BAB II
2.1. Paradigma Kajian
Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara
pandangnya terhadap dunia (wibowo,2013:36). Paradigma penelitian
mengarahkan peneliti dalam memandang suatu masalah dan menjawab
masalah dalam penelitian. Paradigma dalam konteks keilmuan disebut
sebagai perspektif, mahzab penelitian, atau teori, model, pemdekatan,
kerangka konseptual, strategi intelektual, kerangka pemikiran, serta
pandangan dunia (Mulyana,2001:9).
Paradigma dalam penelitian untuk menyadari bahwa suatu
pemahaman selalu di bangun oleh keterkaitan antara apa yang menjadi
pengamatan dan apa yang menjadi konsepnya. Penggunaan paradigma dapat
mengimbangi perubahan fakta sosial yang terus menerus berubah dan
mewajibkan peneliti untuk toleran pada perbedaan cara pandang, serta
bijakdalam menggunakan pelbagai metode (Ardianto dan Q-Anees,
2007:77), dengan demikian peran paradigma menjadi sangat penting dalam
peelitian, karena mempengaruhi teori, dan Analisis.
Paradigma pada bidang ilmu komunikasi sangat beragam, namun yang
sering digunakan adalah post-positivisme, interpretif, konstruksi, dan kritis.
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi
yang di kembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan
sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan
interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada
dalam pikirannya.
Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam
bentuknya yang kasar, teteapi harus disaring terlebih dahulu melalui
bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan,2014:166). Konstruksi
personal diatur atau diorganisasi ke dalam skema interpretif yang akan
kategori. Paradigma konstruktivisme melihat segala sesuatu lebih dalam
kerucut, berbeda dengan positivis yang melihat dari garis besarnya saja.
Sumber dan sebab dari suatu kasus akan di telaah tahap demi tahap dalam
bentuk-bentuk pertanyaan yang mengarah kepada jawaban yang paling
mutlak dan jelas.
Konstruktivisme pada dasarnya adalah teori dalam memilih strategi.
Prosedur riset konstruktivisme yang di lakukan biasanya adalah dengan
meminta subjek untuk memilih berbagai tipe pesan yang berbeda dan
mengelompokannya ke dalam berbagai kategori strategi. Penelitian ini
merupakan paradigma konstruktivisme untuk melihat bagaimana para
masyarakat terkhususnya Ibu rumah tangga dan relawan, sebagai subjek
menilai sarana hiburan dongeng sebagai hiburan sehat yang harus dianalisa
dari mendongeng seperti isi pesan, tujuan, cara penyampaian, dan efek yang
di timbulkan, dan bagaimana hiburan dongeng ini berpengaruh terhadap
kebiasaan konsumsifitas media menstream pada umumnya.
2.2. Kerangka Teori
Kerangka teori menggambarkan dari teori yang mana suatu problem
riset berasal. Atau teori yang mana problem itu di kaitkan ( Suwardi Lubis,
1998: 107). Dalam setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau
landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya.
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan
berfikir dalam memecahkan dan menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu
disusun kerangka teori yang akan memuat pokok-pokok pikiran yang dapat
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian ini akan di bahas
(Nawawi, 1995:39)
2.2.1. Literasi Media
Dongeng sebagai kegiatan yang bersifat komunikatif, persuasif dan
edukatif sangat erat kaitannya dengan agenda Media Literasi. Penyampaian
penyampaian pesan yang tinggi untuk dapat di terima dan di pahami oleh
anak-anak usia tertentu.
Devito mendefinisikan literasi media sebagai sebuah bentuk
pemberdayaan (Empowerment), karena bisa membantu kita untuk
menggunakan media dengan lebih cerdas: kita bisa memahami,
menganalisis dan mengevaluasi pesan-pesan yang akan di sampaikan oleh
media; dan kita bisa menciptakan pesan-pesan yang akan di sampaiakan
oleh kita sendiri (Dalam Rahardjo, 2012:6)
Disamping itu Alan Rubin mendefinisikan literasi media / melek
media sebagai pemahaman sumber dan teknologi dari komunikasi, kode
yang digunakan, pesan yang diproduksi dan pemilihan, penafsiran, serta
dampak dari pesan tersebut ( Tamburaka, 2013:8)
National Leadreship Confrence on Media mendefinisikan literasi
media sebagai “The ability to acces, analyze, evaluate, and communicate massage in a wide variety of forms of literacy” (Potter, 2004 : 25)
Pengertian lain menyebutkan bahwa literasi media adalah suatu
keterampilan yang dapat dan selalu ditingkatkan untuk mempertimbangkan
pentingnya media massa dalam menciptakan dan memelihara budaya yang
membantu dan menentukan kehidupan kita (Baran:2003:50). Keterampilan
dalam melihat peran dari media massa ini dibutuhkan dalam menjaga
kualitas kehidupan dan berbudaya bagi khalayak, karena dengan semakin
majunya perkembangan, maka semakin terampil pula khalayak dituntut
dalam menilai media massa.
