BAB III
ASOSIASI PEDAGANG BUKU
3.1 Peran Asosiasi Pedagang
Asosiasi adalah persatuan antara rekan usaha atau persekutuan dagang
yang mempunyai kepentingan bersama13. Menurut Menurut Herskovtis (dalam
Prof Harsojo 217:1988) Asosiasi bebas yang tidak dibangun atas dasar
kekerabatan, meliputi berbagai bentuk pengelompokan berdasarkan seks, umur
dan dalam arti yang lebih luas, strukur sosial itu juga meliputi relasi sosial yang
mempunyai karakter politik berdasarkan atas daerah tempat tinggal dan status.
Harsojo (1988:114) Hidup dalam bermasyarakat berarti
mengorganisasikan berbagai kepentingan, kebutuhan para individu serta
pengaturan sikap manusia yang satu terhadap yang lain dan pemusatan manusia
dalam kelompok tertentu untuk melakukan tindakan bersama. Relasi sosial yang
timbul dari hidup bermasyarakat itu dapat kita lihat sebagai suatu rencana atau
sistem yang dapat disebut struktur sosial. Jadi strukur sosial suatu masyarakat
manusia meliputi berbagai tipe kelompok atau asosiasi dan institusi dalam mana
orang banyak itu mengambil bagian. Dengan perkataan lain asosiasi
sesungguhnya adalah kelompok yang diorganisasikan. Kriteria organisasi yang
menjadi ciri asosiasi adalah:
1. Mempunyai tujuan dan fungsi yang jelas dan tertentu.
2. Ada norma asosiasi.
4. Ada otoritas.
5. Percobaan menjadi anggota atau ada sistem calon anggota.
6. Ada sistem hak milik
7. Mempunyai nama atau lambang identitas.
Fungsi asosiasi adalah:
1. Asosiasi dibentuk untuk melakukan tujuan tertentu seperti misalnya
tujuan politik, ekonomi sosial dan kebudyaan.
2. Sering juga bahwa suatu asosiasi mempunyai lebih dari satu fungsi
Dalam kasus pedagang buku bekas Lapangan Medeka terdapat dua
asosiasi yang menaungi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka, yakni asosiasi
pedagang buku bekas Lapangan Merdeka dan persatuan pedagang buku bekas
Lapangan Merdeka. Masing masing organisasi ini memeiliki peran dan fungsi
sendiri terhadap anggotanya dalam hal menyikapi kebijakan relokasi Pemko
Medan.
3.1.1 Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapanagan Merdeka (ASPEBLAM) Asosiasi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka adalah salah satu
asosiasi pedagang buku yang menaungi pedagang buku bekas disisi timur
Lapangan Merdeka, ASPEBLAM adalah suatu asosiasi pedagang buku yang
sepakat direlokasi kejalan penggadaian, pada saat penggusuran pedagang buku
sisi timur Lapangan Merdeka berlangsung, seluruh anggota ASPEBLAM
dikoordinir oleh pengurus untuk tidak ikut melakukan perlawanan dengan
memindahkannya kekios yang sudah disediakan dijalan penggadaian. Menurut
Donald, Ketua Aspeblam:
“Kami asosiasi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM) sepakat untuk direlokasi kejalan penggadaian, saya selagi ketua mempertimbangkan hal ini dengan anggota saya dan mempunyai kesepakatan untuk bersedia direlokasi dengan landasan asosiasi pedagang buku bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM) percaya akan kebijakan dari pemerintahan Kota Medan merelokasi pedagang buku ke Jalan Penggadaian untuk kepentingan dan kebaikan pedagang buku. Kami berpikir bahwasannya mereka yang lebih paham tentang kebijakan atau memang bidang mereka bicara tentang kebijakan, kami pedagang buku tidak tau menau akan persoalan kebujakan pemerintahan Kota Medan, kalau misalnya kami melawan dan menolak untuk direlokasi pastilah kebijakan dari Pemerintahan Kota Medan tidak bisa digugat lagi”.
3.1.2 Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)
Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) adalah
salah satu Asosiasi Pedagang Buku yang menaungi pedagang buku bekas sisi
timur Lapangan Merdeka P2BLM berperan sebagai wadah atau tempat berkumpul
pedagang buku untuk melakukan konsolidasi atau tempat pedagang melakukan
diskusi antar sesama pedagang. P2BLM juga salah satu asosiasi pedagang buku
bekas yang menolak direlokasi ke Jalan Penggadaian, P2BLM sepakat untuk
melakukan suatu gerakan perlawan sampai tuntutan mereka terhadap
Pemerintahan Kota Medan direalisasikan.
P2BLM selalu melakukan kegiatan yang bersinggungan dengan penolakan
mereka ke Jalan Penggadaian, beberapa kali melakukan aksi demonstrasi seperti
aksi jalan dari stasiun kereta api menuju ke Kantor Walikota Medan dan DPRD
bahkan tidak hanya sekali, tapi sampai berkali-kali mereka melakukan aksi itu,
organisasi mahasiswa sekota Medan. Setiap melakukan agenda konsolidasi
P2BLM selalu mengundang LSM yang bergerak dibidang Hukum dan Ham
seperti KontraS Sumut dan pernah juga mengundang Komnas HAM untuk
meminta bantuan mewujudkan aspirasi dari Persatuan Pedagang buku Bekas
Lapangan Merdeka. Senan mengatakan:
”Kami membentuk P2BLM sebagai wadah agar perjuangan dalam menolak relokasi bisa dilakukan secara teroganisir, jadi pedagang buku yang tidak sepakat direlokasi ke Jalan Penggadaian tidak berjuang sendiri-sendiri untuk mewujudkan haknya karena kami mempunyai tujuan yang sama untuk tidak direlokasi ke Jalan Penggadaian, maka para pedagang sepakat untuk membentuk
P2BLM”.
