• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konsentrasi Karbon Monoksida (CO) dan Sulfur Dioksida (SO2) dari Sumber Transportasi di Jalan S.Parman Medan Menggunakan Box Model “Street Canyon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Konsentrasi Karbon Monoksida (CO) dan Sulfur Dioksida (SO2) dari Sumber Transportasi di Jalan S.Parman Medan Menggunakan Box Model “Street Canyon"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udara dan Pencemaran Udara

Udara adalah campuran dari berbagai macam gas dan partikel yang berada di permukaan dan menyelimuti bumi dan membentuk atmosfer. Komposisi udara di atmosfer yang menopang kehidupan manusia terdiri dari nitrogen (N2) sebesar 78,8% dari volume udara kering, oksigen (O2) sebesar 20,94%, argon (Ar) sebesar 0,02%, dan gas-gas lainnya serta berbagai gas dan partikel yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan alam (Wardhana, 2004).

Menurut Sunu (2001), udara adalah atmosfer yang ada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting untuk kehidupan di muka bumi ini, dalam udara terdapat oksigen (O2) untuk bernafas, karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintetis oleh khlorofil daun, dan ozon (O3) untuk menahan sinar ultraviolet dari matahari (Sunu, 2001).

Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan kota dan industri serta bertambahnya jumlah kendaraan bermotor menyebabkan kualitas udara berubah. Keadaan ini apabila tidak ditanggulangi akan membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan serta mengubah keseimbangan lingkungan.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No.41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara Pasal 1 Ayat 4, udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yuridiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk hidup, dan unsur lingkungan hidup lainnya.

(2)

Pencemaran udara adalah kehadiran materi yang tidak diinginkan di udara dalam jumlah cukup besar yang dapat memberikan efek yang berbahaya (Nevers, 2000). Materi-materi yang tidak diinginkan tersebut dapat membahayakan kesehatan makhluk hidup, mengganggu estetika dan kenyamanan dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1, pencemaran udara yaitu masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

2.2 Jenis Sumber Pencemar Udara

Menurut Amalia (2017) pada wilayah perkotaan, sebagian besar pencemaran udara disebabkan karena pembakaran sumber energi yang kekuatan emisinya sangat bergantung pada intensitas aktivitas antropogenik di daerah yang bersangkutan. Emisi pencemar umumnya dihasilkan dari berbagai aktifitas kehidupan manusia jauh lebih besar daripada emisi pencemar dari sumber alami. Sumber pencemar alami hanya memberikan kontribusi terhadap konsentrasi latar di daerah perkotaan dan tidak memberikan dampak yang signifikan, sedangkan kualitas udara ambien lebih dipengaruhi oleh aktivitas kehidupan manusia.

Menurut Soedomo (2001), jenis sumber-sumber pencemar dibedakan berdasarkan perilakunya di atmosfer dalam dua kelompok yaitu:

1. Pencemar udara primer, komposisinya tidak akan mengalami perubahan di atmosfer baik secara kimia maupun fisis dalam jangka waktu yang relatif lama (harian sampai tahunan dan akan tetap seperti komposisinya seperti waktu diemisikan oleh sumber). Pencemar ini misalnya CO, CO2, NO2 , N2O, TSP, SO2, metana, senyawa halogen, partikel logam dan lain -lain. Pencemar ini memiliki waktu tinggal yang lama di atmosfer karena sifatnya yang stabil terhadap rekasi- reaksi kimia fisik atmosfir.

2. Pencemar udara sekunder, terbentuk di atmosfer sebagai hasil rekasi –rekasi atmosfir seperti hidrolisis, oksidasi dan reaksi fotokimia.

(3)

a. Sumber pencemaran titik (point source), sumber pencemaran dari lokasi tertentu yang mengemisikan gas secara secara kontinyu. Salah satu contohnya adalah cerobong asap.

b. Sumber pencemar garis (line source), sumber pencemaran yang mengemisikan gas dalam bentuk garis. Contohnya adalah pencemaran debu di sepanjang jalan raya, emisi gas buang dari kendaraan bermotor di sepanjang jalan raya dan juga kepulan asap dari bangunan industri yang tanpa cerobong asap sehingga emisinya menyebar secara memanjang.

c. Sumber pencemar area (area source), sumber pencemaran yang mengemisikan gas pada luasan tertentu. Contohnya adalah emisi gas dari kebakaran hutan yang luas, penyebaran emisi terjadi secara luas dalam satu area luasan.

d. Sumber pencemar volume, emisi gas yang berasal dari sumber yang memiliki volume tertentu. Contohnya emisi gas dari bangunan lengan jendela, pintu dan ventilasi terbuka.

e. Sumber pencemar puff, sumber pencemaran yang bersifat sesaat. Contohnya adalah pengeluaran emisi gas debu pada waktu akibat rusaknya salah satu alat prediksi.

Menurut Suhedi (2005), jenis sumber-sumber pencemar dibedakan berdasarkan proses yang dihasilkan yang digolongkan menjadi 2 (dua) golongan yaitu:

1. Emisi langsung, emisi yang keluar langsung dari aktifitas atau sumber dalam ruang batas yang ditetapkan. Contohnya emisi CO dari kendaraan bermotor 2. Emisi tidak langsung, hasil dari aktifitas di dalam ruang batas yang ditetapkan

misalnya konsumsi energi listrik di rumah tangga, konsumsi gas pada kompor.

Menurut Moestikahadi (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas zat pencemar udara yaitu:

1. Jenis bahan bakar, bahan bakar yang mengandung belerang akan menghasilkan zat pencemar sulfur dioksida (SO2), bahan bakar yang mengandung abu (fly ash) akan menghasilkan zat pencemar partikel dan debu.

(4)

3. Cuaca, misalnya arah dan kecepatan angin akan mempengaruhi proses pengenceran zat pencemar di udara dan penyebarannya. Semakin besar kecepatan angin, semakin kecil konsentrasi zat pencemar di udara karena zat pencemar tersebut mengalami pengenceran. Arah angin menentukan arah penyebaran pencemar, misalnya arah angin berasal dari tenggara maka zat pencemar akan menyebar ke arah barat laut.

4. Tumbuhan, pada siang hari pepohonan akan menyerap zat pencemar di udara sehingga di udara konsentrasi zat tersebut akan berkurang. Hal ini disebabkan gas karbon dioksida yang terkandung di udara yang tercemar akan diserap oleh daun yang digunakan dalam proses fotosintesis pada siang hari. Kemudian dauan akan mengeluarkan oksigen ke udara sebagai hasil dari proses fotosintesis sehingga banyaknya pepohonan akan menyebabkan udara menjadi segar.

