• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membedah Makna Simbol dalam Gulat dan Po

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membedah Makna Simbol dalam Gulat dan Po"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Membedah Makna Simbol dalam Gulat dan Poster Kampanye

Nasional

Book Review:

The World of Wrestling

oleh Roland Barthes

Ideological Dissonances in Singapore’s National Campaign: A Semiotic

Deconstruction

oleh Peter Teo

Disusun oleh

Siti Sarah Sofyaningrat

Banyak yang menganggap bahwa sesuatu yang terjadi di sekitar kita adalah sesuatu

yang “wajar” dan “Sudah dari sananya begitu”. Kemudian, berhentilah pada tataran itu. Apakah

kita benar-benar meyakini bahwa apa yang terjadi di sekitar kita bebas dari makna? Apakah

tontonan smackdown hanya sekadar hiburan belaka? Apakah iklan yang selama ini kita lihat hanya kita biarkan lewat dan mempengaruhi kita begitu saja? Ternyata sebagai manusia, kita

tidak bisa berhenti pada tataran itu saja. Manusia disebutkan sebagai homo signans (Danesi dan Perron 1999:39-40) yang berarti bahwa manusia adalah makhluk yang selalu mencari

makna dari berbagai hal yang ada di sekitarnya, maka kemudian hal-hal yang dianggap ‘wajar’

dapat dicari makna yang ada dibalik kewajaran tersebut.

Maka kemudian hadirlah proses pemaknaan yang dinamakan semiosis (Peirce 1940),

Sahlin juga menyatakan bahwa peristiwa sosial dapat dimaknai oleh kebudayaan dan sejarah.

Awalnya pemaknaan suatu budaya hanya berupa konsep struktural dimana ada penanda dan

petanda, menguak makna denotatif dari suatu penanda. Berangkat dari hal tersebut, Barthes

memaknai peristiwa sosial yang terjadi dalam lingkungannya, dalam bukunya Mythologies, Barthes membedah makna dibalik fenomena “Gulat” yang sudah dianggap wajar oleh

masyarakat perancis zaman itu sebagai olahraga yang mempertontonkan kekerasan sebagai

makna denotatifnya. Namun, ternyata Barthes (1994) dengan tegas menyatakan bahwa gulat

bukanlah merupakan olahraga, namun sebuah ‘tontonan’ olahraga yang direkayasa. Meski

(2)

tersebut adalah hal yang wajar. Namun ternyata makna denotatif tentang gulat yang

berkembang di masyarakat bukanlah makna denotatif, hal itu adalah mitos yang berkembang

dari konotatif.

Hoed (2014:17) membantu menjelaskan tentang gulat dalam Barthes, Ia menyatakan

bahwa pegulat sebagai penanda, diberi makna sesuai keinginan penonton bahwa yang ‘baik’

yang harus menang sebagai petanda. Proses pemaknaan menurut penonton tersebut lah yang

disebut sebagai ‘konotasi’, Inilah hal yang diperkenalkan oleh barthes dalam tulisannya The World of Wrestling. Barthes mengenalkan konsep konotasi sebagai pengembangan segi petanda oleh pemakai tanda sesuai sudut pandangnya. Dalam hal ini, gulat sudah diberi

penanda bahwa pegulat favorit haruslah menang, konotasi yang sudah melekat di masyarakat

ini kemudian menetap menjadi mitos. Jadi sesuatu yang dianggap wajar dan dibiarkan begitu

saja berada di dalam masyarakat ternyata hanyalah mitos belaka yang berasal dari konstruksi

sudut pandang yang melekat dalam masyarakat.

Lantas kenapa gulat bisa dimaknai oleh sudut pandang masyarakat menjadi seperti yang

sudah dipaparkan di atas, bahwa yang favorit lah yang harus menang, yang “baik” harus

menang melawan yang “jahat”? Inilah kemudian yang dipaparkan oleh Barthes dalam World of Wrestling, bahwa gulat itu merupakan ‘tontonan’ yang sudah dikonstruksi sedemikian rupa. Para pegulat memakai topeng dan kostum yang mewakili persona mereka. Yang kuat dan yang

lemah ditampilkan secara berlebihan. Setiap pukulan, tinjuan, pitingan adalah rekayasa untuk

menunjukan dramatisasi penderitaan. ‘Aksi teatrikal’ dalam gulat sudah direkaya agar menyentuh konsep dasar kehidupan manusia yaitu keadilan yang “Baik” akan menang

melawan yang “Jahat”. Maka untuk mencapai itu semua, gulat tidak mengikuti aturan seperti

olahraga lainnya yang memiliki tolak ukur kemenangan. Gulat hanya mengedepankan

penderitaan yang berlebihan dari tokoh gulat yang ‘buruk’ dan serangan tanpa aturan dari tokoh