Hal ini sama seperti yang dikatakan R. Firth. Asosiasi dibentuk untuk
melakukan tujuan tertentu seperti misalnya tujuan politik, ekonomi sosial dan
kebudyaan14. Jadi terbentuknya P2BLM atas dari kesadaran dan tujuan bersama
antar pedagang buku yang tidak sepakat kebijakan Pemerintahan Kota Medan
merelokasi pedagang buku.
3.2 Dualisme Asosiasi Pedagang
Pedagang buku pada saat berjualan di Titi Gantung memiliki paguyuban
sesama pedagang buku bekas yaitu Asosiasi Pedagang Buku Bekas. Asosiasi
tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan perlawanan menolak relokasi
dari Titi Gantung ke sisi Timur Lapangan Merdeka. Pedagang buku direlokasi
dikarenakan Titi Gantung merupakan cagar budaya Kota Medan yang harus dijaga
dan dilestarikan keindahannya.
14
Mendengar adanya rencana Pemko Medan akan kembali merelokasi,
pedagang buku bekas akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi pedagang
buku bekas yaitu Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka
(ASPEBLAM). ASPEBLAM dibentuk juga berdasarkan paguyuban yang berasal
dari Titi Gantung dan merubah nama karena lokasinya yang juga sudah berbeda
yaitu di sisi timur Lapangan Merdeka. Pedagang menolak direlokasi dengan
alasan Jalan Mandala by Pass bukan merupakan pusat inti Kota Medan dan
lokasinya sangat jauh yang dikhawatirkan akan menurunkan omset penjualan
buku bekas. Sainan mengatakan:
“Di tahun 2012 itu ada respon dari Pemko Medan untuk merelokasi kami ke Jalan Mandala by Pass, kami tidak menerima relokasi tersebut. Sejak itulah kami pedagang buku melakukan musyawarah dan rembukan untuk membentuk kelompok pedagang buku yang namanya ASPEBLAM yaitu, Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Medan. Itu terbentuk karena adanya Pemko Medan mau merelokasi kami ke Jalan Mandala. Tujuan dibentuknya ASPEBLAM yang itu untuk melakukan satu penelitian maksud dan tujuan Pemko Medan merelokasi apakah itu menguntungkan
pedagang atau tidak”.
ASPEBLAM adalah organisasi yang dibentuk oleh pedagang buku bekas
untuk menolak relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Medan dan
memiliki tugas untuk melakukan kajian apakah relokasi tersebut menguntungkan
pihak pedagang atau tidak. Keinginan semua pedagang pada saat akan direlokasi
yaitu, mengambil komitmen untuk tetap bertahan disisi timur Lapangan Merdeka.
Hal ini disepakati pada rapat pedagang buku di Parapat. Hasil rapat
tersebut memutuskan bahwa pedagang buku akan bertahan dan menolak relokasi
oleh Pemko Medan. Alasan pedagang menolak adalah lokasi tersebut kurang
karena lahan tersebut merupakan lahan PT. KAI, bukan aset dari Pemko Medan.
Ada kemungkinan kios tersebut menggunakan sistem sewa dan pedagang
dibebankan untuk membayar uang sewa kios sebesar Rp. 850 ribu per tahun.
Setelah mendapatkan hasil keputusan hasil rapat di Parapat, para pedagang
yang awalnya menolak relokasi ketika berada di Medan pengurus menyetujui
untuk direlokasi tanpa memberitahukan kepada anggota pedagang buku bekas
lainnya. Dengan alasan pedagang buku harus mengikuti aturan Pemko Medan.
Karena hal ini sesuai dengan aspirasi anggota ASPEBLAM dan lokasi tempat
yang akan digunakan sudah representatif serta Pemko Medan menyetujui hal
tersebut. Ukuran kios 2x2 meter lebih besar dibandingkan di Lapangan Merdeka.
Ukuran tempat dan lokasi usaha sejajar, berbeda dengan yang ada di Lapangan
Merdeka, kios ada yang bertempat dibelakang dan ada yang berada didepan.
Kesepakatan syarat yang diajukan pengurus adalah :
1) Biaya relokasi dan pembangunan kios di lokasi baru ditanggung oleh
Pemko Medan atau pihak yang ditunjuk Pemko.
2) Perpindahan dilaksanakan secara bersamaan.
3) Lokasi baru bagi pedagang harus sah secara hukum.
Usulan dan syarat disepakati oleh Pemko Medan dan Dinas Perumahan
dan Permukiman agar menyiapkan dengan segera alas hukum lokasi yang akan
ditempati pedagang buku bekas. Kebijakan pengurus yang awalnya menolak dan
tiba-tiba sepakat untuk pindah mulai menimbulkan kecurigaan dan kekecewaan
dari beberapa pedagang buku karena telah mengingkari hasil keputusan dirapat.
Berdasarkan penuturan Bapak Fadli Syahputra sebagai berikut :
pengurus sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah jadi kita harus mengikuti pemerintah, kita awalnya bertahan nah kenapa tiba-tiba jadi kita setuju sama relokasi itu, awalnya disinyalir adalah sesuatu yang tidak bisa kita pastikan. Yang jelas komitmen itu berubah dari awalnya bertahan hingga setuju untuk pindah”.
Kesepakatan tersebut ternyata hanya janji-janji belaka, karena Pemko
Medan dianggap mengingkari hasil kesepakatan dengan pedagang. Hal tersebut
dikarenakan tidak kunjung jelas alas hukum lokasi kios yang akan dipakai dan
sudah diberi surat pemberitahuan untuk mengosongkan kios. Hal ini menimbulkan
amarah dan kekecewaan pedagang. Realisasi dari kekecewaan pedagang buku
untuk kembali menolak relokasi yaitu, adanya aksi turun ke jalan dan melakukan
demonstrasi. Aksi tersebut diikuti oleh pedagang buku, agar aspirasi mereka
didengarkan pedagang memblokir Jalan. Stasiun, seputaran Lapangan Merdeka,
Medan. Aksi ini dengan membakar ban bekas serta kayu untuk dibakar. Aksi ini
untuk menolak relokasi ke Jl. Pegadaian dan segera membuat alas hukum bagi
pedagang jika akan di relokasi.
