• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang

menginfeksi sel-sel sistem imun (kekebalan) tubuh , kemudian merusak sistem imun yang terinfeksi dengan meghancurkan sel darah spesifik yang disebut sel CD4 limfosit T yang sangat krusial dalam proses pertahan tubuh terhadap penyakit (WHO, 2012). Dalam beberapa minggu setelah terinfeksi HIV, pada sebagian orang akan akan muncul gejala seperti flu (flu-like symptoms) yang akan menghilang satu atau dua minggu, tetapi pada sebagian orang lagi tidak timbul gejala sama sekali. Orang yang hidup dengan HIV dapat tampak sehat selama beberapa tahun. Namun, meskipun mereka merasa sehat, virus ini tetap menggerogoti sel-sel limfosit T dalam tubuh. AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV, ketika imunitas seseorang yang terinfeksi HIV sangat rusak, sangat sulit bertahan melawan berbagai infeksi dan beberapa jenis kanker, stadium ini disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (Marr, 1998).

Kasus AIDS dilaporkan pertama kali pada awal tahun 1980-an. Pada tanggal 5 Juni 1981, the Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) melaporkan adanya lima (5) kasus Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) pada pria-pria homoseksual. Sebelum adanya perkembangan pengobatan, orang dengan HIV dapat menjadi AIDS hanya dalam beberapa tahun, namun saat ini orang dengan HIV dapat

(2)

lebih lama hidup produktif sebelum menjadi AIDS. Hal ini disebabkan adanya kombinasi obat yang sangat aktif yang pertama kali diperkenalkan pada awal 1990-an (www.cdc.gov/hiv/topics/basic/index.htm).

Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV tipe 1 merupakan jenis yang paling banyak, lebih dari 40 juta infeksi HIV disebabkan tipe ini. Tipe lainnya yaitu HIV tipe 2 merupakan tipe yang dominan di Afrika Barat. Beberapa kasus tipe HIV-2 dilaporkan di Amerika Serikat namun setelah ditelusuri ternyata mereka yang terinfeksi pernah berkunjung ke Afrika Barat atau pernah melakukan kontak seksual dengan orang dari Afrika Barat.(Marr, Lisa, 1998; American Public Health Association, 2004)

Semenjak ditemukan sampai saat ini prevalensi HIV terus meningkat. Sampai tahun 2012 diperkirakan terdapat 35,3 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia dan 2,3 juta diantaranya merupakan infeksi baru (UNAIDS, 2013).

2.1.1 Perjalanan Penyakit

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala

penyakit yang menyerang tubuh setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Perjalan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu :

- Sindrom retroviral akut

(3)

terjadinya serokonversi. Setelah serokonversi, antibodi HIV dapat dideteksi di dalam darah penderita.

- Infeksi kronis (asimtomatik)

Pada tahap ini penderita tidak mengalami gejala apa-apa terkait infeksi HIV, sehingga penderita tidak menyadari sudah terinfeksi HIV. Penderita dapat melakukan semua aktifitas sehari-hari, tetap produktif selayaknya orang sehat lainnya. Tahan ini dapat berlangsung selama lebih kurang 8 tahun.

- Infeksi kronis (simtomatik)

Setelah virus ini cukup parah menggerogoti sistem kekebalan penderita, mulai timbul berbagai infeksi sebagai manifestasi ketidakmampuan tubuh melawan berbagai infeksi. Gejala-gajala ini dapat terjadi mulai dari ringan, sedang sampai berat (AIDS)

2.1.2 Penularan HIV

Banyak variabel yang menentukan terjadinya infeksi HIV dari seseorang kepada orang lain. Variabel ini meliputi donor (orang yang menularkan) dan resipien (orang yang ditularkan) serta portal of entry dari virus HIV. Variabel yang paling penting adalah rute transmisi, kepadatan virus (viral load), tipe HIV, dan resistensi genetik dari resipien (Stine, 2011).

(4)

transplantasi jaringan atau organ yang terinfeksi dan penularan vertikal dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya (American Public Health Association, 2004).