‘baik’ agar penonton dapat diarahkan untuk mendukung tokoh “baik” yang menang sebagai

simbol keadilan bagaimanapun sadis dan penuh kekerasannya: Tokoh favorit haruslah menang.

Jika suatu makna bisa dikonstruksi sedemikian rupa dan menjadi makna yang dianggap

wajar bagi masyarakat, maka hal itu bisa diterapkan pada poster iklan maupun kampanye. Para

pembuat poster bisa menyusun simbol-simbol yang direkayasa untuk mengkampanyekan

sesuatu agar dianggap sebagai hal yang wajar bagi pembacanya. Setelah mengetahui hal ini,

maka poster dan iklan yang selama ini beredar di lingkungan sosial kita bukan hanya sekedar

(3)

oleh pembuatnya kepada masyarakat yang melihatnya. Seperti istilah “Cantik itu putih” yang

sudah lama beredar di masyarakat Indonesia merupakan suatu tanda yang dapat mempengaruhi

ideologi masyarakat tentang definisi kecantikan.

Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Peter Teo, “Ideological dissonances in

Singapore’s national campaign posters: a semiotic deconstruction”, dijabarkan cara memaknai poster-poster di Singapura untuk berbagai kampanye nasional dan bagaimana poster-poster

tersebut memiliki ketidaksesuaian antara makna yang ingin disampaikan pada masyarakat

dengan simbol yang ada pada poster tersebut, dan bagaimana ketidaksesuaian tersebut

menunjukan ideologi sebenarnya pemerintah Singapura pada masa tersebut.

Peter Teo menganalisis tiga poster kampanye nasional Singapura yaitu Poster

produktivitas 1983, Poster kampanye berbicara mandarin 1996, dan poster kampanye sopan

santun pada tahun 1995. Ia membedah pesan verbal dan visual yang terdapat dalam

poster-poster tersebut untuk melihat kepentingan ideologi, makna, dan implikasinya.

Pada masa tersebut, pemerintah Singapura menggunakan media poster sebagai usaha

untuk membangun Bangsa. Karena poster digunakan dalam jumlah yang banyak dan mudah

ditemukan dimana-mana, maka Lazar (2006:374) menyebut Singapura sebagai “Campaign Country”. Tujuan dari kampanye-kampanye itu adalah untuk membangun masyarakat dengan nilai-nilai kebangsaan yang harus dijunjung tinggi.

Dalam poster produktivitas, 10 orang dihadirkan dari ras, gender, dan profesi yang

berbeda dengan tersenyum dan mengangkat jempol lengkap dengan tulisan “Come on Singapore” dan “Together we work better”. Pemerintah ingin menunjukan bahwa penduduk Singapura dapat bekerja bersama-sama meski memiliki latar belakang yang berbeda. Namun

dibalik itu, ternyata terdapat ideologi implisit bahwa pemerintah bukan hanya mengajak

warganya untuk bekerja dan menjadi masyarakat produktif, namun ingin menunjukan bahwa

Singapura adalah Negara yang kohesif dan multikultural. Dapat kita lihat dalam proporsi 10

orang di dalam poster, terdapat 8 orang etnis Cina, 1 orang etnis India, dan satu orang etnis

Malaysia. Ini menunjukan proporsi nyata masyarakat Singapura yaitu etnis mayoritas yang

merupakan etnis Cina adalah 70%, dan 30% sisanya adalah etnis melayu dan India. Pemilihan

orang-orang ini diatur sedemikian rupa untuk menggambarkan Singapura saat itu. Selain itu,

hanya ada dua wanita dari 8 pria yang ditampilkan dan ditepatkan pada posisi bawah dalam

poster. Hal ini menunjukan disonansi dalam poster ini. Disonansi bahwa Singapura ingin

(4)

kentara dan secara tidak langsung membawa suatu gambaran masyarakat Singapura yang

sebenarnya yang menjunjung etnis Cina sebagai mayoritas dan mengedepankan sistem

patriarki.

