• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN. Masa Kecil Pak Suyadi Alias Pak Raden: Kalau Mandi Lebih Banyak Menyanyi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN. Masa Kecil Pak Suyadi Alias Pak Raden: Kalau Mandi Lebih Banyak Menyanyi"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Masa Kecil Pak Suyadi Alias Pak Raden: Kalau Mandi Lebih Banyak Menyanyi

Nama Pak Suyadi memang sudah menyatu dengan tokoh Pak Raden, dalam serial film boneka Si Unyil. Suaranya besar menggelegar dan berkesan galak. Eh, tapi sesungguhnya Pak Suyadi itu ramah, baik hati, pintar mendongeng, dan mendalang, serta jago menggambar. Jadi kalian tak perlu bingung dan gugup kalau bertemu Pak Raden, eh Pak Suyadi. Masa kecil Pak Suyadi pun sungguh manis dan jenaka.

Pak Suyadi pandai membuat boneka

Saya dilahirkan di sebuah kota kecil Puger, di sebelah selatan Jember (Jatim) 28 November 1932. Dalam keluarga R. Sabekti Wiryokusumo, saya muncul pada urutan ketujuh. Oleh orangtua, saya diberi nama Suyadi. Dan saya masih punya dua adik.

Sekalipun lahir di Jember, namun saya dibesarkan di Surabaya. Karena itu, kalau ditanya orang, saya mengaku sebagai arek Suroboyo. Bangga lho. Soalnya dikenal pemberani.

Nama Bunga

Di Surabaya, kami sekeluarga tinggal di kawasan Rangkah. Jarak rumah kami dengan rumah tetangga lain cukup jauh. Rumah kami sangat besar. Kamarnya pun banyak sekali. Halamannya? Wah, luas sekali. Dan halaman ini penuh dengan aneka tanaman bunga kesayangan Bapak dan Ibu.

(2)

Bapak lebih suka menanam bunga yang bibitnya didatangkan dari luar negeri. Seperti gerbera, aster, anyelir, krisan. Kalau sedang musim bunga, pemandangan di halaman sungguh indah dan penuh warna-warni. Ibu lain lagi kesukaannya. Ia menyukai bunga yang harum.

Lain lagi kesenangan anak-anaknya. Kami gemar memelihara binatang. Hampir tiap anak mempunyai binatang kesayangan sendiri. Ada yang memelihara ayam, angsa, bebek, anjing, kucing, sehingga rumah kami mirip kebun binatang. Saya paling suka kucing.

Untuk mengurus rumah kami, Bapak mempekerjakan cukup banyak pembantu. Dan untuk tiap-tiap anaknya yang masih kecil, ia menyediakan seorang pengasuh. Nah, selain mengurusi kami, mereka setiap malam mendongeng untuk kami.

Sekali-kali, Bapak atau Ibu mendongeng juga sih. Misalnya saat kami berkumpul untuk minum teh bersama di sore hari. Bapak lebih banyak mendongeng cerita wayang. Sedang Ibu paling sering membawakan cerita Bawang Merah Bawang Putih, Timun Emas, Joko Kendil. Asyik lho.

(3)

Gemar Menggambar

Pada usia 5 tahun, saya mulai sekolah di TK. Tiap pagi saya ke sekolah naik delman. Sejak sekolah, kegemaran saya tiada lain kecuali menggambar. Kapan saja dan di mana saja, saya pasti menggambar.

Melihat kegemaran saya ini, Bapak lantas menyediakan kertas dan pensil warna untuk menggambar. Saya lalu jadi akrab dengan kedua alat tersebut. Sampai pergi tidur pun saya bawa-bawa. Selain menggambar, saya suka mainan lilin. Lilin itu saya bentuk menjadi orang-orangan.

Pada usia tujuh tahun saya masuk ELS (Europese Lagere School), setingkat dengan SD yang khusus untuk anak-anak berkulit putih atau anak-anak Indonesia dari golongan tertentu. Karena itulah, di kelas hanya saya dan seorang teman putri – Hartati namanya—yang berkulit cokelat. Gurunya semua orang Belanda. Bahasa pengantar yang dipakai juga bahasa Belanda. Tapi di rumah, dengan Bapak-Ibu, saya tetap berbicara bahasa Jawa halus.

Setelah masuk ELS, kegemaran saya menggambar, terus meningkat. Malahan saya mulai suka meniru-niru ilustrasi buku-buku cerita. Di sekolah, saya paling senang pelajaran membaca. Karena ilustrasi yang ada dalam buku bacaan itu bagus-bagus.

Juara Kelas

Dari tadi saya kok hanya cerita tentang menggambar saja. Lalu kapan saya belajar? Terus terang dulu saya tidak pernah belajar secara teratur seperti kalian saat ini. Guru

(4)

juga tidak pernah memberikan PR. Bapak dan Ibu tidak pernah pula menyuruh-nyuruh saya belajar. Sepulang sekolah, saya bisa terus main. Kejar-kejaran di lapangan, memanjat pohon, main sepatu roda, atau melihat anak-anak bermain layang-layang. Menjelang maghrib saya baru pulang.

Musim mangga, atau buah lainnya juga memberikan kenangan tersendiri bagi saya. Walaupun di rumah ada tanaman buah-buahan serupa itu, sesekali saya juga suka mencuri-curi buah di kebun tetangga. Niatnya sih, bukan untuk mencuri. Tapi lebih untuk mencari kenikmatan petualangannya. Kalau sampai diteriaki atau diuber-uber oleh yang punya pohon, rasanya senang sekali.

Yang juga sangat menyenangkan adalah ketika mandi-mandi di kali kecil di dekat rumah. Jaman dulu, air kali masih jernih. Dan tidak membuat kulit gatal-gatal. Namun jika ketahuan Bapak atau Ibu, tetap saja mereka marah.

Biarpun saya bandel, tapi saya tidak pernah ketinggalan pelajaran. Setiap kenaikan kelas, saya selalu juara pertama. Ini merupakan prestasi tersendiri lho. Sebab berarti saya lebih unggul dari teman saya yang berkulit putih. Dan para guru mengakui hal ini.

Sekalipun saya selalu juara kelas, saya tidak pernah meminta hadiah pada orangtua. Paling mereka akan mengajak saya, juga kakak-kakak ke toko lalu memilih apa saja yang kami suka. Saya memilh apalagi kalau bukan pensil berwarna.

(5)

Mengungsi ke Madiun

Baru saja saya menikmati duduk di kelas tiga, Jepang datang. Keadaan serta merta berubah. Sekolah kami ditutup dan guru-gurunya ditawan Jepang. Kemudian dibuka sekolah rakyat dengan pengantar bahasa Jepang. Saya pun masuk ke sekolah ini. Tentu, keadaannya beda dengan jaman sebelumnya. Saya tidak bisa seenaknya lagi menggambar karena kertas maupun pensil warna susah didapat. Untuk menulis pun yang ada cuma kertas merang. Kertas ini warnanya kuning dan permukaannya sangat kasar.

Syukurlah, hanya tiga tahun Jepang menduduki Indonesia. Setelah itu, kita mencapai kemerdekaan. Namun ternyata tidak berarti semuanya sudah aman. Sebab pada bulan November 1945, Belanda kembali hendak merebut Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu yang mendarat di Surabaya. Keadaan pun kembali dilanda kekacauan.

Kami sekeluarga segera mengungsi ke tempat Kakek di Madiun. Tidak banyak barang yang bisa kami bawa, kecuali baju yang melekat di badan. Kucing kesayangan saya pun terpaksa ditinggal, karena dicari-cari tidak ketemu. Wah, sedih sekali.

Ayah Meninggal

Rumah kakek juga besar dan halamnannya luas. Di sini saya masuk Sekolah Rakyat. Disinilah saya belajar menulis huruf Jawa dan menyukai kesenian Jawa seperti joget (menari), dan karawitan. Entah mengapa saya begitu menggandrungi keduanya bahkan sampai sekarang.

(6)

Di sini pula saya mulai belajar mengaji dan shalat. Yang mengajar Kakek sendiri. Kakek sangat menyayangi semua cucunya. Sayang, beliau sudah tua sehingga tidak kuat lagi bermain-main dengan kami.

Dalam pengungsian, Bapak jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dan ternyata, hanya sampai di situlah Bapak bisa berkumpul dengan kami. Bapak dipanggil Tuhan dalam usia 55 tahun. Saya merasa sangat kehilangan.

Setelah keadaan normal kembali, kami pulang ke Surabaya tanpa Bapak. Namun apa yang kami jumpai? Rumah kami sudah hangus tak berbekas dibakar tentara Belanda. Keadaan kami saat itu ibarat pepatah, sudah jatuh ketimpa tangga pula.

