• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten Chapter III V"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KETERKAITAN SUMBER DAYA GENETIK DENGAN PATEN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK DARI HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL

A. Pengertian Paten

Paten merupakan perlindungan hukum untuk karya intelektual di bidang

teknologi. Karya intelektual tersebut dituangkan ke dalam suatu kegiatan

pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, yang dapat berupa proses

atau produk atau penyempurnaan dan pengembangan produk dan proses.

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU N0 13 Tahun 2016 Tentang Paten, Paten

adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil

invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri

invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk

melaksanakannya.

Invensiadalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu

kegiatanpemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa

produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

Inventor:adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang

yangsecara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan

(2)

Pemegang Paten: adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak

yangmenerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima

lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.

Paten Sederhana: adalah invensi yang memiliki nilai kegunaan

lebihpraktis daripada invensi sebelumnya dan bersifat kasat mata atau berwujud

(tangible). Adapun invensi yang sifatnya tidak kasat mata (intangible), seperti

metode atau proses, penggunaan, komposisi, dan produk yang merupakan product

by process tidak dapat diberikan perlindungan sebagai Paten Sederhana. Namun

demikian, sifat baru dalam Paten Sederhana sama dengan Paten biasa yaitu

bersifat universal.

Dalam ruang lingkup Paten, Invensi yang dapat diberi Paten Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, invensi yang dapat

dimintakan perlindungan Paten adalah invensi yang:

1. Baru (novelty);

Invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak

sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya (prior art atau the state

of art). Pengungkapan bisa berupa uraian lisan, melalui peragaan, atau dengan

cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi

tersebut.

(3)

Yaitu invensi yang bagi seseorang dengan keahlian tertentu di bidang

teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dengan

memperhatikan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan.

3. Dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).

Yaitu invensi dapat diterapkan dalam industri sesuai dengan uraian dalam

permohonan. Jika invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk, produk tersebut

harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas yang

sama, sedangkan jika invensi berupa proses, proses tersebut harus mampu

dijalankan atau digunakan dalam praktik.

Sedangkan Invensi yang tidak dapat di-Paten-kan sebagai

pengecualian, ada invensi-invensi yang tidak dapat dipatenkan, yakni :

1. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau

pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan

2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang

diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan

3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika

4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik

5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,

kecuali proses non-biologis atau proses mikro-biologis.

B. Paten Sebagai Bentuk Dari Hak Kekayaan Intelektual

Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil

(4)

gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk

manusia. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir

karena kemampuan intelektual manusia. Sistem HKI merupakan hak privat

(private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau

mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan Negara

kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada

lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) nya dan agar

orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga

dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui

mekanisme pasar. Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem

dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga

kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat

dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut,

diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk

keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai

tambah yang lebih tinggi lagi.21

Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari pemikiran

atau kecerdasan manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan

manusia sehingga dapat dianggap juga sebagai aset komersial. Karya-karya yang

dilahirkan atau dihasilkan atas kemampuan intelektual manusia baik melalui

curahan tenaga, pikiran dan daya cipta, rasa serta karsanya sudah sewajarnya

diamankan dengan menumbuhkembangkan sistem perlindungan hukum atas

(5)

kekayaan tersebut yang dikenal sebagai sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

HKI merupakan cara melindungi kekayaan intelektual dengan menggunakan

instrumen-instrumen hukum yang ada, yakni Hak Cipta, Paten, Merek dan

Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit

Terpadu, dan Perlindungan Varietas Tanaman.

Paten adalah perlindungan HKI bagi karya intelektual yang bersifat

teknologi, atau dikenal juga dengan istilah invensidan mengandung

pemecahan/solusi teknis terhadap masalah yang terdapat pada teknologi yang

telah ada sebelumnya. Dalam Pasal 7 TRIPS ( tread related aspect of intellectual

property right ) tujuan dari perlindungan dan penegakan HKI adalah mendorong

timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperolehnya

manfaat bersama antara penghasil dan penggunaan pengetahuan teknologi,

menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta keseimbangan antara hak dan

kewajiban.

TRIPS Agreement sebagai suatu bagian dari Uruguay Round 1994

menetapkan standar minimum untuk dipatuhi oleh negara-negara anggotanya

dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual, di mana

standar-standar ini kemudian juga berlaku untuk pengetahuan tradisional.

Negara-negara yang meratifikasi TRIPS diharapkan menetapkan sistem perlindungan

kekayaan intelektual yang menyeluruh yang meliputi paten, hak cipta, tanda-tanda

(6)

Berdasarkan TRIPS Agreement, adalah tidak mungkin untuk melindungi

pengetahuan tradisional di bawah hukum paten yang ada saat ini. Beberapa

perlindungan terbatas atas pengetahuan tradisional kemungkinan akan dapat

diberikan dengan menggunakan sistem hak cipta, rahasia dagang dan indikasi

geografis. Meski demikian, Persetujuan TRIPS memiliki keterbatasannya sendiri

dalam melindungi pengetahuan tradisional sebagai kekayaan intelektual dari

masyarakat tradisional dan lokal. Masalahnya adalah karena kekakuan yang

terbentuk dalam ukuran-ukuran ini dan sifat asli dari pengetahuan tradisional.

