BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Model
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , Model adalah Suatu pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau
dihasilkan.
2.2 Pelayanan Sosial
2.2.1 Pengertian Pelayanan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang pada hakekatnya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia pasti membutuhkan orang lain dan lingkungannya. Seiring dengan perkembangan tekhnologi maka banyak yang
menjadi tuntutan kebutuhan hidup manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut manusia mempunyai keterbatasan, oleh karena itu manusia
membutuhkan pelayanan sosial, baik yang diberikan oleh perorangan, masyarakat, ataupun lembaga tertentu.
Menurut Sainsbury (1977), menyatakan bahwa dalam arti yang sangat
luas, pelayanan-pelayanan sosial adalah pelayanan yang digunakan untuk semua(communal services) yang berkepentingan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial dan mengurangi jenis-jenis masalah sosial tertentu khususnya kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang memerlukan penerimaan publik secara umum atas tanggung jawab sosial dan yang tergantung pada
Alfred J. Khan (1979) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
pengertian pelayanan sosial sebagai berikut:
“Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang disediakan
berdasarkan kriteria selain kriteria pasar untuk menjamin tingkatan dasar dari penyediaan kesehatan,pendidikan, kesejahteraan, untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dan keberfungsian individual, untuk memudahkan akses pada
pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga pada umumnya, dan untuk membantu mereka yang berada dalam kesulitan dan kebutuhan.” (Fahrudin, 2012:51)
Defenisi di atas menjelaskan adanya kewajiban dan keyakinan masyarakat akan perlunya penyediaan fasilitas pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kemampuan setiap warga negara untuk menjangkau dan
menggunakan setiap pelayanan yang sudah menjadi haknya. Disamping itu pelayanan sosial hanya diberikan kepada sekelompok orang atau masyarakat yang
memang secara sosial tidak dapat atau terhambat dalam menjalankan fungsinya.
Kemudian Kahn bersama Kamermen menyatakan ada lima bentuk pelayanan dasar , yakni pendidikan, transfer penghasilan (yang sering disebut
sebagai jaminan sosial), kesehatan, perumahan dan pelatihan kerja. Kahn dan Kamerman selanjutnya menyatakan bahwa sistem keenam yang baru muncul
adalah pelayanan sosial personal (personal social services) atau disebut juga sebagai pelayanan sosial umum (general social services). (Fahrudin, 2012:50)
2.2.2 Pelayanan Sosial Personal
Pelayanan Sosial personal atau pelayanan sosial umum adalah
individu-individu mengatasi masalah-masalah yang berasal dari luar ataupun dari
dalam diri, meningkatkan perkembangan, dan memudahkan akses melalui pemberian informasi, bimbingan, advokasi , dan beberapa jenis bantuan konkret.
(Kahn (1979) dalam Fahrudin , 2012:53)
Pelayanan sosial personal berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi pelayanan untuk “ keperluan-keperluan sosial publik “ (public social utilities) atau “ pelayanan-pelayanan kasus “ (case services). Pelayanan keperluan-keperluan
sosial publik dapat dibedakan lagi menjadi pelayanan sosial yang disediakan
berdasarkan pilihan pengguna pelayanan misalnya pusat kegiatan masyarakat, dan pelayanan berstatus atau sesuai kategori umur pengguna. Sedangkan pelayanan kasus adalah pelayanan yang diberikan berdasarkan hasil evaluasi atau diagnosis.
Pelayanan-pelayanan seperti ini dimaksudkan untuk mengembalikan atau meningkatkan keberfungsian sosial dalam cara yang diindividualisasi.
Pelayanan sosial personal memiliki beberapa fungsi. Fungsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Pelayanan-pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan.
2. Pelayanan-pelayanan untuk terapi, pertolongan, dan rehabilitasi, termasuk perlindungan sosial dan perawatan pengganti.
3. Pelayanan-pelayanan untuk mendapatkan akses, informasi, dan nasihat. (Kahn, dalam Fahrudin , 2012:55)
pelayanan-pelayanan untuk terapi, pertolongan, dan rehabilitasi, termasuk
perlindungan sosial dan perawatan pengganti.
2.3Penanganan Sosial
2.3.1 Pengertian Penanganan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , Penanganan adalah Nomina (kata benda) proses, cara, perbuatan menangani; penggarapan. Contoh kalimat dari kata penanganan adalah Penanganan kasus itu terkesan lambat.
Sedangkan sosial adalah segala hal yang berhubungan dengan interaksi individu dengan individu lainnya, yang secara sederhana didefinisikan dalam
kamus besar bahasa Indonesia, bahwa sosial adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Jadi Penanganan sosial adalah suatu proses , atau perbuatan menangani suatu hal yang terjadi di masyarakat, baik secara
individu maupun kelompok masyarakat.
2.4Narkoba
2.4.1 Pengertian Narkoba
Napza adalah suatu istilah yang belum terlalu sering terdengar oleh masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah ini dengan
narkoba. NAPZA sendiri merupakan singkatan dari narkotika,psikotropika dan zat adiktif lainnya. Napza adalah istilah kedokteran untuk sekelompok zat yang jika dimasukkan kedalam tubuh menyebabkan ketergantungan dan berpengaruh pada
kerja otak. Termasuk dalam hal ini adalah obat, bahan, atau zat, baik yang diatur undang-undang dan peraturan hukum lain maupun tidak, tetapi sering
ruang lingkupnya meliputi semua obat, bahan, dan zat yang menyebabkan
ketergantungan.
Napza atau narkoba dapat di definisikan sebagai zat alami atau buatan
(kimia), bukan makanan, yang dapat mengubah struktur tubuh makhkuk hidup (Charles, dkk , 2008:6)
Napza atau narkoba dikenal di masyarakat sebagai bahan berbahaya.