Kecurigaan dan ketidak percayaan anggota terhadap pengurus memuncak
dengan adanya rencana Pemko Medan untuk membangun pondasi di lapangan
merdeka. Bangunan pondasi tersebut harus menghancurkan tempat pedagang
sebanyak 20 kios. Pengurus pada saat itu menyepakati hak tersebut dengan syarat
perusahaan pengembang menyatakan akan membayar ganti rugi biaya harian yaitu
sebesar Rp.50.000, - (lima puluh ribu rupiah) perhari kepada 20 pedagang yang
kiosnya akan dirusak dan apabila pada tanggal tersebut pelaksanaan pembangunan
tersebut sebanyak 10 kali lipat dari biaya harian yang telah disepakati yaitu
menjadi Rp.500.000, - (lima ratus ribu rupiah) per hari.
Namun, para pedagang 20 kios tersebut hanya menerima biaya harian
selama 21 hari sebanyak Rp. 700.000, (tujuh ratus ribu rupiah) yaitu 19 Desember
2012 s/d 10 Januari 2013, selebihnya yaitu sampai dengan Maret 2013 para
pedagang ini tidak lagi menerima uang harian tersebut. Sampai dengan 18 Maret
2013 dan lokasi berjualan mereka belum kunjung selesai juga dibangun di Jalan
Pegadaian serta alas hukum yang belum jelas. Hal ini berdasarkan penuturan dari
Bapak M. Hasrah Siregar yang kiosnya termasuk dihancurkan di awal
menyatakan :
“Awalnya 20 kios ini akan dijanjikan dengan ganti rugi Rp.50.000 per hari oleh pihak developer (pengembang) dan dibantu oleh kepengurusan masa itu. Alasan kami untuk meminta ganti rugi ya mau makan apa kami, belum lagi anak, istri kami, kalo cuman segitunya pendapatan kami. Maka dari itu, kami terima kios kami dihancurkan dengan catatan, apabila sampai dengan 21 hari kios kami belum selesai dan seluruh pedagang belum juga pindah maka ganti ruginya 10 kali lipat per hari jadi nya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per hari. Logikanya kan gini gak mungkin kami bisa cari makan di pegadaian 20 kios ini sedangkan yang rame itu di masih di Lapangan Merdeka”.
Pedagang yang 20 kiosnya dihancurkan mengadukan nasib mereka kepada
pengurus, tetapi tidak direspon dengan baik. Pedagang dijanjikan oleh pengurus
apabila dalam jangka waktu yang dekat tidak juga dibayar maka pedagang buku
akan melakukan demonstrasi. Hal itu tidak kunjung terjadi, tuntutan ganti rugi
pedagang buku berlalu begitu saja tanpa ada kejelasan dari pihak pengembang.
Berdasarkan kejadian tersebut memicu pedagang buku untuk membuat organisasi
baru, karena merasa aspirasi mereka sudah tidak didengarkan lagi oleh pengurus
Deli dengan diam-diam tanpa diketahui oleh pengurus ASPEBLAM. Kondisi ini
sesuai dengan pernyataan Bapak Didi Siswanto yang mengatakan bahwa :
“Pengurus ASPEBLAM ini udah gak betul, karena udah melanggar kesepakatan yang ada di ASPEBLAM itu. Berarti ini ada udang di balik peyek kan gitu istilahnya kan pada saat itulah kami dan kawan-kawan yang tidak sepaham dengan aspeblam mengadakan pertemuan di Taman Sri Deli dengan tujuan membicarakan ketidak setujuan kami dengan keputusan ASPEBLAM tadi. Itulah awal mulanya terbentuk (Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan
Merdeka) P2BLM”.
Kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan Balridge sebagai fase
pragerakan (premovement stage). Pedagang buku sebagai individu merasakan
adanya tekanan struktur dari Pemko Medan dan dari pengurus ASPEBLAM agar
segera setuju untuk direlokasi. Fase pragerakan ditandai dengan berkumpulnya
beberapa pedagang yang memiliki minat yang sama untuk berkumpul, yang
merasakan kebencian, diskriminasi dan membentuk organisasi P2BLM sebagai
awal gerakan. Terdapat dua penyebab terbentuknya Persatuan Pedagang Buku
Bekas Lapangan Merdeka yaitu :
1) Kecewa dengan kebijakan pengurus ASPEBLAM yang menyetujui
relokasi ke Jalan Pegadaian, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun,
serta mengingkari hasil rapat di Parapat.
2) Anggota menganggap pengurus tidak bertanggung jawab atas ganti rugi
terhadap penghancuran 20 kios awal yang diperuntukkan untuk pondasi
awal sky bridge.
3) Anggota pedagang buku ingin tetap berjualan di sisi timur Lapangan
Merdeka.
pengurus untuk mengakomodir suara anggota pedagang buku. Berikut kutipan
pernyataan beliau:
“Pengurus selalu mengambil keputusan sendiri, tidak ada kompromi dengan anggota. Pengurus semacam punya ambisi dan membodohi anggota yang lainnya. Seharusnya setiap dia ketemu dengan siapapun kalo mengambil suatu keputusan dan lain-lain mereka tidak berhak mengambil keputusan sendiri, harus melalui keputusan anggota kalau sudah keputusan anggota kan berarti keputusan yang akurat. ketidak cocokan pemikiran itu yang membuat kita pecah, karena sebenarnya yang anggota mau bagaimana organisasi ini berjalan dengan prosedur yang ada tanpa ada embel-embel dan maksud tertentu. Karena ada keganjalan-keganjalan dalam organisasi itu maka kami memisahkan diri. Karena kita positif kalau kita lihat (pengurus) keluar jalur kita lebih bagus membangun organisasi yang baru dari hati ke hati bukan dari ambisi. Tidak ada kecocokan pengurus dan anggota lainnya. Dibentuknya P2BLM itu adalah wadah yang betul-betul menjalankan wadah organisasi itu yang sebenarnya”.
