• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Perkembangan Anak Usia Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Perkembangan Anak Usia Dini"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Perkembangan Anak Usia Dini

A. Hakikat Perkembangan Anak Usia Dini

Perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, yang artinya

perkembangan terdahulu akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Oleh sebab itu, jika terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selanjutnya cenderung akan menjadi hambatan.

Anak usia dini berada dalam masa keemasan dalam sepanjang perkembangan manusia. Montessori mengatakan bahwa masa ini merupakan periode sensitif dimana anak secara mudah menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Pada masa peka inilah terjadi pematangan

fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon dan mewujudkan semua tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul pada pola perilakunya sehari-hari.

Berdasarkan teori perkembangan anak, diyakini bahwa setiap anak lahir dengan lebih dari satu bakat. Untuk itulah anak perlu diberikan pendidikan yang sesuai dengan

perkembangannya dengan cara memperkaya lingkungan bermainnya. Orang dewasa perlu memberi peluang pada anak untuk menyatakan diri, berekspresi, berkreasi, dan menggali sumber-sumber terunggul pada anak. Untuk itu, paradigma baru bagi ana usia dini atau anak

prasekolah adalah harus berorientasi pada anak (student centered) dan prlahan-lahan

menyeimbangkan dominasi pendekatan lama yang berpusat pada guru (teacher centered).

Pada hakitkatnya anak adalah makhluk individu yang membangun sendiri pengetahuannya. Anak lahir membawa sejumlah potensi yang siap untuk

ditumbuhkembangkan asalkan lingkungan menyiapkan situasi dan kondisi yang dapat merangsang kemunculan dari potensi yang tersembunyi tersebut.

(2)

Secara teoritis berdasarkan aspek perkembangannya, seorang anak dapat belajar dengan sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi dan mereka merasa aman dan nyaman secara psikologis.

B. Teori Pertumbuhan dan Perkembangan

1. Teori Behaviorisme

Watson, Thorndike, dan Skinner adalah ahli behaviorisme yang terkenal. Skinner

identik dengan teori stimulus-respon dan operant conditioning. Unsur-unsurnya meliputi

bantuan dan hukuman. Kalau dalam classical conditioning, seorang anak diberikan stimulus

dan suatu penghargaan dan mengharapkan penghargaan kapan saja stimulus diperkenalkan.

Kalau dalam operant conditioning perilaku sudah mendahului penguatan tersebut.

Seperti percobaan pada tikus dan pedal dalam skinner box yang sudah kita pelajari

sebelumnya. Jika seorang anak melengkapi suatu tugas dan memperlihatkan perilaku yang diinginkan, guru dapat menguatkan perilaku tersebut dengan memberi pujian,dsb. Penguatan negatif dapat diberikan untuk melepaskan anak dari tindakan atau situasi yang tidak

menyenangkan. Contohnya, dengan memberikan “time out” pada anak, atau distrap.

Operant conditioning dapat digunakan untuk membentuk suatu perilaku dengan cara menyediakan bantuan ketika perilaku anak semakin menjauh dari tujuannya. Membentuk perilaku melibatkan kompunen berikut:

 Mengarahkan perilaku yang diinginkan tersebut.

 Perbaikan dari suatu dasar terhadap perilaku.

 Memilih penguatan.

 Menerapkan sistem penguatan secara sistematis.

Perilaku negatif dapat dikurangi dengan sikap orang dewasa yang tidak mendukung atau mengacuhkan perilaku anak yang tidak baik. Tujuan akhir dari teori ini adalah untuk semakin meningkatkan perilaku yang diinginkan untuk memberikan penghargaan pada anak, sehingga guru atau orang tua tidak perlu memberikan penghargaan secara terus menerus. Teori behavioris lebih terkait bagaimana anak berkembang secara sosial, emosional, dan intelektual.

2. Teori Maturationis

Teori maturationis (kematangan) pertama kali ditemukan oleh Hll, Rousseau dan Gessel dimana ketiganya percaya bahwa anak harus diberi kesempatan berkembang. Menurut teori ini, pengalaman memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan. Hal ini dipandang lebih baik dari teori behaviorisme.

Teori maturationis meyakini bahwa perkembangan fisik, sosial, intelektual,

emosional, mengikuti tahapan perkembangan dari setiap anak yang pada dasarnya berbeda-beda. Mereka percaya bahwa setiap anak akan mengembangkan potensi mereka apabila mereka ditempatkan pada suatu lingkungan yang optimal dan perkembangan mereka akan menjadi lambat apabila lingkungan tidak sesuai.

Teori maturationis menyatakan bahwa anak-anak akan mempunyai kesukaran disekolah apabila mereka “salah ditempatkan” dimana anak ditempatkan pada kelas yang memiliki tingkatan yang berbeda dengan tingkatan perkembangan si anak. Teori ini menekankan tahapan perkembangan si anak lebih penting dari sekedar penghargaan, hukuman, dll.

3. Teori Interaksi

(3)

bukan merupakan objek penerima pengetahuan yang pasif, melainkan mereka dengan aktif melakukan pengaturan pengalaman mereka ke dalam struktur mental yang kompleks.

Selanjutnya Piaget menguraikan tentang pemikiran anak-anak mengenai konsep asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Asimilasi terjadi ketika anak melakukan

pencocokan informasi ke kategori yang ada. Jika anak diberikan pengetahuan tentang anjing, contoh tersebut akan dimasukkan ke kategori yang sudah ada. Jika kemudian diberikan pengetahuan tentang kucing, maka anak akan meciptakan suatu kategori baru dimana bukan hanya anjing hewan berbulu yang dapat digendong dan ditimang. Menciptakan suatu kategori baru adalah bagian dari akomodasi anak yang mana anak secepatnya menciptakan suatu struktur mental yang berkaitan dengan semua hewan yang ada.