Berdasarkan jenisnya, sumber pencemar dapat dikatagorikan menjadi:

1. Sumber pencemar alamiah, misalnya serbuk sari tanaman, debu terbang akibat pergeraan angin an letusan gunung berapi;

2. Sumber pencemar akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan transportasi, proses industri, pembangkit, incenerator dan lain sebagainya (Ryadi, 1982).

Menurut PP No.41 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan beerdasarkan beberapa aspek tertentu, yaitu terdiri dari:

1. Klasifikasi sumber pencemar udara berdasarkan letaknya, dibedakan menjadi: a. Sumber pencemar indoor

Sumber pencemar indoor adalah kegiatan yang dilakukan di dalam ruangan dan menghasilkan zat pencemar udara yang dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan tersebut, contohnya kegaitan sehari-hari seperti memasak, fotokopi, cat rumah, bahan kimia pembersih, radiasi microwave, dan lain sebagainya.

b. Sumber pencemar outdoor

Sumber pencemar outdoor adalah kegiatan yang dilakukan di luar lapangan yang berpotensi menghasilkan zat pencemar udara yang dapat mempengaruhi kualitas udara yang dapat mempengaruhi kualitas udara ambien, contohnya adalah kegiatan transportasi, pembakaran sampah, cerobong industri, dan lain-lain.

(5)

a. Sumber bergerak

Merupakan sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat berupa kendaraaan bermotor. Selain itu juga ada yang disebut sebagai sumber bergerak spesifik, yaitu sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kreta api, pesawat terbang, kapal laut, dan kendaraan berat lainnya.

b. Sumber tidak bergerak

Merupakan sumber emisi yang tetap pada suatu tempat, contohnya adalah emisi dari kegiatan insdustri, kebakaran hutan, konstruksi jalan tanpa aspal atau pembakaran sampah.

(6)

Tabel 2.1 Karakteristik dan Sumber Pencemar

Pencemar Karakteriksik Fisik Tingkat Konsentrasi Sumber Antropogenik

(7)

dalam air polusi di perkotaan berkisar 100-500 ppb

sebagai polutan sekunder dari reaksi atmosfer yang

melibatkan hidrokarbon dan oksida atau nitrogen

troposfer

Sumber: Flagon, R.C. and Seinfeld, J. H, 1988

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencemar Udara

Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Stull dan Ainslie (2006), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah, dan difusi massa akibat perbedaan konsentrasi. Sementara itu, menurut Oke (1978), penyebaran cemaran dari suatu sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga dipengaruhi oleh karakteristik meteorologi dan topografi setempat.

Menurut Sastrawijaya (2000), konsentrasi pencemar di udara bergantung kepada kondisi cuaca. Kecepatan dan arah angin berhembus, distribusi suhu vertikal, dan kelembaban adalah unsur-unsur yang berperan dalam perubahan cuaca ini. Kecepatan angin mempengaruhi distribusi pencemar. Konsentrasi pencemar akan berkurang jika angin kencang dan membagikan pencemar ini secara mendatar atau tegak lurus. Permukaan daratan juga mempengaruhi kecepatan angin, apakah berbukit-bukit atau berlembah-lembah. Lorong sempit bagi angin dapat meningkatkan kecepatan hembusan angin. Perubahan suhu juga merupakan faktor pengubah yang besar. Pergolakan ke atas akan membawa pencemar ke daerah yang suhunya lebih rendah. Pencemar akan menurun konsentrasinya dan kemudian disebarkan angin.

Menurut Rahmawati (1999), faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran polutan adalah sebagai berikut:

1. Arah dan kecepatan angin

(8)

menentukan daerah penerima dispersi zat, sedangkan kecepatan angin dapat digunakan untuk menentukan jangkauan daerah penerima.

2. Suhu dan stabilitas atmosfer

Suhu udara dalam proses dispersi zat pencemar akan mempengaruhi stabilitas udara. Gradien perubahan suhu udara akan berpengaruh sangat kuat terhadap kestabilan atmosfer. Stabilitas atmosfer berperan penting dalam pengangkutan dan dispersi pencemaran udara. Stabilitas atmosfer dapat diartikan sebagai kecenderungan atmosfer untuk menggurangi atau intensifkan gerakan vertikal atau alternatifnya, menekan atau menambah gerakan turbulen yang ada. Hal ini berkaitan dengan perubahan suhu dengan ketinggian (lapse rate) dan juga kecepatan angin.

3. Intensitas radiasi matahari

Tingkat stabilitas atmosfer harus diketahui untuk memperkirakan kemampuan atmosfer untuk mendispersikan polutan. Kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari merupakan faktor yang digunakan dalam penentuan kelas stabilitas. Terdapat 6 kategori dalam kelas stabilitas atmosfer yang dapat ditentukan nilainya menggunakan kelas stabilitas Gifford. Kelas stabilitas atmosfer Pasquill-Gifford dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Kelas Satbilitas Atmosfer Pasquill-Gifford

Kecepatan Angin (m/s)

Radiasi Matahari (Siang Hari) Kondisi Awan (Malam Hari)

Kuat Sedang Lemah

Mendung Gelap >600

W/m2

300-600 W/m2

<300 W/m2

<2 A A-B B E F

2-3 A-B B C E F

3-5 B B-C C D E

5-6 C C-D D D D

>6 C D D D D

Sumber: Turner, 1969 dalam Goyal dan Kumar, 2011

Keterangan: A = sangat tidak stabil; B = tidak stabil; C = agak tidak stabil; D = netral; E = agak stabil; F = stabil

(9)

