• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hadits2 Ahkam Yang Terkait Dengan Wasiat (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hadits2 Ahkam Yang Terkait Dengan Wasiat (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Wasiat merupakan sesuatu hal yang harus dikeluarkan dan ditunaikan jika seseorang sebelum meninggal dunia memberikan suatu wasiat terhadap orang lain untuk dimanfaatkan oleh orang sipenerima wasiat tersebut. Dalam wasiat ini, si penerima baru bisa memanfaatkan harta yang telah diwasiatkan oleh sipemberi wasiat itu ketika sipemberi wasiat telah meninggal dunia.

Allah Swt. Memberikan keluasan bagi setiap orang yang belum menemui ajalnya untuk mewujudkan keinginan yang tidak tercapai saat masih hidup. Salah satunya adalah melalui wasiat. Sesuai aturannya wasiat haruslah milik orang yang memberi wasiat dan secara kuantitas jumlah harta yang diwasiatkan tidak melebihi ketentuan syariat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu wasiat dan dalil hadits yang terkait dengan itu?

2. Bagaimana hukum wasiat itu?

3. Apa sarat-sarat berwasiat?

4. Apa saja penyebab batalnya wasiat?

5. Bagaimana hikmah wasiat tersebut? C. Tujuan

(2)

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Wasiat

Kata wasiat (washiyah) itu diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu ia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah ia mati.

Dalam istilah syara’, wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.

Sebahagian fuqaha mendefenisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik ssecara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberianya mati. Dari sini, jelas perbedaan antara wasiat dan hibah. Pemilikan yang diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan pemilikan yang diperoleh dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat mati.

Allah Swt. Memberikan keluasan bagi setiap orang yang belum menemui ajalnya untuk mewujudkan keinginan yang tidak tercapai saat masih hidup. Salah satunya adalah melalui wasiat. Sesuai aturannya wasiat haruslah milik orang yang memberi wasiat dan secara kuantitas jumlah harta yang diwasiatkan tidak melebihi ketentuan syariat.1

Hadits ke-satu:

َّىللص

ص - ه

ه لللا ل

ص ُوس

س رص ن

ل أص - َام

ص هسننع

ص هسلللا ي

ص ض

ه رص - رصمصع

س ن

ه بنا ن

ن ع

ص

د

س ِيرهِيس ءءي

ن ش

ص هسلص م

م لهس

ن مس ئ

م رهمنا ق

ق ح

ص َامص» َ:ل

ص َاقص - م

ص للس

ص وص ههينلصع

ص هسلللا

ق

ء ف

ص تلمس ُ«هسدصننعه ةءبصُوتسكنمص هستسيلص

ه وصوص للإ ن

ه ينتصلصينلص ت

س يبهِيص ههيفه ي

ص ص

ه ُوِيس ن

ن أص

ه

ه ينلصع

ص

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang miliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan, lalu ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah tertulis di sisinya." (Muttafaq Alaih)

(3)

Tafsir Hadits

Asy-Syafi'i Rahimahullah berkata, "Hendaknya seorang muslim selalu waspada, apabila ia memiliki sesuatu yang dapat diwasiatkan, maka sepatutnya untuk segera menulis wasiatnya, karena dia tidak tahu kapan ajal akan menjemputnya, bila hal itu tidak dilakukan, maka dia tidak bisa menyampaikan keinginannya."

Ada yang berpendapat, kata 'Al-Haqq' secara bahasa bermakna sesuatu yang tetap, sedangkan menurut syari'at adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan syari'at Islam, dan hukum Islam itu bisa wajib, sunnah, atau mubah.

Sabda Nabi, "sesuatu yang ia wasiatkan" menunjukkan bahwa wasiat hukumnya tidak wajib, tetapi hanyalah sesuai dengan keinginan pemberi wasiat. Para ulama bersepakat agar kaum muslimin menuliskan wasiat, hanya saja mereka berbeda pendapat apakah anjuran itu hukumnya menjadi wajib atau tidak?