Keseimbangan adalah merupakan bagian akhir dari sisa yang mencapai semua informasi dan pengalaman, yang kapan saja dapat dicocokan ke dalam suatu bagan yang baru diciptakan untuk hal tersebut. Keseimbangan ini berumur sangat pendek, sebagai suatu informasi dan pengalaman yang baru yang secara konstan ditemui oleh anak. Keseimbangan adalah proses dari pergerakan dari keadaan ketidakseimbangan kepada keadaan seimbang.

Pendukung teori Piagetian menggolongkan pengetahuan sebagai berikut yaitu perkembangan fisik, sosial, atau logika-matematika. Istilah yang digunakan dalam literatur untuk menguraikan kategori ini adalah meta-knowledge. Jika seorang anak memahami tentang sistem nomor, jumlah, maka ia juga memahami pengetahuan lain yang tidak bersifat sosial, fisik, atau logika-matematika.

Wadsworth menguraikan tentang defenisi belajar dalam terminologi para pengikut Piagetian: ada dua penggunaan. Penggunaan pertama, disebut sebagi makna di dalam pengertian yang luas, dimana bersinonim dengan kata perkembangan. Penggunaan kedua, adalah mengenai hal-hal yang lebih dangkal. Hal ini mengacu pada pengadaan informasi yang spesifik dari lingkungan, yang berasimilasi dalam suatu bagan yang ada. Bagi teori behavioristik, mengatakan memori dihafal tanpa berpikir. Sedangkan pada teori Poaget, belajar melibatkan konstruksi dan pengertian.

4. Teori Psikoanalisis

Sigmund Freud, bapak dari teori psikoanalitical, yang menggambarkan

perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam terminologi dikatakan bahwa anak-anak bergerak melalui langkah-langkah yang berbeda dengan tujuan untuk mencari kepuasan yang berasal dari sumber yang berbeda, di mana mereka juga harus berusaha untuk

menyeimbangkan keadaan tersebut dengan harapan orang tua. Mekanisme pertahanan diri diciptakan untuk tujuan agar dapat berhubungan dengan ketertarikan. Kebanyakan orang belajar untuk mengendalikan perasan mereka dan juga berusaha agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial serta untuk mengintegrasi diri mereka.

5. Teori Pengaruh

Berbagai teori yang berbeda mengemukakan sudut pandang mereka yang berbeda dalam hal menginterpretasikan pengamatan yang sudah mereka lakukan terhadap anak-anak ketika mereka tumbuh dan berkembang. Seorang anak akan berkembang secara menyeluruh. Perkembangan di suatu area pasti memengaruhi perkembangan di area lain. Sebagai contoh, ketika anak menjadi gesit ia membuka lebih banyak lagi hal-hal lain dari berbagai

(4)

berpengaruh terhadap perkembangan intelektual mereka. Perkembangan sosial, fisk, dan intelektual selalu berkaitan.

6. Teori Konstruktivisme

Semiawan berpendapat bahwa pendekatan konstruktivisme bertolak dari suatu keyakinan bahwa belajar adalah membangun pengetahuan itu sendiri, setelah dicernakan kemudian dipahami dalam diri individu, dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang. Pengetahuan itu diciptakan kembali dari dalam diri seseorang melalui pengalaman,

pengamatan, dan pemahamannya.

Vygotsky dikenal sebagai socialkultural constructivist berpendapat bahwa

pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajaran aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Prinsip dari teori Vygotsky adalah bahwa anak melakukan proses konstruksi membangun berbagai pengetahuannya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dimana anak tersebut berada.

Berhubungan dengan proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan

konsep Zone of Proximal Development (ZPD) sebagai kapasitas potensial belajar anak yang

dapat erwujud melalui bantuan orang dewasa atau orang yang lebih terampil. Vygotsky mendefenisikan ZPD sebagai jarak antarab level perkembangan aktual dengan pemecahan masalah secara mandiri dengan level perkembangan potensial oleh pemecahan masalah dengan bimbingan orang dewasa.

Stuyf mengatakan bahwa strategi pembelajaran pentahapan memberikan bantuan secara perseorangan berdasarkan ZPD. Aktifitas-aktifitas yang diberikan dalam pembelajaran

scaffolding hanya melewati tingkatan yang dapat dilalui sendiri. Askep penting dalam

pembelajaran scaffolding adalah bantuan bersifat sementara. Akhirnya anak dapat

menyelesaikan tugas dengan sendirinya tanpa bantuan lagi.

Penerapan teori konstruktivisme dalam program kegiatan bermain pada anak usia dini haruslah memperlihatkan hal-hal berikut: anak hendknya memperoleh kesempatan luas dalam kegiatan pembelajaran, pembelajaran pada anak usia diini hendaknya dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensial daripada perkembangan aktualnya, program kegiatan bermain lebih diarahkan pada penggunaan strategi, anak diberi kesempatan luas untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah, dan proses belajar tidak sekedar transfersal tetapi lebih kepada ko-konstruksi.

C. Aspek Perkembangan Anak Usia Dini

Catron Allen (1999 :23-26) menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek perkembangan anak usia dini yaitu kesadaran personal , kesehatan emosional, sosialisasi, komunikasi, kognisi, dan keterampilan motorik sangat penting dan harus dipertimbangkan sebagai fungsi interaksi. Kreatifitas tidak dipandang sebagai perkembangan tambahan, melainkan sebagai komponen yg integral dari lingkungan bermain yang kreatif.

Pertumbuhan anak pada enam aspek perkembangan dibawah ini membentuk fokus sentral dari pengembangan kurikulum bermain kreatif pada anak usia dini.

