas tidak harus berarti sebuah akhir, pendiskreditan, atau penolakan terhadap modernitas. Postmodernitas tidak lebih (namun tidak kurang) dari pikiran modern yang lama, penuh perhatian dan sadar dalam melihat dirinya, pada kondisi dan karyanya di masa yang telah lalu, tidak sepenuhnya menyukai apa yang ia lihat dan merasakan dorongan untuk berubah. Postmodernitas yang melihat dirinya dari sebuah jarak yang jauh daripada dari dalam, membuat inventarisasi penuh atas semua kemenangan-kemenangan dan kekalahan-kekalahannya, membuat psikoanalisis ata dirinya, menemukan niatan-niatan yang sebelumnya belum pernah diungkapkan, menemukan niatan-niatan yang sebelumnya belum pernah diungkapkan, menemukan apa yang secara mutual dihapuskan dan tidak layak. Postmodernitas adalah modernitas yang hadir dalam pengertian dengan ketidakmungkinannya sendiri; sebuah masyarakat pengawasan diri, sesuatu yang dengan kesadaran membuang apa yang sebelumnya secara tidak sadar pernah dilakukan.

(42)

Postmodernisme adalah sebuah ajang permainan terhadap segala sesuatu yang dibongkar, yang telah didekonstruksi. Tidak ada lagi batas mengenai apa yang boleh/tidak boleh disampaikan, dipertontonkan, disuguhkan dalam media.

Segala asumsi (termasuk asumsi moral) kini telah didekonstruksi, telah dihancurkan. Tidak ada lagi referensi moral. Seluruh jagad moral telah didekonstruksi. Dan, apa yang tersisa hanyalah puing-puing. Yang tersisa untuk dilakukan adalah bermain dengan puing-puing (moralitas) ini. Bermain denganpuing-puing- itulah postmodernisme.

Jean Baudrillard (Piliang, 2004: 352)

Teori sosial postmodern (Pauline Rosenau, 1992) dapat diartikan dalam istilah:

1) Postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.

2) Teoretisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas dan sebagainya.

3) Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern, seperti ‘emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik.

4) Teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu, seperti disiplin akademis, ‘budaya dan kehidupan’, fiksi dan teori, image dan realitas. 5) Banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang

teliti dan bernalar (Nuyen, 1992: 6)

Secara umum, ada perbedaan antara poststrukturalisme dan postmodernisme. Poststrukturalisme adalah suatu sumber teoretis yang sangat penting bagi teori sosial postmodern. Jadi ada garis tipis yang memisahkan poststrukturalisme dengan postmodernisme. Dapat dikatakan poststrukturalisme merupakan pelopor teori sosial postmodern (Berthens, 1995), karena poststrukturalisme merupakan untaian-untaian pemikiran yang membentang dalam perkembangan teori sosial postmodern. Perbedaan lainnya yaitu bahwa

(43)

poststrukturalis cenderung sangat abstrak dan kurang politis dibandingkan dengan postmodernisme.

Postmodernisme menggiring umat manusia dalam sebuah paradoks (Piliang, 2004). Di satu pihak, postmodernisme telah membuka yang kayak warna, kayak nuansa, kaya citra, namun di sisi yang lain postmodernisme seolah-olah menjelma menjadi sebuah dunia yang tidak terkendali; manusia tenggelam dalam keinginannya sendiri dan kehilangan arah tujuannya. Masyarakat postmodern (yang ditopang oleh kapitalisme) adalah sebuah masyarakat, yang di dalamnya segala sesuatu berkembang menuju ke satu titik ekstrim (extremity) menuju sebuah titik yang melampaui (beyond), menuju titik hiper atau post.

Sejak adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di awal abad 21, telah mengubah pandangan dunia manusia, khususnya pandangan mengenai apa yang disebut sebagai realitas. Lewat kemampuan teknologi, diciptakan realitas yang melampaui, yang disebut hiperealitas (hyper-reality) (Piliang, 2004: 155). Sejak itu perhatian manusia mulai beralih dari realitas fisik ke realitas yang melampaui fisik. Hiperealitas adalah satu bentuk dari apa yang disebut modernitas radikal (radical modernity), yaitu modernitas yang merealisasikan dan materialisasikan segala sesuatu yang selama ini dianggap utopis.

