• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 5 Prospek Pengelolaan Pangan Alternatif 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2 5 Prospek Pengelolaan Pangan Alternatif 2007"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK PENGELOLAAN GARUT (Maranta arundinacea L.), GANYONG (Canna edulis Ker.) DAN SUKUN (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) SEBAGAI

SUMBER BAHAN PANGAN ALTERNATIF DI DAERAH BANYUMAS (Studi Kasus di Desa Sikapat)

The Prospects of Management for Arrowroot (Maranta arundinacea L.), Canna (Canna edulis Ker.) and Breadfruit (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) as Alternative Sources for Foodstuff in Banyumas Area (Case Study in Sikapat Village)

Enggar Patriono

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai prospek pengelolaan garut (Maranta arundinacea L.), ganyong (Canna edulis Ker.) dan sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) sebagai sumber bahan pangan alternatif di daerah Banyumas dengan studi kasus di Desa Sikapat. Jagung (Zea mays L.) dan ketela pohon (Manihot esculenta Crantz.) digunakan sebagai pembanding dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis tanaman pangan alternatif yang prospektif untuk dikelola di Desa Sikapat khususnya dan daerah Banyumas pada umumnya. Survei dengan metode observasi, wawancara dipandu kuesioner, pengumpulan data sekunder, analisis varian (ANVAR), uji Beda Nyata Terkecil (BNT) digunakan dalam penelitian ini. Hasil wawancara tentang persepsi dan preferensi masyarakat dikuantifikasi dan hasil analisis variannya diuji BNT. Uji BNT (α = 0,05) menunjukkan bahwa sukun direspon oleh responden sama baiknya dengan ketela pohon, lebih baik daripada ganyong dan garut, tetapi tidak lebih baik daripada jagung. Lahan dan iklim Desa Sikapat cukup sesuai untuk sukun, kurang sesuai untuk ganyong dan garut. Sukun dapat didayagunakan sebagai sumber bahan pangan alternatif di Desa Sikapat. Daerah Banyumas perlu dikembangkan sebagai daerah sukun guna mendukung pendayagunaan sukun sebagai sumber bahan pangan alternatif di Desa Sikapat.

Kata kunci: garut, ganyong, sukun, prospek pengelolaan, bahan pangan

ABSTRACT

(2)

alternative foodstuff plants which are prospective to be managed in Sikapat village as particular and Banyumas area for general. Survey with the methods of observation, interview guided by the questionnaire, secondary data collecting, ANOVA, LSD test has been used. The interview results about public perception were quantified and ANOVA results were tested by LSD test. LSD test (α = 0.05) indicated that breadfruit was responded by the same respondents as good as cassava, better than canna and arrowroot, not better than corn. The land and climate of Sikapat village were moderately suitable for breadfruit and marginally suitable for canna and arrowroot. Breadfruit is able to be used for alternative source of foodstuff in Sikapat village. Banyumas area needs to be developed as target area of breadfruit for supporting the use of breadfruit as alternative source of foodstuff in Sikapat village.

Keywords: arrowroot, canna, breadfruit, management prospects, alternative foodstuff

PENDAHULUAN

Pemenuhan kebutuhan bahan pangan pokok penduduk dunia di masa yang

akan datang cenderung bermasalah. Hal ini dapat terjadi karena volume produksi

bahan pangan pokok dunia cenderung tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan

penduduk dunia (Keating, 1996; Rubatzky dan Yamaguchi, 1998; Sadik, 1998).

Sejak terjadi krisis ekonomi, pemenuhan kebutuhan bahan pangan pokok

nasional Indonesia di masa yang akan datang juga cenderung bermasalah (Suryana

dan Purwoto, 1998). Volume produksi bahan pangan pokok nasional Indonesia

cenderung berkurang dan berfluktuasi (Anonim, 1987; Anonim, 1996; Suryana dan

Purwoto, 1998). Lahan pertanian di Indonesia cenderung berkurang (Anonim, 1996).

Kecenderungan berkurangnya air irigasi, baik dalam kuantitas maupun kualitas, juga

dapat menjadi masalah dalam penyediaan bahan pangan pokok (Anonim, 1996;

Suryana dan Purwoto, 1998). Sumberdaya produksi pertanian yang produksinya

cenderung mahal dan berkurang juga menjadi kendala dalam penyediaan kebutuhan

bahan pangan pokok (Darmono. 1999; Simanungkalit and Saraswati, 1999).