Berbahaya yang dimaksud adalah bahan yang tidak aman digunakan atau membahayakan dan penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar
hukum (ilegal).Narkoba dapat berbahaya bila digunakan secara ilegal , namun bermanfaat bila digunakan secara legal dalam dunia kedokteran,farmasi,dan pengembangan ilmu pengetahuan yang tertuang dalam Undang-undang nomor 35
tahun 2009.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 menjelaskan bahwa
pengertian Narkoba atau Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
2.4.2 Jenis-jenis Narkoba 1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang daoat menyebabkan
Berdasarkan bahan asalnya Narkotika terbagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
1. Alami
Yakni jenis zat/obat yang timbul dari alam tanpa adanya proses
fermentasi, isolasi atau proses produksi lainnya. Di dalam undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika yang berasal dari alam dan tidak boleh digunakan
untuk terapi adalah golongan I terdiri dri :
a. Tanaman papaver soniferum L
b. Opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko) c. Opium obat
d. Tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina,ekgonim (kerja alkoid
koka berbeda dengan alkoid opium)
e. Heroin, morfin (alkoid opium yang telah diisolasi)
f. Ganja, damar ganja 2. Semi Sintesis
Yakni zat yang diperoses sedemikian rupa melalui proses ekstrksi dan isolasi. Contohnya : Morfin, pethidin, dan lain-lain.Jenis obat ini menurut
undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika, termasuk dalam narkotika golongan II.
3. Sintesis
Jenis obat atau zat yang diproduksi secara sintesis untuk keperluan medis dan penelitian yang digunakan seagai penghilang rasa sakit (analgesik) seperti
penekan batuk (antitusif). Contohnya : Kodein, Amfetamin, Deksamfetamin, Penthidin, Meperidin, Methadon, Dipipanon, Dekstropakasifen, LSD (Lisergik,
Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap manusia, narkotika terdapat 3 (tiga)
jenis, yaitu :
1. Depressan (downer), Adalah jenis obat yang berfungsi mengurangi aktifitas,
membuat pengguna menjadi tertidur atau tidak sadar diri.
2. Stimulan (upperi), Adalah jenis-jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan pengguna menjadi tertidur atau tidak sadar secara
berlebihan.
3. Halusinogen, Adalah zat kimia aktif atau obat yang dapat menimbulkan efek
halusinasi, dapat merubah perasaan dan fikiran. (Nasution, Zulkarnain, 2014:2)
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada sktifitas mental dan perilaku.
Dalam bidang farmakologi, Psikotropika dibedakan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
1. Golongan Psikostimulansi
Yaitu jenis zat yang menimbulkan rangsangan. Contohnya : Amfetamin
(Shabu dan ekstasi), dan Desamfetamine.
2. Golongan Psikodepresan
Yaitu golongan obat tidur, penenang dan obat anti cemas, merupakan jenis obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas. Contohnya : Amobarbital, Pheno Karkital, Penti Karkital. Dalam Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang
3. Golongan Sedativa
Yaitu jenis obat-obatan yang memiliki khasiat pengobatan yang jelas dan digunakan sangat luas dalam terapi. Contohnya : Fenibarbital, Bromazepam,
Barbital, Klonazepam, Klordiazepam, Klordiazepoxide, Nitrazezam seperti BK, DUM, MG. (Nasution, Zulkarnain, 2014:12)
3.Bahan Adiktif
Bahan atau Zat adiktif adalah bahan-bahan aktif atau obat yang dalam
organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) yakni keinginan untuk menggunakan kembali secara terus menerus. Contohnya : Inhalen, Alkohol, Tembakau/rokok,
Zat yang mudah menguap (Lem Aica, Aibon, Thinner, Bensin, Spirtus), Zat yang menimbulkan halusinasi , beberapa jenis jamur, kecubung, kotoran kerbau/sapi.
Bahan-bahan ini akan berefek kepada pengguna jika digunakan dengan dosis yang berlebihan. (Nasution, Zulkarnain, 2014:14)
2.4.3 Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan
tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya. Karena pengaruhnya itulah narkoba disalahgunakan. (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:15)
Ada beberapa pola dan tahapan penyalahgunaan narkoba, yaitu sebagai berikut:
1. Pola Coba-coba, Karena iseng atau ingin tahu. Pengaruh kelompok sebaya sangat besar, yaitu teman dekat atau orang lain yang menawarkan atau
2. Pola pemakaian sosial, yaitu pemakaian narkoba untuk kepentingan pergaulan
(kumpul, acara tertentu) dan keinginan untuk diakui atau diterima dikelompoknya.
3. Pola pemakaian situasional, yaitu karena situasi tertentu, seperti kesepian dan stres. Tahapan ini juga disebut tahap instrumental. Karena dari pemakaian sebelumnya disadari bahwa narkoba dapat menjadi alat untuk mempengaruhi
atau memanipulasi emosi dan suasana hatinya. Disini pemakaian narkoba telah mempunyai tujuan, yaitu sebagai cara mengatasi masalah (compensatory use).
Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh narkoba secara aktif.
4. Pola habituasi (kebiasaan), telah mencapai tahap pemakaian teratur atau sering. Terjadi perubahan fatal tubuh dan gaya hidup. Kebiasaan, pemakaian,
pembicaraan, dan lain-lainnya berubah. Pengguna menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, pemarah, sulit tidur, atau berkonsentrasi, sebab narkoba
mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-cita semula menjadi hilang. Lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
5. Pola ketergantungan (kompulsif) dengan gejala khas, yaitu timbulnya toleransi
dan atau gejala putus zat. Ia berusaha untuk selalu memperoleh narkoba dengan berbagai cara. Ia tidak dapat lagi mengendalikan diri dalam penggunaannya,
sebab narkoba telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman menjadi rusak. Pada pemakaian beberapa jenis narkoba seperti putaw ketergantunga terjadi dengan sangat cepat. (Martono, Lydia Harlina dan
1. Penyebab Penyalahgunaan Narkoba
Terjadinya penyalahgunaan narkoba merupakan suatu masalah sosial yang sangat kompleks serta sangat terkait dengan berbagai faktor. Setidaknya , masalah
penyalahgunaan narkoba, tidak hanya diakibatkan oleh individu penyalahguna itu sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ketersediaan
obat-obatan yang tergolong kategori narkoba atau NAPZA tersebut. Adapun faktor-faktor penyalahgunaan terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Faktor Individu
Faktor individu merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya
penyalahgunaan narkoba. Hal ini biasanya dapat dilihat dari kecenderungan sifat seseorang yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi atau penasaran, yang diawali dengan coba-coba.