Hiperealitas adalah sebuah dunia yang di dalamnya terjadi “… proses mendorong sistim atau konsep atau argumen menuju titik ekstrim, di mana orang mendorongnya lebih jauh lagi, sampai pada satu titik setiap sistem, konsep, atau argumen tersebut telah kehilangan logika” (Piliang, 2004: 156).

Di dalam hiperealitas, dunia tidak lagi bersifat dialektik, namun menuju ke arah ekstrim. Segala sesuatu (informasi, produk, dan lain-lain) didorong menuju sebuah titik, dimana pada batas tertentu, semuanya tidak lagi mempunyai makna bagi manusia dan kemanusiaan. Hiperealitas media (hyper-reality of media) digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan (distorsi) makna dalam media. Jadi hiperealitas media menciptakan kondisi yang sedemikian rupa, sehingga di dalamnya hal yang semu dianggap lebih nyata dari ‘kenyataan’.

Hiperealitas media telah banyak menimbulkan problem dalam masyarakat, khususnya hal yang berkaitan dengan masalah objektivitas, netralitas dan

(44)

kredibilitas informasi yang disajikan oleh media (Piliang, 2004: 142). Hiperealitas media menciptakan berbagai persoalan sosiokultural, antara lain:

1) Disinformasi

Simulakrum informasi yang berlangsung secara terus-menerus dalam suatu titik dapat menimbulkan kondisi ketidakpastian apada informasi itu sendiri. Simulakrum (simulacrum) adalah sebuah duplikasi dari duplikasi , yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Simulakrum menciptakan krisis kepercayaan terhadap informasi itu sendiri. Informasi kehilangan kredibilitas karena tidak lagi mengungkapkan kebenaran.

2) Depolitisasi

Massa yang terperangkap dalam simulacrum politik menyerap realitas-realitas yang disajikan oleh media secara tidak kritis dan logis, sehingga realitas-realitas melampaui tersebut, dan membentuk opini dan sikap politik mereka, yang sesungguhnya telah didistorsi oleh politik informasi.

3) Banalitas Informasi

Dalam dunia banalitas informasi, apapun dirubah menjadi informasi. Tidak peduli informasi tersebut tidak menarik, seberapa parahnya kualitas dan makna dari sesuatu, ia tetap menjadi subyek informasi. Massa dikepung oleh berjuta tanda dan citra, sehingga ia tidak mampu lagi menginternalisasikan makna yang dihasilkannya.

4) Fatalitas Informasi

Informasi yang tak terkendali dalam media menciptakan kondisi fatalitas informasi (fatality of information). Dalam kondisi tersebut, informasi tidak lagi mempunyai tujuan, fungsi dan makna.

5) Skizofrenia

Oleh Jacques Lacan, skizofrenia dapat diartikan sebagai putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep petanda, namun yang

(45)

terjadi adalah kesimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan suatu konsep.

6) Hipermoralitas

Terjadi kekaburan batas dalam wacana informasi, dimana di dalamnya tidak ada lagi batas-batas mengenai baik/buruk, benar/salah, boleh/tidak boleh, berguna/tidak berguna untuk dikomunikasikan dalam media. Hal ini adalah salah satu konsekuensi dari wacana kecepatan informasi yaitu kecenderungan dekonstruksi terhadap masalah kode-kode sosial, moral atau kultural.