Dalam sistem media yang sehat, ada keseimbangan antara media
publik, media komunitas, dan media swasta. Itu juga menjadi cita-cita dari
reformasi penyiaran yang dalam beberapa hal sudah diakomodasi dalam UU
Penyiaran No. 32/2002. Akan tetapi, pada level regulasi di bawahnya, jelas
sekali bahwa dinamika media, dalam hal ini penyiaran, lebih diarahkan pada
aspek ekonomi, misalnya tampak dalam alokasi frekuensi yang timpang
antara media swasta (78,5%), media publik (20%), dan media komunitas
(1,5%). Kapitalisme tidak sekadar memiliki watak berorientasi pada
akumulasi modal, namun juga dia berwatak eksklusif. Aktor, dinamika,
dimarjinalkan dengan sistematis. Itulah yang terjadi pada media kita ketika
dominasi ekonomi begitu dominan. Media-media yang tidak mendukung
proses dan kepentingan industrial akan dipinggirkan. Bagi warga, hal ini
jelas kerugian besar karena urusan media hanya direduksi menjadi urusan
ekonomi belaka. Hubungan sosial dipaksa menjadi sesederhana urusan jual
beli.(Poerwaningtiyas Intania,dkk:2013)
Litersi media juga dapat dipahami sebagai kemampuan membaca,
menulis, berbicara, berpikir, dan menonton. Ketiga kemampuan tersebut
dapat dilihat dari masing-masing aspek, dan kemudian dapat pula dijadikan
satu aspek. Ketika menonton, seseorang bisa melakukan semua hal itu
sekaligus hal itu menandakan bahwa kemampuan berpikir penonton sudah
lebih baik dari pada hanya melakukan satu persatu dari yang diuraikan oleh
Adam dan Hamms (Raharjo, 2012:12). Alverman, dan Moon Hagood
mengatakan bahwa literasi kritis merupakan memberikan individu-individu
akses untuk memahami bagaimana teks-teks cetak dan bukan cetak yang
merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dapat membantu untuk
mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang dunia dan berbagai posisi
sosial, ekonomi, dan politik dimana tiap indivodu ada di dalamnya.
Aspek-aspek literasi media baik digital maupun bukan tidak berarti
menutup kemungkinan luasnya daya cakup yang harus dimiliki ketika
mengonsumsi media. Seperti yang di jelaskan oleh Alverman, Moon dan
Hagood, pemikiran individu dipakasa untuk dapat merespon tiap isi dari
media yang mereka konsumsi agar tidak hanya sekedar mengikuti apa yang
di sajikan oleh media, tetapi memiliki keturutsertaan dalam menilai setiap
aspek informasi yang mereka dapatkan, sehingga ketika ada sebuah
kesalahan seperti pemihakan kepada salah satu pihak, khalayak dapat
memprediksi bagaimana tingkat akurasi penyampaian informasi media
tersebut.
Definisi diatas menunujukkan bahwasannya literasi media merupakan
kemampuan yang dimiliki setiap orang saat berinteraksi dengan media,
berupa kemampuan untuk menggunakan, memahami, menganalisa, dan
memilih, bahkan sampai memproduksi isi media. Kemampuan ini bukanlah
sedemikian rupa sehingga tercapai literasi media yang mumpuni. Ada tiga
komponen penting yang mempengaruhi perkembangan literasi media disatu
negara, yaitu pemerintah, pihak media dan masyarakat.
Literasi media hadir sebagai benteng bagi khalayak agar kritis
terhadap isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari
media. Potter menyebutkan bahwa literasi media diperlukan di tengah
kejenuhan informasi, tingginya terpaan media, dan berbagai permasalahan
dalam informasi tersebut yang mengepung kehidupan kita sehari-hari.
Untuk itu, khalayak harus bisa mengontrol informasi atau pesan yang
diterima. Literasi media memberikan panduan tentang bagaimana
mengambil kontrol atas informasi yang disediakan oleh media. Semakin
media literate seseorang, maka semakin mampu orang tersebut melihat
batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media. Orang
tersebut juga akan mempunyai peta yang lebih jelas untuk membantu
menentukan arah dalam dunia media secara lebih baik. Pendeknya, semakin
media literate seseorang, semakin mampu orang tersebut membangun hidup
yang kita inginkan alih-alih membiarkan media membangun hidup kita
sebagaimana yang media inginkan.
Menurut Hoobs, ia melihat pada apa yang terjadi dengan pesan yang
disampaikan media massa, dan dalam pandangannya, pesan-pesan yang
disampaikan media massa seperti berikut (Iranata,22:2009):
1. Pesan-Pesan yang dikonstruksi.
2. Pesan-pesan media mempresentasikan dunia.
3. Pesan-pesan media memiliki tujuan dan konteks ekonomi politik.
4. Individu membuat makna terhadap pesan media melalui
penafsiran.