Secara umum , beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan narkoba dari dalam diri individu itu sendiri antara lain, faktor
kepribadian yang terkait dengan gangguan cara berpikir, konsep diri, emosi dan perilaku. Kemudia yaitu , perkembangan usia , biasanya terjadi pada usia remaja
yang secara kejiwaan mulai muncul perasaan ketidakpuasan, penasaran, dan cenderung ingin menonjolkan diri. Selanjutnya faktor pandangan atau persepsi yang keliru , berkaitan dengan munculnya keyakinan yang keliru yang
menganggap enteng segala sesuatu yang membahayakan bahkan dianggap sebagai tantangan yang bisa diselesaikan dan dapat memberikan kepuasan. Sedangkan
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan dalam konteks pengaruhnya terhadap penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh
seorang individu. Setidaknya terdapat tiga bentuk lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah/kerja, dan lingkungan masyarakat.
Beberapa pengaruh yang dapat menyebabkan remaja melakukan penyalhgunaan narkoba antara lain :
a. Komunikasi yang kurang dengan keluarga terdekat.
b. Orang tua terlalu sibuk dengan urusan pribadinya dan mengabaikan pendidikan dan perkembangan putra putrinya.
c. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang memiliki norma dan aturan yang “longgar”.
d. Berteman dengan penyalahguna narkoba
e. Disiplin sekolah/kerja yang rendah
f. Kurangnya aktifitas di sekolah, tempat kerja, maupun lingkungan masyarakat yang dapat menjadi wadah pengembangan dan penyaluran minat dan bakat,
sehingga banyak waktu yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. g. Lemahnya penegakan hukum.
h. Tempat tinggal yang berada di lingkungan para penyalahguna narkoba. 3. Faktor Ketersediaan Narkoba
penyalahgunaan narkoba. Beberapa pengaruh ketersediaan narkoba terhadap
perilaku penyalahgunaan narkoba , antara lain :
a. Mudah mendapatkan jenis dari narkoba, membuat penyalahguna semakin
penasaran
b. Adanya persepsi bahw dengan mengonsumsi narkoba dapat menyelesaikan segala persoalan. Anggapan ini mungkin saja benar, namun yang perlu
diketahui bahwa hilangnya persoalan hanya sesaat dan tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya.
c. Cara menggunakan narkoba yang sangat mudah , misalnya dihisap, disuntik, ditelan, dan sebagainya.
d. Peredaran atau distribusi narkoba oleh pengedar sudah masuk ke
pelosok-pelosok wilayah , baik di lingkungan umum , maupun tempat-tempat pendidikan. (Rozak, 2006:23)
2. Masalah Penyalahgunaan Narkoba
Masalah penyalahgunaan narkoba meningkat dengan cepat di Indonesia,
meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya. Ada beberapa hal yang menjadikan masalah itu perlu mendapatkan perhatian yang
lebih sungguh-sungguh lagi, yaitu sebagai berikut:
1. Angka kejadian atau jumlah kasus meningkat secara cepat dalam deret ukur. Jumlah pasien RS Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta meningkat 6 kali lipat
tahun 1993-1999. Kasusnya seperti gunung es, yang mencuat di atas permukaan laut, sedang bagian terbesar di bawahnya tidak tampak. Menurut
2. Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat
terapi dan rehabilitasi semakin tinggi.
3. Angka kematian semakin meningkat. Di Jakarta, contohnya, 2-3 orang
meninggal perhari karena penyalhgunaan narkoba. Angka itu belum menggambarkan data sebenarnya. Sering penyebab kematian sebenarnya tak diungkap, karena rasa malu keluarga.
4. Bahaya penyakit menular hepatitis B/C dan HIV/AIDS. 80% pengguna narkoba dengan jarun suntik dilaporkan menderita hepatitis B/C, dan 40-50%
tertular HIV. Penyebabnya adalah jarum suntik tidak steril dan digunakan secara bergantian. Dari pecandu pengidap HIV atau hepatitis, terjadi penularan kepada sesama pecandu dan pasangan seksualnya. Penyakit AIDS merusak
sistem kekebalan tubuh. Hepatitis B/C menyebabkan kerusakan hati dan kanker.
5. Besarnya kerugian sosial-ekonomi yang harus ditanggung. Pecandu berusaha mencari narkoba yang dibutuhkan dengan berbohong, menjual barang-barang milik pribadi atau keluarga/orang lain, mencuri, merampok, dan sebagainya.
Masih pula ditambah beban biaya perawatan yang harus ditanggung oleh keluarga. Negara juga harus mengeluarkan biaya besar untuk
menanggulanginmasalah itu serta menyediakan sarana dan prasarananya. (Martono, Lydia Harlina, 2008:1)
3. Akibat Penyalahgunaan Narkoba 1) Bagi Diri Sendiri
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal pada remaja
Perhatian sehingga sulit berkonsentrasi;
Persepsi sehingga memberi perasaan semu/khayal;
Motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot, persahabatan
rusak, serta minat dan cita-cita semula padam.
b. Intosikasi (Keracunan), yakni gejala yang timbul akibat pemakaian narkoba dalam jumlahyang cukup, berpengaruh pada tubuh dan perilakunya.
Gejalanya tergantung pada jenis, jumlah, dan cara penggunaan. Istilah yang sering dipakai pecandu adalah pedauw, fly, mabuk, teler, dan high.
c. Overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan atau pendarahan di otak. OD terjadi karena toleransi sehingga perlu dosis yang lebih besar, atau karena sudah lama berhenti pakai, lalu
memakai lagi dengan dosis yang dahulu digunakan.
d. Gejala Putus Zat, yakni gejala ketika dosis yang dipakai berkurang atau dihentikan pemakaiannya. Berat atau ringannya gejala tergantung pada jenis, zat, dosis, dan lama pemakaian.
e. Berulang Kali Kambuh, yakni ketergantungan menyebabkan craving (rasa rindu pada narkoba), walaupun telah berhenti pakai.Narkoba dan perangkatnya, kawan-kawan, suasana, dan tempat-tempat penggunaannya
dahulu mendorongnya untuk memakai narkoba kembali. Itulah sebabnya pecandu akan berulang kali kambuh.
reproduksi; infeksi (heptitis B/C (80%), HIV/AIDS (40-50%), penyakit kulit
dan kelamin; kurang gizi, penyakit kulit, dan gigi berlubang.
g. Kendornya nilai-nilai, yakni mengendornya nilai-nilai kehidupan, gama dan sosial , seperti perilaku seks bebas dengan akibatnya (penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan). Sopan santun hilang. Ia menjadi Asosial, mementingkan diri sendiri, dan tidak memperdulikan kepentingan orang lain.
h. Gangguan perilaku/mental sosial, yakni acuh tak acuh , sulit mengendalikan diri, mudah tersinggunga, marah, menarik diri dari pergaulan, serta hubungan
dengan keluarga/sesama terganggu. Terjadi perubahan mental:gangguan pemusatan perhatian, motivasi belajar/bekerja lemah, ide paranoid, dan gejala parkinson.
i. Masalah ekonomi dan hukum, yakni pecandu sering kali terlibat hutang, karena berusaha memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Ia mencuri uang
atau menjual barang-baranag milik pribadi atau keluarga. (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:19)
2) Bagi Keluarga
Suasana nyaman dan tentram terganggu. Keluarga resah karena
barang-barang berharga dirumah hilang. Anak berbohong, mencuri, menipu, tidak bertanggung jawab, hidup semaunya, dan berusaha menutupi perbuatan anak.