Kesadaran Personal

Permainan kreatif memungkinkan perkembangan kesadaran personal.bermain membantu anak untuk tumbuh secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui bermain anak dapat menemukan hal baru, bereksplorasi, meniru, dan mempraktikkan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah langkah dalam membangun keterampilan menolong diri sendiri, keterampilan ini membuat anak menjadi berkompeten.

(5)

Melalui bermain anak dapat belajar menerima, berekspresi dan mengatasi masalah dengan cara yang positif. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal diri mereka sendiri dan untuk mengembangkan pola perilaku yang memuaskan dalam hidup.

Membangun Sosialisasi

Bermain memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika berbagi dengan anak lain. Bermain adalah sarana paling utama bagi pengembangan kemampuan

bersosialisasi dan memperluas empati terhadap orang lain serta mengurangi sikap

egosentrisme. Bermain dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa sosialisasi anak. Melalui bermain anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu giliran, kerja sama, saling membantu, dan berbagi.

Pengembangan komunikasi

Bermain merupakan alat yang paling kuat untuk membelajarkan kemampuan berbahasa anak. Melalui komunikasi inilah anak dapat memperluas kosakata dan menembangkan daya penerimaan serta pengekspresian kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi dengan anak-anak lain dan orang dewasa pada situasi bermain spontan. Secara spesifik, bermain dapat memajukan perkembangan dari segi komunikasi berikut ini : (1) bahasa reseptif (penerimaan), yaitu mengikuti petunjuk-petunjuk dan memahami konsep dasar, (2) bahasa ekspresif, yaitu kebutuhan mengekspresikan keinginan, perasaan:

penggunaan kata-kata, frase-frase, kalimat: berbicara secara jelas dan terang, (3)komunikasi

nonverbal, yaitu penggunaan komunikasi kongruen, ekspresi muka, isyarat tubuh,isyarat tangan dan (4) memori pendengaran/perbedaan, yaitu memahami bahasa berbicara dan membedakan bunyi.

Pengembangan Kognitif

Bermain dapat memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan lingkungan, untuk bermain dan bekerja dalam menghasilkan suatu karya, serta untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan kognitif lainnya. Selama bermain, anak menerima pengalaman baru, memanipulasi bahan dan alat, berinteraksi dengan orang lain dan mulai memasukkandunia mereka. Bermain adalah awalan dari semua fungsi kognitif selanjutnya, oleh karenanya bermain sangat diperlukan dalam kehidupan anak-anak.

Pengembangan Kemampuan Motorik

Kesempatan yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan, aktivitas sensori motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak untuk memenuhi perkembangan perseptual motorik. Bermain dapat memacu

perkembangan perseptual motorik pada beberapa area yaitu : (1) koordinasi mata-tangan atau mata-kaki, seperti saat menggambar, menulis, manipulasi objek, mencari jejak secara visual, melempar, menangkap, menendang. (2) kemampuan motorik kasar, seperti gerak tubuh ketika berjalan, melompat, berbaris, berlari, berguling-guling, dan merayap. (3) kemampuan bukan motorik kasar (statis) seperti menekuk, meraih, bergiliran, memutar, meregangkan tubuh, jongkok, duduk, berdiri, bergoyang. (4) manajemen tubuh dan kontrol seperti menunjukkan kepekaan tubuh, kepekaan akan tempat, keseimbangan, kemampuan untuk memulai, berhenti dan mengubah petunjuk.

D. Pola Perkembangan Anak

Bagian ini menjelaskan mengenai ikhtisar dari pola perkembangan fisik, sosial, emosional, dan intelektual dari setiap anak.

1. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik berlangsung secara teratur, tidak secara acak, perkembangan bayi

(6)

yang terkendali.

Perkembangan fisik pada masa bayi berjalan dengan cepat. Bayi belajar untuk mengendalikan kepala, menggapai sebuah objek, dan barangkali berdiri dan berjalan ditahun pertama

tersebut. Ketika anak-anak tumbuh, perkembangan dari keterampilan motor mereka tidaklah sama cepatnya dengan seperti pada kanak-kanak, tetapi hal tersebut berlangsung terus

sepanjang masa kanak-kanak. Pengamatan atas fisik mengungkapkan bahwa pertumbuhan itu

adalah bersifat cephalocaudal (proses pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke kaki) dan

juga proximo-distal (proses pertumbuhan dimulai berasal pusat badan ke arah luar), dan

perkembangan motorik kasar tersebut mulai berjalan dahulu sebelum motorik halus

berkembang. Kendali terhadap kepala dan otot tangan diperoleh sebelum adanya kendali otot kaki. Dengan cara yang sama, anak-anak dapat mengendalikan otot dari tangannya sebelum mereka dapat mengendalikan otot motorik halus pada tangan mereka yang diperlukan untuk melakukan tugas seperti menulisndan memotong dengan gunting.

Pada saat mereka berusia tiga tahun, kebanyakan anak-anak sudah dapat berjalan mundur, berjalan pada ujung jari kaki dan dapat berlari. Mereka juga dapat melemparkan suatu bola dan menangkapnya dengan tangan mereka sendiri. Mereka juga dapat mengendarai sepeda roda tiga dan memegang krayon atau pensil dengan jari mereka atau dengan genggaman tangan mereka.

Implikasi dalam Pengembangan Kurikulum

Perkembangan fisik merupakan hal penting dalam rentang kehidupan anak. Anak

memerlukan waktu yang cukup untuk aktivitas secara fisik. Anak-anak sejak lahir sampai berusia tiga tahun manakala dorongan dari orang tua dan guru dengan memberikan

kesempatan agar anak dapat melakukan kegiatan fisik dengan aman dan tidak mengharapkan ketrampilan motorik yang akan dicapai oleh anak.

Beberapa hal di bawah ini dapat membantu guru dalam mengembangkan keadaan fisik dari anak-anak lewat kegiatan-kegiatan.