Penularan HIV melalui kontak seksual terjadi baik secara oral, anal maupun vaginal. Tingkat Resiko penularan tergantung tergantung dari jenis kontak seksual dan seberapa infeksius patner seksual (stadium infeksi pasangan seksual). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kontak seksual anal lebih berisiko dibanding dengan vaginal, sedangkan risiko hubungan seksual secara oral lebih rendah dari keduanya (Marr, 1998; Stine, 2011).

Tahapan yang paling infeksius dalam masa perjalanan penyakit terjadi pada tahap awal dan akhir dari infeksi. Pada tahap awal infeksi terjadi replikasi virus yang sangat cepat meskipun belum disertai gejala penyakit (asimtomatik) dan belum terjadi serokonversi yaitu belum dapat dideteksi adanya anti HIV di dalam darah penderita. Pada tahap akhir dari perjalanan penyakit ini atau stadium AIDS, virus HIV dalam jumlah besar bersirkulasi di dalam tubuh penderita yang sudah lemah dan tidak mampu melawan virus dan infeksi lainnya. Penderita HIV yang baru terinfeksi atau sudah pada tahap akhir infeksi sangat berisiko untuk secara efektif menginfeksi partner seksualnya karena pada tahap ini viral load-nya sangat tinggi (Marr, 1998).

(5)

kasus ditularkan melalui jalur heteroseksual dan penasun sebesar 15,2 % (Kemenkes, 2013).

2.1.3 Pemeriksaan Laboratorium HIV

Pemeriksaan laboratorium untuk untuk HIV dapat dilakukan dengan berbagai metoda, diantaranya biakan terhadap virus, deteksi antigen (p24), deteksi materi genetik (PCR) dan deteksi terhadap antibodi HIV. Namun untuk diagnosis umumnya dilakukan dengan pemeriksaan antibodi HIV (Depkes, 2008).

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan mengalami serokonversi yaitu terdeteksinya antibodi HIV di dalam darah penderita sekitar 1-3 bulan setelah terinfeksi, namun hal ini bisa berbeda-beda pada tiap orang. Di Amerika Serikat, rata-rata serokonversi adalah 25 hari (2-8 minggu). Pemeriksaan serologis untuk pemeriksaan antibodi HIV telah tersedia sejak tahun 1985. Metoda yang paling banyak digunakan untuk tujuan skrining adalah EIA atau ELISA dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan yang lebih dini sebelum serokonversi dapat dilakukan dengan pemeriksaan materi genetik p24 dan PCR.

(6)

Pemeriksaan HIV di Indonesia sesuai dengan pedoman Nasional menggunakan tes anti bodi hiv yaitu reagen tes cepat. Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Untuk pemeriksaan pertama harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi (> 99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (> 99 %) (Kemenkes RI, 2011).

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut dengan masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil tes negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

2.1.4 Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi HIV

Penanggulangan HIV dilakukan tidak hanya mencegah penularan dari orang yang terinfeksi kepada oralang lain, namun juga bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya penularan. Pencegahan penularan dari orang yang teinfeksi kepada orang lain dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

- Menjauhi hubungan seks bebas atau di luar nikah. Berbagai studi mengatakan bahwa resiko terkena infeksi HIV berhubungan dengan hubungan seks pertama kali.

(7)

- Penggunaan kondom dengan benar dan konsisten. - Menjauhi penggunaan napza dengan jarum suntik

- Melakukan pemeriksaan terhadap HIV serta mengobati penyakit infeksi menular (IMS) lain.

2.1.5 Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Komisi khusus dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yaitu KPAN membuat strategi dalam pengendalian HIV/AIDS pada tahun 2010 yang diterbitkan dalam bentuk “Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014”. KPAN menyebutkan program strategi penaggulangan HIV/AIDS terdiri atas 4 area :

- Pencegahan. Kegiatan pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual, pencegahan melalui alat suntik, pencegahan penularan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan penularan dari ibu kepada bayi, pencegahan penularan pada pekerja seks (WPS) dan pelanggannya serta pada orang muda berisiko (15-24 tahun)

- Perawatan, dukungan dan pengobatan. Kegiatan meliputi pengobatan dengan anti retroviral ARV), pengobatan infeksi oportunistik, penguatan dan perluasan layanan serta dukungan psikologis dan sosial.