Jumhur ulama berpendapat bahwa menulis wasiat hukumnya sunnah, sedangkah Dawud dan Ahli Zhahir berpendapat bahwa menulis wasiat itu hukumnya wajib. Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i dalam Al-Qadim (pendapat-pendapat terdahulu) dan Ibnu Abdil Bar mengatakan, sudah menjadi ijma' ulama bahwa menulis wasiat hukumnya tidak wajib berdasarkan pada pemahaman makna hadits; sebab jika dia tidak berwasiat tentu hartanya dibagikan kepada semua ahli warisnya berdasarkan ijma ulama. Kalau sekiranya wasiat hukumnya wajib, tentu akan dikeluarkan dari sebagian hartanya sebagai ganti dari wasiat.

(4)

Sabda Nabi, "dua malam" hanyalah sebagai perkiraan saja bukan untuk menentukan batasan waktu, sebab ada riwayat yang menyatakan "tiga malam." Ath-Thabari berkata, "Penentuan tiga dan dua malam sebagai bentuk toleransi batas minimal bagi yang ingin menuliskan wasiat maksudnya jartgan menunda-nunda menulis wasiat, dan hendaknya batasan minimal itu tidak dilampaui,"

Diriwayatkan Muslim dari hadits Ibnu Umar, perawinya sendiri berkata, "Saya tidak pernah tidur di waktu malam kecuali wasiatku sudah tertulis." [shahih, Muslim (1627)]

Sedangkan apa yang diriwayatkan Ibnu Mundzir dengan sanad shahih dari Nafi', bahwasanya Ibnu Umar ditanya ketika sedang sakit yang membawanya kepada kematian, "Apakah kamu tidak berwasiat? Maka Umar menjawab, "Apa yang berkenaan dengan hartaku, Allah Maha Mengetahui apa yang telah aku perbuat." Hadits ini menunjukkan bahwa Umar tidak menulis surat wasiat menjelang kematian. Maka untuk menggabungkan antara hadits yang pertama dengan yang kedua ini, bahwa Umar selalu menulis wasiat, memeriksa dan melaksanakan apa yang ditulis dalam wasiatnya sehingga ketika sedang sakit, Umar tidak mempunyai wasiat yang harus ditulis. Maka dalam perkataannya, "Apa yang berkenaan dengan hartaku, Allah Maha Mengetahui apa yang telah aku perbuat", menjadi bukti atas penggabungan pemahaman kedua hadits yang berbeda tersebut.

(5)

penulisan wasiat yang tidak menghadirkan saksi." Sedangkan jumhur ulama berpendapat, "Yang dimaksud dengan tertulis adalah terpenuhi syarat-syaratnya, yakni saksi." Mereka berdalil pada firman Allah Ta'ala,

ُ{ت

س ُونمصلنا مسك

س دصحصأص رصض

ص ح

ص اذصإه منكسنهينبص ةسدصَاهصش

ص }

"Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendalkah (wasiat) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu." (QS. Al-Maidah: 106) bahwa ayat ini menunjukkan keharusan menghadirkan saksi dalam berwasiat.

Pendapat tersebut dibantah, bahwa tidak selamanya penyebutan saksi dalam suatu ayat menunjukkan ketidaksahan wasiat kecuali harus dengan saksi. Dan yang paling tepat menjadi standar dalam penulisan wasiat, bahwa wasiat itu benar-benar ditulis sendiri oleh pemberi wasiat, bila memang terbukti benar maka dilaksanakan, seperti tulisan seorang hakim, sebagaimana yang dilakukan manusia pada masa lalu maupun sekarang. Bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan pengiriman suratnya kepada para raja untuk mengajak mereka menyembah kepada Allah sebagai bukti (hujjah) bahwa beliau sudah menunaikan tugas risalah yang diembannya? Begitu juga halnya dengan tradisi umat manusia yang saling berkirim surat kepada yang lainnya, menulis tentang hal-hal penting yang berkenaan dengan urusan agama maupun dunia, lalu mereka mengamalkannya. Semua amal itu dilaksanakan tanpa dengan adanya saksi.