Negara berkembang harus segera menggunakan Pasal 27.3(b) untuk

mendorong langkah-langkah bukan paten melalui sistem sui generis. Pasal 27.3(b)

dari TRIPS Agreement menyatakan bahwa:

“members may also exclude from patentability... plants and animals other

than microorganisms, and essentially biological processes for the production of

plants or animals other than non-biological and microbiological processes.

However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by

patents or by an effective sui generis system or by a combination thereof. The

provisions of this subparagraph shall be reviewed four years after the entry into

force of the WTO Agreement.”

TRIPS Agreement telah menciptakan kesempatan baru untuk

mengembangkan rezim alternatif dari hak atas kekayaan intelektual, yang secara

etis, sosial dan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan dari masyarakat

(7)

yang harus segera dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang dengan cara

membuat dan mendorong langkah-langkah perlindungan non-paten. Indonesia

sendiri telah meratifikasi TRIPS Agreement melalui Undang-undang Nomor 7

Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO.

Paten merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang

paling erat kaitannya dengan pemanfaatan SDG. Ketentuan dalam sistem paten

yang terkait dengan pemanfaatan SDG adalah:

1. Paten diberikan untuk setiap invensi, baik produk maupun proses, dalam

semua bidang teknologi sepanjanginvensi tersebut baru, mempunyai

langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri {TRIPs Pasal 27(1)

dan Undang-undang Paten no. 14, 2001)}.

2. Bahwa Mikroorganisme baik yang telahada di alam atau hasil rekayasa

genetika merupakan subject matter yang patentable (lihat TRIPs Pasal

27(3).

Kedua Pasal di atas menjadi penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan

SDG karena:

a. Perjanjian TRIPS memungkinkan diberikannya paten untuk

material genetika (dan produk-produk turunan-nya) dan juga

varietas tanaman tertentu (dengan sistem sui generis). Perjanjian

TRIPs tidak mengatur bagaimana hak paten atau varietas tanaman

diperoleh, apakah konsisten atau tidak dengan hak negara

(8)

seimbangan antara negara berkembang sebagai pemilik sumber

daya genetik dan negara maju dengan kemampuan teknologinya.

b. Perjanjian TRIPS tidak mempunyai pembatasan bagi paten yang

dihasilkan dari pengetahuan tradisional yang berarti bertentangan

dengan Pasal 8(j) dari CBD.

c. Perjanjian TRIPS menyediakan per-lindungan material genetika

(dan produk-produk turunannya) melalui paten, tanpa memastikan

bahwa keten-tuan dari CBD, yang meliputi prior informed consent

dan benefit sharing dipertimbangkan.

Bentuk perlindungan Paten adalah pemberian hak eksklusif bagi

Pemegang Paten untuk:

a. Dalam hal Paten produk:

- membuat;

- menggunakan;

- menjual;

- mengimpor;

- menyewakan;

- menyerahkan; atau

- menyediakan untuk dijual; atau

- disewakan; atau

- diserahkan

(9)

menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat

barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Saat ini, kondisi Indonesia dan negara berkembang lain secara umum

adalah:

a. Kaya akan SDG,

b. Relatif rendah akan kemampuan teknologi,

c. Relatif rendah akan sumber daya finansial,

d. Banyak invensi yang dipatenkan oleh perusahaan dari negara maju

dengan menggunakan sumber daya genetika dan pengetahuan

tradisional dari negaraberkembang.

Peraturan Perundang-undangan mengenai HKI pertama kali ada di Venice,

Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Beberapa nama seperti

Caxton, Galileo dan Guttenberg merupakan penemu-penemu yang tercatat sebagai

penemu dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas

penemuan mereka. Pada tahun 1500-an hukum-hukumtentang paten tersebut

mulai diadopsi oleh Kerajaan Inggris yang kemudian lahir hukum mengenai paten

yang pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1623). Selanjutnya di

Amerika Serikat, undang-undang paten baru muncul pada tahun 1791.

Secara internasional, peraturan di bidang HKI pertama kali terjadi pada

tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek

dagang, dan desain. Pada tahun 1886 terdapat perjanjian Berne Convention untuk

(10)

tentang standarisasi, tukar-menukar informasi, perlindungan minimum dan

prosedur mendapatkan hak kekayaan intelektual. Hasil dari kedua konvensi

tersebut adalah dibentuknya biro administratif yang bernama The United

International Bureau for The Protection of Inttellectual Property yang kemudian

dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO

merupakan organisasi internasional di bawah lembaga Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) yang khusus menangani masalah HKI.

Peraturan lainnya yang terkait dengan HKI secara internasional adalah

hasil dari perundingan di Uruguay yang disebut sebagai Putaran Uruguay

(Uruguay Round). Putaran Uruguay yang berlangsung pada tahun 1986 – 1994

membahas tentang tarif dan perdagangan dunia atau General Agreement on

Tariffs and Trade (GATT) yang kemudian membentuk organisasi perdagangan

dunia atau World Trade Organisation (WTO). Selain pembentukan WTO,

kesepakatan lain yang didapat dalam Putaran Uruguay adalah persetujuan tentang

aspek-aspek yang berhubungan dengan perdagangan dan hak kekayaan intelektual

atau Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan

WTO tersebut melalui UU No. 7 Tahun 1994.

Peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia, secara historis

telah ada sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial

Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI

pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek

(11)

itu masih bernama Netherlands East– Indies telah menjadi anggo ta Paris

Convention For the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota

Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne

Convention for the Protection of Literary and Artistic Works sejak tahun 1914.

Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942, semua peraturan

perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.

C. Pemanfaatan Ekonomi Sumber Daya Genetik dan Kaitannya Dengan Paten

Paten merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang

paling erat kaitannya dengan pemanfaatan SDG. Ketentuan dalam sistem paten

yang terkait dengan pemanfaatan SDG. Perkembangan ilmu bioteknologi telah

mendorong pengembangan potensi ekonomi, pemanfaatan dan komersialisasi

SDG. Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, yang

biasanya merupakan negara-negara beriklim tropis dengan kekayaan sumber daya

genetik yang melimpah, seharusnya ada dalam posisi yang kuat untuk

memperoleh keuntungan dalam pemanfaatan sumber daya genetik.

Berbagai bentuk komersialisasi dapat dilakukan dalam memanfaatkan

HKI. Bentuk-bentuk komersialisasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengembangkan Sendiri

Pada bentuk komersialisasi ini, pemilik HKI dapat mengembangkan usaha

berbasiskan HKI miliknya. Bentuk komersialisasi ini merupakan bentuk

(12)

tinggi. Pada bentuk komersialisasi ini, semua resiko ditanggung oleh pemilik HKI

dengan catatan bahwa pemilik HKI memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk

mengembangkan usahanya ini.

2. Akuisisi

Membeli/mengakuisisi suatu perusahaan lebih tidak beresiko

dibandingkan dengan mengembangkan usaha baru karena investasi

pengembangan awal sudah selesai dan infrastruktur produksi sudah tersedia.

Dengan bentuk komersialisasi ini, pemegang HKI dapat meningkatkan daya

saingnya untuk penetrasi pasar dengan lebih cepat karena memperpendek time to

market dengan tetap mempertahankan kendali total (Megantz, 1996). Tantangan

pada bentuk komersialisasi adalah potensi-potensi friksi atau konflik karena

perbedaan budaya atau manajemen antara pemilik HKI dan perusahaan yang

mengakuisisinya.

3. Joint Venture

Ketika dua perusahaan memiliki kesamaan visi atau saling mengisi satu

sama lain (satu perusahaan menutup asset komplementer dari perusahaan yang

lain), maka sebuah perusahaan joint venture dapat dibentuk. Dalam joint venture

ini, dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk berbagi modal, teknologi,

sumberdaya manusia, resiko dan imbalan dalam pembentukan unit usaha baru di

bawah pengawasan bersama (Megantz, 1996). Bentuk komersialisasi ini sangat

strategis apabila bias ditemukan partner yang memiliki asset komplementer

(13)

4. Lisensi

Lisensi berarti izin yang diberikan oleh pemilik HKI kepada pihak lain

berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari

suatu HKI dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Hak untuk memakai HKI ini

umumnya ditukar dengan suatu biaya lisensi atau royalti dalam berbagai

bentuknya, seperti persentase dari laba bersih pemegang lisensi, persentase dari

penjualan kotor dari pemegang lisensi atau biaya yang telah ditentukan. Bentuk

komersialisasi ini merupakan bentuk yang paling umum digunakan dalam

komersialisasi HKI.

Lisensi sendiri terdapat dua bentuk yaitu lisensi eksklusif dan

non-eksklusif. Pada lisensi eksklusif, pemilik HKI biasanya memutuskan untuk tidak

memberikan HKI tersebut kepada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka

waktu lisensi, kecuali kepada pemegang lisensi eksklusifnya. Sedangkan pada

lisensi non eksklusif, pemilik HKI dapat memberikan lisensi HKI-nya kepada

pihak lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang

sama.

5. Aliansi Strategis

Jika dua perusahan memiliki tujuan yang sama dan saling menguntungkan,

sebuah aliansi dapat dibentuk yang memungkinkan terjadinya pembagian

keuntungan. Melalui sebuah aliansi, perusahaan dapat menggunakan keahlian

masing-masing untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sebuah pasar atau

(14)

oleh perusahaan yang lain. Dalam bentuk komersialisasi ini, satu perusahaan

dapat mencapai tujuan dengan tetap mempertahankan fleksibilitasnya untuk

beradaptasi dengan cepat misalnya dengan penggantian partner. Aliansi dapat

horisontal atau vertikal. Sebagai contoh pada aliansi yang vertikal, partner

menangani market dan pemilik HKI mengembangkan produknya.

6. Penjualan

Pemilik HKI dapat melakukan penjualan atas HKI-nya dengan

pertimbangan-pertimbangan strategis tertentu. Bentuk komersialisasi ini

merupakan yang paling tidak beresiko bagi pemilik HKI tetapi memberikan resiko

yang tertinggi bagi pembelinya.

Namun demikian kenyataannya memang jauh dari yang diharapkan.