(7)

Pelukis Impresionis yang Lugu - Pak Raden Mengabadikan Lakon Panggung

Siapa yang tidak kenal Pak Raden? Tokoh orang tua cerewet ke-belanda-belandaan dalam lakon bocah boneka Si Unyil yang biasa ditayangkan TVRI Minggu pagi. Pak Raden tidak mungkin dipisahkan dari Si Unyil, seperti halnya Pak Raden tidak bisa meninggalkan gerutu logat Belandanya. Perimbonnya, pelitnya dan bisa bikin sebel. Tetapi tetap dinanti pemirsa untuk tampil di layar kaca, karena cerewet dan encoknya yang membuat dialog dengan Si Unyil menjadi hidup. Tidak kaku, seenaknya.

Jiwa terbebas dan seenaknya, itulah penampilan Drs. Suyadi sehari-hari, serta tetap tampak muda dan bicara ceplas-ceplos. Suyadi yang Pak Raden itu, dikenal pula sebagai pelukis, lulusan Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik, Bagian Seni Rupa yang kemudian meneruskan studinya ke Perancis. Kini usianya baru pada awal 60 tahun serta belum punya keluarga, tinggal di bilangan Jatinegara Jakarta. Dan bekerja di Perusahaan Film Negara dengan tugas khusus menangani film boneka Si Unyil yang dikerjakan dan dihayatinya secara mendalam. Tidak setengah-setengah, hampir semua bagian pada pembuatan boneka-boneka tokohnya adalah hasil tangan pembentukan dan coretan dari Suyadi sendiri.

Selain itu, Suyadi pun aktif dalam penerbitan buku-buku mengenai pendidikan, terutama untuk anak-anak yang memerlukan penanganan khusus dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik minat baca anak. Pernah mengadakan penelitian untuk membuat film kartun yang bernafaskan jiwa dan cerita Indonesia, lebih dari tiga tahun, tetapi tidak ada pengusaha film yang bersedia menjadi pemodal untuk produksinya. Hasilnya, hingga

(8)

kini film kartun di layar kaca tetap dikuasai produksi luar negeri yang jauh dan bertentangan dengan budaya dan lingkungan hidup anak Indonesia. Tetapi bagi Suyadi, semangat untuk menghidangkan film kartun anak-anak yang berjiwa nusantara masih tetap bergema, masalahnya tinggal menunggu waktu.

Merekam suasana panggung

Kegiatan melukis bagi Suyadi merupakan aktivitasnya yang utama, walaupun dikerjakan pada waktu-waktu sisa dari kesibukan sebagai pegawai negeri dan perancang grafis. Suyadi pernah belajar mendalang di Cimahi, itulah yang memberinya wawasan tentang seni pewayangan. Latar pengalamannya itu tertuang cermat di atas kanvasnya. Ia menyukai lakon wayang, tetapi yang lebih disukainya adalah proses pertunjukan wayang itu sendiri. Kesibukan di belakang panggung atau di sekitar pentas wayang kulit maupun wayang wong, bagaimana penonton bereaksi serta pemandangan seputar pertunjukan itu. Di lingkungan perkumpulan Seni Budaya Bandung, Suyadi terkenal suka mendalang dan penabuh kenongan gender yang handal. (red.)

Dalam lukisannya Suyadi teramat cermat merekam semua itu, apabila diperhatikan, seperti lukisannya: Pertunjukan Wayang Kulit, dalang sinden dan nayaga digambarkan secara lengkap dan dramatik realitik. Pengaturan bidang gelap terang yang cermat, menyebabkan lukisan itu terangkat ke dalam misteri pewayangan. Bukankah wayang adalah bayangan? Bayangan dari hidup ini yang lakonnya dipentaskan pada panggung imajinatif yang penuh dengan perlambangan hidup. Melalui filsafat serupa itu, Suyadi menekuni adegan pertunjukan sebagai objek lukisannya. Pada lukisan adegan panggung: Rama Shinta dan Sebelum Hanoman Turun, pelukisan Suyadi melalui penghayatannya

(9)

pada lakonnya. Pengaturan cahaya dan warna menciptakan perspektif kedalaman yang lembut. Tidak bakal ditemui pada kanvas pelukis yang masih hijau. Warna hitam pada foto, sebenarnya bukan hitam cat, melainkan tumpukan dari warna biru tua dan coklat tua, kadang-kadang disapu warna violet, hijau pirus, dan merah tua (merah kraplak). Pergaulannya dengan guru-guru bidang seni dari Belanda dan Perancis membekali Suyadi sebagai pelukis yang apik menumpuk warna. Selain apik juga mengolah bentuk dan tekstur warna.

Beberapa pelukis Eropa, terutama dari Perancis, yang sering melukiskan adegan panggung, ialah Edgar Degas untuk pertunjukan balet; Henry de Toul Lautrec untuk pertunjukan teater dan bar, dan Pablo Picasso untuk pertunjukan tarung sapi Spanyol, teater, dan balet. Itu hanya sekedar untuk bandingan, karena Suyadi memiliki kekuatan tersendiri yang memahami pagelaran wayang serta lakonnya. Lukisan lainnya berjudul: Pertarungan Hanoman dan Raksasa, Punakawan, Rama dan Barisan Raksasa, semuanya menghadirkan kemahiran Suyadi mengangkat pertunjukan wayang menjadi suatu lukisan yang patut mendapat penghargaan. Belum diolah menjadi suatu lukisan yang berekspresi wayang. Bukan menyalin bentuk wayang, pada Suyadi yang tampil adalah lukisan dengan semangat wayangnya. Kita harapkan Pak Raden “Suyadi” akan terus merekam pertunjukan wayang, entah dalam ekspresi yang bagaimana. Kita tunggu.

(10)

Pembuat Film Kartun dan Dasamuka yang Tetap Sendiri

Animasi-Antagonis

Cita – cita saya dari dulu ingin jadi seniman seperti Walt Disney. Bisa menciptakan sesuatu yang disenangi anak-anak sepanjang jaman. Tokoh idola saya memang Walt Disney, pengarang dongeng anak-anak Hans Christian Anderson, selain Ki Narto Sabdo, karena sejak kecil saya juga ingin jadi dalang. Maka belajar membuat animasi di Perancis, merupakan jalan pembuka yang tepat sekali. Di Paris, saya sempat praktek membuat iklan animasi untuk obat jerawat. Kembali ke tanah air, membuat “Yang Banyak, Jangan Anak”, film kartun tentang KB. Lalu “Menentang Alam” tentang banjir, keduanya disponsori Departemen Penerangan. Beberapa lagi saya buat, untuk Lembaga Pemilihan Umum. Karya kartun saya yang paling panjang waktu itu 17 menit, dongeng klasik berjudul Timun Mas.

Ketika Pak Kurnaen mengajak saya membuat film Si Unyil, saya merasa senang sekali. Tokoh Unyil sendiri sudah ada di benak Pak Kurnaen sejak 1965, ketika beliau mengajar di SMP. Saya tidak jelas, Pak Kurnaen pernah mewujudkan Unyil ini sebagai apa. Tapi dia langsung meminta saya merancang bentuk-bentuk bonekanya, kostum, dan desain lainnya. Maka lahirlah “Si Unyil ke Rimba”, masih hitam putih, masa putar 10 menit. Ini merupakan pra Unyil, sutradara Kurnaen Suhardiman, art director Suyadi, editornya Pak Sumardjono. Salah seorang pengisi suaranya, yang saya ingat Sofia WD jadi neneknya Unyil. Film pendek ini dianggap berhasil, maka Penas (PFN waktu itu) minta film Unyil dibuat lagi dengan durasi 60 menit.

(11)

Kami menyiapkan Joko Kendil, cerita dari saya, skenario Pak Kurnaen. Pengisi suara, antara lain Koesno Sudjarwadi, Ratmi B29. Rencananya akan diputar di sekolah-sekolah, katanya pernah pula diputar di negeri Belanda. Tapi sekarang film itu musnah, gara-gara Penas kebanjiran, semua film hancur terendam air. Untunglah kemudian lahir rencana mengangkat Unyil menjadi serial televisi. Saya benar-benar gembira, bahkan terharu. Waktu itu semua film anak-anak di TVRI adalah buatan luar negeri. Maka saya merasa tertantang untuk menghidupkan Unyil ini. Saya ingat benar, menjelang pembuatan, mendadak saya mendapat undangan dari Toyota ke Jepang bersama Kak Seto. Pulang sebulan di Jepang, syuting Unyil segera dimulai. Hari pertama pembuatan itu 13 November 1979. Tiga belas ternyata bukan angka sial, kami mendapat ruang berupa gudang paling belakang di PFN. Kotornya bukan main. Saya bersama asisten art, yang saya ambil dari ITB, dan seorang tukang kayu, mulai membersihkan gudang itu dan membuat set.