Karena tidak adanya kepercayaan anggota ASPEBLAM kepada Pengurus
ASPEBLAM maka dengan kesadaran pedagagang buku yang tidak sepakat
dengan kebijakan ASPEBLAM membentuk suatu organisasi yaitu Serikat
Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (SP2BLM).
3.3 Konflik Antar Asosiasi
Munculnya dualisme pedagang (ASPEBLAM dan P2BLM) menyebabkan
konflik antara 2 asosiasi pedagang. Konflik ini berawal dari kebijakan Pemko
Medan yang ingin merelokasi pedagang buku dari sisi timur Lapangan Merdeka
ke Jalan Pengadaian dikarenakan sisi timur Lapangan Merdeka akan dijadikan
lahan parkir dan dibangun skybridge15. Hal inilah yang menjadi akar konflik
antara ASPEBLAM dan P2BLM.
15
Dari awal terbentuknya P2BLM ini adalah salah satu langkah kongkrit
sebuah perlawanan yang dilakukan P2BLM terhadap ASPEBLAM, Yang dari
awalnya pedagang buku hanya dinaungi satu asosiasi ini menjadi terpecah
menjadi dua kubu, P2BLM asosiasi pedagang yg komitmen menolak untuk
direlokasi ke Jalan Pengadaian, sedangkan ASPEBLAM asosiasi yang bersedia
untuk direlokasi. Bisa ditarik kesimpulan dua ideologi yang berbeda inilah yang
menyebabkan dua asosiasi ini berseteru dalam hal apapun, hal ini sama yg
dikatakan menurut Fisher et al. (2000) adalah hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan,
konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat
kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan
pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan dan sering
menghasilkan situasi yang lebih baik sebagaian besar atau semua pihak yang
terlibat.
Konflik ini berdampak sampai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para
pedagang buku, misalnya P2BLM melakukan aksi untuk Pemko Medan segera
merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan P2BLM, disisi lain ASPEBLAM
hanya melihat aksi P2BLM dan tidak ikut terlibat melainkan ada dari beberapa
individu yang dikatakan oleh Fadly :
sebagai sahabatnya pemko medan yg artinya mereka juga jadi lawan
kami”.
Disisi lain penulis melihat suatu pandangan yang sama terhadap
ASPEBLAM pada saat ASPEBLAM melakukan suatu kegiatan maka sebaliknya
juga seperti itu P2BLM mengolok-ngolok ASPEBLAM seperti dua sisi mata uang
yang berbeda tapi mempunyai satu fungsi yg sama, Yusuf mengatakan:
“Pada saat ASPEBLAM melalukan pengemasan buku dikios sisi timur lapangan merdeka atau membereskan buku mau pindah ke jalan penggadaian anggota P2BLM yang ada ditempat mencibir ASPEBLAM sering kali terdengar kata-kata pedagang penghianat, penjilat pemerintah, padahal kami menganggap kebijakan pemerintah tidak bisa diganggu gugat lagi, karena keputusan pemerintah mereka yg lebih tau atau lebih paham. Lagi pula pastilah kebijakan mereloksi pedagang buku pastinya sudah dipertimbangan dengan
matang-matang relokasi ini pasti untuk kebaikan pedaganng buku juga”.
Dan konflik ini berkelanjutan sampai sekarang seperti beranggapan bahwa
masing-masing asosiasi adalah asosiasi yang paling benar menurut pandangan
para pedagang yang ada diasosiasi masing-masing asosiasi. Hal ini berdampak
buruk terhadap P2BLM yg menolak direlokasi dengan adanya perpecahan antara
dua pedagang buku pastilah Pemerintahan Kota Medan mempunyai pemahaman
berbeda lagi dengan menanggapi perpecahan ini, dari Dinas Perumahan dan
Pemukiman, Mukhyar, mengatakan:
“Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu, semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama
Sainan”.
Melihat pandangan Pemerintahan Kota Medan seperti ini wajar saja
“Pemerintah khususnya Pemerintahan Kota Medan seharusnya bijak dalam menanggapi pedagang buku, mereka yang seharusnya mengayomi masyarakat bukan sebaliknya menjadi akar konflik dari pedagang buku, karena P2BLM menolak direlokasi kami dianggap seperti penghalang bagi Pemko Medan untuk merealisasikan pekerjaan mereka. Pada hal kami cuma ingin hak kami sebagai pedagang buku diberikan tempat yang layak dan pemerintah harus menanggung jawapinya bukan asal gusur dan relokasi saja, kami pedagang juga punya hak untuk hidup disini”.
Pemerintah adalah simbol dari cerminan suatu negara. Pemerintah
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang besar terhadap kesejahteraan
rakyatnya, hal ini sangatlah jauh dari apa yang diharapkan oleh P2BLM,
Pemerintahan Kota Medan yang seharusnya menjadi suatu lembaga yang
mengayomi pedagang buku, ini menjadi suatu akar konflik dari perseturuan antara
ASPEBLAM dan P2BLM. Pemerintah Kota Medan seharusnya menanggapi hal
ini secara bijak mereka seharusnya hadir sebagai wadah penengah (seharusnya)
tapi melihat apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Medan, Pemerintahan
Kota Medan seperti tidak perduli dengan kondisi konflik yang terjadi antara
ASPEBLAM dan P2BLM. Pemerintahan Kota Medan seperti membuangkan
masalah ini terhadap pedagang buku. Sederhananya saya mengatakan bahwa
Pemko membuang “bola panas” kepada ASPEBLAM dan P2BLM dan mereka
tidak mau terlibat konflik dari pedagang buku seperti buang badan padahal
mereka yang menimbulkan konflik yang terjadi terhadap ASPEBLAM dan
P2BLM.