 Menyediakan permainan di luar ruangan. Permainan yang ada sebaiknya merupakan

permainan yang dapat mengembangkan keterampilan memanjat, berlari, melompat, dan seterusnya.

 Meyakinkan anak-anak bahwa mereka memiliki suatu kesempatan untuk berada di dalam

suatu area permainan yang berisi matras, bola karet dan target, dan bahan-bahan lain yang dapat mendukung perkembangan anak.

 Bagi setiap anak, peralatan yang ada di dalam rumah diperuntukkan bagi perkembangan fisik

anak, meliputi perahu goyang, anak tangga bersusun, terowongan dan seluncuran yang rendah.

 Menyediakan bola yang sesuai dengan usia anak. Bagi setiap anak bola harus berukuran

besar dan dibuat dari bahan yang lembut seperti busa dan benang. Ketika anak belajar untuk menangkap dan melemparkan bola dengan mudah, mereka dapat menggunakan bola yang terbuat dari karet yang lunak.

 Banyak aktivitas kelas yang dapat membantu anak-anak dalam mengendalikan motorik halus

mereka seperti melukis, memotong dengan gunting, bermain plastisin, meronce manik-manik, dan seterusnya.

2. Perkembangan sosial

a. Perkembangan kepribadian

(7)

kepercayaan dan penghargaan atas prestasi anak akan membentuk karakter anak yang percaya diri. Buzzelli dan Memfile menyatakan bahwa membangun sebuah persahabatan juga penting untuk membangun sebuah kepercayaan.

o Perkembangan konsep diri

Konsep diri dikembangkan secara bertahap, dimulai dengan interaksi anak dengan orangtua, keluarga, dan lingkungan. Kemudian anak secara berangsung-angsur mulai mengembangkan konsep mengenai siapa dan seperti apa dirinya.

Dalam sebuah studi klasik, mengenai konsep diri anak-anak, Coopersmith menemukan bahwa anak, terutama anak laki-laki yang memiliki konsep diri yang baik, memiliki orangtua yang menerima, menyayangi, memperhatikan anak-anaknya dan memberikan aturan-aturan yang mengarahkan anak untuk memiliki perilaku baik dan kedisiplinan.

Tugas guru adalah merencanakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan konsep diri anak dengan mengajak anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas yang bervariasi.

b. Peran dari permainan

Pengalaman bermain sangat penting didalam perkembangan sosial dan emosional anak. Anak- anak dapat memainkan berbagai peran, seperti berperan sebagai seorang kakak, ayah, atau sebagi seorang dokter. Disini anak akan belajar bagaimana pola perilaku tokoh yang mereka perankan.

c. Hubungan sosial dan keterampilan sosial

Tahapan-tahapan perkembangan psikologis menurut erikson :Trust vs Mistrust (pada usia 0-1 atau 1 ½ tahun)

Bayi mengembangkan perasaan bahwa dunia merupakan tempat yang baik dan aman. Disini, orangtua harus dapat membantu anak menumbuhkan dan mengembangkan serta menyeimbangkan kepercayaan dengana rasa curiga. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.

 Autonomy vs Shame and Doubt (pada usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun)

Pada masa ini, anak mengembangkan kemandirian (otonomi) sekaligus mengurangi perasaan malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, akan membentuk karakter anak yang mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.

 Initiatif vs Guilt (pada usia 3 sampai 5 atau 6 tahun)

Anak mengembangkan inisiatif ketika mencoba aktivitas baru dan tidak terlalu terbebani dengan rasa bersalah. Salah satu contoh hal yang dapat dilakukan orangtua atau guru untuk membantu anak pada tahap ini adalah dengan mengarahkan anak untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Hal ini dapat membantu mengembangkan inisiatif anak untuk mengambil keputusan.

 Industry vs Inferiority (pada usia 6 sampai 12 tahun)

Anak harus belajar untuk mengembangkan rasa percaya dirinya dan dapat

menghadapi perasaan tidak kompeten. Dalam budaya kita, dimana prestasi sering diukur sebagai keberhasilan melakukan sesuatu dengan hasil yang lebih baik dari orang lain, maka anak juga belajar untuk bersaing dan mengukur produktivitas dirinya dengan orang lain.

(8)

diantara mereka. Di sisi lain, anak dapat merasakan ketidakmampuannya dalam melaksanakan suatu tugas yang dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan menyebabkan anak malas berusaha.

d. Agresi

Aspek yang lain tentang pembangunan sosial yang patut mendapat perhatian adalah agresi. Para guru dan orangtua mempunyai kaitan dengan perilaku agresif anak. Sebuah studi mengungkapkan bahwa perilaku yang agresif dikelas dapat dikurangi dengan menyediakan sarana dan fasilitas yang cukup sehingga anak-anak tidak mempunyai alasan untuk bersaing antara anak yang satu dengan anak yang lain. Studi ini juga menyarankan agar anak tidak diberikan mainan yang dapat mengarahkan diri anak kearah agresif.

e. Identifikasi peran seks

Identifikasi peran seks adalah hal penting lain dalam pembangunan sosial anak. Anak harus dapat mengidentifikasi diri mereka sendiri dan diri orang lain sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Selanjutnya mereka mulai belajar mengembangkan konsep identitas seksual dan sikap mereka tentang peran yang sesuai bagi pria dan wanita.

Implikasi dalam pengembangan kurikulum

Aktivitas yang dilakukan seharusnya berupa kegiatan yang dapat mendorong anak-anak untuk dapat saling bekerja sama, mengembangkan konsep diri mereka, dan untuk memperoleh ketermpilan dalam interaksi dengan anak-anak yang lain.