Biopiracy menjadi hal yang sering terjadi yang menimpa negara-negara

berkembang dengan kekayaan sumber daya genetik yang melimpah. Negara maju

dengan kemampuan teknologinya cenderung telah mengambil keuntungan yang

tidak adil dari sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional dari

negara-negara berkembang. Pemanfaatan ekonomi dari SDG dengan menggunakan

bioteknologi, khususnya di bidang Farmasi dan Bioteknologi tidak dapat

dipungkiri berkembang dengan dukungan sistem HKI, khususnya paten dan

Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Dari data yang ada di kantor- kantor

paten di dunia termasuk di Indonesia, maka akan tampak adanya pergeseran

permohonan paten bidang farmasi dari invensi bidang kimia menjadi bidang

(15)

Potensi ekonomi dari pemanfaatan dan komersialisasi SDG biasanya

melibatkan pengetahuan tradisional dan mendorong terjadinya biopiracy dimana

pengambilan keuntungan yang tidak adil dari SDG dan pengetahuan tradisional

terkait saat ini dilakukan setidaknya dengan dua cara berikut:

1. Pencurian, penyalahgunaan, atau free-riding sumber daya genetika

dan/atau pengetahuan tradisional melalui sistem paten.

2. Pengambilan, pengumpulan tanpa izin untuk tujuan komersial dari sumber

daya genetika dan/atau pengetahuan tradisional.

Adapun tujuan perlindungan kekayaan intelektual melalui HKI secara

umum meliput i:

a. Memberi kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan dengan

inventor, pencipta, desainer, pemilik, pemakai, perantara yang

menggunakannya, wilayah kerja pemanfaatannya dan yang menerima

akibat pemanfaatan HKI untuk jangka waktu tertentu;

b. Memberikan penghargaan atas suatu keberhasilan dari usaha atau upaya

menciptakan suatu karya intelektual;

c. Mempromosikan publikasi invensi atau ciptaan dalam bentuk dokumen

HKI yang terbuka bagi masyarakat;

d. Merangsang terciptanya upaya alih informasi melalui kekayaan intelektual

serta alih teknologi melalui paten;

e. Memberikan perlindungan terhadap kemungkinan ditiru karena adanya

jaminan dari negara bahwa pelaksanaan karya intelektual hanya diberikan

(16)

Begitu pula dengan rezim hak atas kekayaan intelektual, transfer

sumber daya genetik, pemanfaatan spesimen jenis seperti pertukaran,

peragaan, perdagangan, spesimen dilindungi yang pada saat

didapatkan/dimiliki belum dilindungi, instrumen ekonomi dalam pemenfaatan

sumber daya geneti, dan kerja sama pemanfaatan sumber daya genetik, sampai

saat ini masih belum lengkap pengaturannya. Hal ini berdampak pada

timbulnya potensi kerugian atas keragaman sumber daya genetik di Indonesia.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa sebenarnya apabila

SDG dimanfaatkan dengan semestinya bersama-sama dengan sistem HKI dan

dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa sendiri hal ini merupakan sinergi

(17)

BAB IV

PERLINDUNGAN SUMBER DAYA GENETIK BERDASARKAN UU NO. 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN

A. Perlindungan Ikan Spesifik Sebagai Salah Satu Sumber Daya Genetik Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten

Besarnya potensi sumber daya genetik ikan dan harapan yang tersimpan

diikuti dengan kenyataan yang ada bahwa pada potensi tersebut belum

dimanfaatkan secara optimal. Kekayaan sumberdaya genetik yang ada belum

mampu bersaing baik di tingkat global maupun nasional. Sampai saat ini, secara

umum budidaya perikanan didominasi oleh komoditas ikan-ikan impor baik untuk

ikan hias maupun konsumsi. Dari jenis ikan konsumsi yang sudah memasyarakat,

sebagian besar merupakan ikan introduksi seperti ikan mas, nila, patin Bangkok,

lele dumbo, bawal air tawar, udang vanamei dan stylostris.

Menurut UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, pemerintah

melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan

melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat Indonesia. UU ini selanjutnya dirubah dan dilengkapi dengan

UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam UU ini pengelolaan perikanan

dalam wilayah engelolaan perikanan Indonesia dilakukan untuk tercapainya

manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber

(18)

harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatika

peran serta masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ikan merupakan satwa yang berada dalam

kawasan hutan konservasi yang perlakuannya tunduk pada rezim Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya yang dilaksanakan oleh otoritas yang menyelenggarakan urusan di

bidang kehutanan. Perlakuan tersebut terkait dengan kewenangan konservasi dan

pemanfaatan. Namun, di sisi lain dalam rezim undang-undang tentang perikanan,

ikan dimanapun lokasi beradanya merupakan kewenangan dari otoritas yang

menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai contoh

dalam Pasal 7 huruf p Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 diatur bahwa

dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri

Keluatan dan Perikanan menetapkan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya

ikan serta lingkungannya. Dalam Penjelasan Pasal 7 huruf p Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 dinyatakan bahwa:

”Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi

dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan

penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang

buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak ikan,

peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau

penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau

(19)

Patut disadari bahwa untuk waktu yang lama riset dan pengembangan

lebih terfokus pada bidang budidaya. Di bidang perbenihan, Indonesia masih

tertinggal oleh karenanya perlu dipacu melalui:

1) teknologi untuk pengembangan produk diharapkan mampu

menciptakan produk-produk unggul yang karakteristiknya lebih

disukai masyarakat konsumen,

2) kebijakan pengembangan komoditas termasuk teknologinya harus

beralih dari komoditas tertentu yang sudah lama dikembangkan

(kurang dari 10 jenis),

3) potensi banyak sumber lainnya harus mendapat perhatian yang lebih

besar dan dipercepat pengembangannya.

