• Tidak ada hasil yang ditemukan

UANG ELEKTRONIK (E-MONEY) YANG TIDAK TERDAFTAR (UNREGISTERED) DALAM PENGGUNAAAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UANG ELEKTRONIK (E-MONEY) YANG TIDAK TERDAFTAR (UNREGISTERED) DALAM PENGGUNAAAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

UANG ELEKTRONIK (E-MONEY) YANG TIDAK TERDAFTAR (UNREGISTERED) DALAM PENGGUNAAAN DAN PERTANGGUNG

JAWABAN HUKUM

Oleh:

Zul Amirul Haq. S. H. Alen Aliansyah. S. H.

Email:

zulamirulhaq@gmail.com alenaliansyah@gmail.com

Abstract

The improvement of science has easily made civil society to find out some novel things to ease their activities. The appearance of electronic money (e-money) has already been one of the answers for the improvement of globalization and technological era. Some opine that e-money is the easy settlement tool to use in all activities. Laws as the responsible tool for the appearance e-money has generated numerous kinds of regulations to regulate and organize the use of e-money in order to give justice and equal expendiency for the society and also has already regulated equal rights and obligations for the producer and its consumer. However, the das sein, legal practice, is not as good as the das solent, legal theory, which is in regard to the related regulations regarding the use of e-money. Because, in this case, it still gives legal uncertainty for the unregistered e-money users.

Abstrak

Semakin berkembangnyaa ilmu pengetahuan telah semakin mempermudah masyarakat untuk menemukan hal-hal baru yang mempermudah aktifitasmya. Hadirnyaa uang elektronik (e-money) menjadi salah satu jawaban dari meningkatnyaa arus globalisasi dan tekhnologi, masyarakat menilai uang elektronik (e-money) menjadi alat pembayaran yang mudah untuk di gunakan dalam berbagai aktifitas. Hukum sebagai sarana yang bertanggung jawab terhadap hadirnya Uang elektronik (e-money) telah melahirkan berbagai macam regulasi untuk mengatur dan menata penggunaan uang elektronik (e-money) agar memberikan keadilan dan kemanfaatan yang merata bagi masyarakat. Hukum juga telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun das sein tak seindah das solent peraturan terkait penggunaan uang elektronik (e-money) masih menyisishkan ketidakpastian hukum bagi pengguna uang elektronik (e-money) yang tidak terdaftar (unregistered).

(2)

A. Pendahuluan

Teknologi informasi berkembang beriringan dengan peradaban manusia.

Peradaban manusia yang salah satunya diwujudkan dalam gaya hidup (life style) yang semakin tinggi dalam segala sektor kehidupan pribadi ataupun sosial. Perubahan yang sangat cepat di bidang teknologi informasi membuat sistem distribusi informasi terjadi dalam kecepatan waktu dalam hitugan detik, bahkan lintas benua.1

Perkembangan teknologi telah mendorong perkembangan dalam dunia perbankan, salah satunya dalam sistem pembayaran yang menjadi salah satu faktor stabilitas sistem keuangan. Dalam prakteknya, kegiatan sistem pembayaran melibatkan berbagai lembaga yang berperan sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran maupun penyelenggara pendukung jasa sistem pembayaran seperti bank, lembaga keuangan selain bank, dan bahkan perorangan.2

Sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran mencakup sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam perannya di bidang pembayaran tunai, Bank Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa tanggung jawab yang dipikul untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah dalam jumlah dan pecahan yang cukup merupakan sebuah tantangan tersendiri.3

Sejalan dengan pesatnya perkembangan sistem pembayaran, teknologi juga telah mendorong berkembangnya alat pembayaran. Ada dua jenis alat pembayaran yang saat ini berlaku yaitu cash based dan non cash based. Alat pembayaran cash based yang berlaku di Indonesia saat ini adalah rupiah, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam jumlah dan pecahan yang cukup.

Adapun alat pembayaran non cash based secara umum digolongkan menjadi dua, yaitu paper based, dan electronic based. Dalam alat pembayaran paper based

1Siswanto Sunarso, “Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik”, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm.39

2Bank Indonesia, “Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2008”, diakses dari

http://www.bi.go.id, pada tanggal 21 Ferbruari 2020 14:48

3Tim Inisiatif 2006, “Working Paper : Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-money”, Bank Indonesia, Desember 2006, hlm..

(3)

mencakup bilyet giro dan cek. Sedangkan alat pembayaran electronic based dibagi menjadi dua, yaitu card based yang mencakup kartu ATM, kartu kredit, uang elektronik (e-money), dan non-based card seperti transfer kliring, Real Time Gross Settlement (RTGS), Scripless Securities Settlment Sysytem (SSSS), dan uang elektronik (e-money) berbasis server. 4

Dari sisi sistem pembayaran non tunai, Bank Indonesia berkepentingan untuk memastikan bahwa sistem pembayaran non tunai yang digunakan oleh masyarakat dapat berjalan secara aman, efisien dan handal. Oleh karena itu, perkembangan penggunaan alat pembayaran non tunai mendapat perhatian yang serius dari Bank Indonesia mengingat perkembangan pembayaran non tunai diharapkan dapat mengurangi beban penggunaan uang tunai dan semakin meningkatkan efisiensi perekonomian dalam masyarakat. Meskipun dari sisi teknologi alternatif penggunaan instrumen pembayaran non tunai sangat feasible untuk menggantikan uang tunai, namun secara aspek psikologis, keamanan, kenyamanan dan kepercayaan masyarakat masih lebih cenderung memilih uang kas, hal tersebut merupakan hambatan yang masih harus dihadapi dalam pengembangan instrumen pembayaran non tunai.5

Dalam perkembangannya, beberapa negara telah menemukan dan menggunakan produk pembayaran elektronis yang dikenal sebagai electronic money (e-money), yang karakteristiknya berbeda dengan pembayaran elektronis yang telah disebutkan sebelumnya. Pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan e-money tidak selalu memerlukan proses otorisasi dan keterkaitan secara langsung (on line) dengan rekening nasabah di bank. Hal ini dapat terjadi karena e-money merupakan produk stored value dimana sejumlah nilai dana tertentu (monetary value) telah terekam (tersimpan) dalam alat pembayaran yang digunakan tersebut.6 Kartu sangat mudah untuk dialihkan atau dipindahtangankan dan jumlah nilai uang yang tersimpan pada uang elektronik (e-money) ini serta

4Bambang Pramono, et.al, “Working Paper : Dampak Pembayawan Non Tunai Terhadap Perekonomian Dan Kebijakan Moneter”, Bank Indonesia, September 2006, hlm.23.

5Ibid, hlm.2 6Ibid, hlm.7

(4)

bukan merupakan simpanan sebagaimana yang diatur dalam dalam Undang Undang Perbankan.7

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money), uang elektronik (electronic money) adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;

b. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; c. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan

merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan

d. Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.