Beberapa saran yang dapat dilakukan seorang guru untuk membantu perkembangan sosial anak, seperti:

Perkembangan emosional, sama halnya dengan perkembangan fisik dan sosial yang berkembang secara bertahap. Dimulai sejak bayi, dimana bayi bereaksi terhadap emosi apapun dengan mengeluarkan suara tangisan yang tidak dapat dibedakan. Dalam beberapa bulan kemudian, bayi mulai mengekspresikan emosi mereka dengan menjerit dimana hal ini disebabkan oleh adanya kesakitan fisik.

Anak memiliki perilaku yang sangat memaksa. Mereka hanya mempunyai sedikit kendali dari dorongan hati mereka dan mudah merasa putus asa. Pada saat anak mencapai usia tiga dan empat tahun, mereka sudah menumbuhkan beberapa sikap toleransi untuk mengatasi hal tersebut. Mereka sudah dapat menunggu untuk beberapa waktu dan sudah dapat mengendalikan diri. Anak pada usia ini juga mulai mengembangkan selera humor. Mereka juga sering tertawa ketika mendengar suara dan kata-kata yang lucu.

Bagi anak yang berada dibangku taman kanak-kanak dan anak sd kelas satu, biasanya sudah dapat menyatakan dan melabelkan suatu emosi yang luas. Mereka menjadi lebih mampu dalam mengendalikan perasaan agresif mereka. anak-anak yang berusia lima dan enam tahun ini juga sudah mulai mengembangkan suara hati dan suatu perasaan tentang benar atau salah. Untuk humor, mereka mengekspresikannya lewat lelucon atau kata-kata yang tidak masuk akal.

(9)

mereka. pada usia ini anak-anak mengembangkan sikap empati yang lebih kepada oranglain, dan sudah mulai merasa bersalah ketika melukai oranglain, baik secara fisik maupun

emosional.

Implikasi untuk kurikulum

Beberapa hal berikut ini merupakan salah satu contoh dari aktivitas kelas yang dapat membantu anak :

 Mintalah anak untuk menggambarkan suatu situasi dimana rasa frustasi dan kemarahan

seharusnya ditangani dengan sewajarnya.

 Menggunakan boneka sebagai model yang tepat dalam memberikan respon terhadap emosi.

 Memberikan rasa empati bagi anak-anak yang merasa ketakutan dan juga yang

membutuhkan perhatian

Perkembangan intelektual

Perkembangan kognitif mengacu pada perkembangan anak dalam berpikir dan kemampuan untuk memberikan alasan. Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak terbagi dalam empat tahapan, yaitu:

 Tahap sensorimotor (dari lahir sampai usia dua tahun)

Bayi mulai dapat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan melalui aktivitas sensoris dan motorik. Tugas dari periode ini adalah untuk mengembangkan suatu konsep dari objek yang tetap, yakni berupa pemikiran dimana objek ada bahkan ketika mereka tidak dapat dilihat atau didengar.

 Tahap praoperasional (dari usia dua sampai tujuh tahun)

Anak mulai menggunakan simbol untuk merepresentasikan orang, tempat, dan peristiwa. Bahasa dan imajinasi memainkan peranan penting pada tahap ini. Pemikiran masih belum logis.

 Tahap operasional konkret( dari usia tujuh sampai sebelas tahun)

Pada tahap ini, anak sudah dapat memecahkan masalah secara logis tapi belum dapat berpikir secara abstrak.

Implikasi dalam pengembangan kurikulum

Anak-anak yang berada pada tahapan sensorimotor memerlukan pengalaman yang berkaitan dengan sentuhan dan gerak. Para guru dapat memberikan anak sebuah mainan baru yang nantinya anak akan mulai memahami karakteristik dari mainan tersebut melalui indra-indra yang berhubungan dengan perasaan. Untuk anak yang berada pada tahap praoperasional biasanya memiliki pemahaman yang cepat terhadap bahasa. Para guru dapat mendorong perkembangan bahasa anak dengan memberikan berbagi kosakata baru yang memiliki makna.

Basis Pendidikan Anak Usia Dini

Terdapat 3 basis pendidikan anak usia dini, yaitu :

1. Berbasis pada keholistikan dan keterpaduan

Pengembangan anak usia dini mempunyai arah pada pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak. Pelaksanaannya terintegrasi dalam suatu kesatuan program yang utuh dan proporsional. Dalam hal ini, diharapkan adanya keselarasan antara pendidikan yang dilakukan di berbagai unit pendidikan, yaitu antara keluarga dengan sekolah dan masyarakat.

(10)

Prinsip ini mengandung arti bahwa praktik pendidikan anak usia dini yang tepat perlu dikembangkan berdasarkan temuan mutakhir dalam bidang keilmuwan yang relevan.

Pendidikan anak usia dini sendiri muncul karena dalam perkembangannya bersinggungan dengan ilmu lain yang menjadi objek penelaahan yaitu pendidikan untuk anak usia 0-8 tahun sehingga muncul ilmu baru yang bernama pendidikan anak usia dini.

3. Berbasis pada taraf perkembangan anak

Pendidikan anak usia dini dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan tingkat perkembangan anak sehingga proses pendidikan bersifattidak terstruktur, informal, dan responsive terhadap perbedaan individual anak serta melalui aktivitas belajar sambil bermain.

Kajian dalam bidang medis-neurologis, psikososiokultural dan pendidikan menyajikan pandangan yang komprehensif, secara singkat pandangan tersebut adalah:

a. Anak usia dini lahir sampai usia enam tahun adalah sosok individu dan makhluk

sosiokultural yang sedang mengalami proses perkembangan yang sangat fundamental dengan sejumlah potensi dan karakteristik tertentu.

b. Sebagai individu, anak usia dini adalah organisme dalam kesatuan jasmani dan rohani yang

utuh dengan segala struktur dan perangkat biologis dan psikologisnya sehingga menjadi sosok yang unik.

c. Sebagai makhluk sosiokultural, mereka perlu tumbuh dan berkembang dalam setting sosial

tempat mereka hidup, serta diasuh dan dididik sesuai nilai sosiokultural dan harapan masyarakat.