Mixing height merupakan parameter kunci model pencemaran udara dalam penentuan volume untuk ruang dispersi pencemar di atmosfer (Siebert, dkk., 2000). Lapisan-lapisan yang terjadi di troposfer khususnya ketinggian lapisan percampuran sangat berpengaruh dalam proses-proses emisi pada level ground (Schafer, dkk., 2012). Tinggi mixing height ini merupakan parameter kritis dalam evaluasi pencemaran di atmosfer (Du, dkk., 2013 dalam Assomadi, 2016). Namun demikian hingga saat ini belum banyak metode langsung yang tersedia untuk menentukan suatu mixing height (Assomadi, 2016). Menurut Sumaryati (2011) pada kondisi udara sangat tidak stabil yang banyak dijumpai pada siang hari, lapisan mixing height bisa mencapai 2 km. Namun, ketika udara sangat stabil terutama pada malam hari, lapisan mixing height hanyak beberapa ratus meter dari permukaan tanah (ground). Sifat mixing height selalu berubah dan ketinggiannya sangat sensitif terhadap perubahan kondisi atmosfer dan dinamika permukaan di bawahnya. Dengan demikian mixing height tidak dapat secara langsung diamati dengan pengukuran-pengukuran standar, sehingga keberadaannya harus diparameterisasikan atau secara tidak langsung diestimasi dari pengukuran profil-profil lain atau simulasi model (Piringer, dkk., 2011 dalam Assomadi, 2016). Pada penelitian ini mixing height ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut (Nieuwstadt, 1984 dalam Burzynski, 2001):

h = 28.u.103/2...Persamaan (2.1)

Dimana :

u = kecepatan angin

2.4 Baku Mutu Udara Ambien

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI NO.41 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 7 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, baku mutu adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.

(10)
(11)

Tabel 2.3 Baku Mutu Udara Ambien Nasional

10.000 μg/Nm3 NDIR NDIR Analyzer

3. Nitrogen

90 μg/Nm3 Gravimetric Hi-Vol

(12)

11. Flour Indeks 30 Hari 40 μg/100 cm 2

dari

kertas limed filter Colourimetric Limed Filter Paper

12.

Khlorine & Khlorine Dioksida

24 Jam 150 μg/Nm3 Spesific Ion Electrode

Impinger atau Continous Analyzer

13. Sulphat Indeks 30 Hari

1 mg SO3/100 cm2 Dari Lead Peroksida

Colourimetric Lead Peroxida Candle

Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999

2.5 Dampak Pencemaran Udara

Udara yang tercemar partikel dan gas dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang terutama terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru-paru dan pembuluh darah atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Pencemaran karena partikel dan debu biasanya menyebabkan penyakit pernapasan kronis seperti, bronchitis kronis, emfiesma paru, asma bronchial dan kanker paru. Bahan pencemar gas yang terlarut dalam udara dapat langsung masuk ke dalam tubuh sampai ke paru-paru yang akhirnya diserap oleh sistem pembuluh darah (Mukono, 1997).

Bahan pencemar udara dapat pula berupa jelaga (soot) dan debu halus yang dapat menghalangi radiasi matahari. Sinar infra merah dapat diabsorpsi oleh partikel-partikel, sehingga terjadi efek pemanasan akibat radiasi matahari menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena gejala ini adalah menurunnya suhu udara serta produksi tanaman pertanian dan kehutanan karena menurunnya intensitas cahaya matahari yang akan menurunkan produk fotosintesis tanaman (Owen, 1980).

(13)

Tabel 2.4 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Manusia

Pencemar Dampak

Partikulat (PM10, PM2,5)

Meningkatkan risiko gangguan dan penyakit sistem pernapasan dan kardiovaskular

CO

Menyebabkan kantuk dan dapat memperparah penyakit kardiovaskular akibat defesiensi oksigen. CO mengikat hemoglobin sehingga jumah oksigen dalam darah berkurang

SOx Meningkatkan risiko penyakit paru-paru dan menimbulkan batuk pada pemajanan singkat dengan konsentrasi tinggi

Lanjutan Tabel 2.4

Pencemar Dampak

NOx

Meningkatkan total mortalitas, penyakit kardiovaskular, mortalitas pada bayi, serangan asma dan penyakit paru-paru kronis

Ozon

Menimbulkan iritasi mata, meningkatkan ganguan pernapasan dan serangan asma serta menurunkan daya tahan tubuh terhadap flu dan pneumonia

Sumber : Colville, dkk 2001

2.6 Emisi Kendaraan Bermotor

Kendaraan bermotor dan buruknya sistem angkutan umum yang meningkat memberikan kontribusi terhadap nilai gas buang yang dihasilkan. Sumber pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia (antropogenik) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang pada umumnya memiliki kandungan unsur karbon atau hidrokarbon. Bahan bakar fosil yang umumnya digunakan yakni oktana yang merupakan bahan bakar dengan senyawa hidrokarbon kompleks (Brimblecombe, 1986).

Hasil yang dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar secara sempurna oleh kendaraan bermotor ke atmosfer oleh massa yaitu gas karbon dioksida dan uap air. Namun kondisi tersebut jarang terjadi karena sebagian bahan bakar yang berbasis karbon dioksida menjadi karbon monoksida (CO). Pembentukan CO juga dipengaruhi oleh keberadaan oksigen (O2) dan temperatur (Brimblecombe, 1986)

(14)

Faktor emisi merupakan sejumlah berat tertentu polutan yang dihasilkan oleh terbakarnya jumlah bahan bakar selama kurun waktu tertentu. Faktor emisi dipengaruhi oleh berbagai parameter, diantaranya adalah karakteristik mesin, teknologi kendaraan, karakteristik bahan bakar, usia dan perawatan kendaraan dan penggunaan kendaraan (Meyer dan Miller, 2001). Satuan Mobil Penumpang (smp) adalah satuan arus lalu lintas dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp (MKJI, 1997). Tabel 2.5 menunjukkan konversi jenis kendaraan ke satuan mobil penumpang (smp).

Tabel 2.5 Konversi Jenis Kendaraan ke Satuan Mobil Penumpang (smp)

No Jenis Kendaraan Ekivalen Kendaraan Penumpang

Kendaraan Ringan 1

Kendaraan Berat 1,3

Sepeda Motor 0,2

Sumber : Direktorat Jendral Bina Marga, 1997

Penentuan beban emisi (Q) dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Amalia, 2017):

Q = n x FE x smp...Persamaan (2.2)

Dimana :

Q = beban emisi (gram/jam.km)

n = jumlah kendaraan (unit/jam) FE = faktor emisi (gram/km)

smp = satuan mobil penumpang

Faktor emisi yang digunakan merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.12 tahun 2010. Faktor emisi kendaraan bermotor dapat dilihat pada tabel 2.6

Tabel 2.6 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor

Kategori CO HC NOx PM10 CO2 SO2

(gr/km) (gr/km) (gr/km) (gr/km) (gr/kgBBM) (g/km) Sepeda

(15)

Mobil

Solar 2,8 0,2 3,5 0,53 3172 0,44

Mobil

Bensin 40 4 2 0,01 3180 0,026

Bis 11 1,3 11,9 1,4 3172 0,93

Truk 8,4 1,8 17,7 1,4 3172 0,82

Sumber : Permen LH No.12, 2010

2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi Emisi Kendaraan Bermotor

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2013), emisi gas buang kendaraan bermotor diukur dalam gram per kendaraan per km dari suatu perjalanan dan terkait dengan beberapa faktor, diantaranya adalah karakteristik mesin, teknologi kendaraan, karakteristik bahan bakar, usia dan perawatan kendaraan, dan penggunaan kendaraan.