3.4 Kondisi Pasca Kebijakan Revitalisasi
Kondisi pasca perjanjian antara Pemerintahan Kota Medan dengan para
Karena dari awal saja Pemerintahan Kota Medan seperti melemparkan bola panas
ke padagang buku mengambil sikap tidak perduli terhadap permasalahan antar
sesama pedagang dan lebih parahnya lagi Pemerintahan Kota Medan adalah akar
konflik kesesama pedagang buku karena kebijakannya merelokasi pedagang buku
banyak yang menolak dengan anggapan tidak berpihak ke pedagang buku, pasca
merelokasi pedagang buku Pemerintahan Kota Medan akhirnya menyepakati dan
merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan pedagang buku membangun kembali
kios pedagang buku disisi timur Lapangan Merdeka dan informasi ini disambut
dengan rasa yang sangat gembira P2BLM karena hampir selama dua tahun
lamanya perjuangan P2BLM yang menghabiskan banyak waktu, tenaga dan
materi sudah terbalaskan dengan direalisasikan apa yang menjadi tuntutan mereka
seperti apa yang dikatakan Frans:
“Saya sangat senang dengan disepakati dan kemudian direalisasikan oleh pemerintahan kota medan apa yang menjadi tuntutan kami P2BLM dengan didirikanya kembali kios pedagang buku disisi timur lapangan merdeka, ini menjadi sebuah balasan yang sangat adil bgai P2BLM, selama lebih kurang dua tahun lamanya kami berjuang untuk menolak direlokasi dan meminta kepada pemko medan untuk membangun kembali kios pedagang buku disisi timur lapangan merdeka akhirnya terjadi juga, kami P2BLM pun sudah tidak was-was lagi mencari pekerjaan baru, tidak pusing lagi memikirkan mau makan apa anak-anak pedagang buku ini, memikirkan biaya sekolah yg mahal bagaimanalah nasib anak kami kalau kami tidak berjualan lagi, tapi memang betul tidak ada perjuangan yang sia-sia selama niatan kita baik, pasti ada aja jalannya
untuk diberikan kebaikan”.
Hal ini sama seperti apa yang dikatakan oleh Turner dan Killian dalam
Suryadi (2007) mendefinisikan gerakan sosial secara luas sebagai suatu usaha
bersama untuk meningkatkan suatu penentangan perubahan dalam masyarakat
berhasil memainkan perannya dengan mendominasi dan mengawal relokasi
pedagang buku sisi timur Lapangan Merdeka sampai tujuan mereka tercapai.
Karena adanya kesepakatan perjanjian dengan Pemerintahan Kota Medan
dan direalisasikannya bangunan kios pedagang buku disisi timur Lapangan
Merdeka maka P2BLM tidak melakukan sikap perlawanan lagi dengan
Pemerintahan Kota Medan. Mereka hanya tinggal mengawal kinerja Pemerintah
Kota Medan untuk segera menyelesaikan bangunan kios pedagang buku, namun
hal ini ternyata tak semudah apa yang dibayangkan P2BLM, setelah pihak
P2BLM mempertanyakan terkait bangunan kios pedagang buku sisi timur
Lapangan Merdeka, Pemerintahan Kota Medan melakukan konfirmasi ke
pedagang buku. Pada saat itu Pemerintahan Kota Medan mengatakan hanya
bersedia membangun kios pedagang buku berjumlah 180 kios. Seperti apa yang
dikatakan bapak Gunawan:
“Pemerintahan Kota Medan akan merevitalisasi pedagang buku dengan membangun kios pedagang buku sisi timur Lapangan Merdeka berjumlah 180 kios. Jumlah kios yang dibangun Pemerintahan Kota Medan sesuai dengan jumlah para pedagang pemilik kios yang terdaftar di Pemerintahan Kota Medan, dan Pemerintah Kota Medan juga membangun fasilitas lainya seperti
mushola dan kamar mandi”.
Revitalisasi memang sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab
Pemerintahan Kota Medan terhadap pedagang buku, tapi akan lebih baik lagi
ketika Pemerintah Kota Medan lebih bijak dalam menanggapi suatu kondisi
misalnya langsung mengambil sikap akan merevitalisasi pedagang buku sisi timur
Lapangan Merdeka dan menyelesaikan konflik yang terjadi antara ASPEBLAM
3.4.1 Perspektif ASPEBLAM Pasca Revitalisasi
Revitalisasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Medan sangatlah
menguntungkaan bagi pedagang buku (ASPEBLAM). Pedagang buku
(ASPEBLAM) berjumalah 120 pedagang dan secara keseluruhan pedagang buku
(ASPEBLAM) adalah pemilik kios, artinya secara keseluruhan pedagang buku
(ASPEBLAM) mempunyai hak kepemilikan kios disisi timur Lapangan Merdeka
setiap individunya. Dari awal pedagang buku (ASPEBLAM) mempercayai
kebijakan Pemerintah Kota Medan, ASPEBLAM meyakini apa yang dilakukan
oleh Pemerintah Kota Medan pastilah mempunyai pertimbangan yang matang dan
tentunya untuk kepentingan bersama, Donald mengatakan:
“Apa yang dilakukan oleh Pemko Medan tentang relokasi dan revitalisasi adalah kebijakan yang sangat bijak. Dari awal ASPEBLAM mempercayai kebijakan yang dilakukan oleh Pemko Medan terkait pedagang buku pasti untuk kepentingan bersama, sudah terbukti sekarang ASPEBLAM tidak pernah menolak direlokasi ke pengadaian toh Pemko Medan merevitalisasi juga, P2BLM itu ribut supaya dapet kiosnya orang itu. Orang itukan gak semuanya pemilik kios, mana semua orang itu terdaftar di Pemko Medan, sibuk berjuang sama-sama diri sendiri aja selamat uda syukur. Kami dikios yang baru gak mau diganggu gugat, prosedurnya kan sudah ada, pedagang yang terdaftar di Pemko Medan yang berhak memiliki kios, kan sudah jelas ASPEBLAM dapet 120 kios dari 180 kios yang dibangun disisi timur Lapangan Merdeka, orang itu yang gak dapat ya orang itulah yg berurusan dengan Pemko Medan, jangan diganggu-ganggunya kios kami ASPEBLAM”.