3) Bagi Masyarakat, Bangsa dan Negara
Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan
masyarakatnya tidak produktif dan kejahatan meningkat; belum lagi
sarana/prasarana yang harus disediakan untuk menanggulanginya.
2.5Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu rangkaian proses pelayanan yang diberikan kepada penyalahguna/pecandu narkoba untuk melepaskannya dari
ketergantungannya pada narkoba, sampai ia dapat menikmati kehidupan yang bebas narkoba.
Pada umumnya sebelum dilakukannya proses rehabilitasi , tahap pertama yang harus dilakukan adalah melakukan Detoksifikasi, yaitu melepaskan seseorang dari pengaruh langsung narkoba yang disalahgunakannya. Setelah
dilakukan detoksifikasi , dilanjutkan dengan tahap rehabilitasi, yang meliputi rehabilitasi fisik, psikososial, sosial, spiritual, okupasional, dan edukasional.
2.5.1 Prinsip dalam Terapi Rehabilitasi
1. Dimungkinkan seorang pecandu pulih dari ketergantungan narkoba.
2. Program terapi harus memerhatikan berbagai ragam kebutuhan klien agar
pulih;fisik, psikologis, spiritual, pendidikan, vokasional, dan hukum.
3. Waktu terapi yang cukup sangat penting, dengan konseling individu dan
kelompok sebagai bagian yang tak terpisahkan dari terapi.
4. Keterlibatan keluarga, masyarakat setempat, tempat kerja dan kelompok pendukung akan membantu proses pemulihan pecandu.
5. Klien perlu senantiasa dipantau kebutuhan, masalah, dan kemajuannya.
6. Pecandu dengan gangguan kesehatan fisik dan gangguan kesehatan jiwa yang
7. Pemulihan bersifat jangka panjang dan relaps selalu mungkin terjadi.
8. Tim yang menolong pecandu (tenaga medis, konselor, pecandu yang pulih, yang dipilih dan terlatih) perlu menjalin hubungan dengan klien secara
profesional, dipercaya, dan penuh perhatian, serta ampu menjaga kerahasiaan klien. (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:92)
2.5.2 Komponen dan Tahapan Rehabilitasi
Secara umum ada beberapa komponen dan tahapan yang harus dilewati.
Masing-masing tahapan tersebut memakan waktu bervariasi; ada yang seminggu, sebulan dan bahkan berbulan-bulan tergantung tingkat ketergantungan, tekat dan juga dukungan berbagai pihak terutama keluarga dalam seluruh proses tersebut.
Adapun komponen dan tahapan rehabilitasi yang dikutip dari buku Rehabilitasi bagi korban narkoba antara lain :
1. Tahap Transisi
Penekanan dalam tahap ini lebih kepada informasi awal tentang narkoba ,
seperti latar belakang korban, lama ketergantungan, jenis obat yang dipakai, akibat-akibat ketergantungan dan berbagai informasi lainnya.
2. Rehabilitasi Intensif
Tahap ini menekankan proses penyembuhan secara psikis. Dimana
motivasi dan potensi diri klien akan dibangun dalam fase ini.
3. Tahap Rekonsiliasi
Pada tahap ini klien tidak langsung berinteraksi secara bebas dengan masyarakat, akan tetapi terlebih dahulu ditampung disebuah lingkungan khusus
pembinaan mental, spiritual, keimanan dan ketakwaan, serta kepekaan sosial
kemasyarakatan.
4. Pemeliharaan Lanjut
Pada tahap ini merupakan bagian dari upaya untuk mencegah klien mengalami relaps atau tergelincir kembali dalam penyalahgunaan narkoba. Dalam tahap ini ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan klien , antara lain :
a. Mengubah, menghilangkan, atau menjauhi hal-hal yang bersifat nostalgia kesenangan narkoba.
b. Setia mengikuti program-program dan acara-acara aftercare (pemeliharaan lanjut).
c. Dapat juga melibatkan diri dalam gerakan atau kelompok bersih narkoba dan
peduli penanggulangannya.(Visimedia, 2006:28)
Berbeda dengan tahapan diatas , Lydia Harlina Martono dan Satya
Joewana memaparkan tahap dan komponen rehabilitasi dengan lebih mendetail, yaitu :
1. Assesmen, yaitu menilai masalah dengan mengumpulkan informasi untuk
menetapkan diagnosis dan modalitas rehabilitasi yang sesuai dengan klien. 2. Rencana terapi, yang didasarkan pada assesmen dan kebutuhan klien dan
meliputi fisik, psikologis, sosial, spiritual, keluarga, dan pekerjaan.
3. Program detoksifikasi, sebagai tahap awal pemulihan, untuk melepaskan klien
4. Rehabilitasi, sebagai tahap kedua dalam pemulihan, yag meliputi fisik,
psikologis, sosial, spiritual, dan pendidikan.
5. Keterampilan menolong pecandu, Dengan keterampilan tidak dimaksudkan
gelar akademik/profesi tertentu, tetapi terutama kepekaan memahami kebutuhan klien dan mengerti cara menanggapi kebutuhan itu.
6. Konseling, baik individu maupun kelompok, sebagai teknik untuk membantu
klien memahami diri (insight), membujuk (persuasi), serta memberi saran dan keyakinan sehingga klien melihat permasalahannya secara lebih realistis dan
memotivasinya agar terampil mengatasi masalah :
a. Konseling kelompok : Pengalaman kelompok sangat penting. Kurang bermanfaat, jika klien tidak membangun jaringan kelompok sebaya.
b. Konseling individu : Untuk mengevaluasi kejadian sepanjang hari, mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan sugest, membangun struktur
kehidupan untuk sehari-hari medatang, membahas hal-hal yang sensitif atau pribadi, yang tidak cocok dibahas dalam diskusi kelompok.