2.4.5. Munculnya Dekonstruktivisme

Sejak adanya kritik sastra dekonstruktivisme di pertengahan tahun 1980, kata ‘dekonstruksi’ langsung melekat pada label arsitektur, desain grafis, produk-produk, dan pakaian. Menurut Ellen Lupton dan J. Abbott Miller (1994), kata dekonstruksi bergantung pada history (sejarah) dan theory (teori). Dekonstruktivisme seolah-olah tertanam pada visual terbaru dan budaya akademis, namun dekonstruksi menjelaskan tentang strategi pembentukan bentuk kritis yang dimunculkan melintasi jarak dari artifacts dan practices (praktis), histori dan kontemporer. Maksudnya adalah dekonstruksi merupakan suatu terobosan teori filsafat dan prakteknya, setelah itu dekonstruksi menjadi salah satu perkembangan yang signifikan pada bidang kritik filsafat abad 20 ini (J. Douglas

Kenale, 1997).

Menurut Derrida dalam Of Grammatology (1977), dekonstruksi menolak projek dari kritik modern; untuk membuka pengertian dari pekerjaan sastra/literatur dengan belajar cara untuk membentuk dan mengkomunikasikan pesan humanistik yang penting. Dekonstruksi seolah-olah seperti strategi kritik yang berdasar pada Marxisme, feminisme, semiotika, dan antropologi yang berfokus tidak pada tema dan gambar atau obyek tetapi lebih ke arah lingustik dan sistem institusional dari kerangka/bingkai dalam memproduksi teks.

Dekonstruksi mengambil porsi dalam oposisi dengan nenunjukkan bagaimana untuk mengembangkan konsep kosong tinggal di dalamnya dan bermakna positif. Yang di luar (the outside) mendiami yang di dalam (the inside).

(46)

Contohnya yaitu oposisi antara alam dan kebudayaan. Ide dari ‘alam’ bergantung pada ide dari ‘kebudayaan’ dan segera ‘kebudayaan’ menjadi bagian dari ‘alam’; dan faktanya manusia telah memproduksi sebuah konsep ‘alam’ dalam oposisi ‘kebudayaan’.

Tatanan teratur yang telah diusahakan oleh modernisme ingin dikembalikan ke dalam bentuk-bentuk jamak. Dekonstruksi ingin memilah-milah tananan tersebut, apabila ada sesuatu yang tertutup (closer) maka harus ada yang terbuka (discloser).

Label dekonstruksi dikukuhkan dalam “International Symposium on

Deconstruction” oleh Academy Group di Tate Gallery, London pada tanggal 18

April 1988. Dari hasil simposium ini disepakati bahwa ‘dekonstruksi’ bukanlah sebuah gerakan yang tunggal. Dekonstruksi lebih merupakan sikap, suatu metode krisis yang majemuk, dan tidak memiliki ideologi atau tujuan formal, kecuali semangat untuk membongkar kemapanan dan kebakuan.

Derrida memaparkan bahwa dekonstruksi adalah metode membaca teks dengan

teliti, sehingga premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi yang disusun atas premis tersebut. Derrida mengkaitkan metode dekonstruksi dengan kritik terhadap metaphysics of

presence. Kritik itu kemudian menjadi asumsi dasar bagai filosof tradisional. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang disebut present dalam pengertian

suatu ‘saat’ yang terdefinisikan sebagai sekarang/now. (Freddy H.Istanto, 2003: 54)

.

Dalam Jurnal Nirmana Vol. 5 No.1 tahun 2003 artikel Freddy H. Istanto dipaparkan mengenai prinsip-prinsip Derrida dalam dekonstruksi menurut

Jonathan Culler (dalam Benedikt, 1991) sebagai berikut:

a) Différance

Différance berarti suatu ‘kata dalam kata’ dalam bahasa Prancis,

yang dibentuk sendiri oleh Derrida. Dalam bahasa Inggris, difference berarti perbedaan. Kata differer ini mempunyai dua arti, yang pertama sebagai kata kerja intransitif, dan yang kedua sebagai kata kerja transitif yang artinya menunda, menangguhkan dan mengundurkan waktu (Bertens 1985: 500). Kata différance menggabungkan kedua arti tersebut sehingga memiliki makna yang mengacu sebagai perbedaan dan penangguhan

(47)

waktu. Jadi différance berarti ‘berbeda’ dan ‘menunda’ pada saat yang bersamaan.