Perihal tersebut menggambarkan mengenai bagaimana media
merangkai pemberitaan yang akan di konsumsi oleh masyarakat sehingga
literasi media berfungsi sebagai penyaring akan hal-hal yang di anggap
merugikan.
Literasi media tidak terlepas dari berbagai unsur yang membentuknya
menjadi sebuah bidang pengetahuan. Yayasan pengembangan media anaka
mengemukakan bahwa literasi media harus memiliki beberapa unsur
(Tamburaka,2013:23),yaitu :
1. Khalayak.
2. Pemberdayaan, dan
3. Kritis.
Sejumlah isu yang mengemuka dalam literasi media ada yang muncul
ke permukaan. Menurut Burn dan Durran, yang pertama, bahwa literasi
media adalah sesuatu yang bersifat kultural, dimana masyarakat harus
dilibatkan secara aktif. Kedua, literasi media menyangkut tentang berfikir
kritis. Ketiga, literasi media bersifat kreatif (Nur dan Junaedi,2013:51)
Ada beberapa faktor yang menghambat seperti yang dipaparkan oleh
Buckingham dan Domaile (Iranata,2009:34), bahwa di 52 negara
menunjukan penghambat pengembangan literasi media ini adalah:
1. Konservatisme sistem pendidikan.
2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai
penting untuk dipelajari.
3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yang
melekat (inherent) pada pendidikan media.
Secara umum, literasi media memiliki tiga tujuan pokok, yakni
perbaikan dan peningkatan kehidupan individu-individu, pengajaran (literasi
media perlu dimasukkan dalam kurikulum pendididkan), dan literasi media
sebagai aktivisme dan gerakan sosial (Raharjo,2012:14), sedangkan
Masterman mengatakan bahwa tujuan literasi media yaitu untuk
menghasilkan masyarakat yang well-informed dapat menilai diri mereka
berdasarkan bukti-bukti yang ada. Tujuan literasi media juga di paparkan
oleh The National Leadership Confrence yang mengatakan bahwa tujuan
mendasar dari literasi media adalah otonomi kritikal dalam berhubungan
dengan semua media yang meliputi tanggung jawab sosial, apresiasi dan
ekspektasi estetika, advokasi sosialharga diri, dan kompetisi pengguna.
Masterman berpendapat bahwa tujuan dari literasi media adalah untuk
penilaian mereka sendiri berdasarkan bukti-bukti yang tersedia, bukan
hanya sekedar dari kabar burung yang di dengar. Pendidikan media tidak
berusaha mendesakkan gagasan tentang program-program televisi, surat
kabar, film, atau media sosial yang baik atau buruk.
Potter menekankan bahwa literasi media dibangun dari personal locus,
struktur pengetahuan, dan skill. Personal locus merupakan tujuan dan
kendali kita akan informasi. Ketika kita menyadari akan informasi yang kita
butuhkan, maka kesadaran kita akan menuntun untuk melakukan proses
pemilihan informasi secara lebih cepat, pun sebaliknya. Struktur
pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganisasi dalam
pikiran kita. Dalam literasi media, kita membutuhkan struktur informasi
yang kuat akan efek media, isi media, industri media, dunia nyata, dan diri
kita sendiri. Sementara skill adalah alat yang kita gunakan untuk
meningkatkan kemampuan literasi media kita.
Menurut Potter, terdapat 7 keterampilan (skill) yang dibutuh-kan
untuk meraih kesadaran kritis bermedia melalui literasi media. Ketujuh
keterampilan atau kecakapan tersebut adalah analisis, evaluasi,
pengelompokan, induksi, deduksi, sintesis, dan abstracting. Kemampuan
analisis menuntut kita untuk mengurai pesan yang kita terima ke dalam
elemen-elemen yang berarti. Evaluasi adalah membuat penilaian atas makna
elemen-elemen tersebut. Pengelompokan (grouping) adalah menentukan
elemen-elemen yang memiliki kemiripan dan elemen-elemen yang berbeda
untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda. Induksi
adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokan di atas kemudian
melakukan generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam pesan yang
lebih besar. Deduksi menggunakan prinsip-prinsip umum untuk
menjelaskan sesuatu yang spesifik. Sintesis adalah mengumpulkan
elemen-elemen tersebut menjadi satu struktur baru. Terakhir, abstracting adalah
menciptakan deskripsi yang singkat, jelas, dan akurat untuk
Selain sistem yang bergerak di balik sebuah media, khalayak juga
mesti memahami bagaimana hubungan antara media dengan pihak-pihak
yang bekerja di dalamnya dan bagaimana hubungannya dengan media itu
sendiri. Rosenbaum, Beentjes, dan Konig membuat mapping di mana
literasi media bergerak dalam hubungan antara produser, media, dan user.
Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa media memengaruhi produser
maupun khalayak, pun sebaliknya. Media memengaruhi pikiran produser
tentang produksi media. Sementara produser juga mengonstruksikan isi
media. Media memengaruhi khalayak dalam level sosial dan individual.