Almarhum Pak Dipo, direktur PFN ketika itu, sudah pesan berkali-kali, “ Ingat ya, proyek ini hanya untuk satu tahun.” Pak Dipo juga punya ide, sebaiknya ada episode percobaan dulu. Karena saat itu menjelang Natal, dibuatlah cerita Si Unyil merayakan Natal bersama temannya yang beragama Nasrani. Film itu dicoba di putar di bioskop, kalau tidak salah di Megaria. Ternyata penonton sangat antusias. Maka kami tambah semangat. Kami mengerjakan dengan sistem paket, sekaligus 10 episode. Jadi menggarap langsung kesepuluh-sepuuhnya, dan selesai bersama-sama. Waktu itu tokohnya masih sedikit. Hanya Unyil dengan teman-temannya, keluarga Unyil, Pak Lurah, dan Pak Guru. Mungkin karena di televisi belum ada saingannya, Si Unyil sukses sekali. Tapi di pihak kami sendiri, timbul kejanggalan. Ini film kok, tokohnya baik

(12)

semua. Unyil baik, teman-temannya baik, semua orang baik. Di banding pewayangan, film ini tidak ada Dosomuko-nya, tidak ada Kurowo-nya. Buat sebuah pakem, ini tidak pas. Pak Kurnaen mendesak harus ada tokoh antagonisnya, tokoh untuk memperlihatkan bagaimana yang tidak seharusnya. Akhirnya tercetus ide, ditambah tokoh pensiunan dari jaman sebelum perang, yang banyak memimpikan masa lalu, yang sulit mengikuti suasana pembangunan. Tokoh ini mesti kikir, tidak mau gotong-royong, feodal, juga penyakitan karena tua. Lalu siapa namanya? Kalau namanya terkait daerah tertentu, bisa-bisa orang daerah itu marah. Maka dipilih saja nama Jawa. Sebab orang Jawa terkenal lapang dada, dibikin jelek juga tidak marah. Akhirnya dipilih Raden Mas Singo Menggolo Jalmo Wono. Lahirlah Pak Raden, tokoh antagonis pertama dalam Si Unyil. Siapa yang mengisi suara? Beberapa orang dicoba, yang dianggap cocok justru suara saya. “Lha ya, seperti ini seharusnya!” komentar Pak Kurnaen.

Sejak saat itu, saya mengisi suara Pak Raden, bahkan saya kemudian didandani persis bonekanya kalau tampil di panggung. Setelah ada Pak Raden, dirasa perlu memunculkan tokoh antagonis lain, maka lahirlah Ableh, Ogah, dan lain-lain. Tapi seorang tokoh tidak bisa jelek 100 persen. Maka Pak Raden diceritakan senang kesenian, pandai bernyanyi, dan sayang anak. Tokoh ini jadi lebih hidup. Sedang Ableh dan Ogah, banyak yang menganggap kurang baik pengaruhnya pada anak, terutama membuat anak kalau disuruh orang tuanya – cepek dulu!

Pak Raden, Ibu Kasur, Pak Tino Siddin, dan Pak Pranadjaja, pernah mendapat penghargaan sebagai tokoh yang disukai anak-anak. Saya bangga sekali. Tapi saya tidak mau bicara soal materi. Tidak enak didengar. Sepertinya saya ini, orang yang tak tahu

(13)

berterima kasih, sudah mendapat kesempatan berkreasi masih memikirkan dan sebagainya dan sebagainya. Sewaktu nama Pak Raden sedang populer-populernya, sampai piring-piring, mangkok-mangkok, boneka-boneka sepanjang jalan Puncak, banyak yang meniru atau menggunakan nama Pak Raden. Ini namanya kebanggaan yang bercampur kejengkelan. Kalau yang kecil-kecil saja, tak apalah anggap saja untuk membantu golongan ekonomi lemah, ikut menikmati kepopuleran Pak Raden. Tapi kalau usaha besar seperti perusahaan kaset juga ikut-ikut memanfaatkan kebesaran nama Pak Raden, sebenranya ini pantas dituntut. Kalau mau nuntut, yang punya hak tentu saja PFN, bukan saya. Sebab Pak Raden ada, karena film Si Unyil, dan Unyil adalah produksi PFN. Lagi pula nama Raden sudah ada sejak dulu. Bahwa sekarang jadi nama warung sate di mana-mana, ya terserah saja. Yang jelas itu bukan restoran milik saya.

Seniman sendiri

Sampai sekarang, saya masih sendirian. Lebih baik tidak banyak disinggung masalah ini, karena tidak ada yang menarik. Keadaan saya ya begini ini, memangnya mau apa? Mungkin sudah kadaluarsa. Walau orang menganggap saya ini sukses, tapi dalam hal materi tidak ada. Saya memang tidak terlalu memikirkan masa depan. Sejak kecil ambisi saya memang membuat sesuatu untuk anak-anak. Hanya itu, dan tidak macam-macam lagi. Materi, waktu itu tidak penting. Baru akhir-akhir ini, saya merasakan, andaikata saya sudah berpikir tentang materi, mungkin nasib saya lebih baik. Ya mudah-mudahan, nanti masih ada kesempatan untuk itu. Hidup seniman kita di mancanegara juga tidak gampang kok. Saya kenal Salim, seniman cukup kondang. Dia juga masih bekerja di kedutaan di Paris, melukis hanya di hari kosong, yaitu Sabtu, dan Minggu. Mungkin seniman Indonesia yang tinggal di sini, nasibnya lebih baik. Saya sendiri dulu juga

(14)

pegawai negeri. Tapi setelah banyak membuat animasi, dan menggambar, saya pikir saya ini banyak menyalahgunakan waktu kerja. Jadi lebih baik saya mengundurkan diri dari pegawai negeri dan wiraswasta.

Sebagai seniman wiraswasta, saya merasa lebih cocok dan mendapat kepuasan. Saya ini orangnya senang bila mengerjakan sesuatu yang baru, dan berhasil. Yang sampai sekarang banyak saya kenang, misalnya ketika pertama kali merasa bisa mendalang. Melakukan sabetan dengan wayang di tangan, rasanya wah...bukan main. Saya merasa berhasil membuat wayang itu hidup. Juga ketika pertama kali membuat animasi di Paris, saya senang sekali. Kok gambar saya itu bisa hidup di layar, ya! Bahkan ketika pertama kali bisa menabuh instrumen gender (gamelan), saya juga merasa senang dan bangga. Kalau sekedar saron atau kenong, atau gong, itu mudah. Tapi gender itu sangat khusus, memerlukan penghayatan yang dalam. Dan ternyata saya bisa. Begitu pula sukses saya dan seluruh rekan-rekan pembuat Unyil, saya rasakan sebagai anugerah yang besar sekali. Ternyata kami bisa membuat serial televisi yang digemari anak-anak. Indonesia ternyata bisa juga membuat film yang benar-benar sukses diukur dengan antusias anak-anak, dan lamanya serial itu ditayangkan. Setelah berhenti beberapa tahun, Si Unyil akan dibuat lagi. Rencananya tahun depan. Sekarang persiapan sudah dimulai. Mudah-mudahan bisa berhasil seperti dulu.

(15)

Gaya Melukis Saya, Figuratif-Naratif

Tak bisa disangkal, nama Suyadi lebih lengket ke sosok pencipta desain boneka “Si Unyil”, sekaligus pengisi suara boneka Pak Raden dalam film “Si Unyil”, daripada kapasitasnya sebagai perupa. Meski begitu, sarjana seni rupa ITB ini, tidak pernah meresahkan hal itu. Sebab, baginya penciptaan desain boneka Pak Raden serta film “Si Unyil”, juga suatu prestasi seni. Bisa jadi, itu semua lantaran Suyadi sejak kecil terobsesi dengan tokoh kartun Walt Disney. Ia senang menggeluti dunia anak-anak, meski dari balik layar. Ia juga mencipta buku atau komik anak-anak. Kini setelah film “Si Unyil” istirahat tayang, Suyadi lebih banyak meluangkan waktu untuk kembali melukis. Bahkan ia tengah mempersiapkan sebuah pameran lukisan. Berikut wawancara tokoh dengan Pak Raden...eh Suyadi.

Apakah sewaktu kecil Anda juga gemar menggambar?

Wah... lha iya. Dari mulai saya bisa memegang sesuatu benda, langsung maunya corat-coret. Besar sedikit, sudah mengenal kapur dan arang, wah...yang namanya tembok dan lantai tidak pernah luput dari coretan-coretan.

Hingga sekolah setingkat SLTA, saya masih gemar menggambar. Dan baru belajar melukis yang sebenarnya ya di ITB. Sebelumnya malah saya tertarik membuat ilustrasi. Sampai sekarang pun saya masih sering membuat ilustrasi.

(16)

Ihwal keterlibatan Anda dalam film boneka “Si Unyil”?