- Peningkatan lingkungan yang kondusif, serta - Program mitigasi dampak.

(8)

dalam Millenium Development Goals (MDGs). Dalam rangka percepatan pencapaian MDGs, dikeluarkan Instruksi Presiden (inpres) no. 1 tahun 2010 yang disusul dengan keluarnya Inpres no.3 tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan, yang menjadi indikator pengendalian HIV/AIDS sampai tahun 2015. (Kemenkes, 2010) Indikator-indikator tersebut yaitu :

- Prevalens HIV < 0,5%

- Penggunaan kondom kelompok berisiko tinggi pada hubungan seks terakhir 65% pada perempuan dan 50% pada laki-laki

- Minimum 95% penduduk 15 tahun keatas yang mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS.

- Minimum 90% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapatkan pengobatan ARV.

- 100% kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan dan penularan HIV

2.2 Pengguna Napza Suntik (Penasun)

(9)

berhenti yang diperlukan waktu cukup lama dalam terapinya. Yang menyedihkan adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai penasun atau bahkan ketergantungan ini, sehingga cap yang melekat pada penasun adalah anti sosial, kriminalitas sehingga meresahkan masyarakat, pemalas, dan sebagainya (KPA Kab. Pasuruan, 2011).

Penasun adalah pengguna napza dengan cara suntikan, menjadi beresiko untuk berperilaku menggunakan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril serta juga relatif aktif secara seksual terutama bagi mereka yang melakukannya dengan lebih dari satu pasangan. Hal ini meningkatkan terjadinya risiko penularan HIV (KPA, 2008).

2.3 Faktor-faktor Resiko Infeksi HIV pada Pengguna Napza Suntik (Penasun)

Studi-studi tentang faktor resiko infeksi HIV telah dilakukan di berbagai negara sejak infeksi ini menjadi pandemi di seluruh dunia. Studi ini dilakukan dengan berbagai disain, yaitu disain kohort, trial maupun potong lintang. Namun studi yang paling banyak dilakukan adalah disain potong lintang, hal ini terkait dengan karakteristik infeksi HIV dengan masa laten yang panjang, prevalensi yang masih dibawah 10% di banyak negara dan adanya stigma.

(10)

ekonomi (mis. income, pendidikan, pekerjaan), sosial budaya (mis. agama, suku), demografik (mis. jenis kelamin, umur, status perkawinan, mobilitas, tempat tinggal) dan intervensi program. Intervensi program termasuk di dalamnya konseling dan testing, pengendalian IMS, promosi kondom, pendidikan perubahan perilaku, pengamanan darah donor dan pengurangan dampak buruk napza suntik. Determinan proksi sendiri diantaranya jumlah pasangan seks, frekuensi coital, percampuran seks (sexual mixing), abstinensia, transfusi darah, pemakaian narkoba suntik, pemakaian kondom, sirkumsisi, jenis hubungan seksual, viral load, pengobatan ARV dan kerentanan biologis.

2.3.1 Demografi

a. Umur

Sebagaimana disebutkan pada framework oleh Boerma & Weir, umur merupakan salah satu underlying determinan terhadap infeksi HIV. Delapan puluh lima persen (85%) orang yang didiagnosis IMS berusia antara 14-30 tahun. Hal ini mungkin disebabkan pada usia ini dimulainya keingin-tahuan tentang seks pada usia remaja dan dewasa muda. Pada saat yang sama pengetahuan mereka tentang penyakit dan pencegahan IMS sangat minim. Pada kasus ini umur bisa merupakan faktor risiko yang mendasar (underlying determinants) (Marr: 1998).

