• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (Khi) Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (Khi) Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PRINSIP-PRINSIP PENGGANTIAN BENDA WAKAF MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disingkat KHI, yang terdiri dari Buku I (pertama) tentang Hukum Perkawinan, Buku II (kedua) tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III (ketiga) tentang Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan terdiri dari lima bab dan lima belas Pasal yang memuat ketentuan umum tentang wakaf, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nazhir, tata cara perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian perselisihan benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini disusun dengan maksud untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan ketiga bidang hukum tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat yang memerlukannya.

Penjelasan umum dinyatakan bahwa pedoman yang dipergunakan Peradilan Agama dalam bidang-bidang hukum tersebut yaitu tiga belas kitab fiqih Mażhab

(2)

merupakan hasil lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di Jakarta yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia disertai perbandingan dengan yurisprudensi peradilan agama maupun perbandingan dengan negara-negara lain.

Beberapa catatan terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pelaksanaannya dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari sisi formal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberi baju dalam bentuk Instruksi Presiden yang oleh sementara pihak dianggap kurang kuat karena tidak memiliki landasan hukum/rujukan konstitusi maupun Ketetapan MPR yang selama ini ada. Namun pendapat ini disanggah oleh Ismail Sanny yang merujuk pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 17 tentang wewenang Presiden untuk menetapkan peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan serta para menteri Negara sebagai pembantu Presiden memimpin departemen untuk melaksanakan keputusan dan atau instruksi presiden. Oleh karena itu, akan semakin kuat dan mantap apabila KHI yang di dalamnya mengatur tentang hukum perwakafan dapat ditingkatkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.

(3)

perundangan yang lain dalam hal ini PP nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu disatukan dalam bentuk undang-undang. Dalam konteks perwakafan, maka lembaga hibah dan wasiat merupakan cara penyampaian kehendak dari pihak pemberi wakaf kepada penerima wakaf. Oleh karena itu selain diatur dalam hukum pewarisan, seharusnya juga diatur dan dimasukan ke dalam salah satu bagian tentang pemberian wakaf dengan cara wasiat (baik lisan maupun tertulis) serta pemberian wakaf dengan cara hibah wakaf.

3. Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka penyelesaian perselisihan perwakafan tanah milik atau menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) penyelesaian perselisihan benda wakaf, seyogyanya tidak hanya melalui proses perdata (Pengadilan Agama) tetapi dapat pula diajukan secara pidana sebagaimana diatur pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun 1977.

4. Perlu diatur lebih lanjut tentang perubahan benda wakaf atas dasar alasan tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan atau karena adanya alasan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam pasal 225 KHI agar tidak menyalahi ketentuan-ketentuan Syariat Islam serta tujuan pemberian wakaf semula dalam ikrak wakaf.41 Membicarakan masalah perwakafan pada umumnya dari perwakafan tanah di Indonesia, pada dasarnya adalah membicarakan sebuah pranata hukum yang unik dan rumit. Oleh karena itu di Indonesia tidak ada pranata hukum yang dalam waktu bersamaan diatur oleh berbagai ketentuan hukum yang berasal dari berbagai sub

41

(4)

sistem keberadaanya perlu dilihat sedemikian rupa dan dapat mengundang perbedaan pendapat yang cukup tajam, bergantung dari sudut mana kita memandangnya.42

Dari sudut lingkup makna hukum yang ideal, kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang:

a. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut bahkan mengatur interaksi sosial; b. Aktualnya dimensi normative akibat terjadi eksplanasinya fungsional ajaran

Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum;

c. Respon struktural yang dinilai melahirkan rangsangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Alim Ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan kondisi masyarakat Indonesia.43

Berikut ini merupakan prinsip-prinsip yang harus di pertahankan didalam perwakafan:

a Prinsip Keabadian dan Prinsip Kemanfaatan

b Seluruh harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari wakif c dengan status wakaf sesuai dengan syariah

42

Siah Khosyi’ah,Op. Cit., hal. 191.