1. Karakteristik Mesin

Setiap jenis mesin memiliki karakteristik emisi tersendiri. Mesin pembakaran empat langkah (4-tak) cenderung mengemisikan CO, HC, dan NOx, namun emisi partikulatnya umumnya rendah. Mesin 2-tak memiliki karakteristik emisi yang sama tetapi lebih kotor karena penggunaan campuran oli yang berlebihan (yang menghasilkan emisi oli yang tidak terbakar) dan penggunaan oli dengan kandungan asap tinggi. Mesin diesel pada truk dan bis cenderung mengeluarkan CO dan HC yang lebih rendah dibandingkan mesin bensin, tetapi NOx dan partikulatnya lebih tinggi (KLH, 2013).

2. Teknologi Kendaraan

Teknologi kendaraan memegang peranan yang penting dalam mengurangi emisi kendaraan-kendaraan baru. Semakin maju teknologi, semakin ketat ambang batas emisi. Untuk kendaraan lama, ambang batas emisi di Indonesia mengacu pada Peraturan Menteri No. 5/2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama. Untuk sepeda motor tipe baru, ambang batas yang berlaku adalah EURO III (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10/2012).

3. Karakteristik Bahan Bakar

(16)

memicu timbulnya pencemar yang berbahaya selama pembakaran atau penyimpanan, atau dapat secara tidak langsung merusak alat pengendali emisi. Dalam spesifikasi bahan bakar, bensin dengan angka RON (Research Octane Number) 88 dibagi atas bensin bertimbal dan tanpa timbal. Pada bensin bertimbal kandungan timbal maksimum yang diperbolehkan adalah 0,3 g/L. Sedangkan pada bensin RON 88 tanpa timbal dan bensin dengan RON 91 dan 95, kandungan timbal maksimum yang diperbolehkan adalah 0,0013 g/L. Untuk minyak solar, terdapat 2 kategori yaitu minyak solar dengan angka setana 48 yang kandungan sulfur maksimum yang diperbolehkan adalah 3500 ppm dan minyak solar dengan angka setana 51 yang kandungan sulfur maksimum yang diperbolehkan adalah 500 ppm (KLH, 2013).

Pada motor bensin besarnya emisi gas buang seiring dengan besarnya penambahan jumlah campuran udara dan bahan bakar yang masuk ke dalam silinder. Akan tetapi pada mesin diesel besarnya emisi dalam bentuk opasitas (ketebalan asap) tergantung pada banyaknya jumlah bahan bakar yang disemprotkan ke dalam silinder, karena pada motor diesel yang dikompresikan adalah udara murni. Atau dengan kata lain semakin besar campuran maka akan semakin besar pula konsentrasi HC dan CO, sementara semakin sedikit campuran maka konsentrasi NOx dan asap meningkat namun konsentrasi CO dan HC berkurang (Sugiarto, 2005).

4. Kapasitas Mesin

Perbedaan kapasitas silinder mempengaruhi konsentrasi emisi gas buangnya. Mesin kendaraan dengan kapasitas silinder lebih besar akan mengeluarkan zat pencemar yang lebih besar. Kapasitas mesin kendaraan berkaitan erat dengan konsumsi bahan bakar, semakin besar kapasitas mesin, semakin banyak pula bahan bakar yang dibutuhkan oleh kendaraan tersebut sehingga emisi yang dihasilkan akan semakin besar (Muziansyah dkk, 2015).

5. Usia dan Perawatan Kendaraan

Sejalan dengan usia pakai kendaraan, komponen-komponen mesin pun mengalami penurunan kinerja yang akan menyebabkan emisi meningkat. Pada kendaraan yang dirawat dengan baik, peningkatan emisi tidak signifikan, tetapi pada kendaraan yang tidak dirawat dengan baik peningkatan emisi terjadi lebih cepat (KLH, 2013).

(17)

Perilaku berkendara mempengaruhi emisi kendaraan. Emisi semua pencemar akan lebih tinggi apabila kendaraan dikemudikan pada beban yang berat (akselerasi tinggi) atau pergantian beban yang cepat. Ketika akselerasi tinggi, kendaraan mengalami pengayaan bahan bakar, selama itu campuran bahan bakar yang berlebihan akan membebani alat pengendali emisi dan mengemisikan CO seratus kali lebih cepat dari kondisi normal dan HC sepuluh kali lebih cepat. Perilaku mengemudi yang agresif, seperti misalnya melakukan pengereman mendadak atau akselerasi yang cepat mempengaruhi emisi gas buang. Pada keadaan lalu lintas yang padat, kendaraan berhenti lebih sering dibandingkan pada kondisi lalu lintas yang lancar sehingga meningkatkan emisi gas buang (KLH, 2013).

Hickman (1999) juga menyebutkan bahwa emisi dari kendaraan bermotor tergantung pada pola mengemudi (kecepatan, perlambatan dan akselerasi). Perbedaan pola mengemudi dari perubahan kecepatan antara 50-20-50 km/jam dan 50-0-50 Km/jam memberikan nilai emisi dan konsumsi bahan bakar yang lebih besar dibandingkan dengan kecepatan yang konstan.

2.7 Karbon Monoksida (CO)

Salah satu bahan pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dalam kegiatan transportasi adalah karbon monoksida (CO). CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau, maupun berasa yang timbul akibat pembakaran tidak sempurna bahan bakar yang mengandung karbon atau oleh pembakaran dibawah tekanan dan temperatur tinggi seperti yang terjadi didalam mesin (internal combustion engine). Gas ini tergolong kategori mudah terbakar dan beracun (Putra, 2013).

(18)

utama adalah dari metabolisme tubuh manusia, pembakaran sampah, kebakaran hutan, sisa pembakaran batu bara dan pembakaran sisa pertanian.

