BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah kepulauan yang besar yang terdiri dari
ribuan pulau, memiliki alam yang kaya, tanah yang subur dan ratusan juta
penduduk. Di samping itu Indonesia juga memiliki kebudayaan dan adat istiadat
yang berbeda satu sama lain yang dikenal dengan sebutan Bhineka Tunggal Ika.
Untuk menjaga penyelenggaraan tertib pemerintah yang baik dan efesien maka
penyebaran kekuasaan haruslah dijalankan secara efektif untuk mencapai cita-cita
dan tujuan akhir negara sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945. Hal inilah
yang membuat Indonesia harus membagi wilayahnya atas beberapa daerah baik
besar maupun kecil.
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan pembagian-pembagian Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dibagi atas daerah Provinsi yang terdiri dari
Kabupaten dan kota dan didalamnya dijelaskan bagaimana pembagian dan yang
menjalankannya, amanat konstitusi ini pada pelaksanaannya di atur oleh peraturan
perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan terakhir diatur dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur
pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai
pencerminan dilaksanakannya asas desentralisasi di bidang pemerintahan
Sejak 1 Januari 2001 pemerintah Pusat dan Daerah diberi kewenangan
yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola
daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen
keuangan daerah. Jika sebelumnya APBD harus disahkan oleh presiden melalui
menteri dalam negeri, maka dengan otonomi dan desentralisasi fiskal APBD
cukup di sahkan oleh DPRD (Mahmudi, 2009: 4). Meskipun pemerintah daerah
telah diberi otonomi secara luas dan desentralisasi fiskal namun pelaksanaan
otonomi tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum Negara Kesatuan
Repubik Indonesia (NKRI).
Keberadaan lokal yang bersifat otonom ditandai oleh pemberian
wewenang yang sekaligus menjadi kewajiban bagi daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, hak dan kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga
inilah yang disebut dengan otonomi. Untuk menyelenggarakan otonomi
pemerintah pusat menyerahkan sejumlah urusan pemerintah sebagai urusan rumah
tangga daerah otonom baik pada daerah provinsi maupun daerah Kabupaten dan
kota, berdasarkan kondisi politik, sosial dan budaya, pertahanan dan kemanan,
serta syarat-syarat keadaan dan kemampuan daerah otonom yang bersangkutan
(Nasution, 2009: 2).
Adapun otonomi daerah ini dilakukan adalah untuk meningkatkan
kemandirian daerah, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas publik atas
pengelolaan keuangan daerah, meningkatkan responsivitas pemerintah terhadap
meningkatkan efesiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan
publik serta mendorong demokratisasi di daerah (Mahmudi, 2009: 2). Gambaran
citra kemandirian daerah dalam berotonomi daerah dapat diketahui melalui
seberapa besar kemampuan sumber daya keuangan daerah tersebut agar mampu
membangun daerahnya. Semakin sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi
derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa daerah tersebut
semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Secara umum semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah
dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri
akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Kinerja keuangan positif
dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dala m membiayai
kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah
tersebut (Sutedi, 2009: 11).
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah inilah
salah satu tujuan dari otonomi daerah. Dengan adanya otonomi di harapkan
masing-masing daerah mandiri dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Dengan kemandirian keuangan daerah menggambarkan bagaimana posisi daerah
yang mandiri tanpa bergantung terhadap bantuan pemerintah pusat. Maka prinsip
tolak ukur keberhasilan daerah otonomi menjalankan otonomi daerah dapat
dikatakan tercapai.
Untuk merealisasikan Untuk pelaksanaan Otonomi Daerah melalui
kemandirian keuangan daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah
tergantung pada peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah
terdiri dari : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, bagian laba pengelolaan
aset daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan yang sah (Mahmudi 2009:
16). Kemandirian fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam meningkatkan pendapatan asli daerah seperti pajak dan retribusi daerah dan
lain-lain, serta pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai
kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara
finansial harus sebanyak mungkin menggali sumber pendapatan asli daerah
seperti pajak, retribusi dan sebagainya (Radianto dalam Renny, 2013).
Pendapatan Asli daerah menjadi salah satu ukuran penting dalam menilai apakah
daerah-daerah akan mampu menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pendapatan Asli Daerah juga
harapannya dapat mengurangi ataupun mencegah ketergantungan yang tinggi
terhadap penerimaan pusat (Nasution, 2009: 123-124).