Selanjutnya dalam poster ke dua yang tulisan verbalnya mengarah pada penggunaan

bahasa mandarin yang ingin dikedepankan, namun disonansi dalam poster justru menunjukan

bahwa pemerintah ingin menanamkan ideologi yang bukan hanya belajar bahasa Cina, namun

mengedepankan budaya Cina (dilihat dari pilar merah khas cina, dan gambaran alam di Cina).

Ketidaksesuaianpun terjadi karena ada simbol pelangi di ujung jalan yang merupakan khas

budaya barat. Pelangi pun dihadirkan saat kondisi alam cerah, bukan setelah hujan.

Ketidaksesuaian ini membuat poster ini dinilai kurang berhasil karena kontradiktif dengan

pesannya. Selain itu, poster ini juga menunjukan Ideologi sosio-ekonomi bahwa siapa yang

menguasai bahasa Cina, dapat maju perekonomiannya. Lantas bagaimana dengan dua bahasa

lainnya yang juga merupakan bahasa resmi seperti tamil dan melayu? Bahasa itu seolah

tersingkir. Padahal Singapura ingin mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai bangsa yang

multikultural. Inilah yang menjadi permasalahan. Apakah singapura ingin meminggirkan

beberapa kelompok masyarakat?

Kemudian pada poster ketiga, nampaknya lebih diterima oleh masyarakat. Karena,

memiliki kesesuaian antara verbal dan visual. Ketidaksesuaian berada pada sopan santun yang

diinginkan seperti punctuality, consideration, thoughtfulness, dan helpfulness yang merupakan kondisi mental manusia, namun digambarkan sebagai perilaku dan aksi manusia. Apakah itu

artinya perilaku lebih dikedepankan dibandingkan ketulusan dibalik sopan santun itu sendiri?

Ternyata diluar panjangnya analisis dari mulai sudut pandang kamera, warna, tulisan,

objek di dalam poster-poster tersebut, ketidaksesuaian dalam poster-poster kampanye

Singapura itulah yang justru menunjukkan ideologi “Sebenarnya” yang benar-benar ada dalam

masyarakat Singapura. Jika poster tersebut tersebar dimana-mana dalam jangka waktu yang

lama, maka kenyataan yang direkayasa dalam poster tersebut dapat menjadi konotasi yang

diterima masyarakat dan menjadi mitos tersendiri. Mitos tersebut nantinya menjadi suatu

makna denotasi baru yang diterima secara wajar dan begitu saja oleh masyarakat Singapura

tanpa melihat makna ideologis dibaliknya. Dalam hal ini, maka analisis Barthes dalam dunia

pergulatan masih sangat relevan dengan analisis poster-poster kampanye pemerintah Singapura

Referensi

Dokumen terkait

Nasution (2008:94) menjelaskan bahwa gaya kognitif mampu menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat dan berfikir maupun memecahkan soal dengan cara yang konsisten. Setiap

Pada kelompok intervensi, sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan pre test kepada bidan mengenai efektivitas penggunaan buku KIA dalam mendeteksi

BANGKALAN JAWA TIMUR... BANYUWANGI

Upaya Penyelesaian Tanggung Jawab apabila terjadi perselisihan terkait masalah yang telah dipaparkan, dilakukan sesuai dengan ketetapan pasal 17 dalam Surat Perjanjian Penunjukan

Karakteristik usahatani yang dilakukan petani Desa Mesa, Kecamatan Teon Nila Serua tidak signifikan memengaruhi pendapatan usahatani. Pendapatan yang diperoleh petani

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan motivasi belajar dan keterampilan berbicara antara peserta didik kelas V SD Negeri 1 Tamansari

Peran public relations pada PT.Suria Solusi Indonesia disini yaitu membuat bagaimana para pelanggan merasa puas dan loyal dengan produk CCTV tersebut.Karena memang

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DI PESANTREN Hasil studi Burn tentang kepemimpinan dari waktu ke waktu, menunjukan bahwa pemimpin yang paling sukses untuk melakukan