Salah satu cara untuk memecahkan masalah yang menghambat pemenuhan

kebutuhan bahan pangan pokok adalah diversifikasi pangan (Suryana dan Purwoto,

1998). Diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pangan

alternatif berupa tepung dan bahan pangan pokok alternatif. Pemanfaatan tepung

untuk substitusi bahan pangan pokok sumber karbohidrat dalam pembuatan produk

(3)

(Oppenheim, 1973; Moeljopawiro dan Manwan, 1992). Substitusi ini memberi

kontribusi secara tidak langsung terhadap upaya diversifikasi bahan pangan pokok.

Kontribusi secara langsung terhadap upaya diversifikasi bahan pangan pokok adalah

dengan memanfaatkan bahan pangan pokok alternatif seperti jagung (Zea mays L.)

dan ketela pohon (Manihot esculenta Crantz.) untuk substitusi bahan pangan pokok

beras (Arifin dan Sudaryanto, 1991).

Program pengelolaan diversifikasi pangan di Indonesia sudah dimulai sejak

1988 (Hadiwigeno, 1988). Namun demikian, diversifikasi pangan hingga sekarang

belum terwujud sesuai dengan harapan oleh karena hambatan faktor budaya pangan,

lahan dan iklim daerah pengembangan serta efisiensi produksi (Singarimbun dan

Handayani, 1995; Satari, 1989; Wirakartakusumah dan Suhardjo, 1991). Budaya

pangan masyarakat yang berkaitan dengan persepsi dan preferensinya terhadap

pangan alternatif dapat menjadi faktor penghambat, bila persepsi dan preferensi ini

bersifat negatif (Moeljopawiro dan Manwan, 1992; Satari, 1989; Suryana dan

Purwoto, 1998; Wirakartakusumah dan Suhardjo, 1991). Ketidaksesuaian lahan dan

iklim daerah pengembangan dapat menyebabkan penyediaan bahan baku pangan

alternatif tidak efisien (berharga tinggi) dan tidak menjamin keberlanjutannya

(Lukmana, 1994; Moeljopawiro dan Manwan, 1992; Satari; 1989). Bila produktivitas

jenis dalam menghasilkan bahan pangan alternatif rendah, maka efisiensi produksi

bahan pangan alternatif juga rendah. Efisiensi produksi rendah mengakibatkan bahan

pangan alternatif berharga tinggi dan tidak kompetitif dalam pemasarannya. Salah

satu bahan pangan alternatif yang cenderung berharga tinggi dan tidak kompetitif

dalam pemasarannya adalah bahan pangan alternatif yang berupa tepung (Lukmana,

1994; Satari, 1989; Suryana dan Purwoto, 1998). Oleh karena itu perlu

dikembangkan jenis-jenis tanaman pangan alternatif yang potensial sebagai sumber

bahan tepung.

Untuk mengatasi faktor-faktor penghambat diversifikasi pangan perlu

dilakukan kajian prospek pengelolaan jenis tanaman pangan alternatif. Kajian

dimaksudkan untuk menentukan jenis tanaman pangan alternatif yang prospektif

untuk dikelola di suatu daerah pengembangan. Cara menentukannya dapat dilakukan

(4)

Kajian perlu difokuskan terhadap jenis tanaman yang potensial sebagai sumber

bahan tepung seperti garut (Maranta arundinacea L.), ganyong (Canna edulis Ker.)

dan sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg). Garut, ganyong dan sukun berpotensi

sebagai bahan pangan alternatif sumber karbohidat (Rubatzky dan Yamaguchi,

1998).

Garut, ganyong dan sukun adalah tiga jenis tanaman yang potensial sebagai

sumber bahan pangan alternatif di Desa Sikapat khususnya dan daerah Banyumas

umumnya. Yang menjadi masalah adalah mana di antara garut, ganyong dan sukun

yang merupakan jenis tanaman pangan alternatif prospektif, yaitu jenis tanaman yang

dapat dikelola sebagai sumber bahan pangan alternatif.