Karakteristik gas CO sebagai berikut (Fardiaz, 1992):

1. Gas yang bersifat racun

2. Lebih ringan dari pada udara, dengan angka perbandingan berat 0,967 pada 1 atm dan 0oC

3. Mengabsorpsi radiasi gelombang elektromagnetik infra merah

4. Pada temperatur ruang oksidasi pembentukan gas CO2 dapat dipercepat dengan penambahan katalis logam seperti paladium pada silika gel atau campuran oksida mangan dan tembaga

5. Terbakar apabila ditambahkan api dan mengeluarkan asap biru, sehingga berubah menjadi gas CO2

6. Tidak mudah larut dalam air

Menurut Inayah (2015), karbon monoksida yang terdapat di alam terbentuk dari salah satu proses sebagai berikut:

a. Pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon.

b. Reaksi antara karbon dioksida dengan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi.

c. Pada suhu tinggi, karbon dioksida terurai kembali menjadi karbon monoksida dan oksigen.

(19)

Di lingkungan, karbon monoksida dapat terbentuk secara alamiah, namun sumber utama dari gas tersebut adalah dari kegiatan manusia. Karbon monoksida yang berasal dari alam yaitu akibat kebakaran hutan, oksidasi metal di atmosfer, lautan, serta badai listrik alam. Sementara sumber CO buatan antara lain berasal dari kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Konsentrasi CO yang tinggi seringkali diperoleh dari gas buang kendaraan bermotor dan polusi dalam ruangan yang buruk. Pada pembakaran bahan bakar bermotor, seluruh penggunaan bahan bakar tidak diubah seluruhnya menjadi CO2 dan H2O tetapi sebagian juga dilepaskan menjadi CO dan sebagian material partikulat karbon organic (Brimblecombe, 1986).

Secara umum terbentuknya gas CO adalah sebagai berikut (Sunu,2001):

1. Pembakaran bahan bakar fosil dengan udara

2. Pada suhu tinggi terjadi reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan karbon (C) yang menghasilkan CO

3. Pada suhu tinggi, CO2 dapat terurai kembali menjadi CO dan oksigen.

Senyawa karbon monoksida (CO) memiliki daya distribusi yang cukup sigifikan dan merupakan jenis senyawa yang jumlah emisinya terbesar di antara nilai emisi jenis senyawa polutan lainnya. Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa CO sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna, seperti terurai dalam reaksi berikut:

2C + O2 2 CO

Kadar CO di daerah perkotaan cukup bervariasi dan dipengaruhi oleh kepadatan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin. Pada umumnya, kadar maksimum CO terjadi bersamaan dengan jam padat seperti pada pagi dan sore menjelang malam hari. Selain cuaca, variasi kadar CO juga tergantung pada topografi jalan dan bangunan sekitarnya. Paparan CO dari udara ambien dapat direfleksikan dalam bentuk kadar karboksihemoglobin (HbCO) dalam darah yang terbentuk dengan sangat perlahan karena membutuhkan waktu 4 hingga 12 jam untuk tercapainya keseimbangan antara kadar CO di udara dan HbCO dalam darah. Sehingga hal tersebut cenderung dinyatakan sebagai kadar paparan rata-rata dalam 8 jam (Sunu, 2001).

2.7.1 Dampak Pencemaran Karbon Monoksida (CO)

(20)

material lainnya. Hal ini dikarenakan gas CO akan bereaksi dengan oksigen menghasilkan gas CO2 yang korosif (Fardiaz, 1992).

Menurut Nevers (2000), gas CO dapat mengganggu fungsi tubuh manusia dalam beberapa konsentrasi dalam darah yang berkaitan dengan hemoglobin. Karbon monoksida yang terdapat pada tubuh manusia merupakan produk normal yang dihasilkan dari proses katabolisme (pemecahan) dalam tubuh dan mempunyai umur sekitar empat bulan. Kadar normal karbon monoksida dalam darah antara 0,2% - 0,1% atau rata-rata sekitar 0,5%. Kadar ini akan meningkat bila seseorang menderita suatu penyakit.

Karbon monoksida berbeda dari kebanyakan polutan lainnya dalam mempengaruhi efek kesehatan. Rata-rata kematian setiap tahun di Amerika Serikat diakibatkan oleh paparan tinggi dari konsentrasi CO. Sumber emisi CO sebagian besar berasal dari gedung dengan sistem pemanas yang tidak benar, sistem pembuangan kendaraan yang rusak, dan peralatan industri. Keracunan CO merupakan kasus kematian terbanyak akibat kebakaran perumahan (sekitar 4000 kematian per tahun), dan kebakaran tambang batu bara (sekitar 10 kematian per tahun). Jika seseorang tidak mati dari paparan tersebut, maka kemungkinan akan ada kerusakan kesehatan permanen. CO dapat menyebabkan korban jiwa akibat paparan jangka pendek (Nevers, 2000).

Jika udara mengandung gas CO sebesar 30 ppm, maka besar gas CO dalam darah sekitar 5% dan kondisi ini akan tetap dipertahankan jika frekuensi pernapasan dan kadar gas CO di udara ambien tidak berubah. Apabila kadar HbCO dalam darah menigkat, maka kadar HbO2 atau oksigen dalam darah akan berkurang. Hal ini menyebabkan timbulnya kelainan yang diderita tubuh seperti timbulnya gejala keracunan gas CO. Pada keadaan kadar gas CO dalam darah meningkat sampai 5%, seseorang akan mengalami gangguan penglihatan (Mukono,1997).

(21)

konsentrasi gas CO di udara ambien jarang mencapai 100 ppm, sehingga gas CO pada tanaman tidak dapat terlihat secara nyata (Wark dan Warner, 1981 dalam Amalia, 2017).

Karbon monoksida tergolong gas yang beracun dan mematikan. Gas yang tidak menyebabkan iritasi ini memasuki tubuh melalui pernafasan dan kemudian diserap ke dalam peredaran darah. Gas ini mampu mengikat hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dalam darah kemudian membentuk carboxyhemoglobin (COHb). CO mampu mengikat hemoglobin 220 kali lebih kuat dibandingkan dengan daya ikat antara hemoglobin dan oksigen, sehingga menyebabkan berkurangnya kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Secara langsung hal ini akan menyebabkan pasokan oksigen ke seluruh tubuh menurun, sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurukan volume darah yang didistribusikan. Hal ini kemudian akan mempengaruhi fungsi organ-organ tubuh seperti otak, hati, dan pusat saraf. 70% atau lebih COHb dalam darah akan menyebabkan kematian (Nevers, 2000).