(6)

hamba dan utusan-Nya, bahwa hari kiamat pasti datang dan tidak ada keraguan atas hal itu, Allah akan membangkitkan semua yang dikubur, lalu dia mewasiatkan kepada semua keluarganya untuk selalu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki hubungar. kekerabatan di antara mereka, menaati semua yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya jika mereka benar-benar beriman, dan juga mewasiatkan seperti yang diwasiatkan Nabi Ibrahim dan Ya'qub kepada anak-anaknya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta'ala,

ُ{ن

ص ُوم

س لهس

ن مس م

ن تسننأ

ص وص لإه نلتسُومستص َلفص نصِيددلا مسكسلص َّىفصط

ص ص

ن ا هصلللا ن

ل إه}

"Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. Al-Baqarah: 132)

Para ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat atau tidak; karena adanya perbedaan riwayat tentang hal itu. Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abi Aufa diterangkan bahwa Nabi tidak berwasiat. Mereka beralasan, karena Nabi tidak meninggalkan harta. Tanah yang dimiliki diinfakkan di jalan Allah, sedangkan senjata dan keledai diwariskan sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi. Dalam kitab Al-Maghazi karya Ibnu Ishaq diterangkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak berwasiat ketika akan meninggal dunia, kecuali dengan tiga hal:

 Masing-masing daerah Ad-Darin, Ar-Rahhawin dan Al-Asy'arin mendapatkan 100 wasaq dari daerah Khaibar.

 Tidak ada agama di jazirah Arab, kecuali Islam.

 Melanjutkan ekspedisi pasukan yang dipimpin Usamah.

Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat dengan tiga hal, "Lanjutkan pengiriman pasukan sebagaimana yang telah direncanakan." [shahih, Muslim (1637)]

(7)

Wasiat ini ditetapkan oleh orang-orang Anshar dan keluarganya, namun bukan pada saat sakit menjelang kematiannya, sebagaimana diterangkan dalam riwayat lainnya.

Saya katakan: Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ingin menulis wasiat untuk umatnya ketika sakit menjelang wafatnya, namun tidak bisa dilakukan sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari.

Hadits ke-dua:

- هسننننع

ص َّىلصَاننعصتص هسننلللا ي

ص ض

ه رص - ص

م

َاقلوص يبهأص ن

ه بن دهعنس

ص » ن

ن ع

ص وص

للإ ينننهثسرهِيص لصوص ٍ،ل

م َاننمص وذس َانننصأ

ص ٍ،ههننلللا لصُوس

س رص َاِيص تلنقس َ:ل

ص َاقص

َ:تننلنقس لص َ:ل

ص َاننقص ؟يلهَامص ي

ن ثصلسثسبه ق

س د

ل ص

ص تصأ

ص فصأص ٍ،ةءدصحهاوص يله ةءنصبنا

؟ه

ه ننثهلسثسبه ق

س د

ل ننص

ص تصأ

ص فصأص َ:تننلنقس لص َ:لصَاننقص ؟ههرهط

ن ننش

ص به ق

س د

ل ننص

ص تصأ

ص فصأص

ءصَاننيصنهغ

ن أص َكننتصثصرصوص رنذصننتص ننإ َكنننلإ ٍ،رءيثهكص ث

س لسثقلاوص ٍ،ث

س لسثقلا َ:ل

ص َاقص

ه

ه ينلصع

ص ق

ء ف

ص تلمس ُ«س

ص

َانللا ن

ص ُوف

س فلك

ص تصِيص ةةلصَاعص منهسرصذصتص ننأص ن

ن مه رءينخ

ص

“Sa’d bin Abu Waqqash r.a berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’ Beliau menjaawab, ‘tidak boleh.’ Aku bertanya, ‘apakah aku boleh menyedekahkan setengahnya?’ Beliau menjawab, ‘tidak boleh.’ Aku bertanya lagi,’Apakah aku boleh menyedekahkan sepertiganya?' Beliau menjawab, ‘Ya, sepertiga dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalakn ahli warismu kaya lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaq ‘Alaih).

