• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINDAKAN BULLYING PADA ANAK KELAS 4 DAN 5 DI SDN RANCALOA BANDUNG TAHUN 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINDAKAN BULLYING PADA ANAK KELAS 4 DAN 5 DI SDN RANCALOA BANDUNG TAHUN 2017"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

48

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINDAKAN BULLYING PADA

ANAK KELAS 4 DAN 5 DI SDN RANCALOA BANDUNG TAHUN 2017

Arafah Urfatania Ifa1, Nunung Nurjanah2, Chatarina Suryaningsih3

Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi

ABSTRAK

(2)

49 ABSTRACT

Bullying is a common phenomenon that happen in schools. Parenting styles is probably would affect a

child’s vulnerability to do bullying. KPAI records that from 2011 to 2014 there are 369 complaints according to bullying issues. This study aims to determine the correlation between parenting styles with the act of bullying in children grade 4 and 5 at Rancaloa Elementary School Bandung. This research using analytical survey method with cross sectional approach which is studying about relation between parenting styles with bullying action on elementary school children. The population on this research were all students start from grade 4 and grade 5 at Rancaloa Elementary School Bandung, with 83 respondents. Sampling was done by using stratified random sampling technique with parenting styles questionnaires and bullying action questionnaires as a method to collect data. The analysis divided into two stages, they are univariate to see the frequency distribution and bivariate to see the correlation using chi square test. The result of the research showed that from the total of all respondents, the parenting style with democratic style consist of 26 children (31,3%), and the children who do the bullying act are 44 children (53%), and 14 children (53,8%) with a democratic style and do bullying. Based on the statistical test with the Value of p = 0,406. This means that there is no significant correlation between parenting styles with bullying in children grade 4 and 5 at Rancaloa Elementary School Bandung. Researcher suggest if there is existence of cooperation between the school and parents to provide supervision in school such as anti-bullying program.

(3)

50 PENDAHULUAN

Tahap perkembangan manusia dimulai dari tahap konsepsi dan terus berlanjut hingga akhir kehidupan. Salah satu tahapan perkembangan yang dilalui manusia adalah masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak dimulai sejak usia satu tahun hingga usia dua puluh satu tahun yang dibagi menjadi tiga periode yaitu masa kanak-kanak awal (1-6tahun), pertengahan (6-12tahun), dan akhir (12-21tahun) (Wong, 2009).

Anak usia sekolah adalah anak dengan usia 6-12 tahun. Periode usia sekolah akan menjadi pengalaman inti anak karena anak-anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, dalam hubungan dengan orang tua, teman sebaya, dan orang lain (Wong, 2009). Anak pada usia sekolah dasar umumnya memiliki karakteristik perilaku yang khas dan hanya ditemukan pada periode usia tersebut meliputi perilaku tidak jujur atau berbohong, perilaku curang, ketakutan, dan stress (Wong, 2009).

Pada masa anak usia sekolah, terjadi pertumbuhan fisik yang lambat dan relatif seragam. Beberapa aspek dari pertumbuhan fisik yang terjadi diantaranya berat badan, tinggi badan, kerentanan terhadap penyakit, dan status kesehatan. Pada perkembangan dilihat dari beberapa aspek antara lain perkembangan kognitif yaitu kemampuan anak dalam penalaran berubah dari secara naluriah menjadi lebih logis dan rasional, perkembangan moral yang berkaitan dengan perkembangan kognitif anak, perkembangan emosional dan psikologis yang dipengaruhi oleh orang tua, teman sebaya, dan lingkunagn sekolah, perkembangan psikososial, serta perkembangan sosial (Latifah, 2012). Anak usia sekolah yang mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan

dan perkembanagan berpeluang memiliki konsep diri maladaptif, anak selalu harus merasa berkuasa, emosinya cepat meledak, kurang menunjukkan empati pada orang lain, dan melakukan tindakan agresif yang berdampak timbulnya perilaku kenakalan anak. masalah kenakalan anak itu biasanya terpusat pada 4 hal dasar yaitu, malas belajar, senang melanggar peraturan, putus sekolah, dan bullying (Latifah, 2012).