Tiga pengertian différance secara harafiah, yaitu: a.1) The universal system of differences: berbeda a.2) The process of deferral: menunda, meneruskan a.3) The sense of differing: berbeda pendapat/tidak setuju

Dengan konsep différance proses dekonstruksi merupakan proses mendeferensiasikan yang merupakan syarat timbulnya setiap makna pada sistim struktur.

Dekonstruksi mengandung dimensi waktu (temporization) dan antara (spacing) (Sumaryono, 1993: 115, Setiawan, 1994: 17). Arti kata

differance hampir sama dengan ‘Ma’ (bahasa Jepang) yang berarti interval

jarak (interval in space) dan interval waktu (interval in time). Maksud interval waktu adalah peristiwa, tempat, kejadian dalam suatu waktu.

Dalam bahasa Jepang, ‘Ma’ diartikan sebagai:

- Celah diantara batu pijakan, pada saat manusia melangkah dengan tenangnya

- Ketenangan antara otot-otot suatu lagu ketika irama legato dinyanyikan

- Suatu posisi dimana pendulum mencapai puncaknya dan berhenti ‘tanpa berhenti’ atau ‘stop without stopping’.

Untuk memahami différance harus ada dua ide yang saling melengkapi/ tanda yang sama namun dipindahkan menuju konteks yang berbeda karena ada perbedaan fundamental dan universal. Misalnya adalah perbedaan antara presence dan absence. Disini memang ada perbedaan yang mencolok seperti warna hitam dan putih, namun disini juga ada ketergantungannya, seperti tidak ada naik kalau tanpa turun, tidak ada baik kalau tanpa buruk, dan lainnya. Demikian juga presence tidak memiliki makna tanpa adanya absence.

(48)

b) Pembalikan Hirarkhi

Derrida mengikuti pemikiran Heiddeger mengenai pemikiran tentang

‘ada’. Konsep ‘ada’ dari sudut pandang metafisika barat memiliki dua masalah yaitu:

b.1) ‘Ada’ tidak sesederhana yang dibayangkan, bahkan merupakan sesuatu yang kompleks. Derrida menolak konsep ‘suatu saat’ yang selalu diartikan sebagai ‘sekarang’.

b.2) Idealisasi ‘ada’ menyebabkan semua sistim kategori menjadi saling mendominasi satu dengan yang lain. Jadi ‘ada’ lebih baik daripada ‘tidak ada’ karena dibutuhkan. Dalam hal ini dekonstruksi bertujuan untuk mengidentifikasi apa yang biasanya disepelekan sehingga hierarkhi yang terjadi dapat dibatalkan atau diproses mundur.

c) Pusat dan Marjinal

Pusat seringkali diartikan sebagai inti, yaitu hal-hal penting, sedangkan marjinal dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting (nomor 2). Pusat dan marjinal sebenarnya hanyalah masalah posisi dalam geometrika saja. Untuk memberikan arti pada keduanya, dekonstruksi dapat mempertentangkan atau menyembunyikannya bahkan merubah tempatnya. d) Pengulangan (Iterabilitas) dan Makna

Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang pada konteks yang berbeda, dimana secara konotatif maupun denotatif artinya akan memperoleh struktur yang stabil.

Derrida, 1967 menyampaikan suatu pengertian bahwa selalu ada alteritas yang bersembunyi di belakang tanda; selalu ada yang tersembunyi di balik apa yang hadir, hal ini dikemukakan juga oleh Spivak:

Untuk melokasikan teks marginal yang diharapkan, untuk menyingkap momen yang tidak dapat dipastikan, untuk membongkar kelonggarannya dengan pengungkit penanda yang positif, untuk membalikkan hierarkhi yang tetap, hanya dengan menggantinya; membongkarnya agar dibangun kembali apa yang sudah senantiasa ditulis.