(11)

menunjukkan pria pada kelompok umur 20-34 tahun dan 35-54 tahun lebih berisiko daripada kelompok umur 15-19 tahun (Todd, James et al, 2006). Sedangkan studi kohort prospektif yang dilakukan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa “umur”tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap risiko infeksi HIV (Rakwar, Joel et al, 1999). Hasil Survey IBBS (Integrated Behaviour and Biological Survey) pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV lebih tinggi diantara usia 20 tahun ke atas dibandingkan untuk penasun muda (FHI, 2009.) Konsisten dengan studi yang dilakukan oleh James todd et al, Audrey Pettifor et al dan Sangeeta et al, hasil studi IBBS di India tahun 2007 menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian infeksi HIV (Pandey, Arvind et al, 2010).

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu karakteristik individu yang menjadi variabel yang paling sering dihubungkan dengan kejadian suatu penyakit, termasuk IMS dan HIV. Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa penasun yang tidak bisa baca-tulis beresiko 20 kali terinfeksi HIV dibandingkan penasun yang bisa baca-tulis (FHI, 2009).

c. Status Perkawinan

Studi-studi tentang hubungan berbagai faktor risiko terhadap kejadian infeksi HIV telah bayak dilakukan. Hasil Survey IBBS (Integrated Behaviour and Biological Survey) pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa

(12)

2.3.2 Perilaku

Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Menurut teori Skinner “SOR” (Stimulus Organisme Respons), membedakan adanya dua respons yaitu :

1) Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.

2) Operant response atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1) Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks. 2) Perilaku terbuka (overt behavior)

(13)

2.3.2.1 Perilaku Penggunaan Napza Suntik

a. Penggunaan Jarum Suntik bekas

Hasil penelitian di Semarang pada tahun 2008 menunjukkan dari 75 orang penasun yang menjadi responden , 34,7 % menggunakan jarum suntik bergantian dalam 6 bulan terakhir ( Winarno, Suryoputro, Shaluhiyah , 2008).

Tingkat cukup tinggi prilaku berbagi jarum suntik adalah di Bangladesh dan India. Sementara di Kathmandu dan Nepal terjadi penurunan tajam dalam hal perilaku berbagi jarum suntik yaitu dari 56 % pada tahun 2002 menjadi 7 % pada tahun 2009 (WHO SEARO, 2010).

Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penasun yang berbagi jarum suntik dalam seminggu terakhir dengan infeksi HIV (FHI 360, 2009).

b. Lama Penggunaan Napza Suntik

Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada penasun yang sudah menggunakan napza sunti lebih dari 5 tahun lebih tinggi (5 %) dibandingkan penasun yang menggunakan napza suntik kurang dari 5 tahun (3,1 %) (FHI, 2009).

2.3.2.2 Prilaku Seks

(14)

a. Pemakaian kondom

Salah satu faktor risiko terhadap infeksi HIV yang paling banyak diteliti adalah tingkat pemakaian kondom. Kondom sendiri pada awalnya berfungsi sebagai alat kontrasepsi pria yang bekerja menghalangi masulnya sperma ke dalam saluran reproduksi wanita. Data menunjukkan bahwa hampir 90% kasus HIV di seluruh dunia ditularkan melalui transmisi seksual . Hal ini bukan berarti hubungan seks mutlak harus dihindari karena secara alamiah hal ini merupakan bagian dari kebutuhan biologis. Namun ada beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan yaitu menunda hubungan seks sampai pada usia tertentu (abstinence) atau sampai pada suatu saat menemukan orang yang tepat yang diketahui status kesehatan seksualnya serta berkomitmen untuk monogami serta setia hanya pada satu pasangan (be faithful).

Namun bila bila penundaan hubungan seks dan kesetiaan pada satu pasangan tidak dapat dilakukan atau tidak dapat dijamin, maka pencegahan penularan IMS atau HIV dapat dilakukan dengan penggunaan kondom dengan baik dan benar pada saat berhubungan seks.