Melihat keanekaragaman hayati ikan air tawar, di Wilayah Barat Indonesia

tercatat mencapai 1000 spesies. Angka tersebut melebihi jumlah spesies Asia

Tenggara di Daratan Asia yang tercatat sebesar 900 spesies. Namun demikian,

saat ini baru 40 spesies komoditas ikan telah dikembangkan sebagai sumber daya

genetik untuk kegiatan budidaya dalam rangka menunjang diversifikasi usaha

budidaya. Tiga puluh dua diantaranya adalah ikan asli Indonesia. Dengan

komposisi 22 jenis ikan air tawar (patin jambal, patin tikus, jelawat, betutu,

belida, baung, tambakang, betok, gurame, semah, tawes, lampam, arowana,

kelabau, nilem, lele, bilih, benangin, gabus, bandeng, belanak) dan 10 ikan laut

(kakap putih, kakap merah, kakap, kerapu bebek, kerapu macan, kerapu kertang,

kerapu lumpur, kerapu batik, kerapu sunu, baronang).

(20)

sangat kontradiktif dengan pengetahuan tentang sifat- sifat biologis ikan-ikan

tersebut yang masih jauh dari sempurna dan terbatas pada daftar nama saja.

Informasi dasar biologis sumber daya genetik sangat penting untuk

mengoptimalkan budidaya sumber daya genetik yang dimanfaatkan. Selanjutnya

dokumentasi informasi tersebut merupakan bahan dasar pemuliaan untuk

menghasilkan jenis-jenis ikan unggul yang spesifik lokasi/ geografi/kondisi lahan,

dapat dibudidayakan secara intensif pada lahan terbatas, mampu menampilkan

pertumbuhan yang baik pada kondisi lingkungan perairan yang kurang

mendukung dan dapat diterima konsumenserta memiliki keunggulan dari aspek

ekonomi.

Mengingat wilayah Indonesia yang begitu luas secara geografis dan

dilimpahi oleh sumber daya genetik yang tinggi, keunggulan ini seyogianya dapat

dijadikan aset pembangunan. Daerah yang luas dengan keunggulan dan potensi

spesifik seharusnya diisi oleh sumber daya genetik yang sesuai dengan potensi

lahan yang mendukung dan budaya lokal. Hanya lahan yang cocok dengan

sumber daya genetik yang dapat memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu,

besar sekali peranan sumber daya genetik sebagai bahan baku pemuliaan untuk

menghasilkan bibit-bibit/varietas unggul melalui program seleksi, hibridisasi dan

DNA rekombinan bagi keberhasilan pemuliaan dan pembangunan nasional.

Langkah- langkah di atas dapat meningkatkan keanekaragaman bahan pangan

perikanan yang tersedia bagi konsumen dan mencegah membanjirnya keaneka

ragaman ikan introduksi/impor.

(21)

untuk dibudidayakan sangatlah besar, namun demikian pencapaian hasil-hasil

riset yang telah dilaksanakan khususnya yang berhubungan dengan pemuliaan

ikan masih sangat sedikit. Padahal kita sering dihadapkan pada masalah kegagalan

panen dikarenakan adanya masalah mutu benih yang kurang baik, tumbuh lambat,

dan rentan terhadap penyakit (SUGAMA, 2006). Contoh masalah budidaya yang

sedang kita hadapi saat ini adalah adanya penurunan mutu benih pada budidaya

ikan mas, udang windu, dan kerapu serta terjangkitnya penyakit “White Spot

Syndrome Virus” (WSSV) pada budidaya udang windu “Koi Herpes Virus”

(KHV) pada budidaya ikan mas dan “Virus Nerve Necroses” (VNN) atau

iridovirus pada budidaya kerapu. Masalah tersebut hingga kini belum dapat

ditanggulangi secara tuntas. Hasil riset yang telah dicapai hubungannya dengan

penyakit di atas hanya baru sebatas menjawab, bahwa ikan mati terserang

penyakit virus tersebut di atas. Jawaban tersebut diyakinkan setelah adanya

pengembangan teknik deteksi virus dengan Polimerase Chain Reaction (PCR).

Riset dengan sasaran memperbaiki pertumbuhan dan ketahanan terhadap

penyakit menjadi tantangan ke depan. Sementara ini hasil riset ikan budidaya

yang sudah diperbaiki mutu genetiknya, sehingga mempunyai pertumbuhan lebih

baik dibandingkan dengan populasi aslinya adalah ikan mas Rajadanu, udang

galah G-Macro, Lele Sangkuriang, Patin Pasupati, Nila Cijeruk.

Dalam krisis ekonomi yang masih berlangsung saat ini, sektor perikanan

sangat diharapkan berperanan besar sebagai salah satu sumber devisa negara

untuk menggerakkan perekonomian nasional. Perikanan budidaya merupakan

(22)

sektor budidaya perikanan kontribusinya relatif kecil dari total produksi ikan,

namun dampak sosial yang diberikan cukup besar dalam menggerakkan ekonomi

masyarakat pedesaaan. Selain itu sektor budidaya mempunyai kelebihan dalam

aspek padat karya dan kerakyatan dibandingkan dengan sektor tangkapan yang

kebanyakan dimiliki oleh pengusaha besar. Nampaknya peningkatan budidaya

perikanan di masa depan menjadi sebuah tantangan dan target bersama.