(49)

Dalam penerapan dekonstruksi, Derrida sering menitikberatkan pada hal yang kecil. Tujuannya adalah melokasikan saat-saat kunci, pertentangan kunci. (Ritzer, 2003: 205). Dalam menerapkan cara ini dalam teks sesuatu (dan ada) yang disembunyikan, ditutup. Tetapi dekonstruksi tidak diorientasikan untuk memastikan kebenaran. Derrida mendekonstruksi agar dapat mendekonstruksi lagi dan terus-menerus; bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menemukan kebenaran.

Proses dari dekonstruksi berbasis pada arti tanda yang tidak ditemukan pada arti yang sesungguhnya dengan melihat apa yang muncul secara fisik. Sarup menggambar pada perspektif dekonstruksi untuk menjelaskan bahwa ‘arti’ tidak akan pernah ditemukan hanya dengan melihat satu tanda saja, tetapi dengan melihat penanda-penanda yang lain yang akan membantu menjelaskan ‘kehadiran’ dan ‘ketidakhadiran’ itu.

2.4.6. Ciri-ciri Majalah Dekonstruktivisme

Dalam era yang serba digital ini, banyak ditemukan media sebagai

penyampaian pesan, salah satunya yaitu majalah. Dari sekian banyak majalah yang ada, peneliti menemukan beberapa majalah untuk diteliti. Dilihat dari bentuk dan penataan elemen-elemen visualnya, majalah-majalah tersebut ternyata mempunyai ciri-ciri paham dekonstruksi. Untuk itulah, peneliti memaparkan teori singkat mengenai ciri-ciri majalah berpaham dekonstruksi, berdasarkan atas:

2.4.6.1. Tipografi

Dekonstruksi sudah terbentuk sebagai suatu alat penting untuk analisa tekstual melintasi ilmu-ilmu berbeda. Walter Ong bahkan juga mengusulkan bahwa dekonstruksi terikat pada tipografi, daripada hanya tulisan sebagaimana yang diasumsikan tipografer lain.

Desain tipografi majalah selalu didiami oleh arti dari berkas-berkas yang berubah-ubah untuk, dari dan diantara produsen-produsen, pemilik-pemilik dan pembaca-pembacanya. Jadi lewat dekonstruksi itu sendiri, suatu proses yang terinformasi oleh agenda politis dan praktis, sosio-politis dan ideologi institusional dapat diekspos dari lapisan-lapisan teks yang dalam.

(50)

Dalam mendekonstruksi praktek tipografi majalah kontemporer, beberapa konsep kunci akan digunakan. Ini menyangkut: ‘kehadiran’, ‘ketidakhadiran’, ‘berkas-berkas’ dan ‘intertektualitas’. ‘Kehadiran’ dan ‘ketidakhadiran’ umumnya digunakan dalam konjungsi dengan sesama karena mereka mewaliki pembagian biner biasa dalam konstruksi filsafat dari budaya Barat. Namun, dekonstruksi tidak memprioritaskan kehadiran daripada ketidakhadiran pada basis bahwa itu adalah istilah pertama dari pasangan biner. Biner ini didekonstruksikan untuk menunjukkan apa yang tidak hadir dalam suatu teks bias menjadi bentuk teks, dan apa yang hadir tidak akan menjadi seperti demikian, kecuali untuk ketidakhadiran itu.

Dalam teks tipografi, suatu contoh permainan ‘kehadiran’ dan ‘ketidakhadiran’ dapat diilustrasikan melalui spasi. Derrida, 1977 menulis “ Spasi memotong, menjatuhkan, dan membuat jatuh di dalam ketidaksadaran. Signifikasi ini dibentuk hanya di dalam hampanya perbedaan, diversi dan kebalikan dari apa yang tidak muncul. “

Gambar 2.42 Majalah Blank edisi 6 tahun 2003, halaman 13

Desain tipografi yang bercirikan ‘pemotongan bentuk’ seakan-akan sudah terfokus pada tipografi “postmodern” dan “dekonstruksi”. Steven Heller, 1997

(51)

berpendapat bahwa beberapa waktu sebelum dekonstruktivisme muncul dalam gerakan tipografi, tipografi dari dekonstruktivisme itu sendiri tidak diindikasikan dengan orientasi desain yang lain.