Gejala-gejala keracunan CO antara lain, pusing, rasa tidak enak pada mata, telinga berdengung, mual, muntah, detak jantung meningkat, rasa tertekan di dada, kesukaran bernapas, kelemahan otot-otot, tidak sadar dan bisa meninggal dunia. Dampak pemaparan karbon monoksida (CO) pada tubuh terdapat pada Tabel 2.7

Tabel 2.7 Dampak Pemaparan Karbon Monoksida (CO) Terhadap Tubuh

Kadar CO Waktu Kontak Dampak Bagi Tubuh

≤ 100 ppm Sebentar Dianggap aman

± 30 ppm 8 jam Pusing dan mual

± 1000 ppm 1 jam Pusing dan kulit berubah

kemerah-merahan

± 1300 ppm 1 jam Kulit jadi merah tua dan rasa

pusing yang hebat

> 1300 ppm 1 jam Kematian

Sumber: Wardhana, 2004

(22)

Gas SO2 berbau tajam, tidak mudah terbakar dan konsentrasinya pekat. Cairan SO2 melarutkan banyak senyawa organik dan anorganik dan digunakan sebagai pelarut dalam pembuatan reaksi. Sumber SO2 buatan adalah pembakaran bahan bakar minyak, gas dan batubara yang mengandung sulfur tinggi. Sumber-sumber ini diperkirakan memberi kontribusi sebanyak sepertiganya saja dari SO2 atmosfir/tahun. Akan tetapi, karena hampir seluruhnya berasal dari buangan industri, maka hal ini bertambah di kemudian hari. Maka dalam waktu singkat sumber-sumber ini akan dapat memproduksi lebih banyak SO2 dari pada sumber alamiah (Nugroho, 2005).

SO2 dan gas-gas oksida sulfur lainnya terbentuk saat terjadi pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur. Sulfur sendiri terdapat dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak mentah, batu bara, dan bijih-bijih yang mengandung metal seperti alumunium, tembaga,seng,timbal dan besi (Nugroho, 2005). Sebagai pencemar SO2 diperkirakan memiliki waktu tinggal di dalam udara selama 2-4 hari dan dalam waktu tinggal tersebut SO2 dapat ditransportasikan sejauh 1000 km sehingga keadaannya relatif stabil di atmosfer. Sulfur dioksida akan beraksi dengan oksigen membentuk SO3. Sulfit (SO3) kemudian bereaksi dengan titik-titik air sehingga menghasilkan presipitasi berupa hujan asam. Gas SO3 mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara membentuk asam sulfat atau H2SO4. Asam sulfat sangat reaktif, mudah bereaksi dengan benda-benda lain yag mengakibatkan kerusakan, seperti proses perkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya (Pohan, 2002).

Penyebaran gas SOx ke lingkungan juga tergantung dari keadaan meteorologi dan geografi setempat. Kelembaban udara juga mempengaruhi kecepatan perubahan SOx menjadi asam sulfat maupun asam sulfit yang akan berkumpul bersama awan yang akhirnya akan jatuh sebagai hujan asam (Kamal,2015).

Meskipun sumber alami (gunung berapi atau panas bumi) mungkin hadir pada beberapa tempat, sumber antropogenik, pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur, mendominasi daerah perkotaan. Ini termasuk (Kamal, 2015):

1. Sumber pokok (pembangkit tenaga listrik, pabrik pembakaran, pertambangan dan pengolahan logam).

2. Sumber daerah (pemanasan domestik dan distrik). 3. Sumber bergerak (mesin diesel).

(23)

SO2 akan memberikan dampak negatif untuk berbagai aspek kehidupan. Bagi kesehatan manusia menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan manusia, bronkhitis dan episema. Kerusakan yang akan tejadi pada tanaman adalah pada struktur daun serta fungsinya yaitu penyakit nekrosis. Pemaparan sulfur dioksida berlebihan pada daun menyebabkan kerusakan pada parenkim dalam mesopil diikuti oleh bagian palisade. Efek sulfur dioksida juga dapat merusak material pembuat dinding bangunan salah satunya menyebabkan korosi (Nugroho dan Assomadi, 2012).

2.9 Jenis-Jenis Pemodelan Kualitas Udara Sumber Garis

1. Gaussian Model

Model Dispersi Gauss merupakan bentuk persamaan matematika yang dapat dimasukkan ke dalam perhitungan variabel mengenai sumber cemaran pada suatu daerah yang diteliti (Arya, 1999).

Ketepatan dari pendugaan Model Gauss akan menurun dengan nyata jika terjadi penyimpangan dari kondisi yang digunakan dalam persamaan, misalnya adalah kecepatan angin yang konstan. Karena Model Gauss ini tidak menghitung reaksi kimia yang terjadi antara NOx dan HC, maka model ini tidak dapat digunakan untuk menduga fotokimia oksidan. Pengembangan lebih lanjut dari Model Gauss ini adalah untuk menduga pengaruh pembuangan polutan (gas) dengan konstan dari sumber garis (line sources), yaitu emisi dari kendaraan bermotor di jalan raya (Satria, 2006).

Namun menurut Rasmussen (2000) penggunaan model tersebut memerlukan studi yang lebih luas dikarenakan kebutuhan data yang banyak dan persyaratan prosesnya yang rumit.

Menurut Suryati (2016) gaussian model memiliki asumsi sebagai berikut:

1) Laju emisi polutan dianggap konstan (relatif tetap). 2) Rata-rata kecepatan angin dan arahnya adalah konstan.

3) Sifat kimia dari senyawa yang dikeluarkan adalah stabil dan tidakberubah di udara.

4) Pergerakan polutan searah dengan arah angin yang disebabkan oleh pergerakan angin rata-rata sebagai bentuk pengangkutan disebut adveksi. 5) Sedangkan fluktuasi acak dalam angin yang menyebabkan materi tersebar

dalam arah tegak lurus terhadap arah angin disebut difusi.

(24)

Pendispersian polutan yang dikeluarkan dari kegiatan transportasi pada jalan raya sibuk dapat dimodelkan dengan sumber garis tidak terbatas. Pada perhitungannya arah angin dihitung tegak lurus terhadap sumber bergaris sehingga polutan hanya terdispersi pada sumbu z (vertikal) saja. Sedangkan pada sumbu y (memotong lintasan angin) konsentrasi polutan akan seragam untuk sumber garis tidak terbatas (Supriyadi, 2009).