Berdasarkan statistik perikanan kontribusi terbesar berasal dari perikanan

tangkap. Melihat bahwa dalam kurun waktu 2000 – 2003 luas areal

pembudidayaan bertambah dari 654.351 Ha menjadi 730.090 Ha, lahan

pembudidayaan tersebut terdiri dari lahan laut, tambak, kolam, dan sawah.

Sedangkan keramba/jaring apung berjumlah 160.189 unit pada tahun 2000

menjadi 272.518 unit pada tahun 2003 (DITJEN PERIKANAN

BUDIDAYA,2005). Secara umum produksi perikanan budidaya mengalami

peningkatan sebesar 10% per tahun yakni dari 994.962 ton pada tahun 2000

menjadi 1.224.192 ton pada tahun 2003.

Untuk Propinsi Jawa Barat, wilayah ini memiliki keunggulan pada sektor

budidaya ikan dibandingkan dengan propinsi lainnya dilihat dari jumlah rumah

tangga perikanan budidaya, jumlah petani, luas usaha budidaya, produksi, dan

nilainya berdasarkan STATISTIK PERIKANAN (2004). Potensi ini harus dapat

dimanfaatkan secara optimal, pengembangan- nya tidak berorientasi semata-mata

pada peningkatan produksi, tetapi kepada pening- katan produktivitas dan nilai

tambah. Oleh karena itu efisiensi usaha merupakan faktor yang sangat penting

(23)

itu, dukungan yang mengarah pada penerapan teknologi (nutrisi, lingkungan dan

patologi) yang lebih maju, perluasan areal dan pengadaan benih yang memadai

dalam jumlah maupun mutunya (pemuliaan) sangat dibutuhkan.

Khusus daerah-daerah tertentu, ikan-ikan yang menjadi maskot/ikon

daerah perlu mendapat perhatian untuk pengembangannya seperti ikan Batak di

Sumatera Utara, Belida di Sumatera Selatan, Nilem/Tawes/Kancra di Jawa Barat,

Tambra di Kalimantan, Sidat di Sulawesi, Cherax di Papua dan sebagainya.

Bekerjasama dengan pemerintah daerah akan lebih banyak lagi penciptaan

maskot-maskot ikan di daerah yang berkaitan dengan tradisi masyrakat lokal

untuk kepentingan produksi ikan budidaya dan pelestarian ikan-ikan favorit

tersebut dari kepunahan.

Perairan tropis di sekitar wilayah Indonesia merupakan pusat

keanekaragaman hayati (biodiversity) di dunia. Banyak sungai dan danau

merupakan habitat asli ikan Indonesia (endemic species). Sebagaimana dimaklumi

sumberdaya genetik telah lama dimanfaatkan secara terus-menerus dan bahkan

meningkat ekploitasinya untuk perdagangan. Pada tingkat global, kurang lebih

tiga perempat dari spesies yang belum diketahui hilang dari beberapa pulau yang

terisolasi (WCMC, 1992) yang sebagian besar merupakan jenis moluska dan

burung dari Wilayah Asia Pasifik. Untuk vertebrata, sebesar 1469 spesies dalam

kondisi terancam punah (UNEP, 2002).

Di kawasan Asia, banyak negara perekonomiannya masih sebagian besar

tergantung pada sumberdaya genetik. Dewasa ini telah muncul kesadaran dari

(24)

penggundulan hutan, pembendungan waduk, ekplorasi laut sebagai kegiatan yang

tidak berkelanjutan. Namun demikian sering dihadapi bahwa ekploitasi

sumberdaya alam dan konservasi sering berbenturan kepentingan. Meskipun telah

tersedia hukum untuk mengefektipkan konservasi keanekaragaman hayati namun

pelaksanaan dan pengawasannya menunjukkan banyak masalah khususnya yang

berkaitan dengan perdagangan gelap satwa liar/langka dan keberadaan perusahaan

kayu bahkan di lokasi kawasan lindung. Dalam beberapa pekan terakhir, terlalu

sering kita membaca dan mendengar banyaknya bencana yang timbul akibat ulah

dan keserakahan manusia berupa banjir dan tanah longsor. Tentu saja bencana-

bencana ini akan sangat mempengaruhi keberadaan spesies-spesies ikan yang kita

miliki akibat rusaknya habitat, spawning dan nursery ground yang sangat

menentukan keberlangsungan hidup. Mengingat betapa pentingnya peranan

sumberdaya genetik, sudah seharusnya dilakukan penegakan hukum secara

meyeluruh dan keterpaduan dalam pengelolaan aset yang kita miliki.