7. Pencegahan Kekambuhan (Relaps), sebagai strategi untuk mendorong klien
berhenti memakai narkoba (abstinensia), membantu klien mengenal dan mengelola situasi berisiko tinggi, serta pikiran-pikiran dan kegiatan-kegiatan
yang mendorong pemakaian narkoba kembali. Bebas dari narkoba relatif mudah. Yang sulit adalah menjaga tetap bersih untuk jangka lama.
8. Keterlibatan Keluarga, Hal ini sangat penting dalam terapi, pecandu tidak mungkin pulih sendiri tanpa dukungan kekuarga dan orang lain.
a. Konseling¸ untu memotivasi dan meningkatkan keterampilan klien menangkal
narkoba, membantu pemulihan hubungan antarsesama, dan meningkatkan kemampuan klien agar berdungsi normal di masyarakat.
b. Kelompok pendukung, yang melengkapi program terapi secara profesional, contoh NA, kelompok keluarga pendukung.
c. Rumah pendampingan, sebagai tempat antara yang menyediakan program
pendampingan bagi pecandu yang sedang pulih di masyarakat.
d. Latihan Vokasional, agar klien dapat bekerja dan berfungsi normal di
masyarakat.
e. Pekerjaan, sesuai minat, bakat, keterampilan, dan kesempatan. (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:93)
2.5.3 Macam-macam Program Rehabilitasi
Banyak sekali bentuk rehabilitasi dibidang penyalahgunaan narkoba. Yakni , antara lain :
1. Rawat Inap Rumah Sakit (Hospitalisasi)
Rawat inap adalah perawatan yang diberikan dengan menginap di rumah sakit khusus (Rumah Sakit ketergantungan Obat), Rumah sakit jiwa, atau di satu
bagian (unit) rumah sakit umum. Terapi ini sering disebut terapi primer(primary treatment). Lama terapi bervariasi, terapi dapat berlangsung hingga 4-6 minggu
atau lebih, tergantung pada jenis pelayanan yang tersedia. Jika terdapat rehabilitasi yang berbasis rumah saki, pelayanan dapat lebih lama hingga 6 bulan
2. Rawat Jalan
Dapat dilakukan di Rumah Sakit (Khusus, umum) bagian rawat jalan, klinik, dan puskesmas. Jika tersedia program rawat jalan lengkap biasanya
berangsung 10 minggu selama 2-3 jam, 3-4 kali seminggu.
Program rawat jalan memiliki lebih sedikit komponen program
dibandingkan rawat inap. Karena klien lebih mudah terkontaminasi narkoba, pemeriksaan urine adalah hal yang harus dilakukan secara rutin.
3. Pusat Rehabilitasi
Ada beberapa jenis sarana rehabilitasi, yaitu rehabilitasi sosial, rehabilitasi
spiritual, dan rehabilitasi psikososial. Ada yang dikelola pemerintah dan swasta. Beberapa diantaranya menerapkan konsep Therapuetic Community (TC). TC memiliki ciri sebagai berikut :
a. Menggunakan tenaga konselor sebaya (peer counselor) yang merupakan mantan pengguna narkoba yang pulih, terpilih, dan terlatih dengan 1-2 orang
konselor profesional.
b. Program dapat bersifat primer atau sekunder bagi yang belum siap kembali ke
rumah. Program berlangsung 3 bulan sampai 2 tahun, dengan penekanan pada proses sosialisasi. Terapi yang dilakukan biasanya bersifat konfrontatif.
c. Beberapa TC mensyaratkan pecandu terpisah dari dunia sekitarnya. TC lain
tidak. TC memiliki kehidupan seperti asrama dengan jadwal harian. Anggotanya memelihara dan mengelola fasilitas tersebut. Dapat diberikan
4. Rumah Dampingan (Half Way House)
Rumah dampingan adalah tempat transisi antara rumah sakit dan pulang ke rumah. Dalam rumah dampingan terdiri dari 10-20 klien bersama dengan
pengawasan dan bertanggung jawab memelihra rumah, seperti belanja, memasak, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian. Mereka bekerja atau bersekolah
paruh waktu, dengan tetap mengikuti program pemulihan. Biasanya program ini dilakukan bagi :
a. Pecandu yang tidak beroleh banyak kemajuan pada program terapi primer. b. Mereka yang tidak mendapatkan akses ke rumah sakit/pusat rehabilitasi.
c. Mereka yang belum dapat dipulangkan ke rumah karena persoalan keluarga
yang belum dapat diatasi atau buruknya keadaan lingkungan.
Di Indonesia sendiri sarana ini belum banyak dikembangkan. Namun
rumah dampingan sudah ada di Provinsi Sumatera Utara , tepatnya di Kota Medan yang dikelola langsung oleh BNNP Sumatera Utara.
5. Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
Menurut PBB, efektifitas terapi dan rehabilitasi dapat ditingkatkan, jika
pecandu berada di tengah keluarga atu masyarakat dan menjalani pemulihan dengan dukungan kelompok. Namun kenyataan menyatakan bahwa sebagian besar pecandu ada di masyarakat dan tidak terjangkau oleh fasilitas pelayanan.
Program terapi dan rehabilitasi berbasis masyarakat adalah program rawat jalan (meskipun dapat memiliki tempat rawat inap) sebagai suatu model, yang
Prinsip program ini adalah self help group , sebagai kelompok saling
membantu dengan menggunakan warga masyarakat terlatih sebagai konselor atau para konselor sebaya, dan orang tua dari pecandu. Program rehabilitasi berbasis
masyarakat meliputi, antara lain penjangkauan, detoksifikasi, perawatan lanjut di tengah masyarakat. Jug menyelenggarakan rumah pendampingan. (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:96)
Pada dasarnya tidak ada satu program yang cocok untuk semua jenis, sikap,dan sifat para penyalahguna narkoba sebab hal itu sangat bersifat individual.