Dilley and Yen 1971 dalam Supriyadi (2009) menurunkan solusi analitik perpindahan dua dimensi dan persamaan difusi untuk menggambarkan konsentrasi polutan searah downwind dari sumber garis tegak lurus arah angin tidak terbatas. Baik angin dalam skala luas maupun menengah disertakan dalam perhitungan model. Lebih lanjut didapatkan analisis bahwa angin skala menengah tidak secara signifikan dalam mengurangi kosentrasi polutan.

3. Sumber Garis Terhingga (Finite Line Source)

Tidak semua sumber garis memiliki jarak yang panjang, ada kalanya polutan yang dikeluarkan moda transportasi berasal dari sumber garis yang pendek. Jika sudah demikian maka dibutuhkan modifikasi dari persamaan sumber bergaris tidak terbatas. Sehingga dikenal pendekatan finite length line source (FLLS) (Cooper dan Alley, 1994 dalam Supriyadi, 2009).

Metode ini menentukan konsentrasi polutan termasuk penyebarannya dengan membagi ruas-ruas tiap sumber garis menjadi segmen-segmen terkecilnya. Setelah didapatkan segmen-segmen terkecil maka dilakukan perhitungan jarak dari reseptor (penerima polutan) sampai sumber bergaris (penghasil polutan) tersebut dengan tujuan menentukan besaran parameter dispersi tiap reseptor (Supriyadi, 2009).

4. Box Model

Menurut Suryati (2016) box model memiliki asumsi sebagai berikut:

1) Model paling sederhana, keadaan selalu tetap : emisi, kecepatan angin dan karakteristik udara

2) Pelepasan polutan tercampur sempurna 3) Polutan udara secara kimia stabil

4) Laju emisi polutannya konstan, P (massa/waktu)

(25)

6) Udara yang bergerak dibatasi dari atas oleh lapisan udara yang stabil pada ketinggian, h

7) Udara yang bergerak juga dibatasi oleh arah tegak lurus terhadap kecepatan angin

8) Model ini menggambarkan suatu lembah dimana udara melewati suatu daerah (zona) dengan lebar, w, yang terbentuk dari dua baris bukit.

2.10 Box Model Street Canyon

Model kotak (Box Model) secara konseptual adalah bentuk model paling sederhana meskipun beberapa model yang relatif kompleks telah dibangun di atas landasan model kotak. Model plume dan model puff adalah contoh model yang kompleks dibentuk dengan menggunakan konsep-konsep ini. Selain itu, beberapa model yang sangat kompleks telah dikembangkan memecahkan persamaan fisik dasar gerak dari udara tanpa menggunakan perkiraan dari kotak, model plume atau model puff (McElroy and Pooler, 1968 dalam Amalia, 2017).

Box model merupakan penyederhanaan dari model dengan sumber garis yang telah ada (Model Gauss). Model ini merupakan model paling sederhana untuk memprediksi konsentrasi polutan pada sumber garis. Salah satu contoh box model adalah model street canyon. Dengan mempertimbangkan sebuah volume kontrol yang digambarkan oleh sebuah street canyon dan mengaplikasikan prinsip konservasi massa dari polutan yang ada di dalam volume kontrol (Amalia, 2017).

Menurut Satria (2006) Box model untuk street canyon telah banyak digunakan untuk

memprediksi konsentrasi polutan inert di jalan yang pada ke dua sisinya berdiri

gedung-gedung tinggi dan tersusun rapat. Model ini selain sederhana, juga pada hasil

perhitungannya jika di buat grafik perbandingan dengan nilai hasil observasi

mempunyai trend yang cukup baik. Seperti prediksi yang dilakukan oleh Hasan dan

Crowther sepanjang tahun 1979 (Hassan dan Crowther, 1998 dalam Satria, 2006)

Menurut Hassan dan Crowther, 1998 dalam Amalia (2017) model ini tidak menjelaskan secara eksplisit proses fisik dan dinamik yang ada di atmosfer. Tetapi hanya memperhitungkan aspek arah angin dan kecepatan angin, laju emisi, dimensi kotak dan juga parameter model empirik untuk memprediksi konsentrasi per jam dari polutan

(26)

yang dimana sumber emisi tersebar merata di permukaan bawah kotak. Kemudian, polutan dibawa dan didistribusikan dari daerah sumber oleh gerak lateral sesuai dengan arah angin. Model ini menganggap suatu wilayah dan kota sebagai suatu kotak, yang didalam kotak tersebut terjadi sebuah aktivitas yang menghasilkan gas emisi. Model ini memperhitungkan faktor meteorologi berupa arah dan kecepatan angin, serta ketinggian

mixing height. Ilustrasi box model dapat dilihat pada Gambar 2.1.

u

C

Q*

Gambar 2.1 Ilustrasi Box Model

Sumber : Satria, 2006

Model dalam penelitian ini merupakan pendugaan atau prediksi konsentrasi polutan dalam sebuah kotak yang di analogikan sebagai street canyon. Dimensi terdiri dari panjang kotak (panjang jalan) p, lebar kotak (lebar jalan) l dan tinggi kotak (mixing height) h yang sejajar dengan arah angin (u).

Box model pada umumnya mengasumsikan ketinggian kotak (h) berupa mixing height, yang dimana merupakan batas dari pencampuran polutan (Satria, 2006).

Q* merupakan laju emisi per satuan luas (g/m2dt). Penentuan laju emisi per satuan luas (Q*) dengan menggunakan persamaan(Amalia, 2017):

Q* =

... Persamaan (2.3)

Dimana :

Q* = laju emisi persatuan luas (g/m2.dtk)

Q = laju emisi (g/m.dtk)

A = luas kotak (m2)

Box model memiliki beberapa asumsi dalam penggunaannya, yaitu antara lain (Hassan dan Crowther, 1998 dalam Satria, 2006):

1. Pemukaan kota berukuran panjang (p) dan lebar (l). p

h

(27)

2. Laju emisi polutannya konstan (relatif tetap). Udara yang bergerak dibatasi dari atas

oleh lapisan udara yang stabil pada ketinggian (h). Udara yang bergerak juga

dibatasi pada arah tegak lurus terhadap kecepatan angin.

3. Kondisi yang selalu tetap (steady state), baik emisi, kecepatan angin dan

karakteristik udara untuk pengeceran yang nilainya tidak bervariasi terhadap waktu,

lokasi dan ketinggian tempat.

