Teori-teori Demokrasi dan
Dinamikanya
Syafarudin, M.A
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
MK. “Teori Demokrasi”, Mhs
Pemerintahan, Reg.B, Smt Genap (IV), TA 2009/2010
Bahasan
1. Teori Demokrasi Klasik
2. Teori Demokrasi Prosedural ala Schumpetarian
3. Teori Demokrasi Prosedural ala Dahl 4. Teori Demokrasi Prosedural diperluas 5. Teori Demokrasi Substantif
6. Teori Demokrasi Sosial
1.Teori Demokrasi Klasik
• Pandangan ini dikemukakan antara lain John
Locke (contrac social), Montesquie (triaspolitica),
dll.
• Mendefinisikan demokrasi sebagai “kehendak
rakyat” (the will of the people), kebaikan bersama, atau kebajikan publik (the common good).
• Demokrasi dilihat dari sumber dan tujuannya. • Paham ini lahir sebagai respon terhadap paham
yang memberikan kekuasaan mutlak pada negara, baik berbasiskan teokratis maupun
duniawi seperti dalam konsep Thomas Hobbes tentang Laviathan.
• Dalam pandangan klasik ini, pemerintahan konstitusional harus mampu membatasi dan membagi kekuasaan mayoritas dan sekaligus dapat melindungi kebebasan individu.
• Bagi Locke negara diciptakan karena suatu perjanjian (kontrak) kemasyarakatan antar
rakyat. Tujuannya melindungi hak milik, hidup dan kebebasan dari berbagai ancaman bahaya. Individu-individu bisa saja memberikan hak-hak alamiah kepada negara, tetapi tidak semuanya. • Pandangan demokrasi klasik ini melahirkan
konsep demokrasi liberal.
• Teori demokrasi klasik bersifat: normatif, rasionalistik, utopis, dan idealistik.
2. Teodem Prosedural ala Schumpetarian
• Pandangan demokrasi klasik (kehendak rakyat) mendapatkan kritikan dari Joseph Schumpeter dalam bukunya berjudul “Capitalism, Socialism and Democracy” yang terbit tahun 1942.
• Dalam bukunya, Schumpter menyatakan bahwa “kehendak rakyat” (termasuk kontrak sosial)
tidak bisa diimplementasikan begitu saja. Dalam politik, yang menjadi motor penggerak adalah prosedur-prosedur atau metode berdemokrasi. • Karena menekankan prosedur maka konsep
demokrasi Schumpeter disebut juga demokrasi prosedural.
• Konsep demokrasi schumpeter lebih
bersifat empirik, deskriptip, institusional,
dan prosedural.
• Dalam sistem demokrasi prosedural,
demokrasi sebagai suatu sistem
pemerintahan harus memenuhi tiga syarat
pokok:
(1) kompetisi yang sungguh-sungguh dan
meluas antara indivu dan atau kelompok
(terutama parpol) untuk memperebutkan
jabatan-jabatan pemerintahan.
(2) Partisipasi politik yang melibatkan
sebanyak mungkin warga dalam pemilihan
pemimpin dan kebijakan, paling tidak
melalui pemilu secara reguler dan adil, tak
satupun kelompok dikecualikan.
(3) Kebebasan sipil dan politik (berbicara,
pers, berserikat) yang cukup menjamin
intergritas kompetisi dan partisipasi politik.
• Sistem “demokrasi electoral” merupakan
sebuah bentuk atau metode berdemokrasi
ala Scumpterian ini.
• Konsep Schumpter mendominasi teorisasi
demokrasi sejak tahun 1970-an serta
mewarnai ilmuan politik seperti: Robert Di
Palma, Robert A. Dhal, Przeworski,
Samuel P. Huntington, Larry Diamond,
Juan Stephen Linz, dan Seymour Martin
Lipset.
3. Teori Demokrasi Prosedural ala Dahl
• Bagi Robert A Dahl kehidupan
berdemokrasi tidak cukup digerakan
dengan prosedur atau metode semata.
Demokrasi, dalam pandangan Robert A
Dahl mesti mengandung dua dimensi
terbaik dalam hal kontestasi dan
partisipasi.
• Tatanan politik yang terbaik bagi
masyarakat bukanlah demokrasi
melainkan polyarchy.
• Tipologi sistem politik, menurut Dahl, ditentukan dari bekerjanya “kompetesi” dan “partisipasi” dalam kehidupan politik.