Bullying dikarakteristikkan sebagai perilaku agresif baik fisik, verbal, dan relasional yang bersifat merusak dan dilakukan dengan sengaja dan berulang-ulang. Bullying dilakukan dengan tujuan untuk merugikan korbannya serta dapat disertai dengan adanya perbedaan atau ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban (Latifah, 2012). Aksi bully dapat terjadi dimana saja namun dalam kelompok usia anak-anak, biasanya terjadi di lingkungan rumah atau di sekolah. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bullying adalah banyak anak-anak sekolah yang terseret menjadi bagian dari kelompok pelaku bullying untuk menghindar dari dijadikan korban (Meggit, 2013).

(4)

51 Perilaku bullying merupakan masalah

serius yang terjadi pada anak, hasil survey yang dilakukan oleh C. S Mott Children’s Hospital diketahui bahwa bullying termasuk kedalam 10 masalah kesehatan yang mengkhawatirkan pada anak (Davis, 2010). Masalah tersebut dikategorikan mengkhawatirkan karena mengingat tingginya angka kejadian bullying pada anak. menurut Baumeister & Kessler (1991 dalam Sari, 2010) tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam daftar hal-hal yang menimbulkan ketakutan di sekolah. Hasil riset yang dilakukan oleh National Association of School Psychologist

menunjukkan bahwa lebih dari 160.000 remaja di Amerika Serikat bolos sekolah setiap hari karena takut di bully.

Bullying berdampak negatif bagi pelaku maupun korban, dampak yang dialami korban bullying antara lain merasa rendah diri sampai pada depresi, serta menimbulkan cemas dan insomnia. Sedangkan dampak pada anak yang melakukan bullying adalah pelaku bullying lebih beresiko mengalami depresi, terlibat dalam perilaku kriminal, kenakalan, dan penggunaan alkohol saat anak tersebut tumbuh dewasa (Latifah, 2012).

Pelaku bullying biasanya memiliki latar belakang seperti penolakan oleh kelompok teman sebaya, isolasi sosial, kurangnya kehangatan didalam keluarga, dan penerapan disiplin yang tidak konsisten (Kurniawan, 2012). Perilaku bullying diakibatkan oleh ketidakberfungsian kondisi keluarga yang dialami oleh anak. Anak, khususnya yang sedang dalam masa pertumbuhan selalu mencontoh apa yang disaksikan, jika orang tua dan guru memperlakukan anak dengan keras, maka anak akan tercetak berkepribadian keras dan memungkinkan anak tersebut mempraktikannya dalam situasi bullying (Nusantara, 2008).

Menurut Wahyuni (2011) faktor keluarga merupakan salah satu pemicu terjadinya tindakan bullying. Faktor interaksi dalam keluarga yang berperan penting dalam perkembangan psikososial anak adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak (Azizah, Hawanti, & Winarsih, 2016). Psikolog Wriswanto dari Jagadnita Counseling mengatakan bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah orang tua yang terlalu memanjakan anaknya atau menerapkan pola asuh permisif.

Pola asuh permisif ini memberikan keleluasaan kepada anak sementara orang tua tidak terlibat didalamnya, dampaknya anak cenderung kurang memiliki kontrol diri sehingga anak sering melanggar norma serta kurang memiliki etika yang dapat membentuk perilaku dan karakter diri yang kurang stabil (Rahmawan, 2013). Atmosfer otoritarianisme adalah atmosfer yang akan terbentuk dalam keluarga tempat seorang anak pertama kali belajar hidup jika orang tua cenderung otoriter, dan akan menjadi kebiasaan sehari-hari bagi anak dan menciptakan sosok individu otoriter yang cenderung melakukan kekerasan, selain itu anak menjadi susah bergaul dengan anak lain akibat banyaknya perintah atau tuntutan dari orang tua (Kusumadewi, 2012).