Tujuan penelitian adalah menentukan jenis tanaman pangan alternatif yang

prospektif untuk dikelola di Desa Sikapat khususnya dan daerah Banyumas pada

umumnya. Jenis tanaman pangan alternatif prospektif ditentukan berdasarkan

perbandingan terhadap garut, ganyong dan sukun. Perbandingannya berdasarkan

persepsi masyarakat, kesesuaian lahan dan iklim. Jagung dan ketela pohon digunakan

sebagai pembanding.

Dengan diketahuinya jenis tanaman pangan alternatif yang prospektif untuk

dikelola di Desa Sikapat khususnya dan daerah Banyumas pada umumnya, maka

diperoleh manfaat dari hasil penelitian ini, yaitu pemanfaatan lahan marginal di Desa

Sikapat khususnya dan daerah Banyumas pada umumnya. Pemanfaatan lahan

marginal adalah salah satu aspek pengelolaan lingkungan yang penting untuk

menjadi masukan bagi pengambil kebijakan lingkungan di daerah Banyumas.

METODE PENELITIAN

Penelitian survei digunakan dalam penentuan jenis tanaman pangan alternatif

prospektif di daerah studi. Variabel yang digunakan untuk penentuan jenis adalah

persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman pangan alternatif, serta kesesuaian lahan

dan iklim.

Persepsi masyarakat ditentukan dengan metode wawancara yang dipandu

(5)

menggunakan analisis varian (ANVAR) dan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

(Effendie, 1995; Gaspersz, 1995; Oppenheim, 1973; Tukiran dkk., 1995).

Survei kesesuaian lahan dan iklim digunakan untuk mengetahui tingkat

kesesuaian lahan dan iklim daerah studi untuk budidaya ganyong, garut dan sukun.

Kesesuaian lahan dan iklim daerah studi berkaitan dengan potensi ketersediaan

bahan baku sumber karbohidrat untuk produksi tepung. Daerah dengan lahan dan

iklim yang sesuai untuk budidaya suatu jenis tanaman pangan alternatif berarti

berpotensi menyediakan bahan baku sumber karbohidrat untuk produksi tepung dari

jenis tersebut. Metode yang digunakan adalah observasi lapangan, pengumpulan data

sekunder dan perbandingan keadaan lahan dan iklim dengan pustaka (Anonim, 1993;

Gates, 1949; Hardjowigeno, 1995).

Metode perbandingan keadaan lahan dan iklim dengan pustaka dimodifikasi

dari metode evaluasi lahan (Anonim, 1993; Hardjowigeno, 1995). Kesesuaian setiap

parameter keadaan lahan dan iklim dengan parameter persyaratan tumbuh yang

diperoleh dari pustaka, dikelompokkan menjadi tiga kategori: (1) sangat

sesuai/’highly suitable’, (2) cukup sesuai/’moderately suitable’, (3) kurang

sesuai/’marginally suitable’. Jenis tanaman pangan alternatif yang diteliti sudah

dapat dibudidayakan di daerah studi, sehingga kategori tidak sesuai/’not suitable’

tidak diperlukan. Kriteria untuk setiap kategori parameter keadaan lahan dan iklim

disesuaikan dengan parameter persyaratan tumbuh jenis yang diperoleh dari pustaka.

Kategori setiap parameter keadaan lahan dan iklim dikembangkan dari

metode evaluasi lahan (Anonim, 1993; Hardjowigeno, 1995). Bila nilai/kriteria

parameter keadaan lahan dan iklim semuanya berada dalam kisaran atau sama persis

dengan sifat-sifat parameter persyaratan tumbuh jenis maka parameter termasuk

kategori sangat sesuai. Kategori keadaan lahan dan iklim termasuk cukup sesuai, bila

nilai/kriteria parameternya sebagian besar berada dalam kisaran atau sebagian besar

sama dengan sifat-sifat parameter persyaratan tumbuh jenis. Bila nilai/kriteria

parameter keadaan lahan dan iklim sebagian kecil berada dalam kisaran atau

sebagian kecil sama dengan sifat-sifat parameter persyaratan tumbuh jenis maka

(6)