Tipologi sistem politik ada 4 jenis: (1) hegemoni tertutup; (2) oligarki kompetitif; (3) hegemoni inklusif; (4) polyarchy. Kompetisi Tinggi Kompetisi Rendah Partisipasi Tinggi Partisipasi Rendah Polyarchy Hegemoni Inklusif Hegemoni Tertutup Oligarki Kompetitip
• Menurut Dahl, sistem yang demokratis (polyarchy) memiliki 7 indikator:
1. Setiap warga negara mempunyai persamaan hak memilih dalam pemilu (aspek partisipasi).
2. Setiap warga negara mempunyai persamaan hak dipilih dalam pemilu (aspek kompetisi).
3. Pemilihan pejabat publik diselenggarakan melalui pemilu yang teratur, fair, dan bebas.
4. Kontrol kebijakan dilakukan oleh pejabat publik terpilih.
5. Jaminan kebebasan dasar dan politik.
6. Adanya saluran informasi alternatif yang tidak dimonopoli pemerintah atau kelompok tertentu.
7. Adanya jaminan membentuk dan bergabung dalam suatu organisasi, termasuk parpol dan kelompok kepentingan.
•
Menurut Dahl, syarat terbentuknya
sistem demokratis (polyarchy) yang
ideal ini meliputi 5 hal:
1. Persamaan hak pilih
2. Partisipasi efektif
3. Pembeberan kebenaran
4. Kontrol terakhir terhadap agenda
dilakukan masyarakat
5. Pencakupan masyarakat hukum adalah
orang dewasa.
4. Teori Demokrasi Prosedural diperluas
• Penekanan demokrasi prosedural (pelaksanaan elektoral semata) membuah kritik dari Terry
Karl tentang “Kekeliruan Elektoral”. Menurut
Terry Karl, demokrasi prosedural
mengistimewakan pelaksanaan pemilu di atas dimensi-dimensi yang lain, dan mengabaikan
kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak masyarakat
tertentu untuk bersaing dalam memperebutkan kekuasaan.
• Kritik ini menimbulkan konsepsi demokrasi yang diperluas.
• Larry Diamond menyebutkan 10 (sepuluh)
komponen khusus demokrasi diperluas tersebut sbb:
1. Adanya kesempatan pada kelompok minoritas untuk mengungkap kepentingannya.
2. Setiap warga negara mempunyai kedaulatan setara dihadapan hukum.
3. Kebebasan membentuk parpol dan mengikuti pemilu.
4. Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dalam perkumpulan.
5. Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan dan gerakan indepdenden.
6. Tersedianya sumber informasi alternatif.
7. Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, dan berdemonstrasi.
8. Setiap warga negara mempunyai kedaulatan setara dihadapan hukum.
9. Kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan independen dan tidak diskriminatif.
10. Rule of law melindungi warga negara dari penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan dan
campur tangan yang tidak sepantasnya dalam
kehidupan pribadi baik oleh warga negara maupun kekuatan negara.
• Menurut Habermas (filosop Jerman) bahwa demokrasi sebaiknya tidak dilihat dari sisi
prosedural semata, melainkan harus dilihat dari sisi substansi berupa jiwa, kultur, atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian
internal parpol, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan masyarakat.
Demokrasi akan terwujud apabila rakyat
bersepakat mengenai makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan
demokrasi bagi kehidupan bersama.
• Menurut Habermas masyarakat demokratis adalah masyarakat yang memiliki otonomi dan kedewasaan. Otonomi kolektif masyarakat
berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi dalam sebuah masyarakat komunikatif.
• Habermas juga menyinggung pentingnya ruang publik (public sphere) dalam masyarakat
komunikatif dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses politik dan menentukan jalannya kekuasaan.
• Habermas juga menekankan pentingnya upaya dialog, musyawarah-mufakat dan menyerap
• Konsep demokrasi prosedural-liberal yang
hanya menekankan dimensi politik
(demokrasi politik) mendapatkan kritik dari
berbagai kalangan terutama kaum
Marxian.
• Bagi Marxisme demokrasi tidak hanya
menyangkut dimensi persamaan dan
kebebasan melainkan mengandung di
dalamnya konsep keadilan sosial.
• Dalam pandangan marxisme, demokrasi yang
sesungguhnya tidak terwujud ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun
secara struktural mereka tetap berada dalam
struktur penindasan (eksploitasi) yang dilakukan oleh kelas kapitalis. Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah demokrasi semu.
• Menurut pandangan marxisme bahwa demokrasi rakyat sesungguhnya (people’s democracy)
haruslah dikawal oleh negara. Negaralah yang akan melenyapkan kelas dalam masyarakat sehingga
muncullah classless society (masyarakat tanpa
kelas). Negara juga yang akan melakukan distribusi sosial. Negara kemudian akan lenyap dengan
DINAMIKA 1970-AN
• Terdapat dua kecenderungan, yaitu:
1. Dalam dimensi dikotomik negara-masyarakat, terjadi pergeseran variabel independen dari demokrasi. Mula-mula, masyarakat menjadi variabel independen, kemudian beralih ke negara dan kembali lagi ke masyarakat.