Dewasa ini berkembang suatu pandangan bahwa kriteria utama untuk

melakukan konservasi (pelestarian) adalah perbedaan phylogenetic (pohon

keturunan) (STIASSNY, 1994; VRIJENHOEK, 1998). Dari sisi taksonomi,

perbedaan yang jauh dari suatu biota memberikan kontribusi yang besar terhadap

keseluruhan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu perbedaan phylogenetic

sudah sepatutnya memperoleh prioritas yang lebih tinggi untuk keperluan

konservasi (BOWEN, 1999). Usulan pendekatan konservasi ini memiliki banyak

kemiripan dengan pendekatan yang memberikan prioritas lebih tinggi kepada area

(25)

Perbedaan antara pendekatan ekologi dengan sistematik adalah bahwa

pada konser- vasi dari suatu ekosistem tidak tergantung pada keberadaan spesies

yang terancam punah atau jenis endemik, melainkan untuk mencegah hilangnya

keanekaragaman hayati dari pengrusakan habitat. Oleh karena itu spesies- spesies

yang memainkan peranan penting dalam proses ekologi akan mendapatkan

prioritas yang lebih tinggi untuk dikonservasi. Dua pendekatan di atas dapat

dijadikan acuan kemana program konservasi yang akan kita jalankan untuk

melindungi kekayaan hayati yang kita miliki.

Upaya-upaya pelestarian plasma nutfah yang telah dilakukan adalah:

1. penetapan dan pembiakan ikan yang populasinya terbatas. Kegiatan ini

dilakukan oleh lembaga riset, perguruan tinggi, dan pengusaha/petani

maju;

2. penetapan wilayah konservasi oleh institusi terkait baik berupa kawasan

suaka alam terpadu maupun suaka perikanan di perairan tertentu; 3)

pengaturan lalu lintas plasma nutfah berupa introduksi spesies asing atau

dan transplantasi suatu spesies ke wilayah lain; 4) penebaran ulang

(restocking) berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkat- kan

pendapatan masyarakat nelayan dan pelestarian stock ikan dalam suatu

perairan umum; 5) pembentukan wadah koleksi, dapat berupa taman

rekreasi ataupun wisata seperti gelanggang samudra dan taman akuarium

ikan air tawar; 6) pengembangan jaringan pemanfaatan dan pelestarian

sumberdaya plasma nutfah, diantaranya Indonesian Network on Fish

(26)

Kekayaan sumberdaya genetik ikan merupakan suatu anugerah bagi

Indonesia. Seyogianya aset tersebut memberikan manfaat ekonomi untuk

mewujudkan ketahanan nasional apabila dikelola dan dimanfaatkan secara

optimal. Dengan mempertimbangkan kekayaan sumberdaya genetik perikanan

yang belum dimanfaatkan secara optimal maka perlu dilakukan pembenahan agar

supaya peranan sumber daya genetik ikan dalam pemenuhan kebutuhan pangan

dapat lebih ditingkatkan. Selain sebagai sumber pangan, sumber daya genetik

ikan juga sangat berperanan besar dalam kehidupan sosio-ekonomi masyarakat

Indonesia. Hendaknya dalam pemanfaatan sumber daya genetik, kearifan

tradisional merupakan pertimbangan yang perlu dimasukkan. Di masa mendatang,

penerapan pengelolaan dan kebijakan secara terpadu yang mengatur pemanfaatan

plasma nutfah yang berorientasi pada pelestarian yang berkelanjutan sangat perlu

diberdayakan dan mempunyai kekuatan hukum yang tegas.

B. Faktor Penghambat Dalam Perlindungan Sumber Daya Genetik Yang Akan Dipatenkan

Sumber daya genetik sebagai sesuatu yang ada di alam tidak seharusnya

diberi perlindungan paten tapi perlu dilindungi dari penjarahan. Sumber daya

genetik dapat dipatenkan asalkan memenuhi persyaratan standart berupa: novelty

(kebaruan), non – obvious (bersifat inventif) and useful (kebergunaan). Namun

(27)

sumber daya genetik yang akan dipatenkan. Berikut ini merupakan beberapa

faktor yang menjadi penghambat, yaitu :

1. Kurangnya penyampaian informasi dan pemahaman mengenai paten yang

dilakukan melalui sosialisasi. Kurangnya sosialisasi yang membuat masih

rendahnya pemahaman masyarakat terhadap sumber daya genetik yang

seharusnya dapat dipatenkan.

2. Kurangnya menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal. Kekayaan

sumber daya lokal yang melimpah namun kurangnya perhatian untuk

menginventarisirnya dan mematenkannya.

3. Kurangnya keahlian memanfaatkan sumber daya alam genetika.

4. Kurangnya ketersediaan perlindungan bagi pengetahuan masyarakat atas

sumber daya alam.

5. Sulitnya dalam pengurusan perizinan paten.

6. Banyak invensi yang dipatenkan oleh perusahaan dari negara maju dengan

menggunakan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional dari

Negara berkembang.

7. Sistem paten tidak menjamin PriorInformed Consent (PIC) dan Benefit

Sharing.

8. Tidak adanya suatu penghormatan atas kedaulatan (sovereignty) suatu

negara dimana SDG berasal.

9. mikroorganisme dinilai bukan merupakan suatu invensi, sehingga

(28)

C. Penyelesaian Faktor Penghambat Untuk Mematenkan Sumber Daya Genetik

Banyak faktor yang menjadi penghambat dalam perlindungan sumber

daya genetik yang akan dipatenkan, seperti yang telah disebutkan diatas. Berikut

ini penyelesaian yang menjadi faktor penghambat untuk mematenkan sumber

daya genetik, yaitu :

1. Melakukan perencanaan dan melakukan kerja sama dengan melibatkan

partisipasi seluruh elemen bangsa baik peneliti, akademisi, pemerintah,

lembaga swadaya masyarakat dan juga masyarakat yang bersangkutan

yang memiliki pengetahuan/penelitian untuk bisa dinikmati juga oleh

generasi yang mendatang.