Uang Elektronik (e-money) diterbitkan oleh para penerbit uang elektronik (issuer) baik bank ataupun lembaga di luar bank yang telah memenuhi syarat dari Bank Indonesia. Issuer ini memelihara dana yang bersifat float, yaitu nilai uang elektronik yang diterima penerbit atas hasil penerbitan uang elektronik dan/atau pengisian ulang (top up) yang masih merupakan kewajiban penerbit kepada pengguna dan penyedia barang dan/atau jasa (Peraturan BI Nomor 20/6/PBI/2018). Seluruh perkembangan sistem pembayaran baik dari sisi alat pembayaran, transaksi, maupun penyelenggaraan sistem pembayaran memberikan konsekuensi terhadap tingkat risiko yang harus dihadapi oleh para pelaku sistem pembayaran maupun para penggunanya.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui media elektronik perlu didukung perangkat hukum dalam rangka melindungi masyarakat.8 Maka dari itu seorang pengguna alat pembayaran menggunakan kartu uang elektronik (e-money) sudah

7Haikal Ramadhan, et.al, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi Ditinjau Dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 Tentang Uang Elektronik (E-money)”, Diponegoro Law Review, Vol. 5 No. 2, 2016, hlm.2

8Mariam Darus Badrulzaman, “Kompilasi Hukum Perikatan”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.271.

(5)

selayaknya dilindungi secara hukum dalam regulasi terhadap teknologi informasi yang memadai. Selain itu juga diperlukan kemampuan dari aparat penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat dan prasarana-prasarana yang mendukung penegakan hukum di bidang teknologi informasi.9

Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh e-money, perlindungan hukum terhadap pengguna uang elektronik (e-money) harus diberikan sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, kebijakan pemerintah yang menjadi penggerak dan produktivitas, fleksibilitas, dan efisiensi dalam menghasilkan barang dan jasa dalam rangka mencapai sasaran usaha.10 Dalam upaya tersebut, sudah jelas dampak yang akan dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah kepada para pengguna uang elektronik money) khususunya pengguna uang eletronk (e-money) yang tidak terdaftar (unregistered).

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam hal ini pengguna uang elektronik (e-money) adalah konsumen yang dilindungi hak-haknya oleh undang-undang, sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pertimbangan perlindungan tersebut didasari oleh semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka tercapainya sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai sasaran usaha tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung konsumen yang pada umumnya akan merasakan dampaknya.11

9Johanes Ibrahim, “Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan”, Rafika Aditama, Bandung, 2004, hlm.1

10Niniek Suparni, “Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.110-111.

11Sri Redjeki Hartono, “Hukum Perlindungan Konsumen”, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.33

(6)

Banyak warga masyarakat yang merasa haknya sebagai konsumen dilanggar karena tidak adanya pilihan dalam melakukan transaksi atau pembayaran. Keberadaan hukum sebagai aturan (rule of law) berbanding lurus dengan pemahaman hukum dan kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku. Tidak ada ketentuan hukum yang efektif di masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak pernah dikomunikasikan di masyarakat. Mengikuti pendapat tentang sistem hukum nasional, maka keberadaan sistem informasi hukum dapat ditempatkan sebagai komponen ke empat dalam sistem hukum nasional yang selama ini dikenal ada tiga komponen, yaitu subtansi, struktur dan budaya hukum. Secara teoritis komponen ini akan mengurangi ketimpangan antara rule of law dengan social behavior.12

Semua konsumen berhak mendapatkan perlindungan hukum dari setiap penyelenggara uang elektronik sebagai alat pembayaran dalam transaksi elektronik. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Perlindungan Konsumen, yaitu “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepala konsumen”.

Dalam upaya perlindungan konsumen ada aspek yang perlu dikaji meliputi ada hak dan kewajiban konsumen atau pengguna yang harus dilindungi dari tindakan sepihak para penyelenggara atau pelaku usaha. Aspek penting lain yang perlu dikaji adalah pengakuan dan kepastian hukum dalam alat pembayaran elektronik dengan menggunakan uang elektronik jika terjadi kerugian yang tidak disengaja oleh para konsumen.

Kajian ini penulis akan berusaha memaparkan dan membahas mengenai penerapan perlindungan hukum bagi pengguna uang elektronik (e-money) sebagai alat pembayaran dalam transaksi elektronik, baik dari aspek hukum, perlindungan konsumen, teknologi yang digunakan dalam transaksi elektronik, dalam hal pengguna e-money mengalami kerugian dan bagaimana pertanggung jawaban para penyelenggara uang elektronik (e-money) dalam menyelesaikan sengketa

12Edmon Makarim, “Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.10

(7)

konsumen dilihat dari perspektif Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/2018 tentang Uang Elektronik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B. Jaminan Hukum bagi Pengguna Uang Elektronik (E-money Holder) dalam Penggunaannya

Peran e-money sebagai salah satu bentuk pembayaran non tunai di samping memberikan manfaat dan kemudahan bagi pemegang kartu juga memiliki berbagai potensi risiko keamanan. Potensi risiko yang dapat terjadi dalam pembayaran mikro antara lain adalah risiko pemalsuan dan duplikasi kartu, modifikasi data atau aplikasi e-money, pengubahan message, pencurian, penyangkalan (repudiation) dan risiko malfunction. Dalam rangka meminimalisasi risiko yang dapat terjadi tersebut, penyelenggaraan e-money harus diatur dalam mewujudkan kerangka hukum yang kuat dan transparan serta mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap pemegang kartu e-money.13

Kewajiban penyelenggara sistem pembayaran elektronik terhadap pemegang kartu uang elektronik (e-money) didasarkan bahwa penyelenggara dan pemegang kartu kedudukannya tidak sejajar dan bahwa kepentingan pemegang kartu e-money sangat rentan terhadap tujuan penyelenggara yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki oleh pemegang kartu.14 Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh pelaku usaha, yang dalam UU Perlindungan Konsumen dijelaskan mengenai hak-hak konsumen pada pasal 4 yaitu meliputi :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yan diperjanjikan;

13 Z. Dunil, “ Kamus Istilah Perprodusen atau penerbitan Indonesia”, PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta2014, hlm. 67.

14 john Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, “Negara Hukum dan Perlindungan Konsume Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa”, Pelangi Cendikia, Jakarta, 2007, hlm.. 54.

(8)

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan hukum secara patut;

f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak diskriminatif;

g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau pengganti apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan

h. Hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Di pihak lain konsumen juga dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap pelaku usaha, kewajiban dari konsumen pada pasal 5 UU Perlindungan Konsumen meliputi: 15

a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

i. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut transparansi produk yang dilakukan oleh penerbit sesuai dengan Berdasarkan Surat Edaran Produsen atau penerbit Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik, lebih lanjut diatur penyelenggaraan penerapan menajemen risiko operasional para penyelenggara kegiatan uang elektronik wajib meningkatkan keamanan teknologi uang elektronik untuk mengurangi tingkat kejahatan dan penyalahgunaan uang elektronik segaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap uang

15Taufikkurrahman, ”Penerapan Asas Keseimbangan Berkontrak Pada Akad Pembiayaan Perbankan Syariah Perspektif Teori Hukum Ekonomi Islam”. Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan Vol. 6 No.1, Maret 2016, hlm. 43.