Oleh karena itu fungsi pendidikan anak usia dini sendiri adalah, sebagai berikut : a. Mengembangkan segenap potensi anak

b. Penanaman nilai dan norma kehidupan

c. Pembentukan dan pembiasaan perilaku yang diharapkan

d. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar

e. Pengembangan motivasi dan sikap belajar yang positif

Diharapkan dengan fungsi tersebut dapat meminimalisir rendahnya sumber daya manusia, yang berakar dari lemahnya penanganan masalah pendidikan terhadap generasi muda. Keberadaan PAUD menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut.

F. Pendekatan dalam Pendidikan Anak Usia Dini

1. Berorientasi pada Kebutuhan Anak

Perkembanga zaman menuntut saat ini menuntut pembelajaran yang memberikan skill

(kemampuan) anak dari segi IPTEK dan menguasai lebih dari satu bahasa. Model ini menekankan pada kebutuhan anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan gizi yang dikembangkan secara integratif dan holistik. Sebagai contoh, anak dengan

kemampuan diatas rata-rata dapat diberikan pengayaan, sedangkan anak dengan kemampuan dibawah rata-rata diberikan bimbingan sesuai dengan kemampuan yang akan dicapai.

2. Berorientasi pada Perkembangan Anak

(11)

Masa usia dini menurut Montessori dalam Hainstock merupakan periode sensitif

(sensitive period), selama masa ini anak secara khusus mudah menerima stimulus dari lingkungan. Pada masa ini lah, terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon dan mewujudkan tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul pada pola perilaku sehari-hari. Oleh karena itu anak perlu diberikan pendidikan sesuai dengan perkembangannya dengan cara memperkaya lingkungan bermainnya.

Pada dasarnya terdapat dua pendekatan utama dalam PAUD yaitu: pendekatan perilaku dan pendekatan perkembangan. Hainstock (1999:7) mengatakan bahwa pendekatan perilaku beranggapan bahwa konsep pengetahuan, sikap ataupun keterampilan tidaklah berasal dari dalam diri anak dan tidak berkembang secara spontan, dengan kata lain harus ditanamkan pada anak.

Kemudian pendekatan perkembangan mengatakan bahwa perkembanganlah yang memberikan kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini. Wolfgang dan Wolfgang (1992:6) menyatakan beberapa anggapan dalam pendekatan ini, yaitu:

1. Anak usia dini adalah pembelajar aktif yang secara terus menerus mendapat informasi

mengenai dunia lewat permainannya.

2. Setiap anak mengalami kemajuan melelui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat

diperkirakan

3. Anak bergantung pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui

interaksi sosial

4. Anak adalah individu yang unik, yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang

berbeda.

Berdasarkan hal tersebut diatas Wolfgang dan Wolfgang (1992:14) mengatakan bahwa maka pendidik anak usia dini berkaitan dengan teori perkembangan antara lain:

1. Tanggap dalam proses yang terjadi dari dalam diri anak dan berusaha mengikuti arus

perkembangan anak yang individual

2. Mengkreasikan lingkungan dengan materi luas yang beragam dan alat-alat yang

memungkinkan anak belajar

3. Memperhatikan laju dan kecepatan belajar dari masing-masing anak

4. Adanya bimbingan dari guru agar anak tertantang untuk melakukan sendiri

Anak usia dini memiliki cirri-ciri seperti berikut:

 Anak belajar dengan sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan

aman dan tentram secara psikologis. Contoh: membiasakan anak sarapan sebelum memulai aktivitas, agar anak bebas bermain tanpa ada tuntutan dari dalam dirinya.

 Siklus belajar anak berulang, dimulai dari membangun kesadaran, melakukan penjelajahan

(eksplorasi), memperoleh penemuan untuk selanjutnya anak dapat menggunakannya. Contoh: ada saat dimana anak-anak sangat senang belajar, tetapi ada pula saatnya anak malas dan mencari-cari perhatian orang dewasa.

 Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan teman sebayanya.

 Minat anak dan keingintahuannya memotivasi belajarnya.

 Perkembangan dan belajar anak harus memperhatikan perbedaan individual. Contoh: belajar

(12)

 Anak belajar dari cara yang sederhana hingga ke yang rumit, dari konkret ke abstrak, dari

gerakan ke verbal, dan dari keakuan ke rasa sosial.

3. Anak Usia Dini Belajar melalui Bermain

Mengutip pernyataan Mayesty (1990:196-197) bagi seorang anak, bermain adalah kegiatan yang mereka lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup dan hidup adalah permainan. Anak-anak tidak membedakan antara bermain, belajar dan bekerja.

Menurut Parten dalam Mayesty (1990:61-62) memandang kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberikan kesepakatan anak

bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan.

Bermain adalah dunia anak, melalui kegiatan bermain anak mengembangkan berbagai aspek kecerdasan secara jamak. Bermian edukatif dapat membantu mengoptimalkannya. Dengan bermain anak dapat mengenal siapa dirinya dan ligkungannya, dan tak kalah penting anak dikenalkan kepada Tuhannya melalui makhluk ciptaannya.

4. PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)

Pembelajaran yang aktif, dimaksudkan guru harus mampu membuat suasana

sedemikian rupa agar anak dapat aktif berinteraksi, bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan.

Pembelajaran kreatif, memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk berkreasi

(Silberman, 1996:9). Peran aktif anak akan menghasilkan pola pikir yang kreatif, artinya mereka mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain kreatif disini juga ditujukan kepada bentuk pembelajaran yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan anak.

Efektif, pembelajaran yang efektif adalah pembejalaran yang dapat menimbulkan daya kreatif dari anak-anak, sehingga akan dapat membekali anak dengan berbagai

kemampuan. Pembelajaran efektif dapat dicapai dengan tindakan nyata (learning by doing).