(5)

52 Fenomena bullying di sekolah

kemungkinan akan semakin banyak ditemui. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang tua maupun pihak sekolah tidak menyadari bahwa telah terjadi bullying di sekolahnya. Permasalahan bullying ini tidak hanya terjadi di sekolah menengah atas maupun pertama, tetapi telah banyak terjadi di sekolah dasar.

Hasil wawancara langsung pada pengambilan data awal tanggal 15 Maret 2017 dari 10 siswa kelas 4 dan 5 diketahui bahwa ke 10 siswa ini pernah mengalami tindakan bullying dan 2 siswa diantaranya membalas tindakan tersebut. Menurut penuturan salah satu guru, pernah terjadi pemalakan pada seorang siswa oleh siswa lain teman sekelasnya yang lebih berkuasa, yang berlangsung setiap hari selama satu minggu, serta siswa yang dibawa ke kamar mandi oleh teman-temannya lalu ia dihimpit dengan pintu kamar mandi sampai badannya memar.

Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini “apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tindakan bullying pada anak kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Bandung?”.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survey Analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Bandung, dengan sampel sebanyak 83 siswa. Teknik pengambilan sampel dari penelitian ini dilakukan secara stratified random sampling. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan tindakan bullying, dalam hal ini melakukan pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada waktu yang sama menggunakan kuesioner pola asuh orang tua dan kuesioner tindakan bullying.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. HASIL PENELITIAN Analisis Univariat

Tabel I : Distribusi Pola Asuh Orang Tua pada Anak Kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Kota Bandung Tahun 2017.

No. Pola Asuh Orang Tua

Frekuen-si Persentase

1. Otoriter 14 16,9%

2. Demokratis 26 31,3%

3. Permisif Memanjakan

24 28,9%

4. Permisif Mengabaikan

19 22,9%

Jumlah 83 100%

Berdasarkan tabel I diatas menunjukkan bahwa dari total 83 responden, pola asuh pada anak adalah pola asuh demokratis (authoritative) yaitu sebanyak 26 responden (31,3%).

Tabel II : Distribusi Tindakan Bullying pada Anak Kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Kota Bandung Tahun 2017.

No. Kategori Frekuen-si Persentase

1. Melakukan

Bullying

44 53%

2. Tidak Melakukan

Bullying

39 47%

Jumlah 83 100%

(6)

53 Analisis Bivariat

Tabel III : Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tindakan Bullying pada Anak Kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Kota Bandung menunjukkan bahwa dari total 83 responden, didapatkan 14 responden (53,8%) dengan pola asuh demokratis melakukan tindakan bullying. hasil uji statistik menunjukkan p Value 0,406 > (0,05) sehingga Ho gagal ditolak yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan tindakan bullying pada anak kelas 4dan 5 di SDN Rancaloa Bandung.

2. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel I mengenai gambaran pola asuh orang tua yang diberikan kepada anaknya menunjukkan bahwa dari total 83 responden, anak yang memiliki pola asuh demokratis yaitu sebanyak 26 responden (31,3%). Hal ini terlihat dari hasil kuesioner, banyak responden yang memberikan jawaban mengarah pada ciri-ciri pola asuh demokratis yang menunjukkan jumlah nilai dimensi kontrol tinggi dan dimensi kehangatan tinggi. Dimensi kontrol yang tinggi dilihat dari aspek pembatasan, tuntutan, dan campur tangan, sedangkan pada dimensi kehangatan

yang tinggi dilihat dari aspek perhatian orang tua terhadap kesejahteraan dan kesehatan anak, peka terhadap kebutuhan emosional anak dan membantu anak mencapai prestasi.