(9)

elektronik sebagai alat pembayaran.16 Dalam hal pembelian kartu e-money baik yang terdaftar maupun yang tidak, kartu akan dilengkapi dengan syarat dan ketentuan penggunaan kartu e-money tersebut. Syarat dan ketentuan tersebut menjadi suatu bentuk perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu dalam penggunaannya pada transaksi e-money perjanjian tersebut di kategorikan sebagai perjanjian yang bersifat baku.

Perjanjian dikatakan bersifat baku, karena baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar oleh pihak lainnya (take it or leave it). Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kedudukannya kurang dominan.17 Hal ini membuat pihak yang cenderung dirugikan sulit untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat perjanjian tersebut dibuat, atau atas isi klausula baku yang termuat dalam perjanjian tersebut.18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) pada pasal 1313 menjelaskan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Lebih lanjut pada pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat berupa syarat-syarat dan ketentuan dari penggunaan kartu e-money secara sah mengikat para pihak sebagaimana undang-undang dan perikatan ini berlaku bagi para pihak yang sepakat dalam perjanjian tersebut. Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang secara bebas untuk membuat dan melaksanakan perjanjian selama unsur-unsur perjanjian terpenuhi.19

16 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hal. 93.

17 Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 67.

18 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, “ Hukum tentang Perlindungan Konsumen”, PT. Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 53.

19 R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek”, Cetakan Kedua puluh tujuh (Edisi Revisi), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1992 ha.m 338.

(10)

Aspek hukum perjanjian dalam sistem pembayaran elektronik menggunakan e-money dilihat dari asas-asas yang mendasari suatu perjanjian antara para pihak dalam penggunaan e-money adalah meliputi:20

a. Asas Konsesualisme, suatu perjanjian lahir setelah terjadi kesepakatan antara para pihak.

b. Asas Kekuatan Mengikat, terikatnya para pihak atas apa yang mereka sepakati dalam perjanjian termasuk unsur-unsur lain yang dikehendaki para pihak merupakan kekuatan mengikat setara undang-undang.

b. Asas Kepercayaan, perjanjian harus dilaksanakan atas dasar kepercayaan antara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya. c. Asas Persamaan Hak, menempatkan para pihak dalam persamaan derajat,

tidak ada perbedaan, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain.

d. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki para pihak untuk memenui dan melaksanakan perjanjian sesuai dengan persamaan hak dan kewajibannya. e. Asas Kepatutan,asas ini berhubungan dengan isi perjanjian mengenai aspek

keadilan dalam masyarakat.

f. Asas Kebiasaan, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas akan tetapi juga hal-hal dalam kebiasaan yang lazim diikuti.

g. Asas Kepastian Hukum, perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum yang tercermin dari kekuatan mengikatnya perjanjian tersebut, yaitu undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. h. Asas Kebebasan Berkontrak, setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian

apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.21

Dilihat dari asas-asas perjanjian maka suatu perjanjian lahir atas dasar kesepakatan antara para pihak. Terikatnya para pihak pada apa yang disepakati

20 Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”: Suatu Tinjauan Singkat, Cv. Rajawali,Jakarta,1985, Hlm. 13-14.

21 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, “ Perikatan yang Lahir dari Perjanjian”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 14.

(11)

dalam perjanjian adalah sama halnya dengan kekuatan mengikat undang-undang. Jadi, setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja selama tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.22

Terkait dengan perlindungan pemegang kartu e-money baik yang terdaftar dan tidak sebagai konsumen uang elektronik, hal ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang secara garis besar telah memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk menikmati produk mereka secara jelas dan tidak menyesatkan.

Dalam kartu e-money yang tidak terdaftar (unregistered e-money) yang diterbitkan oleh produser, pada panduan penggunaannya dijelaskan bahwa isi staterpack dari e-money tersebut berisi unregistered e-money, panduan penggunaan kartu serta syarat dan ketentuannya. Dalam memulai transaksi, pemegang kartu harus melakukan transaksi isi ulang (top up). Proses transaksi isi ulang (top up) dapat dilakukan melalui mesin elektronik atau penyedia top up lainnya yang sah dapat melalui tunai non tunai. Limit dari unregistered e-money adalah dengan dilakukannya top up minimum sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan dengan saldo maksimum sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Adapun syarat dan ketentuan pemegang unregistered e-money minimum adalah :

a) Unregistered e-money dapat dipindahtangankan ke pihak manapun;

b) Unregistered e-money hanya dapat digunakan untuk melakukan proses transaksi;

c) Penggunaan kartu tanpa memerlukan nomor sandi pribadi atau PIN (Personal Identification Number) maupun tandatangan pemegang kartu. Oleh karena itu kartu dapat digunakan oleh orang lain tanpa perlu dibuktikan kewenangannya;

22Abdulkadir Muhammad, “Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 6

(12)

d) Jika kartu hilang atau dicuri, penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran pada kartu. Segala akibat yang timbul akan menjadi tanggung jawab pemegang kartu;

e) Keterangan dan perhitungan transaksi pembayaran, transaksi-transaksi lainnya atau mengenai saldo pada kartu merupakan bukti yang mengikat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;

f) Penggunaan kartu tunduk pada ketentuan dan peraturan yang berlaku; g) Apabila terjadi peristiwa darurat (force majeur) yang dibenarkan oleh

pejabat yang berwenang atau diluar kekuasaan para pihak, maka tidak ada pihak manapun yang dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi.

Dalam penggunaan unregistered e-money, pemegang kartu wajib menggunakan atau menjaga kartu sesuai dengan ketentuan penggunaannya. Unregistered e-money dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi maupun cek saldo pada e-money tersebut. Dijelaskan juga mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan unregistered e-money bahwa e-money model ini dapat dipindah tangankan kepada pihak manapun, oleh karena itu dapat digunakan oleh orang lain selain pemegang kartu. Apabila unregistered e-money hilang, rusak atau dicuri, produsen selaku penerbit tidak dapat melakukan penggantian atau pemblokiran.

Produsen atau penerbit dan seluruh pejabat, pegawai dan mitra terkait tidak dapat dimintai pertanggung jawaban oleh pemegang kartu atau pihak manapun yang mengajukan tuntutan atas:

1) Kehilangan kartu oleh pemegang kartu;

2) Kerusakan kartu akibat kecerobohan pemegang kartu, termasuk tidak menggunakan atau menempatkan kartu sesuai petunjuk penggunaan; 3) Kerugian sejumlah nilai uang dalam kartu akibat penggunaan transaksi

pembayaran yang tidak benar;

4) Kartu digunakan oleh pihak lain yang tidak berwenang dan/atau hasil penggandaan (cloning).