Ciri-ciri tipografi pada majalah dekonstruktivisme yaitu tidak terstruktur, yaitu:

1. Hurufnya yang non konvensional 2. Susunan hurufnya tidak teratur 3. Hurufnya sukar dibaca

4. Illegible (tidak legible)

5. Hurufnya banyak ornamen

2.4.6.2. Warna

Warna sebenarnya memegang peranan dalam legibilitas sebuah pesan. Desainer seharusnya mengerti tentang teori warna dan kekontrasaannya dalam sebuah layout majalah. Peneliti akan menjabarkan mengenai bagaimana warna mempengaruhi legibilitas sebuah pesan (message); dalam hal ini dapat diartikan sebagai layout suatu majalah.

Berdasarkan sebuah penelitian di Michigan State University School of

Packaging, warna teks dalam sebuah background warna mempengaruhi kualitas

pesan tersebut mudah dibaca atau tidak, dan enak dibaca atau tidak. Dalam penelitian ini diuji-cobakan legibilitas dari 6 macam kekontrasan warna dalam teks, yaitu:

1. Blue on White (biru dalam putih) 2. Yellow on Red (kuning dalam merah) 3. Blue on Yellow (biru dalam kuning) 4. White on Blue (putih dalam biru) 5. Black on Red (hitam dalam merah) 6. Black on White (hitam dalam putih)

Dari uji coba yang dilakukan oleh desainer di Michigan State University

School of Packaging tersebut, peneliti dapat memberikan kesimpulan sementara

(52)

yang berbeda pula. Enak atau tidaknya dibaca serta legibilitas hurufnya juga dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.43. Message and Contrast

(berdasarkan sumber: Laura Bix, 2003)

Dalam penelitian tersebut, mereka membandingkan menjadi 6 grup berdasarkan usia yaitu:

1. Grup 1, yang berusia 19-28 tahun 2. Grup 2, yang berusia 29-38 tahun 3. Grup 3, yang berusia 39-48 tahun 4. Grup 4, yang berusia 51-60 tahun 5. Grup 5, yang berusia 61-70 tahun 6. Grup 6, yang berusia lebih dari 71 tahun

Gambar

Gambar 2.2 Aboriginal Rock Painting (Axel Poignant Archive) 13.000 B.C  (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 14)
Gambar 2.3 Huruf Phonetic Yunani. 1.000 B.C  (Sumber: Ilene Strizver, 2001: 14)
Gambar 2.5 Huruf Yang Telah Disempurnakan Oleh Roma.
Gambar 2.8 Anatomi huruf.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jadi analisa regresi berkenaan dengan study ketergantungan dari suatu variable tak bebas (dependent variable) pada satu atau lebih variable, yaitu variable yang menerangkan

Waktu yang digunakan oleh sebuah ADC menghasilkan kode biner (digital) dalam suatu konversi disebut waktu konversi. ADC dikatan berkecepatan tinggi jika memiliki waktu konversi

Jadi analisa regresi berkenaan dengan study ketergantungan dari suatu variable tak bebas ( dependent variable ) pada satu atau lebih variable, yaitu variable yang menerangkan

Dalam pembahasan tentang pengendalian proses statistikal, istilah kualitas didefinisikan sebagai konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan

Peneliti menggunakan tepung pisang pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia akan impor tepung terigu serta sekaligus mengatasi masalah

Hubungan ketergantungan antar package ini mengindikasikan efek suatu elemen terhadap elemen lain dalam sistem sehingga perancang sistem dapat melacak efek-efek dari

Citra biner dibentuk dari citra keabuan melalui proses thresholding, dimana tiap piksel yang nilainya lebih besar dari nilai threshold akan diubah menjadi warna putih (1)

Jadi analisis regresi berhubungan dengan studi mengenai ketergantungan dari sebuah variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas dengan tujuan untuk menaksir dan