Dalam pola asuh ini diasosiasikan dengan orang tua yang mendorong anak untuk mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian tindakan anak, orang tua masih melakukan kontrol pada anak tetapi tidak terlalu ketat. Umumnya orang tua bersikap tegas tetapi mau memberikan penjelasan mengenai aturan yang diterapkan dan mau bermusyawarah atau berdiskusi (Soetjiningsih, 2012). Dalam pola asuh ini orang tua bersikap hangat, dan sayang terhadap anak, menunjukkan rasa senang dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku konstruktif anak.

Kualitas dan intensitas pola asuh orang tua bervariasi dalam mempengaruhi sikap dan mengarahkan perilaku anak. Pola asuh dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, suku bangsa, dan sebagainya (Djamarah, 2014). Berdasarkan studi pendahuluan dan wawancara yang dilakukan peneliti pada guru yang bersangkutan ketika melakukan penelitian pada siswa kelas 4 dan 5 SDN Rancaloa Bandung ini, dinyatakan bahwa sebagian besar siswa memiliki orang tua dengan jenjang pendidikan dari sekolah menengah atas sampai perguruan tinggi S1 dan S2, juga dalam rentang ekonomi menengah ke atas. Menurut hasil penelitian Rahmadara (2012), 73,5% orang tua berpendidikan perguruan tinggi, 53,8% orang tua bekerja sebagai pegawai swasta dan 90,2% orang tua dalam rentang usia dewasa tengah.

(7)

54 sehingga anak tidak pernah belajar

mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu mengharapkan kemauannya dituruti dan berefek anak kurang memiliki rasa hormat pada orang lain serta mengalami kesulitan mengendalikan perilakunya. Pola asuh ketiga yaitu pola asuh permisif mengabaikan sebanyak 19 responden (22,9%) yang artinya orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, anak yang orang tuanya permisif mengabaikan mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri anak. Pola asuh terakhir yaitu pola asuh otoriter sebanyak 14 responden (16,9%) yang artinya orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh dibantah, orang tua menetapkan aturan dan regulasi atau standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan serta menghukum secara paksa setiap perilaku yang berlawanan dengan standar orang tua (Soetjiningsih, 2012).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara yang mengarah pada ciri-ciri pola asuh demokratis, memberikan data bahwa sebagian orang tua siswa SDN Rancaloa Bandung dapat menerima saran dan dapat diajak berdiskusi ketika anak-anak memiliki masalah, orang tua pun tidak memaksakan kehendak terhadap putra-putrinya tetapi tetap mengawasi dan mengontrol perilaku anak seperti ketika menggunakan internet, jajan di sekolah, ataupun mengerjakan tugas sekolah. Penelitian yang sama dilakukan Rahmadara (2012) tentang pola asuh yang menunjukkan bahwa dari 132 responden, sebanyak 29,5% orang tua menerapkan pola asuh demokratis kepada anaknya.

Berdasarkan tabel II mengenai tindakan bullying dari 83 responden, didapatkan sebagian besar responden yaitu 44 responden (53,0%) melakukan tindakan bullying. Bullying terjadi pada saat anak atau sekelompok anak mengucilkan dan menyakiti orang lain dengan sengaja, misalnya dengan memukul, menendang, merusak barang orang

lain, mengganggu, dan mengancam orang lain (Latifah, 2012). Dapat dikatakan telah terjadi tindakan bullying ketika seseorang sebagai korban merasa terintimidasi setelah pembullian dilakukan berulang-ulang (SEJIWA, 2008). Menurut Nansel dan Olweus, dampak pada anak yang melakukan bullying yaitu anak memiliki risiko dalam perkembangan psikososial dan psikiatrik yang bermasalah yang dapat berlanjut hingga dewasa (Kurniawan, 2012).