(13)

Dengan tidak membatasi hal-hal tersebut, produsen atau penerbit (issuer) termasuk mitra tidak bertanggung jawab atas tuntutan atau klaim mengenai segala kerugian atas kerusakan karena tidak beroperasinya sistem akibat bencana alam, perang, pemberontakan, kerusuhan umum, dan/atau adanya peraturan atau larangan pemerintah atau hal-hal yang diluar kuasa lainnya. Segala kerugian atau kehilangan data karena penggunaan kartu oleh pihak yang tidak berwenang.

C. Risiko-Risiko yang selalu Dialami oleh Pengguna E-money yang tidak Terdaftar (Unregistered E-money).

Masalah yang sering timbul bagi konsumen atau pemegang uang elektronik diantaranya adalah kerusakan kartu. Kerusakan kartu biasanya sering terjadi pada jenis uang elektronik yang berbasis unregistered (tidak terdaftar) . Kerusakan kartu menyebabkan terjadinya gagal dalam transaksi pembayaran karena uang elektronik tidak dapat terbaca oleh alat reader di merchant tempat transaksi sehingga mengakibatkan gagal transaksi, kartu patah, kartu hilang dan saldo terpotong lebih dari atu kali.

Secara sederhana konsumen menilai kerusakan kartu membuktikan bahwa penerbit tidak menjamin produk yang sesuai dengan janjinya yaitu keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam bertransaksi. Untuk hal ketidaknyamanan dan kerugian akibat kerusakan uang elektronik yang tidak dapat digunakan konsumen, menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada penerbit uang elektronik selaku pelaku usaha. Dalam praktiknya pengajuan klaim ganti rugi akibat kerusakan uang elektronik tidak berjalan dengan mudah dan nyaman. Karena klaim atas pengembalian saldo yang masih tersisa dalam uang elektronik yang rusak tidak dapat diterima secara cepat.

Apabila ditelaah berbagai macam konsep hukum yang mengatur tetang e-money, pihak penerbit e-money hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang money sebatas klaim pergantian kartu yang rusak, namun penerbit e-money tidak bertanggungjawab atas hilangnya kartu atau saldo didalamnya hal tersebut dikarenakan e-money otorisasi dari penggunaan e-money baik melakukan transaksi atau sebagainya menjadi tanggung jawab dari pengguna e-money itu

(14)

sendiri. Karena e-money mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pembayaran elektronis yang telah ada sebelumnya seperti:23 produsen atau penerbit, kartu kredit dan kartudebit/ATM, karena setiap pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan e-money tidak selalu memerlukan proses otorisasi dan tidak terkait secara langsung dengan rekening nasabah di produsen atau penerbit (pada saat melakukan pembayaran tidak terkoneksi secara langsung kepada produsen atau penerbitan ke rekening nasabah pada produsen atau penerbit).

Hukum memberikan jaminan dan keamanan dalam kehidupan sosial termasuk jaminan dan keamanan terhadap pemegang kartu e-money terkait kegiatan transaksi pembayaran melalui uang elektronik berhak memperoleh jaminan terhadap nilai uang tunai sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Hal ini juga dikemukakan oleh Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang menjelaskan bahwa “Law secures social cohesion and orderly social change by balancing conflicting interest-individual (the private interest of individualcitizens), social (arising from the common conditions of social life) and public (specifically the interest of the state)”.24

Perlindungan hukum merupakan upaya mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat atau konsumen sebagai pemegang kartu, maka sudah seharusnya diberikan perlindungan hukum. Dengan demikian guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik, maka pemerintah harus berusaha memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat.25

D. Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pengguna E-money yang Tidak Terdaftar (Unregistred E-money).

23 Niniek Suparni, “CyberspacePeoblematika dan Antisipasi Pengaturannya”, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 110-111.

24 Janus si balok, “hukum perlindungan konsumen di indonesia” (bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2006). hlm.9.

25 Endang Sutrisno, “Bunga Rampai Hukum Dan Globalisasi, Genta Press”, Yogyakarta, 2007, Hlm. 96.

(15)

Pemegang kartu e-money baik yang terdaftar (registred) dan yang tidak terdaftar (unregistered) wajib diberikan keadilan dan persamaan hak untuk memberikan hubungan yang baik antara pemegang kartu, penerbit maupun pedagang (merchant) dalam hubungan perjanjian penggunaan alat bayar uang elektronik.26 Dalam peraturan yang dibuat oleh produsen atau penerbit, di Indonesia hal itu lebih menekankan mengenai kewenangan dalam mengatur kegiatan uang elektronik pihak penyelenggara bukan perlindungan terhadap pemegang kartu, mengingat nilai tunai uang elektronik tersebut tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Dalam kaitannya dengan akan dikembangkannya fasilitas kegunaan uang elektronik sebagai transfer dana, hal ini perlu diperhatikan mengingat penerbit merupakan Produsen atau penerbit dan Lembaga Selain Produsen atau penerbit (LBS). Produk e-money merupakan produk terpisah dari perprodusen atau penerbitan karena masalah regulasi yang digunakan karena Lembaga Selain Produsen atau penerbit (LBS) yang dalam hal ini uang elektronik telah dikeluarkan oleh perusahaan telekomunikasi tidak dapat dimasukan dalam aturan bagi pihak produsen atau penerbitan.27

Produsen atau penerbit tidak memerlukan izin dari Produsen atau penerbit Indonesia dalam hal pengiriman uang karena merupakan kegiatan usaha Produsen atau penerbit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perprodusen atau penerbitan.28 Tujuan dibentuknya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana ditentukan yakni dalam Pasal 4, yakni “Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan Terselenggaranya secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel”. Ketentuan pasal 4 huruf c lebih jauh juga berisikan tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan adalah agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

26 Abdulkadir Muhammad, “Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 6.

27 Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra., “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 103.

(16)

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Untuk memberikan dukungan terhadap upaya peningkatan kualitas layanan konsumen di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa keuangan telah menerbitkan beberapa ketentuan yang dijadikan sebagai pedoman bagi pelaku usaha jasa keuangan, seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/ POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan dan SEOJK Nomor: 2/SEOJK.07/ 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam Bab II angka (1) mendefinisikan pengertian dari pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian finansial pada Konsumen yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa Keuangan. Mekanisme mengenai pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen pada pelaku usaha jasa keuangan telah diatur dalam POJK No.1/pojk.07/2013 dan SEOJK No.2/SOJK.07/2014. Selain itu mengenai Penyelesaian pengaduan juga telah di atur jelas dalam ketentuan pada Pasal 38 huruf c POJK No.1/pojk.07/2013 dan lebih rinci pada Bab III SEOJK No.2/SOJK.07/2014.