Meskipun daerah memiliki Pendapatan Asli Daerah namun tidak bisa
dipungkiri bahwa PAD tidaklah cukup untuk membiayai daerah tersebut,
sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia masih memiliki tingkat
ketergantungan keuangan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Penerimaan
Dana perimbangan ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama yaitu yang
pertama Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
(Mahmudi, 2010: 27). Dan yang memiliki sumbangsih yang terbesar dari Dana
Perimbangan ialah Dana Alokasi Umum. Semakin kecil penerimaan pusat yang
diterima maka semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerah tersebut.
Dapat dilihat seberapa besar sumbangsih Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Perimbangan pada kota di Sumatera Utara dalam meningkatkan Kemandirian
keuangan daerahnya pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan yang diterima oleh Kabupaten dan Kota yang Ada di Sumatera Utara Tahun 2014
(dalam jutaan rupiah)
Nama Kota PAD Dana Perimbangan
DBH DAU DAK
Kota Binjai 68.708 34.783 526.070 31.534
Kota Medan 1.51.686 214.335 1.393.505 74.110
Kota Pematang Siantar 57.807 15.336 519.436 32.663
Kota Sibolga 36.216 19.010 371.813 33.880
Kota Tanjung Balai 34.409 12.884 387.259 34.027
Kota Tebing Tinggi 47.477 8.910 385.030 36.232
Kota Padang Sidempuan 42.456 19.349 470.353 38.329
Kabupaten Asahan 59.130 58.111 795.351 67.954
Kabupaten Dairi 24.331 19.883 532.723 48.992
Kabupaten Deli Serdang 566.665 63.767 1.363.811 104.688
Kabupaten Tanah Karo 67.344 17.712 686.835 56.293
Kabupaten Labuhan Batu 85.350 52.508 561.476 40.225 Kabupaten Langkat 114.868 133.754 1.039.651 67.163 Kabupaten Mandailing
Natal
50.000 38.134 692.134 59.876
Kabupaten Nias 44.642 9.629 347.699 72.092
Kabupaten Simalungun 110.000 90.000 1.077.986 78.064 Kabupaten Tapanuli
Kabupaten Samosir 23.409 15.978 495.377 67.784
Kabupaten Sibolga 36.216 19.010 371.813 33.880
Lanjutan Tabel .1.1
Nama Kota PAD Dana Perimbangan
DBH DAU DAK
Kabupaten Nias Selatan 76.650 45.314 455.534 95.135 Kabupaten Humbang
Kabupaten Batu Bara 29.448 27.441 591.720 51.819
Kabupaten Padang Lawas 34.251 40.974 408.044 34.724 Kabupaten Padang Lawas
Kabupaten Nias Utara 15.000 14.322 355.355 743.951 Kabupaten Nias Barat 10.000 11.000 279.675 49.385
Kota Gunung Sitoli 28.400 10.000 385.523 32.232
Sumber: www.djpk.go.id
Pada Tabel 1.1 terlihat jelas bahwa Pendapatan Asli Daerah masihsangat
kecil jika dibandingan dana yang diterima dari Pendapatan Perimbangan. Dari
penjelasan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
“Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap
Kemandirian Keuangan Pada Daerah yang Ada di Sumatera Utara pada
Tahun 2010-2014”
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah maka dapat
Apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana
Alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki pengaruh signifikan terhadap
Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah baik secara parsial dan simultan?
1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tujuan yang dicapai dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana
Alokasi Khusus terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah secara parsial
dan simultan.
1.4Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Pusat dan daerahMemberikan masukan informasi berupa
bukti empiris tentang pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
terhadap Tingkat Kemandirian keuangan Daerah pada Kota yang ada di
Sumatera Utara, dan juga sebagai bahan masukan dalam penyusunan APBD
Pemerintah Kab/Kota pada Provinsi Sumatera Utara di tahun-tahun yang
akan datang.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini untuk menambah wawasan tentang pengaruh pengaruh
Alokasi Khusus terhadap Tingkat Kemandirian keuangan Daerah pada Kota
yang ada di Sumatera Utara.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
referensi untuk penelitian lebih lanjut, terutama peneliti yang melakukan
penelitian yang berkaitan dengan pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana
Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Tingkat