Namun ada beberapa faktor yang dapat mendorong klien/penyalahguna narkoba dapat lebih terbantu untuk pulih dari ketergatungannya terhadap narkoba. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Kemauan yang kuat serta kerjasama penderita sendiri.
b. Profesionalisme, kompetensi serta komitmen pelaksanaannya.
c. Sistem rujukan antara lembaga yang baik. d. Prasarana, sarana dan fasilitas yang memadai.
e. Perhatian dan keterlibatan orangtua atau keluarga dan teman sebaya.
f. Dukungan dana yang memadai.
g. Kerjasama dan koordinasi lintas profesi yang baik. (Nasution, Zulkarnain,
2014:66)
2.6Relapse
Relapseatau kambuh merupakan terjadinya kembali pola penyalahgunaan
(adiksi) dimana pemakaian narkoba berlangsung kembali secara rutin. (Nasution,
Relapse tidak berlangsung sekaligus. Proses relaps menjadi lengkap ketika
ia kembali pada jalur pemulihannya, maka ia kembali normal. Hal ini disebut slip (lapse). Jika slip terjadi berulang kali dan tetap memakai narkoba, ia dengan cepat
kembali pada keadaan kecanduannya semula. Hal tersebut yang disebut dengan Relapse. a.(Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:121)
2.6.1 Faktor dan Kecenderungan Relapse 1. Penyebab/Faktor-faktor terjadinya Relapse
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya relapse (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:122) yang saling berkaitan , antara lain sebagai berikut :
1. Komitmen yang lemah untuk berhenti memakai narkoba
Klien mungkin telah memutuskan untuk berhenti memakai narkoba,
namun klien dihadapkan oleh situasi krisis seperti sakit, masalah keluarga, keuangan, kehilangan teman, atau kegagalan disekolah. Dampak buruk tersebut
mungkin akan membuat klien kembali mengingat masa kesenangannya saat memakai narkoba, misalnya merasa rileks, bersenang-senang dengan teman, dan merasa lebih percaya diri. Hal tersebut mengurangi komitmennya untuk berhenti
memakai narkoba.
2. Situasi yang berisiko tinggi
Situasi ini umumnya dalah situasi atau lingkungan tempat klien dahulu biasa memakai narkoba, sehingga mendorong pemakaian kembali narkoba,
3. Keadaan emosi yang berisiko tinggi
Emosi yang memicu relapse biasanya juga adalah keadaan emosi yang menyebabkan klien memakai narkoba, seperti frustasi, marah, rasa bersalah,
depresi, kesedihan, kesepian, kebosanan, dan juga kesenangan yang berlebihan.
4. Konflik interpersonal
Perdebatan dan pertentangan antarsesama, yakni keluarga dan teman dapat memancing relapse. Konflik ini menciptakan situasi stres dan menyebabkan klien
tegang dan dipenuhi oleh perasaan negatif.
5. Tekanan sosial
Tekanan sosial berhubungan dengan orang-orang lain pemakai narkoba dan perasaan klien yang ingin sama dengan mereka.
Sementara itu , menurut Witkiewietz dam Marlatt (2004) menyebutkan bahwa individu yang ingin melakukan perubahan perilaku bermasalah akan
memiliki kecenderungan untuk kembali pada perilaku bermasalah atau dalam konteks ini kembali menggunakan narkoba (relapse). Marlatt dan Gordon (dalam Larmier, Palmer, dan Marlatt, 1999) menjelaskan tentang cognitive-behavioral
model of relapse yang memberikan gambaran tentang proses terjadinya
relapsedan menjelaskan berbagai aspek kecenderungan relapse. Aspek-aspek
yang mengarahkan pada kecenderungan sebab terjadinyarelapse adalah high-risk situation, coping, outcome expectancies, dan abstinence violation effect.
Cognitive-behavioralmodel of relapse yang diajukan oleh Marlatt dan Gordon ini
2. Aspek-aspek Kecenderungan Terjadinya Relapse
Larmier, Palmer, dan Marlatt (1999) menjelaskan terdapat empat aspek kecenderungan relapse yang mengacu pada cognitive behavioral model of relapse
yang dikembangkan oleh Marlatt dan Gordon (dalam Larmier, dkk, 1999), yaitu:
1. High-risk situation
High-risk situation adalah situasi yang dapat melemahkan individu dalam
mengendalikan perubahan perilaku yang telah dilakukan dan mengarahkan pada
kemungkinan terjadinya relapse. Mengacu pada penelitian Marlatt dan Gordon (dalam Larmier, Palmer, dan Marlatt, 1999) terdapat empat situasi yang dapat
memberikann peran dalam memicu kecenderungan relapse, yaitu:
a. Kondisi emosi negatif
Kondisi emosi negatif seperti marah, cemas, depresi, frustrasi yang merupakan bentuk dari intrapersonal high-risk situation yang berasosiasi dengan
tingginya kecenderungan relapse. Kondisi emosional negatif ini dapat disebabkan oleh persepsi intrapersonal utama dari berbagai situasi (seperti merasa bosan dan kesepian di rumah yang kosong saat pulang kerja) atau reaksi terhadap peristiwa
dilingkungan (seperti marah pada saat mengalami pemutusan hubungan kerja).
b. Situasi yang melibatkan orang lain atau kelompok
Situasi yang melibatkan orang lain dapat diindikasikan dengan konflik interpersonal (seperti beradu argumen dengan keluarga).
c. Tekanan Sosial
Tekanan sosial dapat berupa persuasi langsung secara verbal ataupun
d. Kondisi emosional positif
Kondisi emosional poitif (seperti saat melakukan suatu perayaan), terpapar dengan hal menstimulus penggunaan narkoba (iklan alkohol), menguji
kemampuan kontrol diri (menggunakan kemampuan diri untuk membatasi penggunaan narkoba), dan keinginan menggunakan narkoba yang tidak spesifik
diidentifikasi dapat menjadi situasi yang mengarahkan pada relapse.
2. Coping
Coping adalah kemampuan untuk mengahadapi high-risk situationyang dapat mengarahkan individu untuk kembali menggunakan narkoba.
Kecenderungan relapse pada seseorang yang dapat melaksanakan strategi coping efektif (strategi behavioral, seperti meninggalkan atau menghindari situasi tersebut atau strategi kognitif, seperti positif self-talk) akan menurun.
3. Outcome expectancies
Outcome expectancies merupakan antisipasi seseorang terhadap efek dari
pengalaman masa depan. Pecandu narkoba yang berpikir positif tentang dampak penggunaan narkoba dan tidak menghiraukan efek negatif dari narkoba akan
memiliki kecenderungan relapse.