Menurut ketentuan Pasal 38 huruf c POJK No.1/pojk.07/2013 mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan setelah menerima pengaduan, untuk menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan Konsumen benar dan pada Bab III SEOJK No.2/SOJK.07/2014 angka 1 menjelaskan lebih rinci bahwa bentuk pernyataan maaf tersebut dilakukan secara tertulis, yang pada kenyataannya pernyataan maaf tersebut oleh konsumen lazimnya hanya berupa pernyataan maaf secara lisan oleh pihak Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam hal ini pihak perprodusen atau penerbitan.

(17)

Menurut ketentuan Pasal 39 POJK No.1/ pojk.07/2013 menjabarkan bahwa apabila antara konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau melalui pengadilan. Untuk penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa, maka konsumen dapat menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Menurut Philipus M Hadjon, dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering di sebut dengan sarana perlindungan hukum, sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut: 29 Otoritas Jasa Keuangan dalam SEOJK Nomor: 2/SEOJK.07/ 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa, mengatur ketentuan mengenai pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen pada Pelaku Usaha Jasa keuangan bagaimana mekanisme dalam pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen. Pelaku usaha jasa keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan yang di maksud kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa keuangan menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada Pasal 9 huruf g menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang untuk menetapkan sanksi administratif terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif antara lain :

a. Peringatan tertulis;

b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha;

29 Hermansyah, “Hukum Perprodusen atau penerbitan Nasional Indonesia”, Prenada Media Jakarta, 2005, , hlm.214.

(18)

d. Pembekuan kegiatan usaha; dan/ atau e. Pencabutan izin kegiatan usaha.

Terkait dengan pasal diatas apabila terjadi suatu keluhan dari nasabah pengguna e-money yang tidak terdaftar (unregistered e-money) yang diakibatkan oleh pelaku usaha penyedia jasa uang elektronik seharusnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan yang berwenang mengawasi sistem keuangan di Indonesia memberikan hak kepada konsumen sektor jasa keuangan dalam hal ini adalah nasabah pengguna e-money yang tidak terdaftar (unregistered e-money) dapat melakukan pengaduan secara langsung kepada pelaku usaha jasa keuangan tersebut. Karena sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 32 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menyebutkan bahwa pelaku usaha jasa keua ngan wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan konsumen dan wajib untuk tindak lanjuti pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen dimaksud. Pengaduan konsumen dilaporkan kepada OJK.

Mengenai pengguna e-money yang tidak terdaftar (unregistered e-money) sendiri seharusnya behak mendapatkan fasilitas pengaduan sampai tahap penyelesaian sengketa, sesuai dengan pasal 40 Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, karena pengguna e-money yang tidak terdaftar (unregistered e-e-money) telah memenuhi syarat-syarat sebagai konsumen yang dapat melanjutkan pengaduannya sampai tahap penyelesaian sengketa, salah satunya kerugian yang diderita pengguna e-money yang tidak terdaftar.

Produsen atau penerbit merupakan bagian dari pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. OJK juga memberikan tata cara bagaimana penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen jasa keuangan. Pengguna uang

(19)

elektronik yang tidak terdaftar masuk dalam kategori konsumen yang seharusnyaa memilikihak dan kewajiban yang sama dengan pengguna uang elektronik yang terdaftar lainya.

Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat yakni dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.30 Bentuk perlindungan hukum preventif bagi pemegang kartu uang elektronik dapat diwujudkan dengan pengaturan ketentuan tentang penggunaan perjanjian standar atau perjanjian baku yang lebih rinci mengenai hakekat, karakter, pembagian hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, yang memberi wadah atau tempat berlindung bagi pemegang kartu melalui pengaturan klausul-klausul dalam perjanjian baku syarat dan ketentuan pemegang kartu.

E. Urgensi Jaminan Pertangungjawaban dari Penerbit Uang Elektronik (E-money) bagi Pengguna Uang Elektronik yang Tidak Terdaftar (Unregistered E-money)

Hubungan hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan uang elektronik terjadi antara penyelenggara sistem pembayaran elektronik dan pemegang kartu.Penyelenggaran dalam sistem pembayaran uang elektronik adalah prinsipal, penerbit dan acquirer. Pedagang atau merchant tidak termasuk dalam penyelenggara sistem pembayaran uang elektronik karena merchant juga termasuk dikategorikan sebagai pengguna dari sistem elektronik itu sendiri dan tidak terlibat pada penyelenggaraan sistem elektronik secara teknik.

Dilihat dari transaksi elektronik yang dilakukan menggunakan kartu uang elektronik (electronic money/e-money) sebagai suatu produk, maka pedagang (merchant) bukan termasuk sebagai penyelenggara dari sistem elektronik itu sendiri. Sayangnya, masyarakat umumnya hanya melihat pedagang yang menjual

30 Salim HS, “Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta,2006, hlm.. 140

(20)

produknya secara elektronik termasuk ke dalam penyelenggara sistem elektronik tersebut, padahal pedagang juga merupakan konsumen dari sistem elektronik yang digunakan untuk menawarkan barang kepada konsumen. Maka dapat dikatakan pedagang (merchant) dan pemegang kartu merupakan konsumen dari penyelenggaraan sistem transaksi elektronik yang telah dikembangkan oleh suatu pihak tertentu (developer) atau diselenggarakan oleh suatu pihak tertentu (provider).31 Dalam prakteknya kedudukan merchant dan pemegang kartu e-money tidaklah sama atau seimbang. Pemegang kartu e-e-money selaku konsumen pada transaksi elektronik mempunyai kedudukan yang lebih rentan karena pertukaran informasi yang terjadi pada transaksi elektronik melibatkan data dari pemegang kartu yang sifatnya personal atau vital. Maka dari itu perlindungan yang diberikan kepada pemegang kartu e-money selaku konsumen selain dari sistem elektronik itu sendiri juga harus dijamin dari perlindungan secara hukum.32

Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah:

1. Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Unsur Kesalahan (Fault Liability / Liability Based on Fault)

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang atau pelaku usaha baru dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata. Perbuatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban menurut pasal 1365 KUH Perdata harus memenuhi empat unsur pokok yaitu adanya perbuatan melawan hukum; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang diderita; dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan

31 Edmon Makarim, “Kompilasi Hukum Telematika”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm. 342.

32 Bisdan Sigalingging, “Tugas Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dan Bank Indonesia Menurut Undan-Undang Otoritas Jasa Keuangan”, http://Bisdansigalingging.Blogspot.Com/ Diakses 22 Ferbruari 2020.

(21)

perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.33 Hal ini dalam doktrin hukum dikenal sebagai vicorius liability yaitu tanggung jawab yang ada karena kesalahan orang yang dibawah pengawasan dan corporate liability yang lebih menekankan pada tanggung jawab suatu lembaga atau korporasi terhadap tenaga- tenaga yang dipekerjakannya.

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of Principle Liability)

Dalam prinsip ini seseorang (tergugat) dianggap bersalah sampai dirinya dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.Prinsip ini merupakan asas pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus konsumen dimana pembuktian ada pada pelaku usaha. Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) merupakan tanggung jawab pelaku usaha.