(8)
(9)

56

Bullying di sekolah dapat ditemukan pada setiap tingkatan usia atau kelas di sekolah, kejadian bullying dapat ditemukan pada anak sekolah yang berada pada rentang kelas satu hingga kelas enam. Hasil penelitian yang dilakukan Fika (2012) proporsi kejadian bullying di sekolah dasar menunjukkan bahwa angka kejadian pada anak kelas empat lebih tinggi dibandingkan kelas lima yaitu sebesar 72,2%. Fika dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa anak laki-laki lebih banyak melakukan bullying sebesar 65% dibanding perempuan 35% serta anak yang memiliki gang lebih berpeluang melakukan tindakan bullying jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki gang dengan persentase sebesar 65%. Hal ini didukung dengan adanya hasil tanya jawab dan observasi yang dilakukan peneliti dengan siswa kelas 4 dan 5 SDN Rancaloa Bandung pada saat penelitian, banyak siswa laki-laki yang mengaku pernah dan atau sering melakukan tindakan bullying dibandingkan siswa perempuan, mereka tidak segan mengungkapkan bagaimana mereka melakukan tindakan bullying.

Hasil penelitian Fika (2012) didapatkan bahwa sebanyak 57% melakukan tindakan bullying dalam bentuk verbal. Bentuk tindakan bullying verbal seperti, mengancam, mencemooh, memfitnah, memalak, memanggil dengan menggunakan nama orang tua, mengeluarkan kata-kata yang bersifat rasis, dan mengolok-ngolok kekurangan yang dimiliki anak lain. Hal tersebut dikarenakan anak pada tahap perkembangan usia sekolah mulai berinteraksi dengan teman sebaya dan lingkungan yang baru, mengembangkan rasa percaya diri, dan berusaha mencapai kompetensi yang penting sehingga dapat menimbulkan rasa pencapaian dan perasaan berharga.

Beberapa peneliti menaruh perhatian terhadap peran sekolah dalam mendorong

terjadinya tindakan bullying. Menurut Naito (2003) kebosanan yang merupakan akibat dari ketidaksesuaian isi mata pelajaran, metodologi pembelajaran yang tidak memadai, rendahnya motivasi guru, minimnya pengawasan dari guru, persaingan akademik, kemungkinan merupakan penyebab utama terjadinya bullying di sekolah (Kurniawan, 2012). Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara penyelenggara pendidikan di sekolah, komunitas, orang tua siswa serta dapat pula melalui penyusunan program-program anti-bullying di sekolah yang pendekatannya secara tidak langsung pada anak tanpa menyalahkan siapapun secara diskusi kelompok yang khusus membahas mengenai bullying.

Berdasarkan tabel III dari 83 responden didapatkan bahwa sebagian besar siswa melakukan tindakan bullying sebanyak 44 siswa dan memiliki pola asuh orang tua demokratis sebanyak 26 siswa. Hasil uji statistik didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tindakan bullying di SDN Rancaloa Bandung. Dengan p Value =0,406 berarti p Value> α dengan nilai α = 0,05, hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Yuniartiningtyas (2013), yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tindakan bullying pada siswa SMP dengan p Value(-0,601) < α (0,05).

(10)

57 mempertahankan hubungan ramah dengan

teman sebaya dan bisa mengendalikan diri serta bertanggung jawab secara sosial. Faktor lingkungan dan teman sebaya sedikit banyak mempengaruhi yaitu banyak anak-anak sekolah yang terseret menjadi bagian dari kelompok pelaku bullying untuk menghindar dari dijadikan korban (Meggitt, 2013).

Pada bagan pola asuh permisif memanjakan terlihat bahwa 12 dari 24 responden melakukan tindakan bullying dan 12 responden lainnya tidak melakukan tindakan bullying. Hal ini menunjukkan angka yang seimbang, walaupun salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah karena orang tua yang terlalu memanjakan anaknya, faktor ini belum tentu juga menyebabkan anak melakukan tindakan bullying. Pola asuh permisif mengabaikan belum tentu menyebabkan anak melakukan tindakan bullying, 11 dari 19 responden tidak melakukan tindakan bullying dan 8 responden lainnya melakukan tindakan bullying. Hal inipun bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa anak yang dididik dengan pola asuh permisif mengabaikan mengakibatkan anak tidak terkendali dan bebas dalam bertindak (Djamarah, 2012).