Menyenangkan, suasana belajar harus menyenangkan sehingga anak dapat memusatkan perhatian secara penuh untuk belajar. Kondisi menyenangkan, aman dan

nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir) dan mengoptimalkan proses

belajar, serta meningkatkan kepercayaan diri anak.

5. Pembelajaran Terpadu

Collin dan Hazel (1991:6-7) menyatakan bahwa pembelajaran terpadu merupakan

suatu bentuk pembelajaran yang memadukan berbagai peristiwa otentik (authentic events)

melalui pemilihan tema yang dapat mendorong rasa keingintahuan anak (driving force) untuk

memecahkan masalah melalui pendekatan eksploratif atau investigasi (inquiry approach).

(13)

kemampuan berbahasa dengan mengenal kosa kata tentang nama jenis sayuran dan peralatan makanan, dan pendidikan moral dengan berdo’a sebelum makan.

Model pembelajaran terpadu beranjak dari tema yang menarik anak (center of

interest), agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran semakin bermakna dan membangkitkan minat anak.

6. Pengembangan Keterampilan Hidup

Maddaleno dan Infante (2001:5) mengidentifikasi tiga kategori kunci dalam life skill,

yaitu:

1. Keterampilan sosial dan interpersonal

2. Keterampilan kognitif

3. Keterampilan meniru emosi

Metode pembelajaran life skill harus bervariatif, antara lain dengan metode bernyanyi,

bercerita, bermain peran, demonstrasi dan penugasan. Tujuan pembelajaran ini adalah mempersiapkan anak baik secara akademik, sosial, dan emosional dalam menghadapi kesulitan dimasa yang akan datang.

Sudiana (2004:3) mendefenisikan keterampilan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problematika hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi hingga akhirnya mampu mengatasinya. Keterampilan atau kecakapan hidup perlu dipelajari sejak dini, agar nanti anak dapat bertahan dalam kehidupannya kelak, untuk bertahan hidup

seorang manusia harus memiliki pengetahuan diri (self knowledge).

G. Prinsip Pembelajaran Anak Usia Dini

1. Anak Sebagai Pembelajar Aktif

Pendidikan hendaknya mengusahakan agar anak menjadi pembelajar aktif. Pendidikan

seperti ini bertumpu pada metode pembelajaran John Dewey (learning by doing) dan

dilanjutkan oleh Killpatrik dengan pengajaran proyek.

Proyek pada dasarnya merencanakan suatu pemecahan masalah pada berbagai bidang studi (pengembangan) yang memungkinkan murid melakukan berbagai bentuk kegiatan mempelajari, menyimpulkan, dan menyampaikan berbagai temuan yang dilakukan anak-anak dalam memahami berbagai pengetahuan.

Montessori dalam Seldin (2004:5) menganggap bahwa anak tidak perlu dilatih terus menerus menulis suatu kata, karena sambil bermain aktif membuat huruf dan mengarsir huruf itu, suatu saat anak tiba-tiba mengetahui bahwa dia dapat menulis, ini disebut sebagai

eksplorasi menulis.

Metode yang diberikan berupa pemecahan masalah dan penyampaian penemuan mereka. Sebagai contoh: anak membuat kerajinan tangan sesuai dengan inspirasi (daya khayal) mereka sendiri, anak mengarang dan membuat puisi sendiri, mengamati suatu tanaman dan mencari tahu apa nama tanamannya, dll.

(14)

Menurut pandangan dasar Montessori meyakini bahwa panca indera adalah pintu gerbang masuknya berbagai pengetahuan ke dalam otak manusia (anak), karena perannya yang sangat strategis maka seluruh panca indera harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan fungsinya.

Dalam konsep ini, anak mengeksploitasikan seluruh inderanya, mengamati dan memahami segala hal dengan inderanya lalu dapat menyebutkan fungsi dari masing-masing panca indera. Misalnya anak melakukan eksperimen tentang aneka rasa (kopi: pahit, gula: manis, garam: asin, sambal: pedas, dll).

3. Anak Membangun Pengetahuan Sendiri

Pestalozzi dalam Soejono (1988:32), pendidikan pada hakikatnya usaha pertolongan

(bantuan) pada anak agar mampu menolong dirinya sendiri yang dikenal dengan “Hilfe Zur

Selfbsthilfe” ; Pestalozzi berpandangan, pengamatan seorang anak pada sesuatu akan

menimbulkan pengertian, bahkan pengertian tanpa pengamatan merupakan suatu pengertian kosong.

Pada konsep ini anak dibiarkan belajar melalu pengalaman dan pengetahuan yang mereka pelajari sejak lahir. Anak diberikan fasilitas yang dapat menunjang untuk membangun pengetahuan mereka sendiri:

 Anak diajak untuk berpikir, percaya diri dan kreatif dalam mencari dan mendapatkan

pengetahuan yang mereka inginkan. Orang tua dan guru hanya lah fasilitator.

 Setiap anak diharapkan dapat menambah dan membangun pengetahuan mereka sendiri

melalui media cetak dengan studi literatur (kunjungan kepustaka), dan media elektronik baik

browsing internet maupun menonton VCD edukatif.

4. Anak Berpikir melalui Benda Konkrit

Anak harus diberikan pembelajaran dengan benda-benda yang nyata, agar anak tidak menerawang dan bingung. Anak akan lebih dapat mengingat benda-benda yang dapat dilihat, dipegang lebih membekas dan dapat diterima oleh otak dalam sensasi dan memori.