Ya...proses yang alamiah. Saya sendiri yang membuat tokoh Pak Raden, juga menulis skenario. Pokoknya sejak terlibat di film “ Si Unyil”, saya praktis berhenti melukis. Sekarang, setelah “Si Unyil” istirahat, saya berkesempatan lagi melukis.

Sebenarnya, apakah Anda pernah bercita-cita jadi pelukis?

Ah tidak. Waktu kecil saya ingat ketika ditanya Bapak, mau jadi apa, saya jawab, “Kalau tidak seperti Walt Disney ya...mau jadi dalang. Karena saya ini memang senang dunia anak-anak. Dan tokoh Walt Disney adalah tokoh idola saya sejak kecil sampai sekarang, tanpa pengaruh dari manapun. Sejak kecil saya suka komiknya, film kartunnya, pokoknya saya kagum sekali sama dia. Sebagai ilustrasi, saya paling sedikit bisa menonton sampai 10 kali film-film karya Walt Disney.

Ketika saya mendapat beasiswa belajar di Perancis pun, obsesi tentang Walt Disney tidak juga hilang. Sampai-sampai, sepulang dari Perancis, saya buat studio film kartun kecil-kecilan, sampai kemudian muncul, “Si Unyil”. Saya sendiri mendalami bidang ilustrasi dan animasi. Waktu itu, sempat ada kontroversi dalam diri saya, mau tetap mengajar di Bandung, atau ke Jakarta menekuni film “Si Unyil”. Dan akhirnya saya putuskan menggarap Si Unyil. Pertimbangannya sederhana. Kalau saya mengajar, paling yang saya hadapi satu kelas mahasiswa, tapi kalau saya menangani Unyil, yang saya hadapi anak-anak seluruh Indonesia.

(17)

Kembali ke soal lukisan. Sepertinya karya-karya Anda hendak menuturkan sesuatu?

Ya, saya pribadi mengibaratkan antara menggambar dan melukis ibarat, prosa dan puisi. Menggambar itu prosa, sedang melukis itu puisi. Dan, saya senang menggambar, bertutur, bercerita. Misalnya, saya membuat ilustrasi buku-buku atau desain boneka “Si Unyil”. Mungkin karena sejak kecil memang saya suka cerita, gemar dongeng. Saya juga mendalang. Nah, itu kan bertutur, bercerita. Sampai-sampai ketika saya melukis pun, itu terbawa-bawa. Sehingga lukisan-lukisan saya memang seperti bertutur, bercerita tentang suatu objek.

Lantas ke aliran mana Anda punya kecenderungan dalam berkarya?

Wah...ini.. Dulu lukisan jenis ini ada yang menyebut seperti ilustrasi tapi besar. Atau komentar-komentar yang lain, tapi saat ini tidak ada masalah. Orang bebas berekspresi. Saya sendiri menamakan lukisan saya, figuratif-naratif. Saya sebut figuratif karena bentuknya memang kelihatan, artinya bukan abstrak. Disebut naratif, karena lukisan saya memang bercerita, atau bertutur.

Objek apa yang sering Anda lukis?

Hampir semuanya tentang manusia. Saya seperti dilahirkan hanya untuk menyenangi manusia sebagai objek lukisan saya. Tentang ini, saya kira semua perupa punya sikap dan pilihan. Ada yang menggambar bunga, pemandangan, atau objek lain sesuai kehendak hati, kalau saya selalu ada manusianya.

(18)

Bagaimana proses Anda menemukan ide hingga ke penuangannya?

Ada yang hasil imajinasi, ada pula yang hasil observasi. Terutama dulu waktu muda, kemanapun saya pergi selalu membawa perlengkapan untuk melukis atau membuat sketsa. Saya sering keluar-masuk lokasi untuk membuat sketsa. Termasuk masuk ke lokasi-lokasi kesenian-kesenian tradisional untuk melukis.

Apa obsesi Anda?

Banyak. Tapi setidak-tidaknya, saya ingin melihat suatu saat sekolah khusus untuk pelukis komik.

(19)

Waktu Kecil Dijuluki “Anak Murah”

Ia lebih dikenal dengan nama Pak Raden, setelah kerap tampil seperti tokoh-tokoh ciptaannya dalam film boneka legendaris Si Unyil di TVRI. Ya, dia memang pencipta tokoh-tokoh dalam Si Unyil. Selain itu, ia juga dikenal sebagai illustrator, animator, dan tukang dongeng ulung. Kisah hidupnya yang amat menarik bisa Anda simak mulai nomor ini.

Puger. Tak ada yang bisa kuingat tentang daerah di pinggir pantai Selatan kota Jember (Jatim) itu. Padahal, disanalah ibuku, Koensadiah, melahirkanku 28 November 1932 sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ada lima lelaki dan empat perempuan dalam keluargaku. Orang tuaku sepakat memberiku nama Suyadi.

Sebenarnya wajar kalau aku tak punya banyak kenangan tentang Puger. Konon, menurut cerita keluarga, tak lama setelah ibu melahirkanku, ayahku, R.Sabekti Wirjokoesono di pindahtugaskan ke Surabaya. Waktu itu beliau bekerja sebagai pangreh praja, ya semacam penguasa daerah. Begitulah menurut orang-orang feodal. Sekarang jabatan seperti Bapak, disebut dengan lebih halus: pamong praja. Jabatan terakhir Bapak, adalah patih di Surabaya, setingkat di bawah bupati.

Aku sudah tak ingat lagi di mana kami tinggal di Surabaya. Yang jelas, rumah kami begitu asri. Daerahnya masih jarang penduduk. Jarak rumah satu dengan lainnya bisa satu kilometer. Meski begitu, jalanan sekitar rumah hampir semuanya beraspal.

(20)

Aku bahagia tinggal bersama Bapak, Ibu, lima kakak, dan dua adik. Kakak sulungku, Koen Soeparti Mardiono yang kini berusia 85 tahun, waktu itu sudah tinggal di Jakarta untuk sekolah kedokteran. Bisa dikatakan hampir seumur hidup ini, aku belum pernah tinggal seatap dengannya. Kami hanya bertemu kalau musim liburan sekolah saja.

Jarak kelahiran anak-anak Bapak rata-rata 3 – 4 tahun. Itu enggak direncanakan, lho. Terjadi secara alamiah saja. Jaman itu, kan belum kenal program penjarangan kelahiran. Makanya tak aneh kalau saat aku lahir, kakak sulungku sudah jadi mahasiswa. Begitu juga kakak kedua, dan ketiga. Hanya karena kuliahnya di Surabaya, mereka masih tinggal serumah dengan Bapak dan Ibu. Kakak keduaku belajar di sekolah pangreh praja, sedang yang ketiga di Rechtskundige Hoge School (sekolah hukum).

Bicara soal pendidikan, Bapak orang yang sangat moderat. Beliau tidak membedakan lelaki atau perempuan. Prinsipnya, tiap anak berhak mendapat pendidikan terbaik. Terbukti, saat orang tua lain berpikir lekas-lekas menikahkan anak perempuannya, Bapak malah punya anak perempuan yang sudah kuliah kedokteran. Kelak Mbak Koen Soeparti menjadi dokter dan ginekolog perempuan pertama di Indonesia. Kakakku nomor enam, Mbak Kartini Sabekti juga bisa dikatakan berhasil. Ia pernah menjabat sebagai konsul jenderal di Kanada. Kini, ia memilih jadi pelukis professional.

Main Sepatu Roda

Meski sunyi, karena jarang tetangga, aku senang tinggal di rumah, masa kecil itu. Tempat bermainnya sangat luas. Di sisi kanan kiri tempat tinggal kami terhampar

(21)

tegalan yang begitu luas. Sedangkan sebelah depan terdapat lapangan. Disitulah biasanya aku bermain.

Asyiknya lagi, waktu sudah masuk sekolah, aku tak pernah mendapatkan PR. Kukira semua kakakku pun demikian. Bisa jadi sekolah jaman dulu memang tidak kenal PR. Makanya, sepulang sekolah, aku bias langsung main sesuka hati. Apalagi Bapak bukan tipe orang tua yang cemas melihat anaknya kebanyakan main. Beliau justru membiarkan anak-anaknya bersenang-senang.

Dibandingkan saudaraku, aku merasa cukup berbeda. Terutama soal pilihan permainan. Kalau saudara lelakiku yang lain gandrung sepak bola, aku justru benci permainan itu. Aku juga tidak suka main layang-layang bersama mereka. Saat mereka menerbangkan layangannya di lapangan depan rumah, aku menonton saja. Tak ada keinginan sedikit pun ikut main.

Kalau main kelereng, dan kasti sebenarnya aku suka. Sayangnya, tiap main aku selalu kalah. Lama-lama,kan, bosan. Bagiku, kegiatan yang tak pernah membosankan hanya sepatu roda dan menggambar. Hampir tiap hari kuhabiskan waktu bermain sepatu roda di jalan-jalan beraspal bersama Hartono, tetangga sekaligus teman baikku. Ia jauh lebih tua dariku. Namun kami kompak.