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua bukanlah faktor terkuat yang dapat mengakibatkan anak melakukan tindakan bullying. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi anak usia sekolah melakukan tindakan bullying antara lain faktor dalam diri anak, faktor keluarga meliputi pola asuh orang tua, faktor teman sebaya, dan faktor lingkungan (Latifah, 2012). Dalam penelitian ini faktor

pola asuh orang tua bertentangan dengan apa yang telah disebutkan oleh Latifah, kemungkinan tindakan bullying yang dilakukan anak usia sekolah di SDN Rancaloa Bandung dipengaruhi oleh faktor lain seperti karakteristik anak usia sekolah yang meliputi usia, tingkatan kelas, jenis kelamin, dan kecenderungan anak dalam berkelompok (gang).

Dalam pola asuh terdapat dampak positif dan negatif. Tipe pola asuh otoriter berdampak anak sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah dikontrol, namun juga memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, dan kemungkinan berperilaku agresif. Pola asuh permisif memanjakan berdampak anak kurang memiliki rasa hormat dan mengalami kesulitan mengendalikan perilakunya. Pola asuh permisif mengabaikan berdampak anak memiliki kendali diri yang buruk, serta tidak mandiri dan terakhir pola asuh demokratis yang berdampak anak memiliki percaya diri yang tinggi, tampak ceria, dan bertanggung jawab secara sosial.

Tindakan bullying sering terjadi pada anak usia sekolah terutama pada kelas 4 dan 5 dikarenakan siswa kelas 4 dan 5 ada dalam rentang usia 10-11 tahun yang pada perkembangan sosialnya sangat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu, keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Interaksi dengan teman sebaya dapat berdampak negatif, dan memaksa anak mengambil resiko untuk melakukan tindakan bullying, begitu pula dengan lingkungan sekolah yang dapat menjadi tempat berkembangnya perilaku menyimpang seperti bullying(Mar’at, 2012).

(11)

58 dan terjadinya penurunan prestasi akademik di

sekolah. Dampak jangka panjang bagi anak korban bullying di sekolah akan mengalami trauma besar dan depresi yang akhirnya bisa menyebabkan gangguan mental di masa yang akan datang (Ehan, 2010).

Bullying di sekolah menjadi suatu permasalahan tersendiri pada anak usia sekolah dasar. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian bullying mulai dari faktor dari individu anak, kondisi lingkungan sekolah, dan teman sebaya. Upaya untuk mencegah atau mengurangi tindakan bullying yaitu orang tua menjadi role model yang positif, guru dan pihak sekolah yang dapat menciptakan budaya sekolah yang ramah, saling menghargai, dan saling tolong menolong dapat menurunkan angka kejadian bullying di sekolah (Latifah, 2012).

Menurut Wriswanto (dalam Ehan, 2010) bahwa pola asuh orang tua memegang peranan penting pada anak yang melakukan tindakan bullying, pendapat tersebut kurang sesuai dengan hasil penelitian ini. Pola asuh bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi seorang anak melakukan tindakan bullying, banyak faktor yang dapat memicu seorang anak melakukan tindakan bullying antara lain faktor biologis meliputi genetik, faktor sekolah meliputi teman sebaya, lingkungan sekolah, guru, dan faktor budaya meliputi penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, seperti pada permainan video game, televisi dan film. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bahwa banyak siswa di lingkungan sekolahnya yang berkelompok-kelompok dan mempunyai ketua geng sehingga anak cenderung melakukan tindakan bullying untuk mempertahankan kekuasaan di lingkungan sekolah.