3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of Non-liability)

Prinsip ini diterapkan dalam Pasal 24 ayat 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen dimana jika ada pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen dari pelaku usaha lain, namun telah melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut maka pelaku usaha darimana dia mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut bebas dari tanggung jawab.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya.Suatu tindakan dapat dihukum atas dasar

33 Bernard Arief Sidharta, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Huku”m, Penerbit Cv Mandar Maju, Bandung, 1999, Hlm. 88

(22)

perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Prinsip ini menegaskan hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahan yang dibuatnya, dengan memperhatikan adanya force majeur sebagai faktor yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.34

5. Tanggung Jawab dengan Batasan (Limitation of Liability)

Prinsip ini sangat menguntungkan pelaku usaha dimana para pelaku usaha dapat dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi. Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang pada pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.

6. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi (Breach of Warranty) Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah mutlak (strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku usaha untuk Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip dalam hukum perlindungan konsumen dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu perlindungan konsumen berasaskan :

1. Asas Manfaat. 2. Asas Keadilan. 3. Asas Keseimbangan.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan. 5. Asas Kepastian Hukum.35

34 Inosentius Samsul, “Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak”, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 71-80.

35 Asip Suyadi, “Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum”, Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan Vol. 9 No. 1 Maret 2018, hlm. 13

(23)

Dalam melaksanakan kegiatannya, sesuai Pasal 3 PBI Uang Elektronik, Prinsipal memiliki kewajiban :

a. Menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan; b. Melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau

jaringan.

Prosedur dan persyaratan yang obyektif adalah sesuai dengan persyaratan- persyaratan yang ditetapkan oleh prinsipal dan menerapkan perlakuan yang setara (equal treatment) kepada seluruh penerbit dan acquirer. Sedangkan yang dimaksud transparan adalah harus tersedia informasi yang memadai kepada penerbt dan acquirer terhadap proses penyusunan,

Dalam penyelenggaraan kegiatannya, penerbit memiliki kewajiban sesuai dengan ketentuan PBI Uang Elektronik yaitu :

a. Menerbitkan uang elektronik sesuai dengan nilai uang yang disetorkan pemegang kepada penerbit.

b. Mematuhi batas maksimum nilai uang elektronik yang disimpan pada media elektronik dan batas maksimum nilai transaksi uang elektronik sesuai ketentuan yang ditetapkan.

b. Dalam hal media uang elektronik mempunyai keterbatasan usia teknis yang harus diperbahatui dengan penggantian media penyimpanan, uang elektronik yang masih tersisa menjadi kewajiban penerbit untuk tidak menghapus atau menghilangkan nilai uang elektronik karena masih merupakan milik pemegang kartu.

c. Wajib mencatat identitas pedagang (merchant) yang bekerjasama dengan penerbit.

d. Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko keuangan.

e. Memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang mengenai produk uang elektronik yang diterbitkan.

(24)

Dalam pelaksanaan kegiatan uang elektronik, harus juga memperhatikan para pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu individu, kelompok, komunitas, maupun masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan kepentingan terhadap pelaksanaan kegiatan uang elektronik. Hal ini diperlukan agar kegiatan penyelenggaraan uang elektronik dapat dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatan yang membangun kerjasama untuk mencipyakan kesinambungan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik.

Praktiknya perjanjian yang mencantumkan klausul-klausul baku yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha ternyata sangat merugikan konsumen karena kewajiban mereka lebih banyak diatur oleh pelaku usaha daripada hakhaknya sehingga pencantuman klausul baku pada perjanjian diatur khusus dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 18 Undang- Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan Asas kebebasan berkontrak.36

Kondisi ini dapat diartikan sebagai suatu usaha transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola kehidupan modern sesuai dengan kemajuan jaman serta didukung oleh ilmu pengetahun dan teknologi. 37

Ketentuan atau syarat-syarat yang ditetapkan oleh penerbit e-money mengandung klausul yang menyatakan pemegang kartu e- money tunduk pada ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku pada kemasan e-money serta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang mengatur semua jasa atau fasilitas dan transaksi pembayaran atau pun transaksi top up yang dicakup oleh kartu e-money, termasuk setiap perubahan yang akan diberitahukan sebelumnya oleh penerbit e-money dalam bentuk dan melalui sarana apapun. Syarat tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) butir (g) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

penerbit selaku pelaku usaha memberikan janji dalam syarat-syarat yang dicantumkan pada staterpack kartu emoney bahwa segala perubahan syarat syarat

36 Sudaryatmo. “Masalah Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia”, Citra Aditya Bakti, Bandung , 1996. hlm. 34

37 Mochtar Kusumaatmadja, “Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembanguan”, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006, Hlm. 20.

(25)

baru akan diberitahukan sebelumnya dalam bentuk dan media apapun kepada pemegang uang elektronik tidak dipenuhi. Hal tersebut merupakan pelanggaran kewajiban pelaku usaha yang seharusnya memberikan informasi mengenai kondisi produk yang dijual atau ditawarkan sehingga sesuai jaminan dan harapan konsumen.38 Ketentuan atau syarat tentang waktu pengembalian klaim ganti rugi selama 14 hari, tidak pernah diinformasikan dari awal perjanjian kepada pemegang e money. Waktu 14 hari dalam proses pengembalilan ganti rugi tidak sesuai dengan ketentuan tentang waktu pengembalian ganti rugi yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu tenggang waktu pengembalian ganti rugi selama 7 hari.

Hal ini telah mengabaikan hak-hak konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur sebagai kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.39 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentan Perlindungan konsumen desbutkan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat baru pada saat melakukan klaim ganti rugi yang ditetapkan spihak oleh penerbit jelas bertentangan dengan perlindungan konsumen karena dapar merugikan hak-hak konsumen.

Kewajiban pelaku usaha didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk menjamin kualitas produk yang dijual atau ditwarkannya sesuai dengan fungsi dan tujuan kegunaannya agar tidak merugikan konsumen dalam pemanfaatan barang dan/jasa yang dibelinya. Jika di dalam praktik tidak ada peraturan yang dapat dirujuk khususnya tentang standar kualitas pada kartu e-money maka yang terjadi seperti pada faktanya kualitas menjadi tidak terukur.

Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dikarenakan pelaku usaha lebih mengetahui sifat dan keadaan barangnya, mulai dari proses produksi

38 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010 hlm. 37

39 Adrian Sutedi, “Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Pelindungan Konsumen”, Ghalia Indonesia. Jakarta, 2006, hlm.., 96.