4. Abstinence Violation Effect
Abstinence violation effect adalah reaksi emosional terhadap penggunaan narkoba kembali untuk pertama kalinya (lapse) dan atribusi penyebab lapse yang
dapat mengarahkan pada relapse. Seseorang yang mengatribusikan lapse sebagai kegagalan dirinya untuk mengontrol penggunaan kembali narkoba akan
Seseorang yang mengatributkan lapse sebagai sebuah kegagalan menyeluruh dan
faktor internal di luar kendali (saya tidak akan pernah mungkin bisa berhenti menggunakan narkoba) akan cenderung relapse dibandingkan dengan yang
mengatribusikan lapse sebagai kegagalan dalam melakukan coping yang efektif pada situasi tertentu.
Marlatt dan Gordon mengajukan sebuah bentuk pencegahan relapse yang
didasarkan pada cognitive-behavioral model of relapse. Pada cognitive-behavioral model of relapse dijelaskan terkait berbagai fase dan hal yang memicu
kecenderungan individu untuk mengalami relapse. Penjelasan lebih lengkap terkait cognitive-behavioral model of relapsedapat dilihat pada Gambar 1.
Bagan 2.1
Cognitive-Behavioral Model of Relapse (Larmier, dkk, 1999)
High-risk situation adalah fase pertama yang pasti dihadapi pecandu
narkoba yang telah menjalani proses rehabilitasi dan berada pada fase berhenti menggunakan narkoba. Coping response terhadap high-risk situation kemudian
sangat menentukan kemungkinan akan terjadinya lapse. Pada pecandu narkoba yang memiliki coping response tidak baik dan pandangan postif terhadap efek dari penggunaan narkoba akan memiliki kecenderungan mengalami relapse yang
diawali dengan lapse (penggunaan kembali untuk pertama kalinya). Lapse akan menghasilkan rasa bersalah dan perasaan gagal dalam mempertahankan
perubahan perilaku hasil rehabilitasi (abstinence violation effect). Abstinence violation effectyang didukung dengan positive outcome expectancies atau
pandangan postif tentang manfaat yang didapatkan dari penggunaan narkoba akan
mengarahkan pecandu narkoba menuju peningkatan kecenderungan relapse yang dapat berujung pada relapse.
2.6.2 Proses Terjadinya Relapse
Goski dan Miller (dalam Nasution, Zulkarnain, 2014) mengidentifikasi ada
10 tahap dalam proses terjadinya relapse, yaitu :
1. Proses pertama : Melakukan penolakan kembali
Mantan pecandu narkoba akan memberikan penolakan terhadap perasaan yang mereka miliki atau keberadaan mereka sendiri dan mulai merasa bahwa ia
mungkin tidak memerlukan proses penyembuhan atau pemulihan bahkan proses resosialisasinya semua berjalan dengan baik.
a. Mulai mangkir atau malas untuk menghadiri pertemuan untuk penyembuhan.
b. Timbul keyakinan bahw program penyembuhan sebenarnya tidak diperlukan bahkan percuma karena membuang waktu.
c. Kambuh kembali perilaku dan kebiasaan lama, seperti baru masuk proses penyembuhan.
3. Proses ketiga : Membangun dan mengembangkan terjadinya krisis
a. Mantan pecandu narkoba mulai menutup diri dari pergaulan dengan orang lain. b. Mengembangkan visi “kacamata kuda” artinya melihat sesuatu hanya dari
sebagian kecil aspek, tidak dalam gambaran utuh dan cenderung subyektif. c. Ilusi bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik dan normal, padahal dalam
kenyataan tidaklah demikian.
d. Mulai membuat rencana kehidupan dan keinginan hanya berdasarkan angan-angan dan hayalan, jauh dari pemikiran dan pertimbangan-angan yang realistik.
4. Proses keempat : Immobilisasi (tidak bergerak dari kehidupannya sekarang). Hal ini dapat dikenali dengan tanda-tanda sebagai berikut :
a. Angan-angan dan khayalan semakin meningkat. Terkadang sering
menggunakan ungkapan “seandainya saja” dalam setiap percakapannya.
b. Berkhayal tentang hidup yang bahagia, tanpa mampu mengidentifikasi apa
yang dapat dan harus dilakukannya agar hidup bahagia. 5. Proses kelima : Bingung dan reaksi berlebihan
a. Cepat tersinggung.
b. Mudah sensiftif dan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap hal-hal kecil atau sepele.
6. Proses Keenam : Depresi
a. Intensitas depresi meningkat dengan kemauan dan berfikir untuk memakai kembali korban bahkan ingin bunuh diri.
b. Mulai tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal seperti biasanya. c. Pola makan dan tidur mulai tidak teratur.
7. Proses ketujuh : Perilaku lepas kendali
a. Mulai mengembangkan sikap masa bodoh, tidak peduli atau cuek. b. Cepat menjadi panik.
c. Tidak puas dengan segala hal.
8. Proses kedelapan : Mengakui bahwa perilakunya lepas kendali
a. Merasa menyesal dan menyatakan permohonan maaf atas kesalahannya kepada
orang lain.
b. Sering menunjukkan perilaku “memelas”, minta belas kasihan untuk
mendapatkan simpati dari anggota keluarga dan teman-temannya.
c. Merasa dapat memakai kembali narkoba pada situasi atau kebiasaan sosial, tanpa merasa bahwa ia tengah memiliki masalah yang banyak.
9. Proses kesembilan : Opsi atau pilihan mengurangi narkoba
a. Meyakini bahwa tidak ada bantuan atau pertolongan bagi ia yang
menggunakan narkoba.
b. Merasa kesepian, frustasi, dan marah.
c. Makin sulit mengendalikan emosi, pikiran dan perasaannya. 10. Proses kesepuluh : Mengalami relapse yang akut
a. Semakin merasa malu dan merasa bersalah.
c. Dalam waktu singkat dan cepat kembali kecanduan menggunakan narkoba
dalam ukuran dan tingkat yang sama pada saat sebelum pemulihan.
2.6.3 Akibat-akibat Relapse
Menurut Nasution (2014) ada empat hal yang terjadi akibat relapse, yakni : 1. Harapan yang telah dibangun selama masa rehabilitasi tuntuk berantakan.
