Filsafat Estetika di Dunia Islam
Bimbingan Ferry Hidayat, S.Th., S.Fil.
Dalam Dunia Islam, Filsafat Estetika berkembang pesat dikarenakan doktrin Islam sendiri menganjurkan pengkajian akan keindahan. Dalam satu hadits (perkataan Rasul Muhammad) dikatakan bahwa: Inna l-Lāhha jamīlun yuhibbu l-jamāl ( Sesungguhnya Allah Maha Indah menyukai keindahan ). Berikut ini akan diterangkan Filsafat Estetika Islam yang dikemukakan oleh Titus Burckhardt (1908-1984 M), seorang Muslim Jerman-Swiss.
Teori Anikonisme (Aniconism)
Teori estetika Islam, menurut Burckhardt, disebut dengan teori Anikonisme (Aniconism). Aniconism berarti tidak mengenal imaji-imaji . Menurut teori ini, imaji-imaji yang indah, walaupun keindahannya menakjubkan, tidak akan sanggup mengkiaskan atau
menggambarkan keindahan dan keagungan Tuhan dengan tingkat kesetaraan yang sama dengan Tuhan. Maka dari itu, seni menggambarkan Tuhan lewat imaji-imaji indah tidak dikenal dalam seni Islam. Mengapa begitu? Menurut Burckhardt, jika kita menggambarkan Tuhan lewat imaji-imaji, itu adalah suatu kesalahan, karena itu berarti kita telah menyetarakan (Arab, Syirk) yang relatif dengan yang mutlak, menyetarakan makhluk dengan Pencipta, menghina Tuhan dengan imaji yang tak setara dan yang lebih hina dari Diri-Nya. Lagipula, dogma Islam yang tidak boleh diganggu gugat karena kebenarannya mutlak terletak dalam kalimat Lā ā
ʾLlāh ( Tidak ada tuhan kecuali Allah ). Jadi, segala imaji-imaji tentang Allah, walau
bagaimana pun indahnya imaji itu, tetap saja dianggap menyetarakan Allah dengan imaji-imaji itu, dan segala bentuk penyetaraan (Syirk) berarti menyelewengkan kebenaran dogma Lā ā illa ʾLlāh tadi. Kata Burckhardt:
...any plastic representation of the divinity is for Islam...the distinctive mark of th w
relative with the Absolute, or the created with the Uncreated, by reducing the one to the level of the other. To deny idols, or still better to destroy them, is like translating into concrete terms the fundamental testimony of Islam, the formula ā ā ʾLlāh ( there is no divinity save God ), and just as this testimony in Islam dominates everything or consumes everything in the manner of a purifying fire, so also does the denial of idols, whether actual or virtual, tend to become generalized. Thus it is that portraiture of the divine messengers (rusul), prophets ( yāʾ),and saints ( w yāʾ) is avoided, not only because their images could become the object of idolatrous worship, but also because of the respect inspired by their inimitability; they are the viceregents of God on earth;
A ( ying of the Prophet), and this resemblance of man to God becomes somehow manifest in prophets and saints, without it being possible, even so, to grasp this on the purely corporeal level; the stiff, inanimate image of a divine man could not be other than an empty shell, an imposture, an idol.
(Burckhardt 2009:29).
Bukan hanya imaji-imaji tentang Tuhan yang tidak dibolehkan dalam Islam, tapi juga imaji-imaji tentang segala makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, dan lain-lain) juga tidak dibolehkan sebagai
penghormatan akan tanda-tanda ilahi yang ada padanya. Kata Burckhardt:
framework of Islam. Aniconism—which is the appropriate term here, and not iconoclasm—became somehow an inseparable concomitant of the sacred; it is even one of the foundations, if not the main foundation, of the sacred art of Islam (Burckhardt 2009:29).
Lalu, jika semua imaji-imaji tidak dibolehkan, apa yang dibolehkan? Persis seperti teori Ikonoklasme Protestan yang dikemukakan oleh Calvin dan Zwingli, keindahan Tuhan hanya boleh digambarkan dengan tulisan-tulisan indah mengenai Sabda-Nya. Karena itulah, seni kaligrafi sangat marak dalam Islam. Dalam seni kaligrafi, Keindahan Ilahi terpancar dari keindahan kaligrafis tulisan Arab (lihat contoh karya kaligrafis di kiri atas) (Burckhardt 2009:52-61).
Referensi
Buckhardt, Titus. (2009). Art of Islam: Language and Meaning. The World Wisdom, Inc. Bloomington,