(8)

beribadah kepadanya. Setiap harta yang kita miliki ada kewajiban yang harus dikeluarkan. Salah satunya berinfak dijalan Allah Swt.2

Tafsir Hadits

Ulama berbeda pendapat kapan peristiwa itu terjadi? Ada yang mengatakan, ketika haji wada' di Mekah, Sa'd jatuh sakit, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjenguknya dan ia bertanya kepada beliau, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Az-Zuhri. Ada juga yang mengatakan, ketika Fathu Makkah seperti yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari riwayat Ibnu Uyainah, namun hal itu dibantah para ahli hadits dengan mengatakan bahwa pendapat itu adalah sebuah kekeliruan. Pendapat yang paling tepat adalah yang pertama, namun ada juga yang mengatakan bahwa peristiwa Sa'd bertanya kepada Nabi itu terjadi dua kali.

Dipahami dari sabda Nabi "banyak", bahwa tidak perlu berwasiat kalau hartanya sedikit. Berdasarkan riwayat dari Ali, Ibnu Abbas dan Aisyah, sabda Nabi, "Tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku", maksudnya tidak ada yang mewarisiku dari anak-anakku yang laki-laki; karena bila tidak, tentu yang akan mewarisi harta Sa'd adalah bani Zuhrah karena mereka adalah ashabahnya. Peristiwa ini terjadi sebelum Sa'd mempunyai anak laki-laki. Dan menurut Al-Waqidi, setelah itu Sa'd mempunyai 4 anak laki-laki, bahkan ada yang mengatakan anak laki-lakinya lebih dari 10, sedangkan anak perempuannya ada 12 orang.

Ucapan, "Bolehkah aku bersedekah" menunjukkan, mungkin Sa'd minta izin kepada Nabi untuk melaksanakan niatnya pada saat itu juga, atau dilaksanakan setelah dia wafat sebagaimana riwayat dalam hadits yang menggunakan kata "mewasiatkan", maka pendapat yang pertama digabungkan dengan pendapat yang kedua, artinya dilaksanakan wasiatnya sesegera mungkin setelah Sa'd wafat.

Ucapan, "setengahnya (hartaku)", dan juga, "sepertiganya itu banyak." Matan hadits ini diriwayatkan dengan kata 'Ats-Tsuluts' dan juga dengan kata

(9)

Namun kebanyakan riwayat menggunakan kata 'Al-Mutsallats'. Adapun menggunakan kata 'Ats-Tsuluts' untuk menunjukkan lebih banyak daripada ukuran yang lebih sedikit. Penggunaan kata 'Ats-Tsuluts' ini mungkin disebabkan karena dua hal:

Pertama; dibolehkan berwasiat untuk menyedekahkan harta dengan sepertiganya, namun yang lebih utama hendaknya kurang dari sepertiga, kalaupun ingin lebih banyak tidak boleh lebih darinya. Inilah yang mudah dipahami sebagaimana pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma yang berkata, "Saya berharap ketika manusia berwasiat hendaknya mengurangi [kadar sedekah] hartanya dari sepertiga menjadi seperempat.

Kedua; penjelasan bahwa sedekah dengan sepertiga [dari harta] itulah yang paling utama, maksudnya lebih banyak pahalanya. Tentunya, ukuran ini disesuaikan dengan harta yang dimiliki.

Hadits ini melarang wasiat lebih dari sepertiga harta bagi orang yang memiliki ahli waris. Dalam hal ini, ulama bersepakat, hanya saja mereka berbeda pendapat apakah disunnahkan berwasiat sepertiga dari harta ataukah lebih sedikit lagi.

Ibnu Abbas, Asy-Syafi'i dan kelompok ulama lainnya berpendapat, bahwa yang disunnahkan adalah kurang dari sepertiga berdasarkan sabda Nabi, "sepertiga itu banyak." Qatadah berkata, "Abu Bakar mewasiatkan seperlima dari hartanya, Umar mewasiatkan seperempat hartanya, sedang aku lebih suka seperlima."

Dan yang lainnya berpendapat, bahwa yang disunnahkan adalah sepertiga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah memerintahkan berwasiat dengan sepertiga harta kalian sebagai tambahan atas amal kebaikan kalian", namun dalam penjelasan yang akan datang hadits ini dha'if.