(5)

d Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya

e pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif f Jumlah harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan

dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan44

Pada dasarnya benda wakaf tidak dapat diubah atau dialihkan. Dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.

Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilaksanakan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif; b. Karena kepentingan umum.

2. Fungsi Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Mengenai fungsi wakaf yang tertuang didalam Pasal 216 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu, fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

44Internet,http://suhairistain.blogspot.com, wakaf-uang-dalam mewujudkan.html, Suhairi blog

(6)

Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui bahwa hikmah dari disyari’atkanya wakaf itu banyak sekali, diantaranya ialah:

1. Untuk membela nasib fakir miskin, atau orang-orang yang kurang mampu di dalam meneruskan hidupnya.

2. Dengan adanya bantuan berupa wakaf, zakat fitrah, sadakah dan lain-lainnya akan terpelihara agama orang yang tidak berkemampuan.

3. Bila orang-orang miskin tidak berkemampuan sudah dibantu mereka tidak akan menempuh jalan yang salah, dan bila mereka tidak menempuh jalan yang salah akan tercipta pulalah keamanan pada masyarakat sekitarnya.

4. Dengan adanya bantuan orang yang mampu, akan terjalinlah hubungan persaudaraan yang lebih erat dan rasa cinta mencintai sesama muslim. Dengan terciptanya rasa persatuan, terciptalah persatuan. Persatuan adalah pokok kekuatan.

5. Dengan adanya harta wakaf akan bertambahlah modal ummat Islam. Dengan modal akan terciptalah rencana dan ekonomi yang kuat, dengan ekonomi yang kuat itu makmurlah ummat Islam.

Bagi orang yang berwakaf juga akan mendapat pahala yang berkepanjangan selama harta wakafnya itu masih dapat dipergunakan dan juga wakaf itu adalah sebagai amal shaleh baginya.45

Wacana tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan dan tidak hanya sekedar membincangkan tentang pandangan para ulama fiqih yang belum

(7)

seragam tentang pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem sosial masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai salah satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam yang berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah.

Agar wakaf lebih memiliki makna yang relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat strategis. Merujuk pada praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh para Sahabat, dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa substansi wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf) tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan umum.46

Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan. Pendapat Imam Malik ini wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bila berlaku

46Achmad Kholiq, Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf,

(8)

untuk waktu tertentu saja (misalnya untuk satu tahun), sesudah itu kembali kepada pemiliknya.47

Pendapat ini dinilai cukup relevan dengan kondisi hukum positif di Indonesia saat ini yang mengenal dengan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dengan sistem kontrak. Jika pendapat Imam malik ini yang diterapkan, maka wakaf akan mendapat perluasan makna dan perluasan kesempatan kepada para pihak yang tidak memiliki benda permanen yang ingin diwakafkan tetapi memiliki benda yang bersetatus temporer. Selain membuka lebih lebar kepada calon wakif, bisa juga dikembangkan secara maksimal.48

3. Unsur-Unsur Dan Syarat-Syarat Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

a. Unsur-Unsur Wakaf

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf terletak didalam bab II Pasal 217 yaitu:

1. Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusanya yang sah menurut hukum.

47

Abdul Manan,Loc. Cit

48

(9)

3. Badan wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI), harus merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Sebagaimana Pasal tersebut diatas dilanjutkan di dalam Pasal 218 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu:

1. Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagai mana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6) yang kemudian menuangkanya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.

2. Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.49

Meskipun para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam merumuskan defenisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun wakaf sebab tanpa rukun, wakaf tidak dapat berdiri sendiri atau wakaf tidak sah. Menurut Abdul Wahab Khallaf rukun wakaf atau unsur-unsur wakaf Ada empat, yaitu:

1. Wakif (orang yang berwakaf) adalah pemilik harta yang mewakafkan hartanya. Seseorang yang akan mewakafkan hartanya harus mempunyai syarat-syarat berikut :