Menurut Lighart dalam Soejono (1988:75-76), langkah dalam pengajaran dengan barang sesungguhnya:

1. Menentukan sesuatu yang menjadi pusat minat anak. Mis. Buah jeruk sebagai tema

pembahasan

2. Melakukan perjalanan sekolah. Mis. Melakukan field trip ke taman buah, untuk melihat

tanaman jeruk

3. Pembahasan hasil pengamatan. Mis. Buah jeruk dipetik untuk dijual atau dibuat minuman

4. Menceritakan lingkungan yang diamati. Mis. Mengamati kegiatan petani jeruk.

5. Kegiatan ekspresi. Mis. Kegiatan ekspresi digambarkan pada bagan jaring laba-laba.

5. Anak Belajar dari Lingkungan

(15)

Out bound learning merupakan salah satu model pembelajaran dimana hamper 90 % kegiatan dilakukan dengan berinteraksi dengan alam tanpa ada kekangan. Dalam kegiatan ini anak diajarkan membangun ikatan emosional diantara individu (anak), dengan menciptakan kesenangan belajar, menjalin hubungan dan memengaruhi memori dan ingatan yang cukup lama akan bahan yang akan di pelajari.

3 aspek penting dari alam menurut Vaquette (1983:67), yaitu:

 Alam merupakan ruang lingkup untuk menemukan kembali jati diri secara kolektif dan

menyusun kembali kehidupan sosial.

 Alam merupakan ruang lingkup yang dapat dieksplorasi.

 Peranan pendidik di lokasi kegiatan.

H. Asas Pembelajaran Anak Usia Dini

Asas Perbedaan Individu

Setiap anak itu unik, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sehingga metode pembelajaran memperhatikan perbedaan individu, misalnya: perbedaan latar belakang keluarga, perbedaan kemampuan, perbedaan minat, gaya belajar, dan lain-lain agar anak dapat mencapai hasil belajar secara optimal.

Asas Kekonkretan

Melalui interaksi dengan benda-benda nyata dan pengalaman konkret, pembelajaran perlu menggunakan berbagai media dan sumber belajar, agar apa yang dipelajari anak menjadi lebih bermakna, misalnya, menggunakan gambar binatang, atau membawa binatang hidup ke dalam kelas, menggunakan audio visual, dll.

Asas Apersepsi

Kegiatan mental anak dalam mengolah hasil belajar dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Oleh sebab itu dalam pembelajaran, pendidik hendaknya memperhatikan pengetahuan dan pengalaman awal agar anak dapat mencapai hasil belajar yang optimal.

Asas Motivasi

Belajar akan optimal jika anak memiliki motivasi untuk belajar. Oleh karena itu pembelajaran dirancang sedemikian rupa sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemauan anak. Misalnya mengapresiasi anak yang berprestasi dengan pujian dan hadiah, memajang setiap karya dari mereka di kelas, lomba antar kelompok yang membangkitkan semangat, melibatkan anak dalam berbagai perlombaan, dan melakukan pekan unjuk kemampuan anak.

Asas Kemandirian

Kemandirian adalah upaya yang dilakukan untuk melatih anak dalam memecahkan masalah dengan mandiri. Pembelajaran yang baik dirancang untuk mewujudkan kemandirian anak, misalnya bagaimana cara makan yang baik, mengikat tali sepatu, bagaimana memakai baju, menggosok gigi, buang air kecil dan buang air besar, merapikan mainan setelah dipakai, dan lain-lain.

Asas Keterpaduan

(16)

perkembangan bahasa berkaitan dengan perkembangan kognitif mereka, perkembangan kognitif berkaitan dengan perkembangan diri, dan lain-lain.

Asas Kerja Sama (Kooperatif)

Bekerja sama akan meningkatkan keterampilan sosial anak dengan optimal. Oleh karena itu praktek berkerja sama harus ditanamkan dalam PAUD untuk memupuk keterampilan sosial dengan baik, misalnya bertanggung jawab terhadap kelompok,

menghargai pendapat teman, aktif dalam kelompok, membantu anak-anak yang lain, dan lain-lain.

Asas Belajar Sepanjang Hayat

Pembelajaran tidak hanya berlangsung pada usia dini, tapi berlangsung sepanjang hidup. Sehingga PAUD harus dapat mengupayakan pembekalan pada anak, agar anak dapat belajar disepanjang rentang kehidupan mereka dan mendorong anak untuk selalu ingin belajar dimanapun dan kapanpun.

Sumber: - Sujiono,Yuliani. 2011. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : PT. Indeks.

- Patmonodewo, Soemiarti. 2000. Pendidikan Anak Pra sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Posted by Muhammad Anggy Fajar Purba at 10:38 AM

Referensi

Dokumen terkait

Reproduksi adu zatua menjadi barang seni kerajinan ukir budaya, keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat Nias ini telah digunakan sebagai bentuk mata

Di Indonesia, prevalensi anak yang tidak rutin berolahraga sebesar 39,4 % (Heryudarini H, ddk. Status ekonomi juga menjadi salah satu faktor terjadinya obesitas pada balita

Meskipun ke-14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG tersebut telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (Ernest & Young dan Paul Hadiwinata), Suwir Laut

Bagi siswa dapat disarankan: (1) sebaiknya siswa aktif dalam mengikuti penerapan model kooperatif tipe STAD dalam peningkatan hasil belajar Matematika melalui peragaan,

Sehubungan dengan telah selesainya masa sanggah terhadap pengumuman pemenang untuk paket pekerjaan DED PEMBANGUNAN GEDUNG DINAS PEMUDA, OLAHRAGA DAN PARIWISATA, Pokja Pengadaan

[r]

Bahkan beberapa literature menyebutkan bahwa tujuan pengukuran kinerja tidak hanya untuk melihat bagaimana kinerja perusahaan ini berjalan, tetapi juga dapat membuat

Ketika menderita penyakit wasir ambeien terkadang pada saat sedang buang air besar pun juga bisa mengeluarkan feses yang akan bercampur darah segar, atau juga bisa