(10)

lebih dari sepertiga, maka hal itu ditunaikan karena mereka menggugurkan sendiri hak mereka, ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama. Azh-Zhahiriyyah dan Al-Muzani berbeda pendapat dengan jumhur yang akan diterangkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma "kecuali bila ahli warisnya menginginkannya", bahwa hadits ini hasan dan diamalkan.

Lalu, bagaimana seandainya ahli waris menarik kembali kesepakatan mereka? Jumhur ulama berpendapat, bahwa mereka tidak boleh menarik kembali kesepakatan tersebut, baik sewaktu si pemberi wasiat masih hidup ataupun sudah mati. Ada juga yang berpendapat, bila mereka menarik kembali kesepakatan tersebut sewaktu si pemberi wasiat masih hidup, maka hal itu diperbolehkan, karena kesepakatan bersama antara mereka bisa diperbaharui.

Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami makna hadits, "Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakir meminta-minta kepada orang." Apakah larangan Nabi untuk mewasiatkan lebih dari sepertiga untuk menjaga hak ahli waris, dan bila tidak ada ahli waris boleh berwasiat lebih dari sepertiga? Ataukah alasan itu tidak mempengaruhi ketetapan hukum tidak lebih dari sepertiga? Ataukah kaum muslimin dijadikan sebagai ahli waris, seperti pendapat suatu kaum dan juga salah satu dari pendapat Asy-Syafi'i? Dan yang paling tepat, bahwa alasan yang terdapat dalam hadits itu sangat mempengaruhi penetapan hukum, dan juga hukum larangan wasiat lebih dari sepertiga tidak berlaku bagi siapa yang tidak memiliki ahli waris yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.3

Hadits ke-tiga:

ه

ه ننينلصع

ص هسننلللا َّىللننص

ص - ي

ل ننبهنللا َّىتصأ

ص َلةجسرص نلأص» ةصشصئهَاعص ننعصوص

ت

ن ننتصلهتسفناس يننمدأ

س نلإ ٍ،ههننلللا لصُوننس

س رص َاننِيص َ:ل

ص َاننق

ص فص ٍ،- مصللننس

ص وص

َاننهصلصفصأص ٍ،ت

ن قصد

ل ننص

ص تص ت

ن م

ص للك

ص تص ُونلص َاهصنقظ

س أصوص ٍ،ص

ه

ُوتس م

ن لصوص َاهصس

س ف

ن نص

ٍ،ه

ه ننينلصع

ص ق

ء ننف

ص تلمس ُ«منننعصنص َ:ل

ص َاننقص ؟َاننهصننعص تقندلننص

ص تص ن

ن إ رءننجنأ

ص

م

م لهس

ن م

س له ظ

س فنلللاوص

(11)

“Dari Aisyah, bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, ibuku telah mati secara mendadak dan ia belum berwasiat. Aku kira, bila ia sempat berbicara ia akan bersedekah. Apakah ia mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab, "Ya." (Muttafaq Alaih dan lafazhnya menurut Muslim)

Tafsir Hadits

Hadits ini menunjukkan bahwa sedekah dari anak pahalanya akan sampai kepada si mayit, hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Ta'ala,

ُ{َّىعصس

ص َامص لإه ن

ه َاس

ص ننل

ه له س

ص

ينلص ن

ن أصوص}

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)

Di samping itu, juga didukung oleh hadits-hadits berikut,

ُ«م

ن ك

س بهس

ن ك

ص ن

ن مه م

ن ك

س دصلصونأص نلإ»

"Sesungguhnya anak-anak kalian adalah hasil usaha kalian." [Shahih: Abi Dawud (3530)]

ُ«هسلص ُوعسدنِيص حملهَاص

ص دملصوص ونأ

ص »

"Atau anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” [shahih, Muslim (1631)]

Hadits ke-empat:

(12)

ءصَاننش

ص ِيص ن

ن أص للإ» ههرهننخهآ يننفه دصازصوص ٍ،- َاننمصهسننعص هسننلللا ي

ص ننض

ه رص

ن

ء س

ص ح

ص ه

س دسَانصس

ن إهوص ٍ، ُ«ةسثصرصُوصلنا

“Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." (HR. Ahmad dan Al-Arba'ah kecuali An-Nasa'i. Hadits Hasan menurut Ahmad dan At-Tirmidzi, dikuatkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud. HR. Ad-Daraquthni dari riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma dengan tambahan di akhir hadits, "kecuali jika ahli waris menginginkannya" dan sanadnya hasan)