Tingkat kesesuaian lahan dan iklim ditentukan berdasarkan kategori yang

paling jelek, yang merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman

(Anonim, 1993; Hardjowigeno, 1995). Bila semua parameter keadaan lahan dan

iklim termasuk kategori sangat sesuai, maka lahan dan iklim daerah studi

diklasifikasikan sangat sesuai. Lahan dan iklim daerah studi diklasifikasikan cukup

sesuai, bila ada parameter keadaan lahan dan iklim yang termasuk kategori cukup

sesuai. Bila ada parameter keadaan lahan dan iklim yang termasuk kurang sesuai,

maka lahan dan iklim daerah studi diklasifikasikan kurang sesuai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat ditentukan berdasarkan 10 macam pertanyaan tentang

persepsi terhadap jenis tanaman apangan alternatif. Nilai-nilai respon persepsi

masyarakat (Gambar 1) berarti bahwa persepsi responden Desa Sikapat bersifat

positif, walaupun nilainya tidak maksimal (nilai respon >2,00, skala nilai respon 1,00 sampai dengan 3,00).

Hasil ANVAR dan uji BNT menunjukkan bahwa sukun direspon oleh

responden Desa Sikapat lebih baik dibandingkan dengan garut dan ganyong (p < 0,05). Hal ini diduga karena responden menganggap sukun sebagai tanaman yang

lebih berguna dan nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan ganyong dan

garut.

Jagung adalah jenis tanaman pangan alternatif yang direspon paling baik (p < 0,05). Respon terbaik ini mungkin lebih dipengaruhi oleh persepsi masyarakat bahwa

jagung dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan pokok pengganti nasi beras,

bernilai ekonomi tinggi dan mudah pemasarannya.

Sukun adalah jenis tanaman pangan introduksi yang masih relatif baru bila

dibandingkan dengan garut dan ganyong. Penanam dan pemilik pohon sukun di Desa

Sikapat menginformasikan bahwa sukun adalah jenis tanaman pangan yang baru

mulai ditanam di Desa Sikapat paling lama 18 tahun yang lalu. Sedangkan garut dan

(7)

Informasi dari masyarakat juga menunjukkan bahwa padi, jagung dan ketela pohon

sudah menjadi jenis tanaman pangan utama yang ditanam petani di Desa Sikapat

pada lahan yang luas.

Hasil ANVAR dan uji BNT menjadi salah satu pertimbangan untuk

menentukan jenis tanaman pangan alternatif yang prospektif di Desa Sikapat. Sukun

dapat dipilih untuk sumber bahan pangan olahan alternatif dan jagung dapat dipilih

untuk sumber bahan pangan pokok alternatif. Dasar pertimbangan ini adalah prioritas

pertama jenis tanaman pangan yang akan dikembangkan di suatu daerah, yaitu

disukai masyarakat luas maupun masyarakat di lokasi daerah pengembangan

(Moeljopawiro dan Manwan, 1992).

Dasar pertimbangan di atas logis. Bila suatu jenis tanaman pangan alternatif

sudah disukai oleh masyarakat luas maupun masyarakat di lokasi daerah

pengembangan, maka sosialisasinya di daerah pengembangan menjadi tidak terlalu

sulit dan hambatan budaya pangan lebih mudah diatasi. Selain itu juga dapat

menunjang aspek pemasarannya yang luas. Dengan demikian berarti bahwa ditinjau

dari aspek persepsi masyarakat, prospek pengelolaan sukun sebagai sumber bahan

pangan olahan alternatif di Desa Sikapat lebih baik dibandingkan dengan garut dan

ganyong.

Jagung dan ketela pohon berpeluang dimanfaatkan sebagai jenis tanaman

pangan pokok alternative (Arifin dan Sudaryanto, 1991). Namun respon persepsi

responden terhadap jagung lebih baik dibandingkan dengan ketela pohon (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa pengembangan sumber bahan pangan pokok alternatif di Desa

Sikapat berprospek lebih baik bila mendayagunakan jagung sebagai sumber bahan

pangan pokok alternatif.

(8)

2. Kesesuaian Lahan dan Iklim

Kesesuaian lahan dan iklim Desa Sikapat untuk budidaya ganyong dan garut

berdasarkan kepada parameter ketinggian, curah hujan tahunan, hari hujan bulanan

sepanjang tahun, jenis tanah, kriteria kandungan C organik, pH dan kelas tekstur

tanah, tipe penutupan lahan oleh vegetasi.