Meski demikian, khalayak memiliki kemampuan untuk meng-handle media.
Kemampuan tersebut berkaitan dengan bagaimana memilih media yang
tepat, mengatur penggunaan media, kemampuan untuk memobilisasi media,
dalam keempat hubungan di atas. (12 J. E. Rosenbaum, J. W. J. Beentjes,
R. P. Konig. 2008. Dalam Poerwaningtiyas Intania,dkk:2013 “Model-Model
Gerakan Media Literasi”)
Peneliti menilai bahwa literasi media di Indonesia belumlah mencapai
kata standar, oleh karena pihak pemerintah dan industri media belum secara
maksimal terlibat dan dapat diandalkan dalam mewujudkan literasi media
yang ideal di Indonesia. satu-satunya harapan yang paling realistis dan
strategis adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan tersebut bisa
dilakukan dengan melakukan pendidikan literasi media yang intensif serta
sosialisasi yang massif agar masyarakat paham dan berdaya saat berinteraksi
dengan media. (Mazdalifah, 2017: 9) Adapun elemen-elemen apa saja yang
terdapat dalam suatu aktifitas literasi media.
2.2.2. Elemen – Elemen Literasi Media
Ilmuan media, Art Silverblatt (2001) mengidentifikasikan tujuh
elemen dasar melek media. Kita akan menambahkan satu elemen lagi ke
dalam daftar ini. Melek media meliputi karakteristik berikut ini :
1. Keterampilan berpikir kritis memungkinkan anggota khalayak untuk
mengembangkan penelitian yang independen terhadap isi media.
2. Pemahaman terhadap proses komunikasi massa.
3. Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat.
4. Strategi untuk menganalisisdan mendiskusikan pesan-pesan media.
5. Sebuah kesadaran akan isi media sebagai suatu teks yang menyediakan
wawasan bagi budaya dan kehidupan kita.
6. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media.
7. Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggung
jawab.
8. Pemahaman akan kewajiban etik dan moral para praktisi media.
( Baran J, 2008: 38)
Berikut penjelasan mengenai delapan elemen dalam literasi media:
Pertama, Keterampilan berpikir kritis memungkinkan anggota
media. Berpikir kritis terhadap isi media yang kita serap adalah esensi dasar
melek media. Mengapa kita menonton apa yang kita tonton, membaca apa
yang kita baca, mendengar apa yang kita dengar? Jika kita tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, kita tidak bertanggung jawab terhadap diri kita
sendiri dan pilihan kita. Dengan demikian, kita tidak memiliki tanggung
jawab terhadap hasil semua pilihan tersebut.
Kedua, Pemahaman terhadap proses komunikasi massa. Jika kita
mengetahui komponen-komponen proses komunikasidan keterkaitan
komponen-komponen tersebut, kita dapat membentuk suatu ekspektasi
bagaimana media akan memberikan pelayanan kepada kita. Bagaimanakah
berbagai industri media beroprasi? Apakah kewajiban industri media kepada
kita? Apakah kewajiban industri media kepada khalayak? Bagaimanakah
media membatasi dan mengembangkan pesan-pesannya? Bentuk umpan
balik seperti apakah yang paling efektif dan umpannya?
Ketiga, Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan
masyarakat. Tulisan dan mesin cetak menolong dalam mengubah dunia dan
manusia di dalamnya. Media massa juga melakukan hal yang sama. Jika kita
mengabaikan dampak media dalam hidupkita , kita mengalami resiko
terjebak dan terbawa arus perubahan. Bukannya mengendalikan dan
mengarahkan perubahan tersebut.
Keempat, Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan
pesan-pesan media. Untuk menyerap media massa dengan penuh pemikiran, kita
membutuhkan fondasi yang dapat menjadi dasar pemikiran dan refleksi kita.
Jika kita membentuk suatu makna, kita harus memiliki alat yang dengan alat
tersebut kita menciptakan makna. (sebagai contoh , memahami maksud dan
makna video- seperti sudut pengambilan gambar dan pencahayaan atau
strategi dibalik penempatan foto di halaman surat kabar). Kalau tidak,
makna itu di ciptakan bagi kita: interpretasi media akhirnya akan terletak
pada para pencipta media, bukan pada kita.
Kelima, Sebuah kesadaran akan isi media sebagai suatu teks yang
menyediakan wawasan bagi budaya dan kehidupan kita. Bagaimana
kitamengetahui budaya dan masyarakatnya, sikap, nilai-nilai, keprihatinan,
modren seperti budaya kita, pesan media terus mendominasi komunikasi
tersebut, membentuk pemahaman dan wawasan kita terhadap budaya kita.
Keenam, Kemampuan untuk menikmati memahami, dan menghargai
isi media. Melek media bukan berarti hidup dalam keluhan, tidak menyukai
apapun yang ada dalam media, atau selalu curiga akan dampak yang
membahayakan dan adanya degradasi budaya kita.