Dengan kembali menggunakan narkoba, maka segala upaya yang telah
dilakukan selama ini hancur berantakan dalam waktu seketika. Karena sekali saja kembali menggunakan narkoba, maka mantan pecandu narkoba akan kembali ke
titik awal
2. Menimbulkan pertengkaran dalam keluarga.
Mantan pecandu yang relapse bisa memicu pertengkaran dalam keluarga. Keluarga akan saling menyalahkan atas peristiwa tersebut.
3. Pecandu narkoba yang relapse diusir dari rumah.
Karena dianggap telah menyia-nyiakan usaha yang telah dibina keluarga,
kemungkinan mantan pecandu narkoba yang relapse akan diusir dari rumah.
4. Memakai narkoba dengan jumlah banyak sebagai balas dendam akan rasa rindunya menggunakan narkoba.
Hal ini tentu sangat berbahaya , karena bisa menimbulkan :
a. OD (Over Dosis)
b. Lumpuh, koma bahkan kematian
2.7Kerangka Pemikiran
Dewasa ini, terjadi banyak kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Hal tersebut di dukung oleh data yang telah dipaparkan pada latar belakang
penelitian ini. Diantara banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba tersebut, telah ada penanganan dari pemerintah maupun swasta dalam rangka pemberantasan, maupun penanganan terhadap para pecandu narkoba. Ada yang di penjara, ada
pula yang berujung pada sakit kejiwaan sehingga dirawat dan ditangani di rumah sakit jiwa, dan ada pula yang masih dapat dipulihkan di dalam pusat atau panti
rehabilitasi.
Usaha penanganan terhadap pecandu narkoba melalui proses rehabilitasi salah satu upaya yang dilakukan secara represif , namun tetap berprinsip pada
nilai-nilai kemanusiaan. Dimana para pecandu narkoba yang notabene adalah korban dari narkoba itu sendiri dipulihkan dari ketergantungannya melalui
berbagai macam metode dan program.Berdasarkan jenis pengelolaan dan kepemilikannya, ada dua jenis panti rehabilitasi, yakni panti rehabilitasi yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah (Government Organization) atau yang
dikelola dan dimiliki oleh swasta (Non Government Organization).
Pasca dilakukannya program rehabilitasi, para mantan pecandu narkoba
yang telah pulih dipulangkan kembali kepada keluarga dan berbaur kembali dengan masyarakat. Situasi awal kembalinya mantan pecandu narkoba yang telah
melawan suggesti kecanduan narkoba yang masih dirasakannya pada masa-masa
rentan (High-risk situation). Namun bila mantan pecandu tidak memiliki coping response yang baik, maka ia akan mengalami lapse dan kemungkinan besar
mengalami relapse.
Mantan pecandu yang mengalami relapse akan kembali pada titik awal dimana ia menjadi pecandu narkoba sebelum melakukan usaha pemulihan atau
mengikuti program rehabilitasi. Maka dari itu, ketika mantan pecandu kembali menggunakan narkoba, maka penanganan dilakukan untuk menindaklanjuti hal
tersebut adalah kembali melakukan pemulihan atau rehabilitasi. Tentu saja, hal tersebut memerlukan kesadaran dari pecandu yang relapse untuk melakukan pemulihan terhadap dirinya sendiri, dan tentu harus mendapat dukungan dari
keluarga dan masyarakat sekitar lingkungannya berada.
Pada umumnya tempat-tempat rehabilitasi narkoba melakukan penanganan
terhadap pecandu relapse dengan metode yang sama dengan pecandu pemulihan lainnya di tempat rehabilitasi, karena dianggap pecandu narkoba relapse telah kembali ke titik awal. Namun ada beberapa tempat rehabilitasi yang
memerhatikan beberapa aspek pecandu relapse dan membuat penanganan khusus.
Seperti yang kita ketahui , bahwa pecandu narkoba akan sulit untuk pulih
dari suggesti kecanduannya terhadap narkoba. Seperti yang ditunjukkan oleh data bahwa rata-rata 80-90 % pecandu narkoba setelah melakukan pemulihan , kembali
suatu analisis terhadap fenomena tersebut, dan dicari pemecahan masalahnya,
dimulai dari menganalisis pecandu narkoba relapse, hingga program lembaga rehabilitasi yang selama ini dirasa belum efektif menekan angka relapse.Dalam
hal penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti penanganan sosial terhadap penyalahguna relapse narkoba di lembaga milik swasta dan lembaga milik pemerintah agar hasilnya juga dapat dijadikan komparasi diantara keduanya dalam
melakukan penanganan sosial terhadap penyalahguna relapse narkoba. Dari hasil analisa tersebut, akan diarahkan pada pembentukan model penanganan sosial yang
efektif terhadap pecandu narkoba relapse.
Pecandu Narkoba Menjalani Rehabilitasi
High-risk situation
- Kondisi Emosional Negatif
- Situasi yang melibatkan orang lain atau kelompok
- Tekanan Sosial
- Kondisi Emosional Positif (Lapse)
Relapse
Kembali mengalami ketergantungan terhadap narkoba
Penanganan Sosial Rehabilitasi
Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus
Laucih
Panti Sosial Pamardi Putra "Insyaf" Sumatera Utara
Model Penanganan Sosial Baru
2.8Definisi Konsep
Konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata ke alam empiris dan bukan merupakan refleksi
sempurna (mutlak) dunia empiris bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri (Suyanto dan Sutinah, 2011:49)
Adapun konsep dalam konteks penelitian ini, antara lain :
1. Model penanganan sosial adalah suatu bentuk perencanaan yang membentuk
pola kegiatan sebagai perbuatan atau aktifitas dalam menangani suatu keadaan atau masalah yang ada di masyarakat baik dalam bentuk mikro,
mezzo, maupun makro.
2. Penyalahguna Relapse narkoba adalah seorang individu yang telah melewati masa pemulihan adiksi narkoba di dalam program rehabilitasi yang kemudian
melakukan kembali pemakaian narkoba secara rutin.
3. Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus adalah lembaga non
pemerintah yang bergerak di bidang penanganan pemulihan atau rehabilitasi penyalahguna atau pecandu narkoba yang berpusat di kota Medan. Lembaga berbasis komunitas ini didirikan agar dapat menjadi wadah komunitas Orang
Dengan HIV AIDS (ODHA) dan korban Narkoba untuk berdaya. Medan Plus juga memberikan layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi
yang benar tentang HIV AIDS dan Narkoba.
4. Panti Sosial Pamardi Putra "Insyaf" Sumatera Utaraadalah salah satu Unit