(26)

hingga pemasokannya ke pasaran. Atas kerugian konsumen karena produk cacat maka pelaku uasah dalam hal ini perbit harus bertanggung jawab sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dari prinsip ini kemudian berkembang bahwa ganti rugi dalam hal produk yang cacat dan tidak sesuai dengan standar mutu dari pelaku usaha ditempuh melalui prinsip gati rugi tanpa mendasarkan pada adanya kesalahan (liability without fault), artinya konsumen yang dirugikan akibat menggunakan jasa atau mengkonsumsi produk cacat dari pelaku usaha berhak meminta pertanggung jawaban kepada pelaku usaha tanpa terlebih dahulu membuktikan ada atau tidaknya suatu kesalahan kepada pelaku usaha.

Hal tersebut didasarkan pada prinsip strict liability yang menyatakan bahwa pelaku usaha seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen. Hal tersebut sebagaiman diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi dan/atau menggunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan prinsip tersebut konsumen pemegang uang elektronik tidak dibebani untuk membuktikan bahwa kerugian yang diderita akibat tidak dapat melakukan transaksi menggunakan e-money benar-benar karena disebabkan oleh kesalahan penerbit. Sehingga ganti rugi semestinya dapat diberikan cepat dan segera sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Product liability memiliki inti yaitu tortuous liability (tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum). Hal ini menyebabkan keempat unsur dalam turtous liability yaitu: unsur kesalahan, unsur kerugian dan unsur hubungan kausul antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul tetap harus ada.

Tanggung jawab produk diartikan sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran yang menimbulkan kerugian

(27)

karena cacat yang melekat pada produk tersebut.40 Di dalam kasus kerugian yang diderita pemegang unregistered e-money dapat dikategorikan sebagai cacat produk manufacturing defect karena tidak adanya ketentuan hukum tentang standar kualitas pada emoney maka unregistered e-money yang beredar di masyarakat merupakan kartu e-money yang cacat. Selain termasuk kedalam produk cacat manufacturing defect dapat dikategorikan kedalam produk cacat intruction defect atau cacat peringatan atau intruksi.41

kerusakan pada e-money bukan semata-mata karena standar atau spesifikasi yang buruk tetapi juga karna tidak adanya informasi dari penerbit tentang penggunaan dan penyimpanan kartu e-money. Seharusnya penerbit memberikan petunjuk atau informasi tentang penyimpanan e-money yang benar. Dengan banyaknya permasalahan gagal transaksi akibat e-money yang rusak diharapkan di indonesia memiliki standarisasi jaminan kualitas emoney sehingga hak-hak konsumen untuk mendapatkan barang dan/ atau jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan oleh penerbit dapat terpenuhi.

Ketentuan-ketentuan diatas diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi konsumen pemegang uang elektronik akibat dari memanfaatkan jasa yang dipasarkan pelaku usaha.Mengingat bahwa konsumen memiliki hak-hak yang harus diperjuangkan sebagaiman dijelaskan didalam Pasal 4 Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen tersebut merupakan wujud nyata dari kewajiban pelaku usaha dalam kegiatan transaksi yang mewajibkan pelaku usaha bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi dan/atau mengguanakan barang dan/atau jasa yang dipasarkan pelaku usaha.

F. Penutup

Perlindungan hukum bagi pemegang kartu dalam kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik tidak terdaftar (unregistered e-money) dilakukan melalui upaya perlindungan hukum secara preventif yaitu melalui aturan-aturan

40 Laica Marzuki, “Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum: Pikiran-Pikiran Lepas Prof.Dr.H.M. Laica Marzuki, SH”, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 4.

41 Sentosa Sembiring, “Himpunan Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-undangan yang Terkai”t, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 14

(28)

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dalam bentuk perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu, dan melalui upaya represif yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun alternatif penyelesaian sengketa. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan dan memberikan sanksi serta memfasilitasi konsumen terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan uang elektronik yang tidak dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku.

Perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu juga merupakan bentuk upaya perlindungan bagi pemegang kartu melalui asas-asas perjanjian yang melekat pada perjanjian tersebut sekalipun tidak dicantumkan secara tertulis dalam perjanjian, akan tetapi ketentuan atau syarat-syarat baru yang ditetapkan sepihak oleh bank penerbit pada saat mengajukan klaim ganti rugi bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sehingga tidak dapat mengikat konsumen pemegang uang elektronik namun pada kenyataan nya karena kedudukan konsumen yang lemah dan kurangnya informasi dari penerbit maka konsumen selalu tunduk pada ketentuan atau syarat-syarat baru yang ditetapkan sepihak oleh penerbit.

Tanggungjawab penerbit e-money hanya sebetas pengembelian sisa saldo yang terdapat pada kartu e-money yang rusak, dan pengembalian tersebut tidak dapat dilakukan secara tunai, serta apabila nomor seri yang terdapat pada kartu e-money tidak bisa terbaca lagi akan menjadi permasalahan dalam melakukan pengembalian hal tersebut jelas merugikan pemegang e-money, tentunya hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) PBI, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Serta Pasal 7 ayat (2)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait pemberian informasi yang jelas terkait produk/jasa dan memberikan penjelasan mengenai penggunaan dan pemeliharaan fisik kartu e-money. Indonesia sendiri belum mengatur tentang standar kualitas chip yang digunakan pada e-money. Peraturan standar kualitas chip pada e-money diharapkan dapat menjamin hak-hak konsumen saat memanfaatkan alat pembayaran non tunai pada transaksi bersifat

(29)

ritel yang aman, nyaman dan selamat sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

G. Saran

1. Otoritas Jasa Keuangan selaku lembaga pengawaskeuangan di Indonesia lebih memperbaiki peraturan-peratuan mengenai perlindungan hukum tehadap pengguna jasa keuangan khususnya unregistered e-money agar memperketat pegawasan dan hal-hal terkait klaim ganti rugi yang dilakukan oleh pengguna kartu unregistered e-money apa bila mengalami kerugian dalam penggunaanya. Sehingga Sebelum terjadi perjanjian konsumen harus mengetahui informasi secara jelas, benar dan jujur tentang produk emoney tersebut sehingga konsumen telah mengetahui keadaan produk yang akan digunakannya. Selain itu konsumen harus mengetahui akan pentingnya perlindungan konsumen agar dapat memperjuangkan hak-haknya sehingga kedudukan konsumen tidak selalu dalam posisi yang lemah dan dapat sejajar dengan pelaku usaha.

2. Penerbit sebagai pelaku usaha diharapkan memiliki itikad baik dalam memproduksi barang dan/ jasa. Pelaku usaha harus mementingkan hak- hak konsumen dalam memproduksi barang dan/jasa bukan hanya berdasarkan prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Selain itu Penerbit harus memberikan informasi yang jelas, benar dan jujur mengenai keadaan e-money kepada konsumen karena penerbit lebih mengetahui keadaan produk yang produksinya. Dengan pemberian informasi yang jelas diharapkan konsumen tidak mengalami kerugian saat memanfaat produk yang ditawarkannya.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, mariam darus, “kompilasi hukum perikatan”, pt. Citra aditya bakti, bandung, 2001.