Ketujuh, Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan
bertanggung jawab. Kemampuan baca tulis tradisional mengasumsikan
bahwa orang yg dapat membaca berarti dapat menulis.elemen melek media
ini mungkin sekilas tidak terlalu penting. Lagipula jika anda memilih
berkarir di industri media, anda akan mendapatkan sekolah dan pelatihan
ditempat anda hendak bekerja. Namun hampir semua profesi mengunakan
bentuk media sebagai media yang digunakan dalam penyebaran informasi,
presentasi, atau hubungan baik dengan klien.
Kedelapan, Pemahaman akan kewajiban etis dan moral para praktisi
media. Untuk membuat penilaian yang informatif terhadap kinerja media.
Kita juga harus memahami tekanan persaingan yang dialamai para praktisi
media ketika melakukan pekerjaan mereka. Kita harus memahami aturan
resmi dan tidak resmi dalam oprasionalisasi media. Dengan kata lain, kita
harus mengetahui, masing-masing pertanyaan kekerasan yang ada di dalam
lauyar televisi.
Berdasarkan definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita
dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan
media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi media (dalam
arti sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan
yang berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat
awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya
berupa pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial
diberikan oleh media.
Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan
dalam memahami pesan. Kemudian literasi media melahirkan output
kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur
pada level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan
menggalang aksi untuk mengritik media. Literasi media berdasarkan lokasi
kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di
rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
Proses untuk mengidentifikasikan konten media meliputi kognitif,
emosi, estetika dan moral. Dari proses kognitif, khalayak berpikir kritis tentang
konten media massa. Dari segi emosi atau perasaan, khalayak coba untuk peka
apa yang dialami dan dirasakannya terhadap konten media dengan apa yang
dirasakan orang lain pula. Dari segi estetika, khalayak juga mampu melihat
konten media sebagai kretivitas seni dari pembua konten media untuk menarik
perhatian khalayak. Dari segi moral, khalayak dapat melihat konten media
sebagai sebuah makna yang dibuat oleh pembuat pesan, yaitu ada nilai-nilai
moral baik atau buruk yang diberikan.
Literasi media atau melek media harus mengembangkan kemampuan untuk mengembangkan kemampuan khalayak lebih baik secara intelektual yaitu pendidikan literasi media dalam memahami pesan media yang khas. Mengembangkan kemampuan emosi, yaitu merasakan apa yang dirasakan diri sendiri dan orang lain dari suatu pesan media. Mengembangkan kematangan moral dalam kaitannya dengan konsekuensi moralitas bagi setiap orang (Tamburaka, 2013: 13-15).
Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan
mengenai media dan segala hal yang bersangkutn mengenai media itu sendiri,
untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang
seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami
kewajiban-kewajiban praktisi media baik secara etis dan moral.
Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan
mengenai media dan segala hal yang bersangkutan mengenai media itu sendiri,
untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang
seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami
2.2.3. Karakteristik Literasi Media
Potter mencatat sembilan karakteristik dari literasi media, atau
deskripsi tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan
bertindak agar dinilai melek media (Raharjo, 2012:18).
1. Kecakapan dan Informasi merupakan hal yang penting.
2. Literasi media adalah seperangkat perspektif di mana kita mengekspos
diri terhadap media dan mengartikan makna dari pesan-pesan yang
ditemukan.
3. Literasi media harus dikembangkan. No one is born media literate.
4. Literasi media harus bersifat multi dimensi.
5. Literasi media tidak dibatasi pada suatu medium.
6. Orang yang melek media dapat memahami bahwa maksud dari literasi
media yaitu kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya
dan menciptakan makna.
7. Literasi media harus dikaitkan dengan nilai-nilai.
8. Orang yang melek media meningkat terpaan mindfull-nya.
9. Orang yang melek media maupun memahami bahwa literasi media
adalah sebuah kontinum, bukan kategori.
Kecakapan dalam berkomunikasi dalam menerjemahkan informasi
merupakan kemampuan penting yang dimaksud kemampuan untuk
menganalisis mengevaluasi, membuat sintesis, dan ekspresi persuasif. Sisi
yang lain menjelaskan, jika memiliki kecakapan-kecakapan namun tidak
merepresentasikan diri ke dalam pesan-pesan media atau pengalaman dunia
nyata, maka struktur-struktur pengetahuan kita menjadi sangat terbatas dan
tidak seimbang. Industri media, isi media, efek media, dan informasi tentang
media merupakan kawasan utama dari pengetahuan.
Perspektif dibangun dari struktur-struktur pengetahuan. Struktur
pengetahuan akan membentuk landasan untuk bisa melihat fenomena media
yang multi aspek: organisasi, isi, dan efeknya terhadap individu dan
institusi. Semakin banyak struktur pengetahuan yang dimiliki, maka akan
struktur pengetahuan, maka akan semakin banyak konteks yang dimiliki
untuk membantu memahami apa yang dilihat, dan hal tersebut dapat
memperluas perspektif dalam melihat media.