Tafsir Hadits

Dalam bab ini, ada riwayat dari Amr bin Kharijah yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan An-Nasa'i dari Anas menurut riwayat Ibnu Majah dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya, kakeknya menurut riwayat Ad-Daraquthni dan juga dari Jabir, ia berkata, "Yang paling benar, bahwa hadits ini mursal, dan dari Ali menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwa setiap sanad dari keduanya masih dipertanyakan keshahihannya, akan tetapi karena banyaknya riwayat yang menerangkan tentang hal itu; menguatkan pemahaman hadits tersebut untuk diamalkan, bahkan Imam Syafi'i menegaskan dalam kitab Al-Umm, bahwa matan hadits ini mutawatir dan ia berkomentar bahwa hadits ini berasal dari rawi yang banyak dan disampaikan juga oleh rawi yang banyak pula, sehingga lebih kuat dari Khabar Ahad (disampaikan satu orang saja).

Berdasarkan hadits ini, jumhur ulama melarang berwasiat kepada ahli waris. Sementara Al-Hadi dan sebagian ulama lainnya membolehkan berwasiat berdasarkan pada firman Allah Ta'ala,

ُ{ت

س ُونمصلنا مسك

س دصحصأص رصض

ص ح

ص اذصإه منكسينلصع

ص ب

ص تهك

س }

"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut." (QS. Al-Baqarah: 180)

(13)

Azh-Zhahiriyyah berpendapat wasiatnya dilaksanakan sebagaimana makna zhahir haditsnya; karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika melarang berwasiat kepada ahli warisnya dikecualikan dengan sabdanya "bila ahli warisnya menginginkan (mau)."

Dan menurut pendapat pemakalah, larangan Nabi berwasiat lebih dari sepertiga bersifat umum tidak ada pengecualian, dan yang berpendapat ada pengecualian diambil dari sabda Nabi, "Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu" maksudnya larangan berwasiat lebih dari sepertiga untuk menjaga hak-hak ahli waris, jika mereka mengizinkan; maka mereka tidak mendapatkan hak harta waris yang semestinya, mengizinkan berwasiat dalam hal seperti ini mempunyai kekuatan hukum.

Para ulama berbeda pendapat jika yang mewariskan mengakui bahwa pada hartanya ada hak untuk ahli warisnya. Al-Auza'i dan ulama lainnya membolehkannya secara mutlak. Sedang menurut Imam Ahmad tidak boleh ditetapkan apa yang diakui orang sedang sakit yang menyatakan ada sebagian hak ahli waris pada hartanya, karena dikhawatirkan setelah dilarang berwasiat kepada ahli warisnya dia akan menetapkan keputusan. Kelompok yang berpendapat menetapkan membantah hujjah yang mereka berikan dan berkata, "Harus dijauhkan berbagai tuduhan (pikiran negatif) terhadap orang yang sekarat atas apa yang diakui, dan sudah ada kesepakatan bila dia menetapkan baik yang berkenaan dengan harta atau lainnya; maka pengakuannya dibenarkan, bukankah Islam hanya menghukumi pada hal-hal yang tampak saja? Maka jangan diabaikan pengakuannya dikarenakan berbagai perkiraan dan kemungkinan yang belum pasti; sebab hukum-hukum yang berkaitan dengan hal semacam itu diserahkan kepada Allah.4

B. Hukumnya

Adapun hukumnya dilihat dari segi harus dilaksanakan atau harus ditinggalka wasiat itu, maka para Ulama berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu kami ringkas sebagai berikut:

(14)

1. Pendapat pertama:

Pendapat ini memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlas.