Balok, janussi, “hukum perlindungan konsumen di indonesia” (bandung: pt. Citra aditya bakti, 2006.

Bank indonesia, “laporan sistem pembayaran dan pengedaran uang 2008”, diakses dari http://www.bi.go.id, pada tanggal 21 ferbruari 2020 14:48. Dunil, z. “ kamus istilah perprodusen atau penerbitan indonesia”, pt gramedia

pustaka utama,jakarta2014.

Hartono, sri redjeki, “hukum perlindungan konsumen”, mandar maju, bandung, 2000.

Hermansyah, “hukum perprodusen atau penerbitan nasional indonesia”, prenada media jakarta, 2005.

Hs, salim “hukum kontrak teori dan penyusunan kontrak”, sinar grafika, jakarta,2006.

Ibrahim, johanes, “kartu kredit dilematis antara kontrak dan kejahatan”, rafika aditama, bandung, 2004, hlm.1

Kusumaatmadja, mochtar “konsep-konsep hukum dalam pembanguan”, kumpulan karya tulis, alumni, bandung, 2006.

Makarim, edmon “kompilasi hukum telematika”, pt. Raja grafindo persada, jakarta, 2004.

Makarim, edmon, “kompilasi hukum telematika, pt raja grafindo persada, jakarta, 2004.

Marzuki, laica, “berjalan-jalan di ranah hukum: pikiran-pikiran lepas prof.dr.h.m. laica marzuki, sh”, konstitusi press, jakarta, 2005.

Muhammad, abdulkadir “perjanjian baku dalam praktik perusahaan perdagangan”, pt. Citra aditya bakti, bandung, 1992.

Muhammad, abdulkadir “perjanjian baku dalam praktik perusahaan perdagangan”, pt. Citra aditya bakti, bandung, 1992.

Muljadi, kartini dan gunawan widjaja, “perikatan yang lahir dari perjanjian”, pt. Raja grafindo persada, jakarta, 2010.

(31)

Pieris, john dan wiwik sri widiarty, “negara hukum dan perlindungan konsume terhadap produk pangan kedaluwarsa”, pelangi cendikia, jakarta, 2007. Pramono, bambang et.al, “working paper : dampak pembayawan non tunai

terhadap perekonomian dan kebijakan moneter”, bank indonesia, september 2006.

Ramadhan, haikal et.al, “perlindungan hukum terhadap pengguna uang elektronik dalam melakukan transaksi ditinjau dari peraturan bank indonesia nomor 16/8/pbi/2014 tentang uang elektronik (e-money)”, diponegoro law review, vol. 5 no. 2, 2016.

Rasjidi, lili & i.b. wyasa putra., “hukum sebagai suatu sistem”, mandar maju, bandung, 2003.

Samsul, inosentius “perlindungan konsumen : kemungkinan penerapan tanggung jawab mutlak”, universitas indonesia, jakarta, 2004.

Sembiring, sentosa, “himpunan undang-undang tentang perlindungan konsumen dan peraturan perundang-undangan yang terkai”t, nuansa aulia, bandung, 2006.

Sidabalok, janus, “hukum perlindungan konsumen di indonesia, citra aditya bakti, bandung, 2010 .

Sidharta, bernard arief “refleksi tentang struktur ilmu huku”m, penerbit cv mandar maju, bandung, 1999.

Sigalingging, “bisdan tugas dan kewenangan otoritas jasa keuangan dan bank indonesia menurut undan-undang otoritas jasa keuangan”, http://bisdansigalingging.blogspot.com/ diakses 22 ferbruari 2020.

Soekanto, soerjono dan sri mamudji, “penelitian hukum normatif”: suatu tinjauan singkat, cv. Rajawali,jakarta,1985.

Subekti r. Dan r. Tjitrisudibio, “kitab undang-undang hukum perdata, burgerlijk wetboek”, cetakan kedua puluh tujuh (edisi revisi), pt. Pradnya paramita, jakarta, 1992 .

Sudaryatmo, hukum dan advokasi konsumen, pt. Citra aditya bakti, bandung,1999. Sudaryatmo. “masalah hukum perlindungan konsumen di indonesia”, citra aditya

(32)

Sunarso, siswanto, “hukum informasi dan transaksi elektronik”, rineka cipta, jakarta, 2009.

Suparni, niniek, “cyberspace problematika dan antisipasi pengaturannya”, sinar grafika, jakarta, 2009, hlm.110-111.

Suparni, niniek, “cyberspacepeoblematika dan antisipasi pengaturannya”, sinar grafika, jakarta, 2009.

Sutedi, adrian “tanggung jawab produk dalam hukum pelindungan konsumen”, ghalia indonesia. Jakarta, 2006, hlm.., 96.

Sutrisno, endang, “bunga rampai hukum dan globalisasi, genta press”, yogyakarta, 2007.

Suyadi, asip “pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum”, surya kencana satu : dinamika masalah hukum dan keadilan vol. 9 no. 1 maret 2018. Taufikkurrahman, ”penerapan asas keseimbangan berkontrak pada akad

pembiayaan perbankan syariah perspektif teori hukum ekonomi islam”. Surya kencana satu : dinamika masalah hukum dan keadilan vol. 6 no.1, maret 2016.

Tim inisiatif 2006, “working paper : upaya meningkatkan penggunaan alat pembayaran non tunai melalui pengembangan e-money”, bank indonesia, desember 2006,

Widjaja gunawan dan ahmad yani, “ hukum tentang perlindungan konsumen”, pt. Gramedia, jakarta, 2003.

Zulham, “hukum perlindungan konsumen”, kencana prenada media group, jakarta, 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Bank adalah lembaga intermediasi keuangan yang menghubungkan pihak yang kelebihan dana (surplus) dengan pihak yang kekurangan dana (minus) dan menyediakan jasa-jasa keuangan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan seni kerajinan akar kayu di Desa Tempellemahbang, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan bentuk

Bentuk semantik dalam novel dapat dipahami melalui penggunaan majas oleh pengarang. Penggunaan majas telah memperkuat makna pesan yang hendak disampaikan oleh Tere

Pertumbuhan panjang paling tinggi terjadi pada pakan A1 dengan panjang rata-rata 7,8 cm Hal ini karena pakan A1 merupakan usus ayam yang banyak mengandung protein yang

Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada mata pelajaran IPS materi kegiatan ekonomi dalam pemanfaatan SDA, siswa mampu memahami materi dengan

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 57 wanita usia subur mahasiswi Fakultas Sastra Budaya Universitas Sebelas Maret angkatan 2011 terdiri dari 30 wanita usia

Sistem kendali lalu lintas saat ini masih bersifat fix-time serta tidak bisa beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya serta Waktu nyala lampu lalu lintas umumnya

Hasil belajar peserta didik dipengaruhi oleh banyak hal, salah satu diantaranya yaitu faktor guru, dalam hal ini profesionalisme guru dan pengalaman mengajarnya.Idealnya