Tiap pulang sekolah, aku berteriak memanggilnya. Lucu juga mengenang masa-masa itu. Rumah Hartono, kan jauh sekali. Tapi herannya, ia bisa mendengar ajakan mainku. Mungkin saking sunyinya suasana sekitar. Kami hampir selalu pulang malam karena

(22)

keasyikan main sepatu roda. Bila tak main sepatu roda, aku suka menghabiskan waktu dengan alat-alat gambar.

Karena hobi menggambar itulah, aku dijuluki “anak murah” oleh saudara-saudaraku. Begini ceritanya, tiap habis gajian, Bapak biasanya mengajak anak-anak ke kota untuk belanja apa saja yang kami inginkan. “Apa yang kamu mau?” Tanya Bapak padaku. Aku pasti menunjuk pensil berwarna, buku gambar, dan perangkat menggambar lainnya. Sementara saudaraku yang lain lebih senang baju dan barang-barang yang jauh lebih mahal. Dari situlah julukan “Anak murah.” Begitu senangnya, sampai tidur pun kupeluk alat-alat gambar itu. Meski senang menggambar, seingatku, aku tidak pernah berprestasi di bidang ini. Maklum, jaman tersebut kesempatan maju sangat sempit. Apalagi setelah itu, terjadi revolusi. Sebetulnya, pas jaman Jepang, aku pernah kok, mendapatkan prestasi di bidang gambar. Hanya saja aku lupa detailnya.

Kenal Kesenian Jawa

Bapak dan Ibu senang sekali mendongeng buat kami. Tempatnya bisa di teras rumah atau kamar. Ada saja yang didongengkan. Cerita kesukaan Ibu adalah Timun Emas. Kalau Bapak lain lagi. Beliau lebih senang menceritakan kisah pewayangan. Para pembantu di rumah kami pun senang mendongeng buat kami. Nah, kalau mereka ini suka dongeng mistik tentang desanya. Pokoknya yang serem-serem, semisal tentang alam lelembut. Meski merinding, kami senang mendengarnya. Bahkan sering menagih dongeng mereka di lain waktu.

(23)

Sebagai anak pangreh praja, aku beroleh kesempatan pendidikan yang cukup. Sebelum masuk pendidikan dasar, bapak memasukkanku di Prober klas dan Voor klas, setingkat TK kecil dan besar. Setelah usiaku tujuh tahun, tahun 1939, aku masuk pendidikan tingkat sekolah dasar, yaitu Europese Lagere School (ELS).

Di kelasku hamper seluruh muridnya berkulit putih. Hanya dua yang berkulit coklat, yaitu aku dan seorang anak perempuan yang aku lupa namanya. Biarpun kami berbeda warna, guru-guru tak pernah membedakan kami. Apa sebab? Dibandingkan siswa-siswa lainnya, kami berdua justru yang terpandai di kelas.

Namanya juga sekolah penjajah Belanda, maka semua pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda. Guru – guru kami pun semua orang Belanda. Tahun 1942, Jepang menyerbu. Semua sekolah Belanda ditutup. Terpaksa aku berhenti sekolah. Untunglah tak lama kemudian di kampung-kampung didirikan sekolah kampung yang didirikan swasta. Aku pun melanjutkan belajar di sekolah kampung ini. Di sinilah, aku mulai belajar bahasa Jawa, dan mengenal beberapa kesenian Jawa.

Kira-kira setahun, belajar di sekolah kampung, Jepang membuka sekolah-sekolah pemerintah bagi anak-anak Indonesia. Sekolah dasar waktu itu, masih bernama Sekolah Rakyat (SR). Aku pun kembali mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Kali ini bahasa pengantarnya bahasa Jepang. Kebanyakan murid-muridnya pernah sekolah di sekolah Belanda.

(24)

Belajar Tari dan Dalang

Kekacauan kembali menimpa Tanah Air. Tahun 1945, Sekutu mendarat di Indonesia. Perang terjadi di mana-mana, termasuk Surabaya. Kami sekeluarga meninggalkan Surabaya, pindah ke Madiun, rumah kakek dari garis Ibu. Kala itu, kakek-nenek dari pihak Bapak sudah tiada. Oh ya, sebenarnya nenek moyang kami memang berasal dari Madiun. Sebelumnya kami secara berkala main ke rumah Kakek. Biasanya, sih pas Lebaran.

Diantara keluarga besar kami, tak hanya keluargaku yang mengungsi ke Madiun. Maklum, perang ada di mana-mana. Keluarga Ibu dari Semarang, dan Surabaya juga mengungsi ke rumah kakek yang terletak di jalan Madura. Sekarang, sih, nama jalannya diganti Jl. Sudirman. Rumahnya juga sudah dijual.

Meski ditempati beberapa keluarga, kami tidak harus berdesak-desakan. Rumah kakek sangat luas. Di dalamnya ada rumah utama, pavilion, dan sebuah rumah lagi di belakang rumah utama. Keluarga kami tinggal di rumah utama. Keluarga dari Semarang di paviliun samping, sedang saudara dari Surabaya tinggal di rumah belakang.

Suasana rumah Kakek yang tadinya senyap, berubah menjadi ramai. Bayangkan saja, semua keluarga boyong ke situ beserta para pembantu. Meski tinggal di rumah pengungsian, acara mendengar dongeng masih terus berlanjut. Terutama dongeng dari para pembantu. Kami bahkan sering bertukar pembantu. Pembantu dua keluarga lainnya sering mendongeng untuk kami. Sebaliknya pembantu kami pun sering “dipinjam” mendongeng di tempat dua keluarga lainnya. Seru, ya.

(25)

Tiga tahun kami tinggal di rumah Kakek. Sempat aku melanjutkan sekolah setingkat SMP. Waktu itu, bahasa Indonesia sudah dipakai sebagai bahasa pengantar. Proklamasi sudah dikumandangkan. Tak banyak yang kuingat tentang masa SMP. Aku justru ingat, tempatku bermain. Sepulang sekolah, aku sering bermain ke kebupaten. Di sana ada semacam sanggar kesenian Jawa bernama Siswosukulo.

Karena sering nongkrong di sana, kegemaranku pada seni semakin tumbuh. Aku mulai belajar menari. Yang lebih menyenangkan, aku mulai belajar mendalang. Senang sekali rasanya.

(26)

Belajar Film

Drs. “Pak Raden” Suyadi, tamat SMA, belajar Seni Rupa di ITB Bandung. Selama kuliah, ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dari hasil kepintarannya menggambar. Ia pun mendapat beasiswa ke Perancis untuk belajar film animasi.

Selama tinggal di pengungsian, ada satu peristiwa yang begitu memedihkan kami. Bapak jatuh sakit sampai meninggal dunia. Tentu saja, kami sekeluarga amat berduka. Tak terasa, tiga tahun, kami tinggal di pengungsian. Setelah situasi aman, kami sekeluarga kembali ke Surabaya. Saat itulah, kesedihan kembali membayangi. Waktu kami mengungsi, Bapak masih bersama kami. Namun pulangnya, tanpa beliau.

Sampai di Surabaya, kesedihan belum berakhir. Rumah kami hangus terbakar. Rupanya, saat kami tinggalkan, rumah kami dijadikan markas para pemuda. Ketika tentara Sekutu mengetahuinya, mereka membakar rumah kami. Akhirnya kami hanya menempati garasi yang masih utuh. Selebihnya, kami biarkan tetap jadi puing-puing karena kami tak bisa membangunnya.

Meski keluarga kami kurang beruntung, aku masih bisa melanjutkan sekolah ke Voorbereidend Hoger Onderwijs (setingkat SMA atau sekolah persiapan masuk perguruan tinggi). Berbeda dengan Madiun, di Surabaya masih ada sisa-sisa orang Belanda. Tidak ada, sekolah berbahasa Indonesia.

(27)

Aku mengambil bagian IPA. Nilai-nilaiku cukup baik. Aku merasa beruntung, bisa menamatkan sekolah pada tahun 1952, karena situasi relatif aman. Di antara saudara-saudara, hanya kakak nomor dua dan tiga yang gagal menamatkan sekolah karena situasi tanah air yang kacau.

Giat Mengikuti Seni

Meski dari jurusan IPA, aku sangat berminat melanjutkan kuliah di bidang gambar. Seorang saudaraku memberikan informasi tentang sekolah seni rupa di Bandung, yaitu di Technische Hogeschool, yang sekarang dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB). Setamat VHO, aku mengikuti tes masuk di sana. Sebelumnya, aku sempat mampir ke rumah kakakku yang tinggal di Jakarta.