ASPEBLAM sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Pemko
Medan. Revitalisasi adalah bentuk kongkrit Pemko Medan untuk
memperjuangkan rakyatnya dan tetap menjaga cagar budaya Kota Medan, karena
3.4.2 Perspektif P2BLM Pasca Revitalisasi
Revitalisasi sangat dikecewakan oleh pihak dari P2BLM, karena kalau
dijumlahkan pedagang buku ASPEBLAM dan P2BLM itu berjumlah 244 orang.
Sementara jumlah pedagang buku yang ada di P2BLM berjumlah 124 orang. Dari
124 orang itu tidak semuanya pedagang buku terdaftar di Pemko Medan, karena
dari 124 hanya 80 orang yang terdaftar di Pemerintahan Kota Medan. 124
pedagang buku yang ada di P2BLM terdiri dari pemilik kios, penyewa kios dan
agen buku. Sementara pedagang yang ada di ASPEBLAM adalah pedagang yang
secara keseluruhan pemilik kios dan tentunya sudah pasti pedagang buku
ASPEBLAM terdaftar di Pemerintahan Kota Medan.
Revitalisasi yang dilakukan Pemerintahan Kota Medan menjadi babak
baru yang menimbulkan pergesekan atau konflik baru antara P2BLM dan
SP2BLM. Konflik babak baru ini bukan pertarungan berbeda ideologi lagi seperti
yang penulis jelaskan sebelumnya, bukan lagi perbedaan pandangan antara
pedagang yang sepakat melakukan relokasi dan tidak sepakat atau menolak
relokasi, tapi melainkan pergesekan atau konflik yang diakibatkan merebutkan
kios yang telah dibangun oleh Pemerintahan Kota Medan, P2BLM dalam
pandangannya revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Medan sudah benar
namun dari beberapa anggota P2BLM sangat mengecawakan, seperti apa yang
dikatakan Benuk:
untuk direlokasi kami berjuang melawan Kota Medan orang itu jualan, coba pikirkanlah hampir dua tahun orang awak berjuang orang itu enak-enak jualan, orang itu yang dapat kede (kios)”.
Pemko Medan seharusnya mempertimbangkan juga pedagang buku yang
berjuang untuk berjualan kembali disisi timur Lapangan Merdeka, karena mereka
juga salah satu cagar budaya yang ada di Kota Medan. Kehadiran mereka
sangatlah berperan terhadap masyarakat menegah kebawah untuk meraih
pendidikan murah, dimana lagi masyarakat Kota Medan dapat pendidikan yang
BAB IV
PERJUANGAN ASOSIASI DAN PEDAGANG BUKU
4.1 Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Pedagang Buku
Pemerintah Kota (Pemko) Medan merelokasi pedagang buku yang masih
bertahan disisi timur Lapangan Merdeka. Hal ini dilakukan untuk melanjutkan
pembangunan Sky Bridge yang sudah terlantar hampir satu tahun, dimana Sky
Bridge akan menjadi penghubung antara lokasi parkir dengan City Check In yang
terletak di Stasiun Kereta Api Medan. Pemko mengatakan “Sky Bridge itu kan
proyek dan kepentingan nasional, jadi harus diutamakan, relokasi pedagang buku
adalah harga mati”.
Dampak dari pembangunan City Check In ini, bakal menggusur para
pedagang buku yang berdagang di Lapangan Merdeka Medan dengan alasan
pembangunan nasional. Dengan alasan pembangunan para pedagang buku dipaksa
direlokasi menuju Jalan Pegadaian. Pembangunan ini dilaksanakan berkaitan
dengan adanya proyek pembangunan jalur Kereta Api ke Bandara Kuala Namu
termasuk adanya proyek jalan tol. Program pembangunan ini tepat berada pada
lokasi berjualan pedagang buku bekas disisi Timur Lapangan Merdeka. Lokasi
sisi timur Lapangan Merdeka tersebut dekat dengan lokasi stasiun Kereta Api
Medan, maka sudah dipastikan dibutuhkan lahan parkir yang luas.
Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Pemukiman dan
Perumahan sebagai pelaksana teknis berencana merelokasi kembali pedagang
buku bekas dan buku murah disisi Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan
proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir yang akan terintegrasi dengan
Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini menggunakan lahan dengan panjang 244
meter dan lebar 39 meter yang saat itu masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini
seperti yang dikatakan Pak Chairul Abidin dari Dinas Perumahan dan
Permukiman Kota Medan :
“Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu salah satu alternatif roda transportasi itu kan di kereta api. Ada pihak dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check in itu kita mau ke bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama. Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau berangkat ke kuala namu atau untuk menurunkan penumpang jadi
integrasinya itu disitu”.
Pihak dari kementrian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar
dengan segera menyelesaikan proyek Sky bridge, city check in dan lahan parkir, di
karenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan. Program
pembangunan tersebut merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi
semua sarana transportasi untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas
transportasi pembangunan nasional menjadi dasar bagi pihak Pemerintah Kota
Medan wajib melaksanakan program tersebut disisi timur Lapangan Merdeka.