(10)

a) Wakif itu adalah pemilik sah dari harta yang akan diwakafkan. Harta yang belum jelas pemiliknya tidak boleh di wakafkan, seperti harta warisan yang belum dibagikan, harta berserikat yang belum ditentukan siapa-siapa pemiliknya, harta yang telah dijual tapi belum lunas pembayaranya dan sebagainya. Karena itu perlu diteliti kedudukan suatu harta yang akan diwakafkan.

b) Wakif mempunyai kecakapan melakukantabru; yaitu kecakapan seseorang telah dapat melakukan tabarru; ialah telah mempunyai kemampuan mempertimbangkan sesuatu yang dikemukakan kepadanya dengan baik.50

2. Mauquuf (harta yang diwakafkan)

a. Kekal zatnya, berarti diambil manfa’atnya zat barang tidak rusak.

b. Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya, (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan yang lain).51

3. Mauquuf’alaih (tujuan wakaf) adalah yang harus dilaksanakan berdasarkan

ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya berbeda-beda yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri kepada Allah SWT.52

4. Sighat Wakaf( Ikar wakaf)

50Zakiah Daradjat, Husni Rahiem dan Suaibu Thalib, Ilmu Fiqih, (Jakarta : Direktur

Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986). hal. 212.

51

Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam,(Jakarta : Attahiriyah, 1954). hal. 325.

(11)

Tentang Sighat Wakaf ( Ikar wakaf) ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh wakif. Tanpa adanya ikrar wakaf, menganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf. Ikrar wakaf yang diucapkan pemberi wakaf pada umumnya sebagai berikut: “saya wakafkan harta saya ini kepada Madrasah Polan untuk dipakai pembelanjaan dan penyelenggaraanya atau saya wakafkan kebun kelapa ini untuk digunakan hasilnya bagi penyelenggaraan yayasan yatim piatu polan dan sebagainya”. Pada umumnya, lafaz Kabul hanya diperuntukkan kepada wakaf perorangan, tetapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan adanya lafaz kabul, cukup dengan ikrar penyerahan saja.53

b. Syarat-Syarat Wakaf

Selanjutnya syarat-syarat wakaf dilanjutkan dalam pasal 219 Kompolasi Hukum Islam (KHI) yaitu:

1. Nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia. b. Beragama Islam.

c. Sudah dewasa.

d. Sehat jasmani dan rohani.

(12)

e. Tidak berada di bawah pengampuan.

f. Bertempat tinggal dikecamatan tempat ketak benda yang diwakafkanya. 2. Jika berbentuk badan hukum, paka nazhir harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

a. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

b. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkanya.

3. Nazhir sebagaimana dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

4. Nazhir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:

“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazhir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apa pun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga.”

(13)

Jumlah nazhir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan camat setempat.54

Syarat-syarat sahnya suatu perwakafan benda atau harta seseorang adalah sebagai berikut :

1. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya untuk lima tahun saja misalnya, adalah tidak sah.

2. Tujuanya harus jelas, tanpa menyebutkan tujuannya secara jelas perwakafan tidak sah. Namun demikian, apa bila seorang wakif menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum tertentu yang sudah jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan tujuan wakaf itu berbeda pada badan hukum yang brsangkutan sesuai dengan tujuan badan hukum itu.

3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif tanpa menggantungkan pelaksanaanya pada suatu peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sebabnya adalah ikrar wakaf itu menyebabkan lepasnya hubungan pemilikan seketika itu juga, antara wakif dengan wakaf yang bersangkutan. Bila digantungkan pada kematian seseorang, seperti telah disebut di atas, yang berlaku adalah hukum wasiat. Dalam hal ini tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan. Bila wasiat wakaf itu melebihi

54 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

(14)

sepertiga harta peninggalan, selebihnya baru dapat dilaksanakan kalau disetujui oleh para ahli waris. Bila semua ahli waris menyetujuinya, semua harta yang diwakafkan itu dapat diolah atau dikerjakan. Bila semua tidak menyetujuinya hanya sepertiga yang dapat dilaksanakan, selebihnya menjadi batal karena hukum. Kalau ada yang setuju ada pula yang tidak, yang dapat dilaksanakan adalah bagian mereka yang setuju saja.