Literasi media merupakan sesuatu yang harus dikembangkan dan tidak
dapat muncul secara langsung dan hal tersebut mempersyaratkan usaha dari
setiap individu. Pengembangan adalah proses jangka panjang yang tidak
pernah berhenti, yakni tidak seorangpun akan mencapai tahapan literasi
yang lengkap. Kecakapan akan dapat selalu dikembangkan dalam tingkatan
yang lebih tinggi. Jika kecakapan tidak diperbaiki secara berkelanjutan,
maka kecakapan yang dimiliki akan menurun (atrophy). Selain itu,
struktur-struktur pengetahuan tidak akan pernah berakhir, karena media dan dunia
nyata secara konstan mengalami perubahan.
Berikutnya yaitu informasi dalam struktur-struktur pengetahuan tidak
dapat dibatasi pada elemen kognitif saja, tapi juga berisi
elemen-elemen emosional, moral dn estetika. Struktur-struktur pengetahuan yang
kuat akan berisi informasi dari empat ranah tersebut. Jika salah satu tipe
informasi hilang, maka struktur pengetahuan menjadi kurang tereleborasi.
Informasi dalam struktur pengetahuan tidak terbatas pada unsur
kognitif saja tetapi juga harus mengandung unsur-unsur emosional, estetika,
dan moral. Empat jenis elemen bekerja sama dimana kombinasi dari
masing-masing ketiga jenis elemen lainnya membantu mememberikan
konteks untuk jenis yang Struktur pengetahuan yang kuat berisi informasi
dari keempat elemen tersebut. Jika ada salah satu jenis informasi yang
hilang, maka struktur pengetahuan itu akan menjadi kurang rinci dari yang
seharusnya. Sebagai contoh, orang-orang yang memiliki struktur
pengetahuan tanpa informasi emosional, akan tetap dapat melakukan
analisis dan mengutip banyak fakta tentang sejarah genre film ketika mereka
menonton film bahkan memahami sudut pandang produsernya. Namun jika
tidak dapat merasakan reaksi emosionalnya, mereka hanya melakukan
Gagasan lama mengenai literasi media hanya dibatasi pada kegiatan
membaca dan lambang-lambang komunikasi yang diakui saja. Literasi
media adalah hal yang luas, yakni mengkonstruksikan makna dari
pengalaman dan konteks ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya.
Menjadi melek media merupakan kemampuan melakukan kontrol terhadap
terpaan media dan mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang
disampaikan oleh media. Ketika orang-orang melakukannya, maka mereka
mengendalikan dengan menentukan apa yang penting dalam hidup mereka
dan menata harapan untuk memperoleh pengalaman dari hal-hal yang
penting. Jika seseorang tidak melakukannya, maka pesan-pesan media akan
melimpah ke dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
Setiap media memiliki karakteristik yang berbeda, misalnya dalam
menggunakan simbol-simbol, cara memandang khalayak, motivasi mereka
dalam melakukan bisnis, dan estetika yang mereka gunakan. Semakin
seseorang mengetahui perbedaan-perbedaan ini, mereka akan semakin dapat
menghargai persamaan dan semakin mereka dapat memahami bahwa pesan
memiliki sifat yang sensitif terhadap medium yang digunakan.
Masterman berpendapat bahwa pendidikan literasi media tidak berusaha
untuk memaksakan nilai-nilai budaya tertentu. Dia melanjutkan, ini tidak
berusaha untuk memaksakan ide-ide tentang apa yang merupakan baik atau
buruk dalam televisi, surat kabar, atau film. Pendapat itu mengandung nilai
tertentu, walau para pendidik literasi media tidak dapat mendefinisikan mana
pesan buruk dan baik, mereka menyiratkan bahwa mengakses media tanpa
berpikir adalah sesuatu yang tidak baik, dan bahwa menafsirkan pesan secara
aktif adalah sesuatu yang masalahnya bukan pada apakah literasi media sarat
nilai atau tidak. Isunya difokuskan pada identifikasi apa nilai-nilai tersebut dan
siapa yang mengontrolnya (indonesia-medialiteracy.net). Seseorang yang
memiliki perspektif yang luas pada fenomena media, memiliki potensi tinggi
untuk bertindak dengan cara seperti orang yang memiliki literasi media yang
tinggi. Kumpulan struktur pengetahuan tidak dengan sendirinya menunjukkan
tingkat literasi media. Orang tersebut harus secara aktif dan penuh kesadaran
pesan media. Dengan demikian, orang-orang yang lebih tinggi tingkat literasi
medianya menghabiskan lebih sedikit waktu untuk memproses pesan secara
Mereka lebih sadar terhadp paparan media dan secara sadar membuat
keputusan tentang penyaringan psan, dan membangun pemaknaan. Ini bukan
berarti bahwa orang-orang yang memiliki tingkat literasi media yang tinggi
tidak menghabiskan banyak waktu dalam pengolahan otomatis. Mereka tetap
melakukannya. Namun demikian, pada saat mereka berada dalam kondisi
otomatis, mereka sedang diatur oleh media.