(15)

Pada saat ini, kondom dapat terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami (hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Berbagai bahan telah ditambahkan pada kondom baik untuk meningkatkan efektivitasnya (misalnya dengan menambahkan spermicidal) maupun sebagai aksesoris aktifitas seksual.

Kondom tidak hanya diperuntukkan untuk pria namun juga wanita. Kondom pria merupakan selubung karet tipis yang dipasang pada penis sebagai tempat penampungan air mani yang dikeluarkan pria pada saat senggama sehingga tidak tercurah pada vagina. Cara kerja kondom yaitu mencegah pertemuan sperma dan ovum. Jenis kondom lainnya adalah kondom wanita. Kondom wanita menawarkan suatu alternatif pencegahan penularan IMS maupun pencegahan ke hamilan bila kondom pria tidak memungkinkan.

Di Amerika, kondom wanita pertama kali diakui oleh FDA pada tahun 1993. Pada studi terhadap 150 wanita yang menggunakan kondom wanita selama 6 bulan, ditemukan pada 26 responden terjadi kehamilan, namun dikatakan bahwa hal ini terjadi karena responden tidak memakai kondom tersebut pada setiap hubungan (tidak konsisten) dengan cara yang benar. Efektifitas kondom pria sendiri sekitar 98% dan wanita 95% (AIDS Update, 2011).

(16)

rendah dibandingkan dengan pasangan seks lainnya (Federal Ministry of Health, 2010).

b. Usia pertama kali melakukan hubungan seks

Hasil studi memperlihatkan bahwa proporsi penasun yang perilaku seksnya berisiko lebih besar dibanding penasun yang perilaku seksnya tidak berisiko. Proporsi penasun yang perilaku seksnya berisiko (76,5%), lebih besar dibanding yang tidak berisiko (23,5%). Hasil analisis logistik menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko pada penasun berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu usia hubungan seks pertama kali, status pekerjaan, dan status pernikahan. Dari beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku seks berisiko tersebut, status pernikahan menunjukkan hubungan yang paling erat dan signifikan secara statistik. Penasun yang berstatus menikah mempunyai perilaku seks berisiko lebih besar tehadap kerentanan penularan HIV kepada istri atau pasangan tetapnya (Setiawan, 2002).

Usia saat pertama kali berhubungan seks merupakan faktor risiko terhadap infeksi HIV, hal ini dihubungkan dengan kesiapan/kematangan organ reproduksi, lamanya masa aktif secara seksual, jumlah pasangan, hubungan seks tanpa pelindung, partner seks yang lebih tua dan adanya kekerasan seksual pada usia muda (CDC, 2012; WHO, 2006).

(17)

hubungan seks pertama kali pada usia ≤ 14 tahun baik vaginal atau anal (WHO, 2006). Usia pertama kali berhubungan seks merupakan proksi terhadap paparan terhadap infeksi HIV (Wand, Handan, 2013).

Berdasarkan laporan CDC pada survei National Youth Risk Behavior Survey (YRBS) tahun 2009, 46% remaja telah melakukan hubungan seks dini. Sebanyak 5,9% melakukan hubungan seks pertama sebelum usia 13 tahun, 34,2% remaja mengaku telah melakukan hubungan seks selama 3 bulan sebelum survei, dan 38,9% tidak menggunakan kondom saat berhubungan (CDC, 2011).

2.3.3 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

(18)

seseorang untuk melakukan justifikasi dan penilaian terhadap obyek atau masalah tertentu (Notoatmodjo, 2012).

Bila ditelaah uraian tentang pengetahuan maka penilaian pengetahuan seseorang terhadap HIV/AIDS berhubungan dengan informasi yang didapatkan seseorangtentang HIV/AIDS baik secara formal maupun informal. Salah satu sumber informasi mengenai HIV/AIDS yang komprehensif diperoleh ketika melakukan pemeriksaan HIV melalui VCT (Voluntary Counselling & Testing).