4. Wakaf yang sah wajib dilaksanaka, karena ikrar wakaf yang dinyatakan oleh wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya.55

B. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

1. Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip harta benda wakaf termuat didalam Pasal 42, 43, 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 42 yaitu:

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukanya.

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu:

55

(15)

1. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana dimaksuddalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.

2. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

3. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu:

1. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.

2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

(16)

dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.

Dengan demikian, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada prinsifnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku. Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan benda wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksitensi wakaf itu sendiri, sehingga wakaf tetap menjadi alternative untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.56

Sejak lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafkan Tanah Milik dan lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, perwakafkan mulai dan terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan dan paham wakaf secara umum. Paling tidak pelaksanaan pembaharuan paham yang selama ini sudah dan sedang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan wakaf. Upaya sertifikasi tanah wakaf terhadap tanah-tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat adalah bentuk pembaharuan paham di lingkungan masyarakat muslim Indonesia, bahwa wakaf adalah sah jika dilakukan secara lisan tanpa dicatatkan secara resmi kepada administrasi pemerintahan.

(17)

Fenomena yang banyak terjadi sebelum UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 1977 UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 1977 hingga lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf adalah perbuatan wakaf yang dilakukan hanya dengan faktor kepercayaan kepada salah satu tokoh agama yang diangkat sebagai Nazhir. Namun dari praktek paham wakaf yang terbilang tradisional tersebut mengundang persoalan-persoalan baru, seperti hilangnya benda-benda wakaf seperti dijadikan rebutan oleh para ahli waris Nazhir, obyek persengketaan para pihak yang berkepentingan, ketidak jelasan status benda wakaf sehingga mengakibatkan tidak dikelola secara baik. Untuk itu, pola sertifikasi tanah-tanah atau benda wakaf lainya merupakan upaya memperbaharui paradigma baru dalam pelaksanaan perwakafan di Indonesia.

Peruntukan benda wakaf, menurut PP No. 28 Tahun 1977 Bab IV Bagian Pertama, Pasal 11 ayat (2) dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari Menteri Agama RI dengan dua alasan, yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi kepentingan umum.

(18)

benda-benda wakaf tidak boleh diganggu gugat, walaupun demi kepentingan manfaat sekalipun seperti membangun masjid dari hasil wakaf yang sudah roboh.

Paradigma baru terhadap perubahan status benda wakaf memang menjadi salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya sudah cukup baik, paling tidak sejak adanya PP No. 28 Tahun 1977 dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya.

Pola seleksi yang dilakukan oleh para nazhir wakaf atas pertimbangan manfaat. Memang sistim yang diterapkan oleh para nazhir wakaf di Indonesia tidak seluruhnya menggunakan pola penyeleksian secara ketat agar benda-benda yang ingin diwakafkan oleh masyarakat dapat memberi manfaat secara maksimal. Selama ini banyak nazhir wakaf yang “asal” menerima wakaf tanpa mempertimbangkan asas kemampuan dalam pengelolaan, sehingga banyak benda-benda wakaf, khususnya tanah tidak terkelola secara baik. Namun, hingga saat ini ada perkembangan yang positif yang dilakukan oleh beberapa lembaga wakaf.57

Sistem ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif diarahkan kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum, tanpa penyebutan yang bersifat khusus seperti yang selama ini terjadi.58

57Departemen Agama, Peradikma Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta : Direktorat

Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007). hal. 59-60.

58

(19)

2. Fungsi Wakaf Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Untuk memajukan dunia perwakafan di Indonesia, pemerintah melalui Departemen Agama berupaya menjalankan fungsi dan peranannya, guna memfasilitasi pengembangan administrasi perwakafan di Indonesia sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Pada tahun 2006 Pemerintah memecah Direktorat zakat dan wakaf di Departemen Agama Pusat menjadi dua Direktorat yang berdiri sendiri, di lingkungan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Departemen Agama Provinsi Sumatera Utara masalah perwakafan ditangani Seksi Pemberdayaan Wakaf pada Bidang Hazawa (Haji, Zakat, dan Wakaf).