Lokasi tersebut merupakan tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah
memiliki design lokasi relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang
buku awalnya ke Jalan Mandala dan merupakan tanah dari PT. KAI. Program
pembangunan tersebut terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk
kepada pedagang buku seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jalan
Pegadaian.
Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jalan Mandala dikarenakan lokasi
tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang
merupakan pusat kota dan lokasi di Jalan Mandala sulit untuk dijangkau
masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam
proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku
yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur
Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua
ada aturan dan landasan. Pemerintah melakukan pendekatan dengan cara
sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan pertemuan
untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah ke Jalan
Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui organisasi
Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM).
ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan mengikuti kemauan
pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi diberikan label negatif
oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk mendiskreditkan
Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) terisolasi secara
sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah steriotip mengenai
gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM hanya ingin
4.1.1 Kepentingan Dinas Perumahan Dan Permukiman
Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Perkim sebagai pelaksana
teknis berencana merelokasi kembali pedagang buku bekas dan buku murah disisi
Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan menjelaskan kepada pedagang bahwa
pada kawasan tersebut akan dibangun proyek sky bridge, city check in dan lahan
parkir yang akan terintegrasi dengan Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini
menggunakan lahan dengan panjang 244 meter dan lebar 39 meter yang saat itu
masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini seperti yang dikatakan Pak Chairul
Abidin dari Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan :
“Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu salah satu alternatif roda transportasi itu kan dikereta api. Ada pihak dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check in itu kita mau ke Bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama. Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau berangkat ke Kuala Namu atau untuk menurunkan penumpang jadi
integrasinya itu disitu”.
Pihak dari kementerian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar
dengan segera menyelesaikan proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir,
dikarenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan.
Pedagang berjualan berdasarkan aset Pemko berdasarkan Pemerintahan Walikota
sebelumnya yaitu, Bapak Drs. Abdillah. Program pembangunan tersebut
merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi semua sarana transportasi
untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas transportasi pembangunan
nasional menjadi dasar bagi pihak Pemerintah Kota Medan wajib melaksanakan
tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah memiliki design lokasi
relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang buku awalnya ke Jalan
Mandala dan merupakan tanah dari PT. KAI. Program pembangunan tersebut
terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk pindah kelokasi tersebut.
Terdapat beberapa alternatif lokasi yang juga ditawarkan kepada pedagang buku
seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jalan Pegadaian.
Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jalan Mandala dikarenakan lokasi
tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang
merupakan pusat kota dan lokasi di Jalan Mandala sulit untuk dijangkau
masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam
proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku
yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur
Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua
ada aturan dan landasan. RTRWK bisa dirubah dengan persetujuan anggota
dewan. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Mukhyar :
“Sky bridge udah dibuat di perda kita dibangun disitu masalahnya sekarang harus menelusuri Bapeda. Masterplan kereta api orang tu bangunnya dimana kadang-kadang masterplan kami disini, kereta api disini kan kami harus bersinergi jadi bukan kitab suci yang tidak bisa dirubah, tiap saat bisa berubah namanya produk manusia, siapa bilang RTRWK gak bisa dirubah, ya boleh boleh aja. Kita kan harus ikuti orang itu kereta api. Saya sekedar melanjutkan, di dalam buku perdanya kami bangun disitu, kalo gak kami bangun ngelanggar perda, APBD Kota Medan yang harus kita kerjakan dibahas di
anggota dewan. Kalo dia gak tau berarti kan dia gak baca”.
Dinas Perkim tidak ingin menjawab pertanyaan secara detail landasan
hukum pembangunan sky bridge yang seharusnya di Jalan. Jawa, Kecamatan
ditegaskan hanya sebagai pelaksana teknis. Pemerintah melakukan pendekatan
dengan cara sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan
pertemuan untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah
ke Jalan Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui
organisasi Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka
(ASPEBLAM). ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan
mengikuti kemauan pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi
diberikan label negatif oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk
mendiskreditkan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)
terisolasi secara sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah
stereotip mengenai gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM
hanya ingin mendapatkan kios yang banyak untuk keuntungan secara pribadi. Ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Pak Muhkyar:
“Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu, semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama
Sainan”.
Penggusuran secara paksa dilakukan untuk mempercepat proses
pembangunan tersebut. Dinas Perkim menyatakan tidak bisa lagi melakukan
penggusuran secara paksa karena melanggar Hak Asasi Manusia. Batalnya
penggusuran secara paksa untuk menjadi kekondusifan masyarakat karena
berkaitan dengan Pemilu Legislatif untuk menjaga keamanan masyarakat Kota
Medan dan dipilih dengan cara negosiasi. Pada saat proses pembangunan pekerja
proyek pembangunan dipukul oleh pedagang buku. Ini sesuai dengan apa yang
“Kita ajaklah berembuk, kan jamannya pemilu legislatif suasana
politik kan memanas, jadi lurah, camat, Dinas Perkim, Satpol PP kan menjaga suasana tetap kondusif. Berapa kali kita mau menggusur gak jadi. Pedagang yang mukuli pekerja yang disitu dipukulin perempuan yang mukul diadu kepolisi asin ceritanya. Indonesia kan ini boleh petugas dipukuli tapi coba masyarakat dipukuli, ini orang gak tau hak dan kewajiban pada saat sedang dibangun. pakar-pakar hukum kita membela itu. Datang satpol pp digusur disorot media dibilang pemerintah kejam kan jadi dilema kita antara hak dan kewajiban”.