2. Teori politik tentang demokrasi sejak tahun 1970-an lebih memfokuskan diri pada
persoalan redemokratisasi, sehingga bidang kajian cenderung melihat transisi demokrasi pada sistem politik yang dulu pernah
demokratis, namun saat itu berada alam kungkungan otoritarianisme.
PERGESERAN
VARIABEL INDEPENDEN
• Di era 1970-an, terdapat pergeseran variabel
independen dari masyarakat ke negara.
• Realitas tekstual menunjukkan bahwa di era
1950-an, para ilmuwan politik tertarik untuk
melihat perkembangan masyarakat di
negara-negara yang baru merdeka.
• Mereka mencoba membangun premis awal
yang didasarkan pada pengalaman Eropa
Barat dan Amerika Utara dimana kemajuan
masyarakat akan melahirkan demokrasi
PERGESERAN
VARIABEL INDEPENDEN
• Prasyarat utama bagi demokrasi liberal
adalah pengembangan kekuatan
masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang
mendukung sistem parlementer.
• Mekanisme perwakilan yang
terinstitusionalisasi, kemudian, dipandang
menjadi ekspresi kepentingan masyarakat
secara luas.
PERGESERAN
VARIABEL INDEPENDEN
• Di era 1970-an, fokus kajian bergeser ke ranah negara.
• Dimulai dengan catatan dari Huntington dimana masyarakat, di wilayah yang sedang berkembang, mengalami proses pelemahan.
• Negara tidak lagi dinilai netral dan bebas kepentingan.
• Fenomena tersebut akhirnya melahirkan sejumlah kajian demokrasi yang berbasiskan negara sebagai varibel independen. Hal ini secara lugas ditunjukkan dari pemikiran Skocpol, Hamza Alavi, Zieman dll.
PERGESERAN
VARIABEL INDEPENDEN
• Seiring dengan kemunculan transisi
demokrasi di Amerika Latin dan sejumlah
negara di Asia, varibel independen dari
demokrasi kembali ke masyarakat.
• Kajian demokrasi dalam ranah masyarakat
kemudian mengalami perluasan, sehingga
menghasilkan sebuah premis besar
dimana aktor masyarakat mampu
memobilisasi dukungan tidak hanya dari
dalam negeri, tetapi juga berbagai aktor
yang bermukim di level internasional.
DIFERENSIASI
TEORISASI DEMOKRASI
• Jika dilakukan perbandingan, setidaknya terdapat tiga perbedaan teorisasi sebelum dan sesudah era 1970-an, antara lain:
1. Teori demokrasi yang berkembang di era 1950-an dan 1960-an sangat dipengaruhi oleh pengalaman empirik dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Karya besar yang sering dikutip adalah karya dari Lipset dan Moore. Teori yang berkembang, pasca 1970-an cenderung melihat sejumlah tr1970-ansisi demokrasi di wilayah yang lebih luas. Sebagai contoh karya Huntington, Donell, Schmitter dan Stepan.
DIFERENSIASI
TEORISASI DEMOKRASI
2. Dewasa ini, teorisasi demokrasi lebih menekankan pada variabel politik dan
mengurangi perhatian pada kondisi sosial yang mendukung proses demokratisasi. Ini berbeda dengan teori demokrasi di era 1950-an dan
1960-an yang berbasiskan pada asumsi adanya: a. Ekonomi yang makmur dan merata.
b. Struktur sosial yang modern, mengenal
diversifikasi dan didominasi kleas menengah yang indepnden.
DIFERENSIASI
TEORISASI DEMOKRASI
3. Adanya perbedaan perbedaan
pengalaman demokratisasi antara Eropa
Barat dan Amerika Utara dengan transisi
demokrasi di Amerika Latin dan sejumlah
negara di Asia.
Referensi
• Mohtar Mas’oed. 2003. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
• AAGN Ari Dwipayana dan Ratnawati. 2005. “Teori-teori
Demokrasi” dalam “Teori Politik (Modul)”. PLOD UGM. Yogyakarta.
• Dahl, Robert A. 1973. Polyarchy: Participation and Opposition.
Yale University Press. Chelsea.
• Eko, Sutoro. 2006. “Krisis Demokrasi Elektoral”, artikel dalam
Prajarta dan Nico (eds). Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004. Pustaka Pelajar dan Percik. Yogyakarta-Salatiga.
• Rousseau, Jean Jacques. 2007. Perjanjian Sosial (Du Contract
Social). Edisi Indonesia. Visi Media. Jakarta.
• Purwo Santoso dan Miftah Adhi Ikhsanto. 2007. Bahan Bacaan
Teori Politik Demokrasi, Materi Sesi II”. PLOD UGM. Yogyakarta.