2. Melakukan sosialisasi mengenai Paten.

3. Mempermudah perizinan Hak Paten.

4. Menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal.

5. Menjamin PriorInformed Consent (PIC) dan Benefit Sharing.

6. Mengamandemen UU No 13 Tahun 2016 dan menciptakan UU khusus

(29)

BAB V

Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab di atas, maka dapat ditarik kesimpulan,

bahwa :

1. Sumber Daya Genetik (SDG) yang diartikan sebagai material genetik

seperti bahan dari tumbuhan, binatang, jasad renik atau jasad laij yang

mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas) yang

mempunnyai nilai nyata atau potensial. Di Indonesia dasar hukum

mengenai Sumber Daya Genetik (SDG) ini tidak diatur secara khusus

namun terdapat beberapa peraturan terkait Sumber Daya Genetik yaitu

seperti Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, TAP MPR RI No. IV/MPR/1999

tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, TAP MPR

No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber

Daya Alam (SDA), Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 12

Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 44 Tahun 1995

tentang Perbenihan Tanaman, Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang

Perlindungan Varietas Tanaman dan Undang-undang No. 4 Tahun 2006

tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for

Food and Agriculture (ITPGRFA), PP Penggnti UU No. 1 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

(30)

2. Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang No. 6

Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertenakan dan Kesehatan Hewan

dan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

3. Paten sebagai bentuk perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual (HKI)

erat kaitannya dengan pemanfaat Sumber Daya Genetik (SDG). Paten

diberikan untuk setiap invensi, baik produk maupun proses dalam semua

bidang teknologi sepanjang invensi tersebut baru dan mempunyai langkah

inventif dan dapat diterapkan dalam industri.

4. Perlindungan Sumber Daya Genetik (SDG) dalam Undang-undang No. 13

Tahun 2016 sebenarnya tidak diatur secara khusus karena sumber daya

genetic sebagai sesuatu yang ada di alam tidak seharusnya diberi

perlindungan paten tetapi perlu diberi dilindungi dari penjarahan pihak

asing. Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dipatenkan dengan memenuhi

beberapa syarat, akan tetapi terdapat beberapa penghambat seperti,

kurangnya sosialisasi mengenai informasi dan pemahaman mengenai

paten, kurang menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal,

kurangnya keahlian memanfaatkan sumber daya alam genetika, kurangnya

ketersediaan perlindungan bagi pengetahuan masyarakat atas sumber daya

alam, sulitnya dalam pengurusan perizinan paten, banyaknya invensi yang

dipatenkan oleh perusahaan dari negara maju dengan menggunakan SDG

dan pengetahuan tradisonal dari negara berkembang, sistem paten tidak

menjamin Prior Informed Consent (PIC) dan Benefit Sharing, tidak

(31)

dimana SDG berasal dan mikrooganisme dinilai bukan merupakan suatu

invensi sehingga seharusnya merupakan subject matter yang tidak dapat

dipatenkan.

B. Saran

1. Kedepannya agar komponen yang diperlukan dalam perlindunga Sumber

Daya Genetik (SDG) ini seperti peraturan hukum yang secara khusus

mengenai Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dibuat atau diakan agar

tujuan Sumber Daya Gentik (SDG) untuk memakmurkan rakyat tercapai

dan berjalan dengan baik.

2. Kedepannya agar Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dimanfaatkan

dengan semestinya bersama-sama dengan sistem Hak Kekayaan

Interlektual (HKI) dan dapat dimanfaat untuk kepentingan bangsa sendiri

karena merupakan sinergi yang saling mendukung dalam memperoleh

manfaat dari potensi SDG.

3. Kedepannya agar Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dipatenkan dan

memenuhi syarat untuk dipatenkan yaitu dengan melakukaan sosialisasi

mengenai paten, mempermudah proses perzinan Hak Paten,

menginventarisir kekayaan sumber daya alam lokal, menjamin Prior

Informed Consent (PIC) dan Benefit Sharing, melakukan perencanaan dan

melakukan kerja sama dengan melibatkan seluruh elemen bangsa serta

Referensi

Dokumen terkait

Setiap pekerja dan pengusaha yang mengalami perselisihan mengenai hak, PHK dan kepentingan yang tidak berhasil diselesaikan dengan cara konsiliasi atau mediasi

Penelitian dilakukan di kelas VI SD Negeri 13 Katobu, Kabupaten Muna - Sulawesi Tenggara. Penggunaan strategi yang jelas, sistematis dan terarah merupakan suatu

It also requires to test which determinants (the accounting ratios) that significantly affect the most actively traded stocks in the ISX. This study also try to describe the

[r]

Dalam penelitian ini, persamaan regresi untuk pengujian hipotesis, selain menggunakan variabel bebas good corporate governance yang diwakili oleh komisaris independen,

Apabila gipsum tipe III daur ulang akan digunakan sebagai bahan model kerja maka fungsi optimalnya kurang dapat dicapai karena kekuatan kompresi yang sangat rendah. Nilai

Pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan terhadap barang rampasan negara dari tindak pidana dibidang kehutanan, yang amar putusannya menyatakan barang dirampas untuk negara

PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA LUMBAL DENGAN MENGGUNAKAN