Secara kelembagaan Departemen Agama memiliki fungsi dan tugas yang bisa dijabarkan sebagai berikut:

a. Fungsi motivator, artinya Departemen Agama sebagai lembaga yang memberikan motivasi, rangsangan ataupun stimulan khususnya terhadap lembaga-lembaga pengelolaan wakaf yang ada agar memaksimalkan kesejateraan masyarakat banyak.

(20)

mengoptimalkan peran pengelolaan, pengembangan, pelaporan, dan pengawasan kelembagaan.

c. Fungsi regulator, artinya Departemen Agama menjadi pihak yang memantau seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan perwakafan yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan masa kini untuk kemudian menyusun dan atau mengusulkan perubahan kebijakan bersama pihak-pihak lain, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

d. Public service, artinya Departemen Agama menjadi lembaga yang melayani

kepada seluruh lapisan masyarakat Islam tentang perwakafan. Bentuk pelayanan umum yang dilakukan oleh Departemen Agama berupa dibukanya akses informasi, kebijakan pelayanan administrasi wakaf, dan membantu berbagai persoalan, pengembangan dan pembinaan wakaf.59

Pengelolaannya untuk mencari dana untuk kesejahteraan umum, maka dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf harta benda, ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang, Nomor 41 Tahun 2004 menyatakan, wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:

a. Sarana dan kegiatan ibadah;

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c. Bantuan kepada fakir miskin,anak terlantar, yatim piatu dan beasiswa; d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;

59

(21)

e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.60

3. Unsur-Unsur Dan Syarat Wakaf Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

a. Orang yang berwakaf (wakif)

Adapun syarat-syarat orang yang mewakafkan adalah setiap wakif harus mempunyai kecakapan melakukan untuk melepaskan hak milik tanpa imbalan materil atau mereka telah dewasa, berakal sehat, tidak dibawah pengampuan dan tidak karena terpaksa berbuat. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, wakif meliputi:

1) Perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf; 2) Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan

harta benda wakaf milik organisasi yang bersangkutan;

3) Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

b. Benda yang diwakafkan

Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni. Benda yang diwakafkan dipandang sah apa bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

60

(22)

1) Benda harus memiliki nilai guna.

2) Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut syarat, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-benda haram lainnya.

3) Benda tetap atau benda bergerak.

4) Secara garis umum yang dijadikan sandaran golongan safi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama).

5) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui), ketika terjadi akad wakaf Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus juta rupiah, atau biasa juga menyebutkan dengan nishab terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan sebagainya.

(23)

7) Dengan demikian, jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya.61

61

Referensi

Dokumen terkait

Skrining aktivitas antifungi terhadap hidrolisat menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis susu kambing pada pH 7 pada waktu hidrolisis 30 maupun

Metode yang digunakan dalam memecahkan masalah Kelompok Kreasi Mangrove Lestari yaitu dengan sosialisasi proses pengolahan tepung buah mangrove yang sesuai

Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/MenKes/PER/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetik, yang dimaksud dengan “kosmetik adalah

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh bahwa, langkah-langkah pengenalan pengukuran arah kiblat di tingkat Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah

Persentase penguasaan atau ketuntasan siswa terhadap materi pembelajaran yang telah diajarkan sebesar 60% pada siklus I dan 85% pada siklus II untuk mata

Zainun (2001) menyatakan peningkatan mutu sumber daya manusia dimaksudkan untuk berbagai keperluan seperti: 1) Menyiapkan seseorang agar saatnya dihari tugas

Oleh karena itu, kegiatan kemitraan yang dilakukan dalam pengelolaan wisata di Wana Wisata Kawah Putih Ciwidey dengan masyarakat desa hutan maupun berbagai pihak

Yang dimaksud dengan dataran alluvial kepesisiran (coastal alluvial plain) adalah bentanglahan dataran yang terbentuk sebagai akibat dari perkembangan pantai yang telah lanjut