Inilh pula pendapat Ibnu Hazam. Dia meriwayatkan wajib wasiat itu dari Ibnu ‘Umar, Thalhah, Az-Zubair, ‘Abdullah bin Abu Aufa, Thalhah bin Mutharrif, Ath-Thawus, dan Asy-Sya’bi. Katanya: inilah pendapat Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat kami. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: dalam Surat Al-Abqarah Ayat 18 yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

2. Pendapat kedua:

Pendapat ini memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayit itu wajib hukumnya.

Dan inilah mashab masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri. 3. Pendapat ketiga:

Yaitu pendapat empat orang imam dari dan aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta (pendapt pertama), dan bukan pula kewajuban terhadap kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi (pendapat kedua); akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.Maka wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh dan terkadang jais (boleh).

a. Wajibnya wasiat

Wasiat itu wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia.

(15)

Wasiat itu disunatkan apabila ia diperuntukkan bagi kebijakan, kaarib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.

c. Haramnya wasiat

Wasiat haram apabila ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu tidak mncapai sepertiga harta. Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.

d. Makruhnya wasiat

Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempuyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang-orang yang fasik jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu didalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan harta itu untuk ketaatan, maka wasiat yang demikian ini menjadi sunat.

e. Jaiznya wasiat

Wasiat itu diperbilehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang diwasiati kerabat atupun orang yang jauh(bukan kerabat).

C. Syarat-Syaratnya

Wasiat menghendaki orang yang memberi wasiat, orang yang diberi wasiat dan yang diwasiatkan. Masing-masing ketiganya ini mempunyai syarat-syarat yang akan kami sebutkan berikut ini:

1. Kapan wasiat menjadi hak bagi orang yang diberinya

Wasiat itu tidak menjadi hak dari orang yang diberinya, kecuali setelah orang pemberinya mati dan hutang-hutangnya dibereskan. Apabila hutang-hutangnya menghabisi semua peninggalan, maka orang yang diberi wasiat itu tidak mendapatkan sesuatu. Yang demikian ini disebabkan firman Allah:

(16)

“... sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya...”

2. Sarat-sarat orang yang diberi wasiat

Diasaratkan bagi orang yang diberi wasiat, syarat-syarat berikut: a. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat.

Diriwayatkan oleh para penakluk, bahwa Rasulullah Saw. Telah baerkata pada waktu penaklukan kota mekah: “tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Ahmad. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dia menghasankanya pula)

Asy-Syafi’i berkata: sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan ayat wasiat dan menurunkan pula ayat warisan, maka mungkin ayat warisan itu tetap ada bersama dengan ayat warisan. Dan mungkin pula warisan itu menghapuskan wasiat. Para ulama telah mencari apa yang bisa memperkuat salah satu dari dua kemungkinan itu: dan mereka mendapatinya didalam sunnah Rasulullah lah. Telah diriwayatkan oleh para penakluk bahwa Rasulullah Saw. Telah berkata pada waktu penaklukan kota mekah: “tidak ada wasiat bagi ahli waris.” b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang diberi wasiat itu bila

telah tertentu, maka disyaratkan untuk sahnya wasiat agar orang itu ada diwaktu wasiat dilaksanakan, baik ada secara benar-benar ataupun ada secara perkiraan. Apabila seorang pemberi wasiat berkata: “aku wasiatkan rumahku kepada anak-anak si Polan”, tanpa menentukan siapa anak-anak itu, kemudia dia mati dan tidak mencabut wasiatnya; maka rumah itu dimiliki oleh anak-anak yang ada waktu pemberi wasiat mati, baik yang ada benar-benar ataupun ada yang diperkirakan, seperti kandungan, sekalipun anak-anak itu tidak ada waktu wasiat dibuat. Adanya kandungan diwaktu wasiat dibuat atau wasiat sesudah pemberi wasiat mati itu dibuktikan dengan kelahiran anak dalam waktu kurang dari enam bulan sejak wasiat dibuat atau ssejak pemberi wasiat mati. c. Disyaratkan agar orang yang diberi wasiat idak membunuh orang yang

(17)

dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung, maka wasiat itu batal baginya; sebab orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya dihukum dengan tidak mendapatkan sesuatu itu. Inilah mazhab Abu Yusuf. Sedangkan Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa wasiat itu tidak batal, dan yang demikian ini diserahkan kepada persetujuan ahli waris.