2.3.4 Riwayat Penyakit IMS

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 340 juta kasus

IMS baru seperti sifilis, gonore, klamidia dan trikomoniasis terjadi setiap tahun di seluruh dunia pada pria dan wanita berusia 15-49 tahun. Situasi ini berkontribusi tidak hanya pada peningkatan jumlah penderita HIV, namun juga infeksi virus herpes, human papilommavirus (HPV) dan hepatitis B.

Infeksi menular seksual atau Sexually Transmitted infections (STIs) merupakan infeksi yang terutama ditularkan melalui kontak seksual antara orang ke-orang oleh lebih dari 30 jenis bakteri, virus dan parasit (WHO, 2012).

(19)

2.4 Program Pengurangan Dampak Buruk Bagi Penasun

Pelaksanaan pengurangan dampak buruk Napza sendiri di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1999. Yayasan Hati-hati, Bali telah mulai melakukan kegiatan penjangkauan dan pendampingan pada kelompok Penasun untuk mencegah penularan HIV. Dalam melaksanakan kegiatannya, Yayasan Hati-hati mempekerjakan petugas lapangan dari mantan Penasun. Lokakarya Nasional pertama pada tahun 1999 yang membahas mengenai kaitan antara penggunaan Napza dengan cara suntik dan HIV/AIDS di Puncak, Bogor dapat dikatakan sebagai respon awal terhadap isu HIV/AIDS dan Penasun.

Istilah pengurangan dampak buruk Napza berasal dari terjemahan Harm Reduction dan bila diartikan secara kata perkata yaitu, harm = kerugian, kejahatan,

kerusakan, kesalahan sedangkan reduction = penurunan, pengurangan. Sehingga Harm Reduction berarti pengurangan / penurunan kerugian / kerusakan.

World Health Organization (WHO), sebagai badan United Nation (UN) yang

(20)

penggunaan perlengkapan menyuntik untuk menyuntikan Napza yang tidak steril dan digunakan secara bersama-sama” (Depkes RI, 2006).

WHO, UNAIDS dan UNODC pada tahun 2009 secara bersamasama merekomendasikan suatu paket intervensi komprehensif bagi penasun untuk mengurangi perilaku berisiko dan memperkecil dampaknya. Selain itu dengan dilaksanakannya paket intervensi komprehensif tersebut diharapkan bisa lebih merealisasikan akses universal terhadap berbagai layanan kesehatan yang penting bagi penasun untuk mencegah penularan HIV dan merawat serta mengobati berbagai penyakit yang diakibatkan oleh AIDS. Paket penanggulangan HIV pada penasun yang komprehensif terdiri atas:

- Layanan jarum dan alat suntik steril (LJASS),

- Terapi substitusi opiat

- Konseling dan Tes HIV,

- Pencegahan infeksi menular seksual,

- Promosi kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya,

- Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang diarahkan secara khusus kepada penasun

dan pasangan seksualnya

- Terapi antiretroviral,

- Vaksinasi, diagnosis dan terapi untuk hepatitis, dan

(21)

2.5 Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011

2.5.1 Rancangan Studi STBP 2011

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI merupakan survei yang dilakukan dengan disain studi potong lintang (cross sectional). Survei ini dilakukan pada bulan Januari – Maret 2011 di 11 provinsi di Indonesia, meliputi 33 kabupaten/kota di Indonesia dengan beberapa kelompok risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks langsung (WPSL), wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL), Pengguna Napza Suntik (Penasun), waria, Lelaki Seks Lelaki (LSL), narapidana, remaja dan pria berisiko tinggi(risti). Untuk Provinsi Sumatera Utara survei dilaksanakan di Kota Medan dan kab. Deli Serdang, dan untuk kelompok penasun survei dilakukan di Kota Medan (Kemenkes RI, 2011) .