Lahan dan iklim Desa Sikapat termasuk kurang sesuai untuk budidaya

ganyong. Faktor pembatasnya adalah hari hujan bulanan dan tekstur tanah. Adanya

satu bulan kering sepanjang tahunnya menyebabkan ganyong tidak dapat ditanam

sepanjang tahun. Musim tanam terbatas hanya selama musim hujan saja. Hari hujan

bulanan sepanjang tahun merupakan faktor iklim yang tidak dapat dikendalikan,

sehingga menjadi faktor pembatas utama. Tekstur tanah liat berpasir yang diperlukan

tanaman ganyong juga sulit terpenuhi karena tekstur tanah sulit diubah

(Hardjowigeno, 1995).

Potensi ketersediaan bahan baku rimpang ganyong untuk produksi bahan

pangan alternatif di Desa Sikapat kurang terjamin. Tanah yang kurang sesuai untuk

budidaya ganyong kurang mendukung produksi rimpang ganyong di Desa Sikapat,

sehingga produksi kurang efisien. Karena produksi kurang efisien maka rimpang

ganyong harus dibeli dengan harga tinggi, bila keuntungan masyarakat/petani

diutamakan. Bila harga beli rimpang ganyong rendah diutamakan maka

masyarakat/petani dirugikan.

Lahan dan iklim Desa Sikapat termasuk kurang sesuai untuk budidaya garut.

Faktor pembatasnya adalah tekstur tanah. Tekstur tanah erat kaitannya dengan

perakaran tanaman dan kemampuan tanah dalam menyerap air dan mineral lainnya.

Tekstur tanah berpasir yang diperlukan tanaman garut sulit terpenuhi karena tekstur

tanah merupakan sifat fisik tanah yang sulit diubah (Hardjowigeno, 1995).

Pengelolaan tekstur tanah sesuai tekstur yang diinginkan memerlukan biaya mahal,

sehingga tidak efisien untuk dikerjakan.

Potensi ketersediaan bahan baku rimpang garut untuk produksi bahan pangan

alternatif di Desa Sikapat kurang terjamin. Tanah yang kurang sesuai untuk budidaya

garut kurang mendukung produksi rimpang garut di Desa Sikapat, sehingga produksi

(9)

dengan harga tinggi, bila keuntungan masyarakat/petani diutamakan. Bila harga beli

rimpang garut rendah diutamakan maka masyarakat/petani dirugikan.

Kesesuaian lahan dan iklim Desa Sikapat untuk budidaya sukun berdasarkan

kepada parameter ketinggian, curah hujan tahunan, jenis tanah, kriteria kandungan C

organik, tipe penutupan lahan oleh vegetasi.

Lahan dan iklim Desa Sikapat termasuk cukup sesuai untuk budidaya sukun.

Faktor pembatas utamanya adalah curah hujan tahunan yang tinggi di Desa Sikapat.

Curah hujan adalah faktor iklim yang tidak dapat dikendalikan. Kandungan C

organik di daerah ketinggian 450 m dpl yang kriterianya sedang menunjukkan

keadaan kandungan bahan organik dan kesuburan tanah di daerah tersebut sedang.

Kesuburan tanah di daerah tersebut perlu ditingkatkan agar tidak menjadi faktor

pembatas produksi buah sukun di Desa Sikapat. Pupuk yang digunakan sebaiknya

pupuk organik. Selain dapat menambah unsur hara, pupuk organik dapat

memperbaiki sifat tanah serta tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan

(Hardjowigeno, 1995).

Potensi ketersediaan bahan baku buah (sinkarpus) sukun untuk produksi

bahan pangan alternatif di Desa Sikapat cukup terjamin. Tanah dan iklim yang cukup

sesuai untuk budidaya sukun cukup mendukung produksi buah sukun di Desa

Sikapat. Harga beli bahan baku buah sukun dari masyarakat mungkin rendah, karena

keadaan tanah cukup mendukung untuk produksi yang efisien. Produksi yang efisien

berarti masyarakat dapat memperoleh keuntungan besar dengan menjual buah sukun

dengan harga rendah.

3. Jenis Prospektif

Sukun memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan ganyong dan

garut dalam hal persepsi masyarakat, kesesuaian lahan dan iklim. Hal ini dapat

dijadikan dasar untuk menentukan sukun sebagai jenis tanaman pangan alternatif

yang prospektif untuk dikelola di Desa Sikapat.