4. Tidak ada polutan yang masuk atau keluar melalui bagian kedua sisi yang sejajar

dengan arah angin.

5. Sifat polutan adalah stabil, tidak terurai selama berada di udara dalam kota.

Unsur meteorologi yang digunakan dalam box model ini adalah berupa arah dan kecepatan angin. Arah dan kecepatan angin ini yang kemudian akan menentukan besarnya konsentrasi CO dan SO2 yang berada di dalam kotak. Konsentrasi CO dan SO2

berbanding terbalik dengan kecepatan angin. Semakin besar kecepatan angin maka semakin besar pula emisi yang terbawa keluar kotak dan semakin jauh juga emisi CO dan SO2 terbawa dari sumbernya. Maka secara langsung kecepatan angin besar

pengaruhnya terhadap proses transportasi dan difusi (penyebaran) polutan (Hassan dan Crowther, 1998 dalam Amalia, 2017).

Menurut Satria (2006) arah angin selain berperan besar dalam dispersi polutan namun juga sangat berpengaruh terhadap besarnya kecepatan angin yang masuk ke dalam kotak. Semakin paralel (sejajar) arah angin dengan ruas jalan maka kecepatan angin yang masuk ke dalam kotak akan mendekati nilainya dengan kecepatan angin hasil pengukuran (observasi). Tetapi jika arah angin semakin mendekati sudut 90° atau 270° (tegak lurus) dengan ruas jalan, maka besar kemungkinan angin yang masuk ke dalam kotak semakin kecil menjauhi nilai kecepatan angin observasi.

Box model dapat digunakan untuk gas CO, SO2 dan partikulat (debu) yang secara kimia

stabil. Namun asumsi ini tidak tepat digunakan untuk hidrokarbon (HC) dan nitrogen oksida (NOx) yang mendorong terbentuknya photochemical smog (Hassan dan

Crowther, 1998 dalam Satria, 2006).

Konsentrasi nilai CO yang dilepaskan di udara ambien dengan box model diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (McElroy and Pooler,1968 dalam Amlia, 2017):

... Persamaan (2.4)

(28)

Sumber: Satria, 2006

C = konsentrasi zat (g/m3)

Q* = laju emisi persatuan luas (g/m2.dtk)

p = panjang segmen (m)

u = kecepatan angin (m/detik)

h = tinggi / mixing height (m)

2.11 Efek Gedung pada Street Canyon

Menurut Nicholson (1975) dalam Hassan dan Crowther (1998) di dalam box model

untuk street canyon jika aliran angin diatas gedung tegak lurus dengan ruas jalan, maka akan terjadi sirkulasi pusaran (vortex) di dalam kotak. Dengan sirkulasi pusaran angin sebelah atas searah dengan arah angin dan pusaran bawahnya berlawanan dengan arah angin. Ini terjadi karena angin yang datang tegak lurus dengan ruas jalan mengalami turbulensi dengan gedung-gedung yang berada diantara jalan.

Buckland (1998) menyatakan bahwa pada street canyon reseptor terletak pada dua sisi jalan, yaitu leeward dan windward. Windward didefinisikan sebagai sisi dimana reseptor terletak pada posisi angin berhembus, sedangkan leeward mendefinisikan bahwa letak reseptor berada pada posisi arah asal angin berhembus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

u

gedung

Gambar 2.2 Efek Gedung pada Street Canyon

2.12 Validasi Model

Untuk mengetahui apakah data hasil pemodelan dan data sampling sudah akurat, perlu dilakukan cara mengetahui keakuratannya yaitu dengan validasi. Validasi data yang dilakukan adalah dengan menggunakan persamaan Index of Agreement (IOA) dengan lambang d. Validasi ini sering diunakan untuk membandingkan data kualitas udara pemodelan dengan data hasil observasi di lapangan.

(29)

Indeks d memberikan tafsiran yang lebih baik dalam hasil pemodelan untuk menetukan besaran dan nilai yang diamati serta lebih peka terhadap perbedaan konsentrasi yang diamati (O) dan konsentrasi yang diprediksi (P) (Khare dan Sharma, 1999).

Menurut Willmott dalam Rahayu (2012), IOA adalah suatu derajat keakuratan yang menunjukkan seberapa akurat data observasi yang di prediksi dari perhitungan model. Rumus untuk menghitung validasi data menggunakan persamaan IOA (Ganguly et al. 2009 dalam Paramitadevi, 2014).

d = 1 -

| | | | ...Persamaan(2.5)

Dimana :

P : Konsentrasi parameter dari hasil persamaan model O : Konsentrasi parameter dari hasil pengukuran

Pmean : Konsentrasi parameter rata-rata dari hasil persamaan model Omean : Konsentrasi parameter rata-rata dari hasil pengukuran

Hasil dari validasi IOA (d) dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu Sempurna ( d = 1), Baik (0,8≤ d < 1), Sedang (0,7 ≤ d < 0,8), dan buruk (d < 0,7). Dari hasil validasi dapat dilihat kesesuaian data prediksi konsentrasi hitung dengan data konsentrasi CO dan SO2 terukur.

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik dan Sumber Pencemar
Tabel 2.3 Baku Mutu Udara Ambien Nasional
Tabel 2.4 Dampak Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan Manusia
Tabel 2.5 Konversi Jenis Kendaraan ke Satuan Mobil Penumpang (smp)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari 50 citra, 49 citra teridentifikasi sebagai citra dengan jenis kerusakan retak, sementara 1 citra teridentifikasi sebagai lubang. Sementara 2 citra

Kinerja sasaran outcome tersebut diarahkan pada sasaran kegiatan (output) antara lain kegiatan penilitian yang bermutu. Target sasaran output penelitian yang bermutu

Dalam Struktur Aplikasi terdapat menu utama yang berisikan katagori yaitu Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan, Fasilitas umum dan lain sebagainya, dalam halaman

Dari pengujian DMRT diperoleh bahwa diameter puli pada alat pemeras santan sistem screw press memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas efektif alat dan

Berdasarkan penelitian dan hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa proses pembelajaran menggunakan model aspek penggunaan

Dari pengujian DMRT diperoleh bahwa diameter puli pada alat pemeras santan sistem screw press memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kapasitas efektif alat dan

pada alat pemeras santan sistem screw press terhadap kapasitas efektif, rendemen dan persentase bahan tertinggal di alat.

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan peneliti pada Bab IV, dapat disimpulkan bahwa: (1) Penerapan media Mind Mapping dengan menggunakan pembelajaran