2.5.2 Cara Pengambilan Sampel (Sampling)

(22)

RDS berawal dari sejumlah kecil peserta yang dipilih secara purposif yang biasanya disebut seed, yang seharusnya dipilih seheterogen mungkin untuk memastikan bahwa sembarang anggota kelompok memiliki kemungkinan besar untuk direkrut. Seed yang direkrut adalah penasun yang dapat memotivasi orang lain untuk ikut dalam program dan mereka harus mendukung tujuan dari program ini. Disamping itu seed ini diusahakan berasal dari orang dengan karakteristik yang beragam, karakteristik tersebut misalnya umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, status sosial dan ekonomi, dan sebagainya.

Pada awalnya dipilih sebanyak 8 seed namun bila dalam tenggat waktu survei sampel size belum terpenuhi bisa ditambahkan beberapa seed lagi. Seed akan dipilih oleh staf LSM yang menyediakan pelayanan kepada kelompok sasaran. Seed tersebut seharusnya dikenal baik dan diterima luas oleh kalangan mereka. Umumnya diusulkan kepada para anggota pekerja dari target populasi untuk bertindak sebagai seed.

(23)

2.5.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada saat STBP 2011 dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melakukan wawancara dengan responden terpilih dan pemeriksaan laboratorium terhadap contoh darah responden. Pengambilan contoh darah dilakukan oleh tenaga terlatih dan kemudian dibawa ke laboratorium atau klinik yang ditunjuk di daerah terpilih selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011).

Pemeriksaan HIV dilakukan dengan tes serologis yaitu pemeriksaan anti HIV dengan alur pemeriksaan anti HIV strategi 2 untuk surveilans. Pemeriksaan ini menggunakan dua (2) jenis reagen yang berbeda yaitu reagen I (SD HIV 1/2) dan reagen II (Fokus HIV) (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011).

Wawancara dilakukan oleh enumerator (pewawancara) yang telah dilatih untuk mengumpulkan data dari wawancara, sedangkan data laboratorium diperoleh dari laporan hasil pemeriksaan contoh darah responden dari laboratorium yang ditunjuk (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011).

2.6 Landasan Teori

(24)

Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Infeksi HIV

(25)

2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan kerangka teori, disusun beberapa faktor resiko yang akan diteliti sebagai variabel penelitian seperti digambarkan pada bagan berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Sumber : Diadaptasi dari “The Proximate-Determinants Framework” oleh J. Ties Boerma & Sharon S. Weir (Boerma, Weir, 2005).

Demografi :

‐ Umur

‐ Tingkat Pendidikan

‐ Status Perkawinan

‐ Sumber Pendapatan Napza Suntik :

‐ Lama menggunakan Napza suntik

‐ Penggunaan jarum suntik bergantian

Prilaku Seks

‐ Usia pertama kali

melakukan hubungan seks

‐ Riwayat melakukan

hubungan seks dengan WPS

‐ Jumlah Pasangan Seks - Konsistensi pemakaian kondom dengan WPS Pengetahuan

Riwayat Gejala IMS

Gambar

Gambar  2.1 Kerangka Teori Faktor-faktor yang  Berhubungan dengan Infeksi HIV
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Kebiasaan dalam pengelolaan pembuatan kue rumahan di Desa Lampanah memiliki kebiasaan kurang baik, hal ini di sebabkan karena pengelolaan kue rumahan oleh

Proses ekstrusi adalah suatu proses penekanan material yang telah cair, dimana proses penekanannya menggunakan suatu tekanan konstan kemudian material didorong oleh screw menuju

te rim a kasih ke pada se luruh stake holde r, jajaran dire ksi se rta se luruh karyawan Pe rse roan, kam i pe rcaya bahwa de ngan ke rja ke ras, optim ism e m aupun pe rke nanNya

Lift truck (Forklift) adalah jenis kendaran pengangkut yang biasa digunakan untuk memindahkan barang dan sebagai alat penyusun barang, yang penggunaanya tidak dapat di lakukan oleh

Aset keuangan tersedia untuk dijual merupakan aset yang ditetapkan sebagai tersedia untuk dijual atau tidak diklasifikasikan dalam kategori instrumen keuangan yang lain,