Pengembangan sukun sebagai sumber bahan pangan alternatif juga

bergantung kepada pemasarannya. Untuk pengembangan pemasarannya maka

(10)

memanfaatkan peluang yang ada. Sentra pangan tradisional yang ada di Sokaraja

adalah salah satunya yang dapat didayagunakan untuk pengembangan pasar sukun.

Jagung dan ketela pohon berpeluang dimanfaatkan sebagai jenis tanaman

pangan pokok alternative (Arifin dan Sudaryanto, 1991). Namun persepsi masyarakat

Desa Sikapat terhadap jagung sebagai sumber bahan pangan alternatif lebih baik

dibandingkan dengan ketela pohon. Oleh karena itu kemungkinan jagung

dikembangkan sebagai sumber bahan pangan pokok alternatif di Desa Sikapat lebih

besar. Dengan demikian jagung merupakan jenis tanaman pangan alternatif yang

prospektif untuk dikelola sebagai sumber bahan pangan pokok alternatif di Desa

Sikapat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan penelitian adalah: (1) Sukun memiliki keunggulan komparatif

dalam hal persepsi masyarakat, kesesuaian lahan dan iklim dibandingkan dengan

ganyong dan garut di Desa Sikapat, Banyumas. Karena keunggulan komparatifnya

maka sukun dapat didayagunakan sebagai sumber bahan pangan alternatif; (2)

Ganyong dan garut kurang sesuai untuk dibudidayakan di lahan Desa Sikapat, karena

persyaratan tumbuh ganyong dan garut kurang terpenuhi.

Saran yang dapat diajukan adalah: (1) Daerah Banyumas perlu dikembangkan

sebagai daerah sukun guna mendukung pendayagunaan sukun sebagai sumber bahan

pangan alternatif di Desa Sikapat; (2) Pengembangan sukun sebagai sumber bahan

pangan alternatif di daerah Banyumas perlu berdasarkan upaya memberi masukan

pengelolaan sukun pada aspek yang paling strategis untuk dikelola. Aspek strategis

tersebut adalah peningkatan nilai persepsi masyarakat terhadap sukun di daerah

Banyumas; (3) Ganyong dan garut perlu dicarikan daerah lain di Banyumas yang

lebih prospektif untuk pengelolaannya, seperti daerah dengan lahan dan iklim yang

sesuai untuk pembudidayaannya.

DAFTAR PUSTAKA

(11)

Anonim. 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Anonim. 1996. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1996. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Arifin, M. dan Sudaryanto, T. 1991. Pola Konsumsi Makanan Pokok, Konsumsi Energi dan Protein di Pedesaan Jawa Tengah. Berita Pergizi-Pangan (Food & Nutrition Newsletter) VII (1). 10-16.

Darmono, T.W. 1999. Application of Biotechnology on Biopesticide Production for Estate Crop. In: Manuwoto, S; Suharsono, S. and Syamsu, K. (eds.). Proceedings of Seminar on Biotechnology: Sustainable Agriculture and Alternative Solution for Food Crisis. Bogor, April 14, 1999. Inter-University Center for Biotechnology IPB, Bogor. 58-76.

Effendie, S. 1995. Prinsip-prinsip Pengukuran dan Penyusunan Skala. Dalam: Singarimbun, M. dan Effendie, S. (ed.). Metode Penelitian Survai. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. LP3ES, Jakarta. 95-121.

Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Jilid 1 & 2. Edisi pertama. Penerbit Tarsito, Bandung. 115-119, 486-504.

Gates, F.C. 1949. Field Mannual of Plant Ecology. First edition. Mc Grawhill Book Company, Inc., New York.

Hadiwigeno, S. 1988. Penganekaragaman Pangan Dalam Upaya Pemenuhan Serta Peningkatan Kualitas Pangan dan Gizi. Gizi Indonesia XIII (1). 96-101. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Edisi revisi. Cetakan keempat. Akademika

Pressindo, Jakarta. 54-128, 140-230, 197-230.

Irawati, S. 1995. Teknik Wawancara. Dalam: Singarimbun, M. dan Effendie, S. (ed.). Metode Penelitian Survai. Edisi revisi. Cetakan kedua. LP3ES, Jakarta. 192-216.