Agustus 1952, aku resmi masuk Seni Rupa ITB yang waktu itu bernama Universitare Opreding Uurportenakelaire atau Pendidikan untuk Guru Gambar. Selanjutnya namanya berubah menjadi Fakultas Arsitektur dan Seni Rupa. Kemudian berubah lagi menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Mulailah aku menikmati masa-masa menjadi mahasiswa. Selama di Bandung, aku tinggal di Asrama Mahasiswa Ganesha bersama mahasiswa lain yang kebanyakan berasal dari bidang eksata. Selain kuliah, aku banyak berkecimpung di bidang kesenian. Kegemaranku nonton pertunjukan atau belajar kesenian tak pernah padam. Aku bersyukur dapat tempat untuk menyalurkan hobiku di sebuah sanggar di Jalan Naripan. Kalau enggak salah, nama sanggarnya Jiwa Mukti.

(28)

Selain ke sanggar, aku juga senang bermain di kelompok-kelompok teater. Aku tak menjadi anggota kelompok teater. Aku datang sekedar menonton. Yang paling sering kudatangi, adalah Studi Klub Teater Bandung dengan salah satu tokohnya Jim Lim.

Kebetulan, markasnya tak jauh dari kawasan Naripan. Aku juga sering main di Jalan Pungkur. Di sana, ada perkumpulan wayang orang mahasiswa. Pokoknya, kegiatan apapun yang berbau kesenian sering kudatangi.

Ditambah lagi, waktu itu enak keliling Bandung. Jalan-jalannya masih lenggang, dan udaranya segar. Tak seperti sekarang, macet dan penuh polusi. Kalau mau ke Naripan, aku tinggal mengayuh sepedaku dengan santai. Selain berkesenian, aku sangat gemar berenang. Tak jauh dari asrama terdapat kolam renang. Asrama kami terletak di daerah lebih tinggi dari kolam. Jadi, kolam itu terlihat dari atas, seakan memanggilku untuk menceburkan diri. Sekarang hobi renang, sudah tak kulakukan lagi, makanya tubuhku jadi melar.

Animasi di Perancis- Kuliah Terbengkalai

Aku termasuk mahasiswa yang lama menyelesaikan kuliah. Kalau dihitung-hitung, ada delapan tahun. Persisnya lulus tahun 1960. Bukan karena tak mampu secara akademis. Selain kuliah, waktuku juga habis untuk bekerja. Aku harus bekerja untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Tentu, pekerjaan yang kulakukan tidak lepas dari keahlianku menggambar.

(29)

Semula aku bekerja di perusahaan keramik Mayorika di Cipaganti, Bandung. Di sana, aku mendesain gambar keramik. Ada beberapa teman yang juga bekerja di sana. Kami bekerja dengan sistem freelance. Setelah itu, aku bekerja menjadi illustrator majalah Puspa Wanita. Media ini merupakan salah satu terbitan kelompok Pikiran Rakyat.. Tiap hari, aku bekerja di Jalan Cipunegara 12. Tak hanya itu, aku pun ditawari menjadi staf illustrator khusus untuk buku anak-anak di penerbitan Djambatan. Pekerjaan itu kudapatkan dari rekanku Betty Pamuncak. Kebetulan, ia adalah adik dari salah seorang pemilik penerbitan Djambatan.

Tanpa kusadari, kuliahku menjadi terbengkalai. Pekerjaan illustrator malah jadi kegiatan utama. Sampai ada dosenku, yang mengingatkan, “ Sudahlah, kamu kurangi kerja. Kalau begitu terus, kuliahmu tak selesai-selesai.” Nasihat itu kuturuti. Oh ya, tahun 1958, aku mendapatkan informasi ada beasiswa dari pemerintah Perancis untuk belajar animasi di sana. Aku pun mendaftar. Lama kutunggu, tak juga ada pengumuman. Sampai kuliah selesai, aku tak juga dipanggil.

Setelah gelar sarjana kuraih, seorang teman menawariku pekerjaan juru gambar di Teaching Aids Center (TAC) akhir 1960. Sebelumnya, dia memang telah bekerja di TAC, yang saat itu berkantor di Jl. Diponegoro, Bandung. TAC adalah semacam instansi yang mendesain alat-alat bantu yang bisa dipakai sebagai alat peraga di sekolah. Ini merupakan program UNESCO yang kemudian masuk dalam bagian Pendidikan Nasional.

(30)

Tanpa pikir panjang, tawaran ini kusetujui. Apalagi bidang yang ditawarkan, cukup menggiurkan. Tugas kami hanya membuat maketnya, tidak sampai memproduksi. Selain itu, kami juga mengajar guru-guru agar bisa membuat sendiri.

Dua Puluh Empat Gambar Tiap Detik

Setahun bekerja di TAC, aku mendapat kejutan yang tak terbayangkan. “Anda sudah bisa siap-siap belaajr di Paris,” ujar seseorang via telepon. Ternyata, beasiswa yang kuajukan dua tahun sebelumnya disetujui. Sakung lamanya, aku malah sudah melupakannya. Tentu saja, terlalu sayang kesempatan ini kusia-siakan.

Itu sebabnya, aku langsung menghadap pimpinan TAC. Kuutarakan niatku belajar bidang animasi di Paris. Betapa senangnya ketika pimpinanku setuju. Bahkan, sepulang dari Paris, aku masih diberi kesempatan bergabung di TAC. Penjelasan pimpinanku membuatku bertambah lega. Aku bisa belajar sekaligus, tak kehilangan pekerjaan.

Hari yang kutunggu, pun akhirnya tiba. Bersama beberapa mahasiswa dari Bandung, aku berangkat ke Paris. Mereka, mahasiswa bidang bahasa dan Sastra. Sedangkan yang dari seni rupa hanya aku sendiri. Sesampai di Paris, Cooperation Technique yang mensponsori keberangkatan kami, memberikan kami tempat tinggal di sebuah mess di Avenue de la Motte Piquette. Yang tinggal di mess ini, hampir semuanya orang Asia. Mess yang kutempati, terletak di tengah kota, dekat menara Eiffel. Begitu keluar, menara itu langsung terlihat.

(31)

Uniknya, Pemerintah Perancis sempat bingung, aku mau ditempatkan di mana. Pasalnya, di sana belum ada pendidikan khusus bidang animasi. “Lebih baik, Anda belajar di studio-studio yang ada. Nanti, akan kami carikan studionya,” tutur salah seorang dari Cooperation Technique. Selanjutnya, aku ditempatkan di sebuah studio besar di Les Cineastes Associes. Studio ini sering membuat iklan kartun untuk Eropa. Aku bisa dikatakan magang di sana.

Tak lama aku belajar di sana, hanya selama 2,5 bulan. Pasalnya, studio itu terlalu besar. Setiap orang, sudah mendapat tugas masing-masing. Ini cukup menyulitkanku, yang ingin mempelajari semua hal. Meski demikian, banyak hal baru yang kupelajari. Dan aku semangat sekali. Begitulah sifatku. Aku selalu bersemangat, jika mempelajari hal baru.

Banyak pengalaman mengesankan selama aku bekerja di Cineastes Associes. Salah satunya pengalaman menakjubkan, yang tak bakal kulupakan. Untuk pertama kalinya, aku melihat gambar buatanku bergerak. Memang, sih, aku tak bisa membedakan hasil karyaku dengan karya orang lain. Karena hasil film animasi yang sudah jadi, adalah hasil kerja satu tim.

Agar mendapatkan pengetahuan dan ilmu yang menyeluruh pada tiap bagian pembuatan animasi, makanya aku pindah ke studio kecil yang tak mengenal pembagian kerja. Selanjutnya aku bekerja di studio Les Films Martin-boschet Mosvia selama sekitar tiga tahun. Aku sempat pindah mess ke Boulevard Mont Parnasse, yang juga terletak di tengah kota.

(32)

Aku betah belajar di sana, karena bisa mendalami segala unsur animasi. Mulai menggambar dekor, rancang tokoh, mengisi bagian kosong yang belum digambar, merancang gerak, memberi warna, memindahkan gambar ke seluloid, menjadi juru kamera, dan lainnya. Wah, panjang sekali urutannya. Yang jelas, kuncinya ada pada animator.

Semua pekerjaan membuat gambar animasi dilakukan secara manual. Untuk satu detik adegan, aku harus menggambar 24 gerakan. Meski njelimet, aku tidak bosan, karena memang menyukainya.

Gaji kecil

Sebetulnya, aku hanya mendapat beasiswa selama sembilan bulan. Namun, tiap kali waktunya berakhir, aku selalu memperpanjang selama enam bulan. Tak terasa, tiga tahun lebih, aku tinggal di Paris. Suatu hari, aku berniat memperpanjang lagi beasiswaku, ternyata masa perpanjangan telah berakhir. Artinya aku harus membiayai hidupku sendiri, kalau masih ingin tinggal di Paris. Soalnya, tempat tinggal di mess juga harus segera kutinggalkan.