Literasi media lebih tepat dipandang sebagai sebuah kontinum seperti
informasi yang ditunjukkan dalam termometer, bukan bersifat kategorikal.
dimana ada derajat yang tinggi dan derajat yang rendah. Kita semua menempati
dalam beberapa posisi pada literasi media yang bersifat Tidak ada gunanya
mengatakan bahwa seseorang tidak memiliki literasi media sama sekali, dan
tidak ada titik di ujung yang tinggi dimana kita dapat mengatakan bahwa
seseorang memiliki tingkat literasi media yang sempurna.
2.2.4.Mendongeng Sebagai Alternatif Hiburan yang Sehat
Hiburan sering kita sebut sebagai aktifitas pelepasan rasa jenuh dan
bosan terhadap sesuatu, banyak cara untuk mendapatkan sebuah hiburan.
Bisa berupa berwisata, rekreasi, bermain, bersantai, hingga menonton
televisi. Pengamatan saya menganalisis bahwa faktanya 7 dari 10 warga
Indonesia, terlalu banyak memiliki waktu luang untuk mengakses hiburan
ketimbang waktu produktifitas mereka. Contohnya seorang Ibu rumah
tangga lebih memilih waktu luang untuk sekedar bercerita bersama tetangga
dan mengakses media hiburan menstream, ketimbang melakukan hal yang
produktif seperti menjahit, menenun, ataupun membaca. Faktanya hiburan
yang disuguhkan oleh benda kotak ini, tidak sepenuhnya mendidik dan
sehat.
Hiburan yang sehat dalam pemahamannya yaitu hiburan yang
berisikan maksud dan tujuan tertentu, bersifat mendidik dan berisikan
nilai-nilai ataupun norma yang positif. Sehingga anak ataupun masyarakat yang
Membahas mengenai kegiatan alternatif yang dapat di lakukan oleh
orang tua, bertujuan mengungkap bahwa sebenarnya banyak kegiatan
alternatif yang bisa dilakukan untuk mengurangi intensitas menonton
televisi sang anak itu sendiri. Setelah mereview materi pada beberapa
tinjauan pustaka, peneliti menemukan adanya -kegiatan alternatif yang
biasa dilakukan orang tua dengan anak-anak mereka. Berdasarkan tinjauan
pustaka yang peneliti lakukan, peneliti membagi kegiatan alternatif tersebut
berdasar usia anak-anak, seperti terlihat dalam tabel berikut ini:
(Sumber:
“Ketika Ibu Rumah Tangga membaca Televisi” Josep J. Darmawan,dkk:2010 )
Dalam tabel di atas dapat di katakan kategori anak-anak salah satunya
menjadi alternatif hiburan yang sehat yakni gerakan mendongeng,
mendongeng dalam hal ini menjadi alternatif yang sesuai dan sehat untuk
mendidik anak dari segi komunikasi yang sesuai maupun penyampaian yang
Gerakan mendongeng dewasa ini mulai terlihat meski tak kasat mata
di berbagai belahan Indonesia untuk mendorong anak agar tak mudah
tergerus oleh terpaan media menstream yang begitu derasnya. Aktifitas yang
dilakukan oleh para relawan yang di dirikan dari berbagai latar belakang
masyarakat seperti pendidik, kalangan cendikia, pemuda, hingga tokoh
masyarakat dalam bentuk aktifitas mendongeng ini sangat membantu
anak-anak agar mendapatkan asupan tontonan media yang sehat serta sarat akan
makna.
Berdasarkan pengalaman, baik yang bersifat kelembagaan maupun
individu, serta pemahaman akan literasi media tersebut Yayasan Sahabat
Cahaya merumuskan sebuah program literasi media bertajuk Penyadaran
Masyarakat Kritis Bermedia melalui Komik dan Dongeng. Program ini
dirancang dalam serangkaian kegiatan yang bermula dari pembekalan para
sukarelawan sebelum terjun ke lapangan hingga presentasi temuan-temuan
lapangan berkaitan dengan dampak media ke praktisi media. Program ini
berjalan selama 4 bulan, yaitu antara bulan Mei hingga September 2010
dengan melibatkan berbagai kalangan, mulai dari peneliti media, psikolog
anak, hingga praktisi media. ( Poerwaningtiyas Intania,dkk:2013 “
Model-Model Gerakan Media Literasi”)
Dongeng, seperti dongeng Si Kancil, Si Jubah Merah, Bawang Merah
- Bawang Putih, dan sebagainya, sejak dulu selalu membawa pesan yang
begitu menyentuh, sehingga membentuk kita berperilaku baik. Manfaat
yang didapatkan oleh anakpun sangat banyak, seperti meningkatkan
keterampilan berbicara anak, menambah kosa kata baru kepada mereka,
mengembangkan keterampilan berpikir, meningkatkan minat baca,
meningkatkan imajinitas dan kreativitas, problem solving, mengembangkan
emosional, memperkenalkan nilai-nilai dan norma, memahami budaya baru,
dan masih banyak lagi. (Baca : Balita psikologi 12 manfaat mendongeng
Ayah Bunda, www.ayahbunda.co.id )
Kegiatan dongeng ini hadir dibeberapa kota besar di Indonesia, mulai
yang di dirikan oleh juru dongeng Indonesia yaitu Rona Mentari. Ataupun
Kampung Dongeng yang sudah berada di lebih dari 60 titik di Indonesia
dari Aceh hingga Sulawesi. Kampung Dongeng Indonesia yang di prakarsai
oleh Awam Prakoso, hingga berdiri di kota Medan bahkan keberbagai
ranting di Sumatera Utara. Seperti KADO Binjai, KADO Langkat, hingga
KADO Labuhan.