Hal tersebut bukan tidak mungkin adalah dampak dari tayangan telivisi yang marak menayangkan perilaku-perilaku negatif

yang sudah dianggap wajar. Pola asuh orang tua yang salah akan mengakibatkan perkembangan anak menjadi terganggu salah satunya yaitu perkembangan psikososialnya. Anak usia sekolah masuk dalam perkembangan industry vs inferiority, perlakuan orang tua terhadap anak atau pola asuh tertentu akan mempengaruhi sikap anak dan perilakunya. Saat seorang anak dididik dengan kontrol yang rendah seperti dimanjakan atau dibiarkan hal tersebut dapat menimbulkan kecenderungan menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif yang dapat berkembang menjadi tindakan tindakan bullying, hal ini harus diperhatikan agar tidak terjadi gangguan pada tahap perkembangan selanjutnya.

Peran perawat dalam menangani atau untuk mengurangi tindakan bullying disekolah yaitu sebagai edukator dan konselor. Perawat ditatanan komunitas harus lebih aktif berperan di sekolah dengan melakukan intervensi melalui pemberian pendidikan kesehatan mengenai bullying sehingga anak dapat mengetahui dampak dari bullying terhadap orang lain dan diri sendiri. Perawat tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan secara fisik saja, akan tetapi dapat memberikan pelayanan secara holistik meliputi aspek biopsikososiospiritual pada anak.

SIMPULAN

Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tindakan bullying pada anak kelas 4 dan 5 di SDN Rancaloa Bandung.

SARAN

(12)

59 Bagi siswa SDN Rancaloa Kota Bandung

diharapkan dapat menambah wawasan siswa-siswi kelas 4 dan 5 SDN Rancaloa Kota Bandung mengenai bullying, dan melaporkan pengalaman pada orang tua atau pihak sekolah jika terjadi tindakan bullying serta dapat meningkatkan kepedulian terhadap sesame teman.

Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti

DAFTAR PUSTAKA

Agustiawati, I. (2014). Pengaruh pola asuh terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran akuntansi . Diambil dari: repository.upi.edu. (26 Maret 2017).

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Azizah, R., Hawanti, S., & Winarsih, C. (2016). Analisa kejadian bullying di sekolah dasar. Purwokerto: Jurnal PGSD FKIP Universitas Muhammadiyah.

Bagyono, T. (2013). Metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta: Penerbit ombak.

Bimo, S. (2013). Analisis chi-Square. retrieved from statistikolahdata.com: statistikolahdata.com

Diyantini, N. k., Yanti, N. L., & Lismawati, S. M. (2016). Hubungan karakteristik dan kepribadian anak dengan kejadian bullying pada siswa kelas V di SD X kabupaten Badung. Denpasar: Coping Ners Journal. Vol. 3, No.3: 93.

Djamarah, S. B. (2014). Pola asuh orang tua dan komunikasi dalam keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Dwipayanti, I. A., & Indrawati, K. R. (2014). Hubungan antara tindakan bullying dengan prestasi belajar anak korban bullying pada tingkat sekolah dasar.Denpasar: Jurnal Psikologi Udayana.Vol. 1, No.2,251-260.

selanjutnya yang akan meneliti tentang tindakan bullying dan dapat menambahkan variabel karakteristik siswa (yang sesuai dengan kriteria jenis kelamin, lingkungan sekolah) dan variabel yang lainnya serta mencoba membantu pihak sekolah melakukan sebuah intervensi untuk menekan kejadian bullying di sekolah.

Ehan. (2010). Bullying dalam pendidikan. Diambil dari: File.Upi.edu. (16 Maret 2017).

Fika, L. (2012). Hubungan karakteristik dan kepribadian anak dengan kejadian bullying pada siswa kelas V. Malang: Jurnal Psikologi Universitas Negeri Malang.

Halim, F. (2013). Peran orang tua dalam mengatasi bullying. Arthinkle.

Hertinjung, W. S., & Karyani, U. (2015). Profil pelaku dan korban bullying di sekolah dasar. Surakarta: The 2nd University Research Coloqium.

Hidayat, A. A. (2014). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data. Jakarta: Salemba Medika.