Masalah ini kubicarakan pada pimpinan di Les Films Martin, bahwa beasiswaku telah habis. Tetapi aku masih ingin meneruskan belajar. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku minta studio membayar pekerjaanku. Selama ini statusku, kan, magang. Jadi kerja tanpa mendapat bayaran.

(33)

Syukurlah, pihak studio tak keberatan. Aku dipersilakan terus bekerja, tapi dengan gaji kecil. Pemerintah Perancis memang sangat memperhatikan pekerjanya. Gaji mereka, jauh lebih besar daripada pekerja asing. Bahkan sebenarnya, orang asing tidak diperkenankan bekerja di sana, kecuali ada ijin dari Pemerintah Perancis.Sedangkan aku bekerja hanya mendapatkan persetujuan pihak studio. Makanya, aku bisa dikatakan, aku bekerja secara illegal. Makanya cuma digaji kecil.

Soal pekerjaan sudah dapat di atasi. Tak lama kemudian, aku pindah apartemen baru di Rue du Foin, yang lokasinya agak masuk. Dibandingkan tempat tinggal sebelumnya, apartemen ini agak sepi. Aku menyewa patungan dengan seorang penulis Perancis, Jack Thienloy. Kami pertama bertemu di sebuah acara seni budaya. Kebetulan Jack juga hadir. Lantas, kami mengobrol, dan ternyata ia juga sedang mencari tempat tinggal. Jadilah, kami di apartemen yang sama.

(34)

Pengalaman Dipukuli Anak-Anak

Film seri boneka Si Unyil laris luar biasa. Tawaran berpentas pun, bertubi-tubi diterima Suyadi. Setelah Si Unyil tak lagi ditayangkan, perlahan-lahan tawaran manggung menyusut. Sekarang waktu Suyadi dihabiskan untuk mengajar, melukis, serta merawat kucing-kucing kesayangannya. Sebelumnya ingin kuluruskan cerita tentang aku ditawari pihak TVRI membuat film boneka. Yang benar film Si Unyil bukan diproduksi TVRI, tapi Perum Produksi Film Negara (PPFN). Ide film boneka ini datang, dari direktur PPFN, G.Dwipayana. Sedangkan pencipta cerita Si Unyil adalah Pak Kurnain Suhardiman. Aku berperan sebagai pembuat boneka tokoh-tokoh Si Unyil, sekaligus art director. Selanjutnya, film boneka ini ditayangkan di TVRI.

Sukses Si Unyil tentu saja, berkat kerja keras seluruh tim produksi. Banyak masukan dari teman-teman agar kisah Si Unyil makin menarik. Semula, semua tokoh dalam Si Unyil berwatak baik. Namun, seorang teman berpendapat, “Ganjil rasanya, kalau dalam cerita semua tokohnya baik-baik.” Terpikirlah oleh kami, menampilkan tokoh yang antagonis.

Memang benar, cerita akan tambah menarik, bila muncul tokoh antagonis. Ada teman yang mengusulkan, agar kami membuat satu tokoh lagi yang bersifat jelek. Kami pun ramai-ramai menyumbangkan ide, bagaimana sebaiknya karakter tokoh antagonis ini. Ada yang mengusulkan tokoh itu sebaiknya congkak, kikir, dan suka marah-marah.

(35)

Ada juga yang mengusulkan agar si tokoh, sering dijadikan bulan-bulanan, kuno, dan feudal. Pokoknya sifat yang tidak bisa dijadikan panutan. Namun, ada yang tidak puas. Masa iya, ada orang yang memiliki sifat sejelek itu. “Betul juga. Bagaimana kalau kita buatkan dia juga punya sifat baik,” usulku. Nah, sifat baik ini, kami gambarkan bahwa tokoh itu, suka kesenian seperti menyanyi, dan menggambar. Satu lagi, karena tidak punya anak, tokoh yang suka marah-marah ini suka bermain dengan anak kecil. “Semua sifat buruk, dan baik sudah lengkap kami dapatkan.” Tugas kami selanjutnya, adalah memberi nama. “Pokoknya jangan sampai menggunakan nama etnis. Bisa-bisa nanti, ada yang tersinggung,” kata seorang teman mengingatkan. Namun, aku malah mengusulkan nama Pak Raden, gelar kebangsawanan dalam masyarakat Jawa. Kurasa orang Jawa tak bakal tersinggung. Ternyata, teman-teman menerima usulku. Akhirnya, jadilah tokoh antagonis bernama lengkap Pak Raden Mas Singomenggolo Jalmowono. Kupikir nama itu enggak bakalan membuat orang marah, karena memang kental warna humornya. Kalau orang paham arti nama itu pasti akan tertawa. Ingin tahu? Ya, artinya adalah “seorang keturunan raden yang memimpin bagaikan singa, cuma yang dipimpin adalah orang utan.”

Dibenci Tapi Dikangeni

Karakter dan nama sudah jadi. Lantas siapa pengisi suaranya? Kami memang tidak mempersiapkan pengisi suaranya. Beberapa orang, kami minta mengisi suara Pak Raden. Namun tidak ada yang cocok. Ada yang mengusulkan aku saja pengisi suaranya. Setelah kucoba, langsung saja ada yang berteriak,” Nah, inilah yang pas.” Ya, sudah, aku pun bersedia. Selanjutnya banyak tokoh boneka baru yang kami buat. Antara lain, sosok Pak Ogah, Ableh.

(36)

Seiring sukses Si Unyil, banyak permintaan agar kami tampil diatas pentas. Nah, para pengisi suara Si Unyil pun tampil sebagai tokoh boneka yang kami isi suaranya. Makanya, aku juga sering tampil dengan gaya Pak Raden. Atribut yang kukenakan kuusahakan semirip mungkin. Lengkap dengan kumis sekepal, blangkon, baju lurik, serta tongkat yang selalu dijinjing. Pendukung Si Unyil lainnya juga berdandan ala tokoh yang dimainkan. Sebagian besar di antara kami tidak menyerahkan urusan make up ke penata rias. Kami membiasakan untuk merias wajah sendiri. Toh, tanpa perias, kami sanggup tampil bagus, dan bisa manggung sampai di daerah-daerah. Soal kostum, aku punya enam stel. Baju-baju itu ukurannya berbeda-beda. Habis aku cepat sekali kurus, dan cepat sekali gemuk.

Banyak pengalaman lucu kualami, selama tampil menjadi Pak Raden. Tahu sendiri, kan, Pak Raden bukan tokoh panutan. Banyak yang benci Pak Raden. Namun, banyak pula yang merindukan. Tidak percaya? Buktinya, kalau aku dan teman-teman manggung, penonton pasti mencari-cariku. ”Mana Pak Raden yang suka marah-marah itu?” teriak seorang lelaki. Betulkan? Meski kesal dengan karakter Pak Raden, tapi dia merindukannya. Yang jelas, sekesal apapun penonton, aku belum pernah kena timpuk. Namun, aku pernah, lho, dipukul anak-anak. Ceritanya, dalam suatu episode Si Unyil diceritakan Pak Raden marah-marah pada Kinoy, adik Si Unyil. Saking marahnya, Pak Raden memegang baju Kinoy sampai robek. Tak berapa lama setelah penayangan episode itu, aku keluar rumah dengan pakaian Pak Raden, karena hendak memenuhi undangan pentas. Waktu itu, aku tinggal di Jalan Kebon Nanas Utara. Seperti biasa, aku memanggil becak untuk mengantarkanku ke jalan raya. Tidak tahunya, setelah duduk di atas becak, anak-anak melihatku. Mereka langsung mengejar, dan memukuliku sambil

(37)

berteriak-teriak,”Kembalikan baju Kinoy! Kembalikan baju Kinoy!” Begitulah, karakter Pak Raden jadi makin melekat padaku.

Encok Sering Kumat

Semasa Si Unyil Berjaya, aku sering kali mendapat tanggapan. Bayangkan saja, dalam seminggu, aku bisa mendapat delapan kali undangan. Berkat Si Unyil, pula aku bisa keliling Indonesia. Tentu saja, aku menggunakan kostum Pak Raden dalam acara anak-anak. Ada juga sih, yang memintaku menjadi MC, tanpa harus berpakaian Pak Raden.