Keating, M. 1996. Agenda 21 dan Hasil KTT Bumi: Bumi Lestari Menuju Abad 21. Edisi kedua. Konphalindo, Jakarta. 33.

Lukmana, A. 1994. Penataan Industri Pedesaan Dalam Menghadapi Era Pasca GATT. Pangan V (20). 19-26.

Moeljopawiro, S. dan Manwan, I. 1992. Pengembangan dan Pemanfaatan Tanaman Pangan di Indonesia. Dalam: Nasution, R.E; Riswan, S.; Tjitropranoto, P.; Waluyo, E.B.; Martowikrido, W.; Roemantyo, H. dan Wardoyo, S.S (ed.). Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani, Cisarua-Bogor, 19-20 Februari 1992. DEPDIKBUD-DEPTAN-LIPI-PERPUSTAKAAN NASIONAL RI. 288-299.

Oppenheim, A.N. 1973. Quesionnare Design and Attitude Measurement. Edition 5th. Heinemann, London. 120-159.

Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M. 1998. Sayuran Dunia (Prinsip, Produksi dan Gizi). Terjemahan. Jilid 1. Penerbit ITB, Bandung. 228-306.

(12)

Satari, A.M. 1989. Strategi Pengembangan dan Penerapan Teknologi Dalam Pelestarian Swasembada Pangan. Dalam: Sjam, M.; Ismunadji, M. dan Widjono, A. (ed.). Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan. Buku 1. Ciloto, 21 - 23 Maret 1988. Puslitbang Tanaman Pangan Balitbang Pertanian, Bogor. 17-22.

Simanungkalit, R.D. and Saraswati, R. 1999. Application of Biotechnology on Biofertilizer Production in Indonesia. In: Manuwoto, S; Suharsono, S. and Syamsu, K. (eds.). Proceedings of Seminar on Biotechnology: Sustainable Agriculture, and Alternative Solution for Food Crisis. Bogor, April 14, 1999. Inter-University Center for Biotechnology IPB, Bogor. 45-57.

Singarimbun, M. dan Handayani, T. 1995. Pembuatan Kuesioner. Dalam: Singarimbun, M. dan Effendie, S. (ed.). Metode Penelitian Survai. Edisi revisi. Cetakan kedua. LP3ES, Jakarta. 175-191.

Suryana, A. dan Purwoto, P. 1998. Perspektif dan Dinamika Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Pangan. Agro-Ekonomika XXVIII (1). 1-14.

Tukiran; Handayani, T. dan Hagul, P. 1995. Mengkode Data. Dalam: Singarimbun, M. dan Effendie, S. (ed.). Metode Penelitian Survai. Edisi revisi. Cetakan kedua. LP3ES, Jakarta. 219-240.

Wirakartakusumah, M.A. dan Suhardjo. 1991. Pola Pangan Penduduk Indonesia. Pangan II (9). 57-65.

Gambar

Gambar 1. Rataan nilai respon persepsi masyarakat Desa Sikapat terhadap jenis  tanaman pangan alternatif (100 responden)

Referensi

Dokumen terkait

Pada kasus diatas dapat didiagnosis pasien mengalami Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR) Minor karena ditemukan didaerah depan bibir bawah ulser atau ulkus berbentuk oval,

Simpulan penelitian ini adalah pembelajaran dengan pengurangan sudut kemiringan alat bantu bidang miring secara bertahap dapat meningkatkan keterampilan guling belakang

Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Dan Kualitas Kantor Akuntan Publik Terhadap Integritas Informasi Laporan Keuangan (Studi Pada Perusahaan Publik Di BEJ),

Sehingga tujuan dari penilian yaitu untuk mengetahui nilai kecepatan transfer data dengan mengukur Round Trip Time (RTT) yang dihasilkan dari transfer file pada

Hasil penelitian tanaman karet umur 7 tahun nematoda yang dominan yaitu nematoda non parasit hal ini sama dengan nematoda pada lahan karet yang berumur 5 tahun

Mungkin bagi sebagian orang akan mengatakan judul esai di atas tidak realistis dan utopis namun saya akan katakan “ Where there is a will there is a way” di mana ada kemauan disitu

[r]

Ungkapan yang menyatakan bahwa “tolong menolong dalam kegiatan asuransi adalah tolong menolong yang dilarang oleh al-Qur’an karena termasuk dalam tolong menolong dalam praktik