3. Syarat bagi yang diwasiatkan

Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat mati. Dengan demikian, maka sahlah wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat. Dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina, sebab yang demikian dapat dimiliki melalui warisan. Maka selama yang diwasiatkan itu ada wujudnya diwaktu yang mewasiatkan mati, orang yang diberi wasiat berhak atasnya. Ini jelas berbeda dengan wasiat mengenai barang yang tidak ada.

Dan tidak sah mewasiatkan yang bukan harta , seperti bangkai dan yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslimin.

D. Batalnya Wasiat

Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat yang telah disebutkan, misalnya sebagai berikut:

1. Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya kepada kematian.

2. Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.

3. Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi wasiat.5

E. Hikmah Wasiat

1. Bahwa wasiat adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pada akhir hidupnya agar kebaikanya bertambah atau memperoleh apa yang terlewat olehnya.

(18)

3. Hikmah larangan pemberian wasiat dalam kuantitas terlalu besar dikwatirkan akan menelantarkan ahli waris sepeninggalnya sehingga mereka akan menghadapi kehidupan dengan mengharapkan kebaikan orang lain.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Bahwa wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati atau dapat juga didefenisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian sukarela yang dilaksakan setelah pemberinya mati.

Besar wasiat yang diberikan yang telah tercantum dalam nas bahwa yang diberikan itu hanyalah sepertiga dari harta kita. Dan wasiat ini memiliki hukum yang beragam, ada yang diwajibkan seseorang itu harus berwasiat terhadap harta yang dimilikinya, ada juga wasiat itu sunnah, haram makruh dan jaiz, itu disesuaikan kondisi sseseorang yang memiliki harta benda yang dapat dimanfaatkan.

Dalam wasiat ini bahwa seseorang tdak dapat berwasiat kepada ahli waris yang akan menerima warisan terhadap pemberi warisan, ini sesuai dengan hadis nabi yang mengatakan bahwa “tidak ada wasiat untuk ahli waris” dan juga Asy-Syafi’i berkata demikian.

Wasiat ini baru dapat diperoleh oleh sipenerima wasiat apabila sipemberi wasiat sudah meninggal dunia. Jika si pemberi wasiat belum mati walaupun wasiatnya sudah ditetapkan kepada orang yang akan menerimanya, si penerima wasiat belum bisa menguasai terhadap wasiat itu. Dan baru dapat dikuasai harta wasiat itu ketika si pemberi wasiat sudah mati. B. Saran

(19)

kami mengharapkan kritikan dan masukan dari semua pihak untuk menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq,. 1998. Fikih Sunnah 14. PT Alma’arif. Bandung.

Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani,. 2012. Subulussalam Jili-2 Sarah Bulughul Maram. Darus Sunnah. Jakarta.

Drs. Taufik Rahman,. 2000. Hadis-Hadis Hukum. CV PUSTAKA SETIA. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

pertumbuhan bakteri dengan spektrum yang luas, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif yang telah diwakilkan oleh kedua bakteri uji

11 artikel yang terkait dengan efektifitas pelatihan Virtual Reality (VR) dalam peningkatan kualitas hidup baik fungsi kognitif, fungsi motorik dan resiko jatuh

Pengelolaan sumber daya air sering berfokus pada pemenuhan kebutuhan air yang meningkat tanpa memperhitungkan secara memadai kebutuhan untuk melindungi kualitas dan

Dosen Pembimbing Nama Mahasiswa NIM Hari Mulai Berakhir Ruang

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL. Bidang Usaha

terpengaruh oleh kepentingan pribadi dalam penyusunan perencanaan pengawasan dengan cara mengalokasikan auditor yang telah melakukan kegiatan pengawasan selama 3

pemasran, untuk mencapai sasaran pasar yang dituju sekaligus mencapai tujuan dan sasaran perusahaan, keempat unsur atau variabel strategi bauran pemasaran

Dalam usaha untuk mempromosikan software dan aplikasi Digital Recruitment Tenaga Kerja yang diinginkan sekaligus dapat menjalin kerjasama yang baik dan menguntungkan