Sungguh bahagia film Si Unyil sukses luar biasa. Ada lagi yang membuatku bahagia. Berkat Si Unyil, proyek film animasi Timun Emas yang tersendat-sendat bisa ditayangkan. Sekitar tahun 1984, ada teman yang mengingatkan, “Kenapa tidak kamu ikutkan saja Timun Emasmu dalam Si Unyil?” Langsung saja aku menyahut,”Wah, kalau bisa, kenapa tidak.” Dengan penuh semangat, aku melanjutkan Timun Emas hingga selesai. Lantas bagaimana caranya menunjukkannya dalam cerita Si Unyil? Tim produksi Si Unyil tentu saja tak kehabisan akal. Dikisahkan Bu Raden suka sekali mendongeng Timun Emas buat anak-anak. Waktu Bu RAden mendongeng itulah, ditampilkan visualisasi animasi Timun Emas. Senang sekali rasanya, film animasi garapanku, akhirnya bisa ditonton orang.

Waktu terus berlalu. Sampai akhirnya, Si Unyil tak lagi ditayangkan. Bisa jadi, karena masanya sudah lewat, ya. Harus kuakui, sejak Si Unyil tak lagi ditayangkan tawaran manggung kian menyusut. Apalagi sekarang, tawaran menjadi Pak Raden sangat sedikit. Kalaupun ada yang mengundang ke pesta ulang tahun anak, kurasa bukan kehendak si

(38)

anak. Tapi kehendak orang tuanya. Anak-anak sekarang, mana kenal dengan tokoh Pak Raden? Memang, ada beberapa acara anak-anak di televisi, yang masih mengundangku tampil. Misalnya, Cerita Anak Bangsa. Di sana, aku diminta mendongeng, sambil membuat ilustrasi. Ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Aku, kan illustrator. Saat mendongeng, pun maunya sambil menggambar. Dulu aku juga ikut mengisi acara yang dipandu Ria Enes, dan Susan serta acara Arena 1,2,3 di TVRI. Selain itu, aku masih juga diundang dalam acara mendongeng untuk anak-anak.

Beberapa kali, aku pernah main sinetron. Hanya saja, aku lupa judulnya. Sekarang, kalau ada yang menawariku main sinetron, rasanya badanku sudah tidak kuat. Apalagi sekarang, penyakitku sering kumat. Masih ingat dulu, Pak Raden, encoknya sering kumat? Ternyata, sekarang aku sering kena encok. Sakit sekali, kalau sudah kumat. Tentu saja, aku segera periksa ke dokter. Oleh dokter, aku disarankan menurunkan berat badan. “Kasihan kaki Bapak, tidak kuat lagi menahan berat badan yang terlalu gemuk. Makanya diet, Pak.” Begitu saran dokter. Tentu saja aku mendengarkan saran dokter. Sekarang, aku mulai mengurangi makanan yang masuk. Lumayan, beratku sudah menjadi 65 kg.

Masuk Museum Wayang

Setelah masa Unyil lewat, aku baru sadar, selama ini aku telah banyak meninggalkan kegiatan melukis. “Kenapa tidak kumulai lagi,” pikirku saat itu. Sejak itu, aku kembali melukis. Dalam waktu dekat, aku ingin mengadakan pameran tunggal. Semua lukisan bertema dunia panggung. Ada lukisan tentang atraksi di atas panggung, rampak kendang, kamar hias, dan lain sebagainya. Aku memang suka melukis tentang kesenian

(39)

dan anak-anak. Ciri khas lukisanku, selalu ada tokohnya. Pasti ada gambar manusia, yang tengah melakukan kegiatan. Aku tidak suka menggambar bunga. Tapi kalau menggambar penjual bunga, aku suka.

Sekarang aku bersyukur, sejak pindah rumah, semakin banyak inspirasi kudapat. Tahun 1998, lalu aku pindah ke Jalan Kebon Nanas Selatan. Nah, setiap pagi di depan rumahku, kan ada pasar dadakan. Temanku pernah bertanya,” Kamu tidak pusing punya rumah di depan pasar?” Aku balik bertanya,”Kenapa harus pusing?” Aku justru sering mendapat ide melukis dengan melihat pasar.” Sayang, aku tak tahu lagi, dimana lukisan hasil karyaku dulu. Aku, kan, sudah belajar melukis beneran sejak tahun 1953. Hanya satu lukisan yang berhasil kutemukan di rumah kakakku. Meski sudah tua, aku masih menyimpannya. Aku suka malu melihatnya. Maklum, lukisanku masih jelek.

Selain melukis, sekarang aku giat membuat tokoh-tokoh boneka Si Unyil, untuk dipajang di museum wayang. Pihak museum yang memintaku. Ada beberapa orang yang membantuku, membuatkan boneka. Sambil memenuhi permintaan museum, tak ada salahnya aku membuat boneka-boneka tersebut untuk koleksi pribadi. Terus terang aku tak punya koleksi lengkap tokoh-tokoh boneka Si Unyil. Semua boneka yang kubuat, dulu, kan bukan milikku. Tapi sudah menjadi inventaris kantor. Aku juga sedang konsentrasi menggarap kembali buku anak-anak karyaku. Sedangkan film animasi, aku sudah tak lagi membuatnya. Paling-paling aku menjadi penasehat saja.

(40)

Kucing Selalu Bertambah

Sejak awal tahun lalu, aku kembali diminta menekuni dunia pendidikan. Aku mengajar Fakultas Film dan televisi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan Fakultas Desain, Universitas Pelita Harapan (UPH). Tawaran mengajar ini datangnya bersamaan. Aku mengajar ilustrasi dan animasi. Sayang, aku tak bisa melihat perkembangan mahasiswaku dengan cermat. Mengapa begitu? Di UPH, misalnya aku mengajar ratusan mahasiswa di satu kelas. Di IKJ, masih lumayan karena mahasiswanya tidak begitu padat. Aku mengajar IKJ, dan UPH seminggu sekali. Biasanya, aku pulang pergi, aku diantar supir.

Masih ada lagi hobiku, di bidang kesenian, yaitu menyanyi. Teman-teman juga banyak yang tahu hobiku. Makanya, setiap datang ke suatu undangan, oleh teman-teman, aku selalu diminta menyanyi. Sebagai orang yang lahir di jaman tempo dulu, tentu saja aku senang menyanyikan lagu-lagu tua.

Saking sukanya menyanyi, sambil melukis, aku melantunkan lagu sesuai dengan objek yang kulukis. Bila melukis konser dangdut, ya berdendang dangdut. Dari sekian banyak lagu, aku paling suka lagu When You Wish Upon A Star. Entah, kenapa, kalau hati sedang sumpek,aku kembali ceria setelah menyanyikan lagu tema film kartun Pinokio karya Disney ini. Aku sendiri tidak tahu kenapa, aku menyukai lagu ini.

Sekarang, aku tinggal ditemani seorang pembantu lelaki, dan kucing-kucing peliharaan yang lucu-lucu. Tak seorang anak pun di sini. Sampai sekarang, aku masih melajang. Aku tidak tahu kenapa memilih hidup seperti ini. Mungkin juga, aku pernah patah hati.

(41)

Ah, aku tidak tahu. Barangkali, tidak ada yang mau padaku. Kendati demikian, aku tak pernah kesepian. Aku senang bermain-main dengan kucing-kucingku. Baru-baru ini, kucing di rumahku melahirkan anak banyak sekali. Setiap saat, kucingku selalu bertambah. Kurasa orang-orang, di sekitar rumahku, juga tahu kalau aku senang kucing. Sering aku, menemukan kucing baru di halaman rumah. Tampaknya, mereka sengaja melemparkan kucing itu, biar kupelihara. Aku pun tidak tega mengusir kucing lemparan itu. Aku jarang sekali bertemu dengan saudara-saudaraku. Rasanya memang susah ketemu orang di Jakarta. Meski begitu, setiap Lebaran kusempatkan berkunjung ke rumah kakakku yang tertua. Di sana, aku biasa bertemu keluarga yang lain. Kumpul rame-rame. Itulah hari yang menyenangkan buatku.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui algoritma yang dapat digunakan sebagai paremeter-paremeter pendukung curah hujan estimasi, membandingkan pola curah hujan estimasi

Teks narrative dalam buku pelajaran Bahasa Inggris tidak hanya bisa digunakan untuk mengenalkan sastra pada siswa, namun juga bisa digunakan untuk mempelajari

Dari percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan A dengan konsentrasi akar tuba segar 1 ppm merupakan waktu rata-rata kematian ikan nila terlama dan perlakuan D

Telah dilakukan analisis tekstur pada bulk Stainless Steel 316-L (SS 316-L) menggunakan metode difraksi neutron.. Keberadaan fasa yang terbentuk didalam cuplikan SS

Tercatat 10 insiden angin puyuh menyebabkan satu kematian dan 121 orang mengungsi - enam persen dari jumlah total orang yang terkena dampak bencana alam pada bulan Mei..

Pada gambar 4 merupakan data nilai tukar mata uang Dollar AS terhadap Rupiah yang digunakan pada penelitian ini adalah data dari tanggal 5 Januari 2009 sampai dengan 27

Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anzaki (2016), yang menyatakan bahwa faktor keuangan dan non keuangan berpengaruh terhadap