Sesungguhnya kegiatan kemasyarakatan yang berfokus kepada
bagaimana merubah pola pikir anak, dan cara bermain yang sesuai ini yang
dibawa oleh Komunitas KADO Medan dan Indonesia. Agar bagaimana
anak-anak Indonesia mendapatkan haknya bermain dan belajar sesuai
dengan perkembagan psikologisnya, tidak terkontaminasi dengan arus
perubahan media Menstream yang mengedepankan hiburan ketimbang
pendidikan.
Akhir-akhir ini perkembangan pendidikan literasi media terjadi
pegeseran, dari pencegahan menuju pemberdayaan, dimana masyarakat
akhirnya punya kekuatan untuk mengkonsumsi media dengan cerdas.
Pemberdayaan masyarakat mengandung pengertian sebagai suatu proses
yang berkesinambungan sepanjang komunitas atau masyarakat masih ingin
melakukan perubahan dan perbaikan, dan tidak hanya terpaku pada suatu
program saja.
Hasil penelitian Pungente menunjukkan bahwa salah satu keberhasilan
aktifitas literasi media yaitu menjadikan literasi media sebagai gerakan akar
rumput ( grass root ). Gerakan akar rumput adalah gerakan yang dilakukan
masyarakat di berbagai kalangan seperti : petani, nelayan, pendidik,
pemuda, tokoh masyarakat, kaum cendikia dan sebagainya. Masyarakat di
semua kalangan ini bersama-sama melakukan gerakan literasi media secara
konsisten dan terus menerus. (Mazdalifah, 2017: 31)
Perencanaan komunikasi dalam kerangka yang sangat sederhana
sudah tentu selalu dikaitkan bagaimana menciptakan komunikasi yang
efektif, dalam kerangka yang lebih luas perencanaan komunikasi sangat di
berhasil. Seperti halnya bagaimana cara menyusun perencanaan untuk
membangun media penyiaran televisi di suatu daerah, ataupun bagaimana
cara menyusun perencanaan strategi media literasi yang efektif.
Shina (1972), seorang ahli komunikasi dari India, bahwa banyak
pembangunan di negara berkembang melakukan pembangunan tanpa
memperhitungkan komunikasi sebagai sumber daya perubahan. Karna itu
perencanaan komunikasi di perlukan untuk mendukung proses
pembangunan bangsa, tetapi di suatu sisi negara dan masyarakat jugan di
perlukan untuk membangun komunikasi itu sendiri. Atas pertimbangan
demikian, maka perencanaan komunikasi menjadi hal yang sangat esensial
bagi keberhasilan suatu negara atau organisasi. (Changara.H. 2013 : 43)
Adapun lebih jelas defenisi perencanaan komunikasi ialah proses
pengalokasian sumber daya komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Sumber daya tersebut tidak hanya mencakup media massa atau komunikasi
antar pribadi, tetapi juga setiap aktivitas yang di rancang untuk mengubah
prilaku dan menciptakan keterampilan-keterampilan di antara individu dan
kelompok dalam lingkup tugas-tugas yang di berikan oleh organisasi. (John
Middelton,19978 dalam H. Changara 2013 : 45)
Mendongeng adalah proses komunikasi yang membantu kita
bagaimana menyampaikan sebuah pesan yang kita bawakan konsisten
dengan target sasaran. Perencanaan organisasi maupun cara menyampaikan
pesan kepada audience sangat penting bagi kesuksesan suatu organisasi atau
lembaga, Kampung Dongeng Medan telah menerapkan perencanaa
komunikasi ini bagai mana mereka menyampaikan pesan-pesan positif lewat
cara yang unik seperti mimik, intonasi suara, dan gerak tubuh. Hal ini
dilakukan agar anak lebih tertarik dan mudah untuk menyerap pesan-pesan
yang di sampaikan.
2.3 Kerangka Pemikiran.
Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala
yang menjadi objek permasalahan kita. Kerangka ini disusun berdasarkan tinjauan
pustaka dan hasil penelitian yang relevan (Usman & Akbar, 2009:34). Dalam