Kurniawan, H. (2012). Hubungan antara pertahanan diri dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah atas X di Bandung. Depok: Jurnal Fisip Universitas Indonesia.

Indonesia.

(13)

60 Latifah, F. (2012). Hubungan karakteristik anak

usia sekolah dengan kejadian bullying di sekolah dasar. X di Bogor. Depok: Jurnal FIK Universitas Indonesia. Mar'at, S. (2012). Psikologi perkembangan.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mashar, R. (2012). Bullying di sekolah.

Magelang: Edukasi Jurnal Penelitian dan Artikel Pendidikan. Vol. 3, No.6: 119-172.

Meggitt, C. (2013). Memahami perkembangan anak. Jakarta: Indeks.

Mudjijanti, F. (2012). School bullying dan peran guru dalam mengatasinya. Diambil dari: Portalgaruda.org. (23 Februari 2017).

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka cipta. Nusantara, A. (2008). Bullying: Mengatasi

kekerasan di sekolah dan lingkungan. Jakarta: PT.Grasindo.

Petracia, N. (2016). Peran orang tua dalam mengatasi bullying. retrieved from

CNN Indonesia:

Student.cnnindonesia.com

Rahmadara, B. (2012). Hubungan antara pola asuh orang tua dan peran-peran dalam perilaku bullying pada siswa sekolah dasar. Depok: Jurnal Psikologi Universitas Indonesia.

Rahmawan, I. A. (2013). Hubungan pola asuh permisif dengan intensi bullying pada siswa-siswi SMP.Yogyakarta: portalgaruda.org.

Riyanto, A. (2011). Aplikasi metodologi penelitian. Yogyakarta: Nuha Medika. Said, E. N. (2007). Peran lingkungan keluarga

dalam membentuk kepribadian anak. Diambil dari: digilib.uin-suka.ac.id. (16 Maret 2017).

Sari, P. (2010). Coping stress pada remaja korban Bullying. Jakarta: Jurnal Psikologi. Vol.8, No.2: 75.

SEJIWA. (2008). Bullying: Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta: Grasindo. Setyawan, D. (2014). Kasus bullying dan

pendidikan karakter.Diambil dari: KPAI: kpai.go.id. (17 Maret 2017). Soetjiningsih, C. H. (2012). Perkembangan

anak sejak pembuahan sampai dengan kanak-kanak akhir . Jakarta: Prenada. Syarifah, F. (2014). Bahaya mana, bully fisik

atau bully kata pada anak?. Diambil dari: health.liputan6.com. (16 Maret 2017).

Toron, M. N. (2013). Hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku kekerasan pada remaja. 38.

Wong, D. L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian para orang tua disarankan untuk menggunakan pola asuh demokratis, karena dapat menciptakan kontrol emosi yang baik pada anak. Terbukti dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh orang tua siswa SMA Muhammadiyah rata-rata baik dengan pola asuh demokratis, sedangkan tingkat agresivitas siswa

bersifat hangat. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua yang menerapkan perlakuan kepada

Hasil penelitian diuji dengan Pearson Correlation dan menunjukkan hasil pada pola asuh orang tua mayoritas merupakan pola asuh demokratis sebanyak 66 responden (82,5%)

Saran diberikan kepada para orang tua agar menerapkan pola asuh demokratis dimana anak 10-12 tahun dengan konsep diri positif terbanyak didapatkan dari pola asuh tersebut,

Jadi dapat dikatakan bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang efektif, karena orang tua demokratis menerapkan kesimbangan antara pengawasan dengan

Saran diberikan kepada para orang tua agar menerapkan pola asuh demokratis dimana anak 10-12 tahun dengan konsep diri positif terbanyak didapatkan dari pola asuh tersebut,

Pola asuh demokratis lebih banyak diterapkan oleh orang tua, menyusul pola asuh otoriter dan permisif.4 orang tua dengan pola asuh demokratis, 1 orang tua dengan pola asuh otoriter dan