4.2 Reaksi Pedagang Buku
Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan tentang bagaimana reaksi
pedagang buku (P2BLM) menghadapi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota
Medan. Pedagang buku (P2BLM) pada fase ini mempunyai sikap perlawanan
terhadap kebijakan Pemerintah Kota Medan, pedagang buku (P2BLM)
beranggapan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Medan tidak bijak dalam
mengambil keputusan, pemerintah seharusnya memberikan fasilitas dan wadah
untuk mensejahterakan khususnya pedagang buku (P2BLM), artinya yang
diinginkan pedagang buku hanyalah kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Kota
Medan untuk kepentingan bersama bukan hanya milik dari segelintir pihak. Frans
mengatakan:
Ini sama yang dikatakan oleh Ralp Linton bahwa masyarakat adalah
setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama,
sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang
dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan, penulis
beranggapan pedagang buku adalah suatu kelompok yang telah lama bersama
-sama berjualan buku, sehingga mereka mempunyai kesadaran untuk
membentuk suatu asosiasi, asosiasi ini dibentuk untuk menjadi suatu wadah
bersosialiasi antar sesama pedagang buku dan juga menjadi suatu wadah yang
mengayomi pedagang buku untuk memperjuangkan hak-haknya.
Reaksi pedagang buku (P2BLM) dalam menanggapi kebijakan Pemerintah
Kota Medan adalah menolak untuk direlokasi sebelum adanya revitalisasi.
Pedagang buku menolak untuk direlokasi karena tempat yang disediakan oleh
pihak Pemerintah Kota Medan dianggap tidak efektif untuk pedagang berjualan
buku, lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Kota Medan sangatlah susah
diakses oleh pembeli buku (konsumen) kemudian lokasi yang disediakan oleh
Pemerintah Kota Medan bukan lahan milik Pemerintah Kota Medan melainkan
lahan dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia), jarak tempuh dari lokasi sebelumnya
disisi timur Lapangan Merdeka berjarak +1 km kalau berjalan kaki bisa memakan
waktu 15 menit sedangkan kalau menaiki kendraaan hanya sekitar 5 menit. Hal ini
dijadikan salah satu landasan pedagang buku (P2BLM) untuk menolak direlokasi
dan meminta pemerintah Kota Medan merevitalisasi pedagang buku, Pemerintah
Kota Medan terlihat seperti ingin menggusur pedagang buku secara halus dengan
cara direlokasi ketempat lain tetapi lokasi tersebut bukan milik dari Pemerintah
Pemerintah Kota Medan terhadap pedagang buku, apabila terjadi suatu
pembangunan kembali dilokasi relokasi pedagang buku, Pemerintah Kota Medan
sudah bisa melepaskan tanggung jawabnya karena lokasi yang ditempati
pedagang buku bukan lahan milik Pemerintah Kota Medan. Pedagang buku juga
sama beranggapan seperti itu, Sainan mengatakan:
“Dari awal Pemerintah Kota Medan menyosialisasikan kebijakan Pemerintah Kota Medan kepedagang buku, kami pedagang buku yang tidak sepakat untuk disuruh pindah mempunyai sikap bertahan disisi timur Lapangan Merdeka. Karena kami yakin kami pasti tidak akan digusur kami legal disini ada surat ijinnya kok, DPRD juga dulu mengeluarkannya sampai rapat parnipura, berarti kamikan sah disini. Kemudian Pemerintah Kota Medan merelokasi kami ke Jalan Pengadaian dan sepengatahuan kami lokasi itu bukan lahan dari Pemerintah Kota Medan itu punya PT. KAI, akes pembeli buku juga kesana minim berjalan kaki jauh naik kereta harus putar arah karena satu jalan, makanya juga kami menolak untuk direlokasi kesana, tapi kalau sementara ya gak papa yang penting kami pedagang dikembalikan kesisi timur Lapangan Merdeka. Kemudian kami pedagang buku ini seperti ingin dibola-bola sama Pemko padahal kami legal disini, seharusnya yang dipertanyakan keberadaan Centre Point kan disana seharusnya lahan parkirnya kenapa kami yang digusur, Pemko harus bertanggung jawab sama pedagang buku karena kami legal disini jangan buang badan kami yang dibola-bola”.
Namun reaksi penolakan relokasi pedagang buku (P2BLM) itu tidak
disambut baik oleh pihak pemerintahan kota medan, banyak tindakan-tindakan
yang mengancam keselamatan pedagang buku pada saat proses penggusran
berlangsung, penulis melihat adanya sikap arogansi yang dilakukan pemerintahan
kota medan terhadap pedagang buku (P2BLM) yang menolak direlokasi sampai
pemerintah kota medan bersedia merevitalisasi pedagang buku (P2BLM).
dan kawan-kawan yang mengaku disuruh Pemko Medan. Oknum yang
mengklaim disuruh oleh Pemko Medan ini membawa martil, cangkul dan
sejumlah alat berat lainnya. Pada hari itu pedagang buku seperti biasa sedang
membuka aktifitas transaksi jual beli buku disisi timur Lapangan Merdeka. Saat
pedagang buku memulai usaha mereka, terdapat sekelompok orang yang bernama
Supriadi dengan membawa cangkul, martil dan alat berat lainnya masuk kelokasi
kios pedagang buku. Pedagang pada saat itu mengira bahwa mereka adalah
pekerja proyek bangunan sky bridge yang lokasinya bersebelahan dengan kios
pedagang buku.
Sekitar pukul 11.36 wib, tiba-tiba Supriadi menyuruh kawan-kawan
merusak salah satu kios pedagang buku, dimana peristiwa pengrusakan tersebut
membuat para pedagang terkejut dan panik lalu beramai-ramai mendatangi salah
satu kios yang dirusak tersebut, sehingga sejumlah orang yang diperintah oleh
Supriadi tersebut berhenti menghancuri kios. Para pedagang menanyakan kenapa
kalian (Supriadi dan kawan-kawan) merusak kios, lantas dijawab para perusak
tersebut bahwa mereka melakukan pengrusakan karena disuruh oleh Supriadi dan
mereka juga menyampaikan bahwa Supriadi sebagai koordinator lapangan yang
memberi perintah untuk menghancurkan kios.
Para pedagang yang tergabung dalam Persatuan Pedagang Lapangan
Merdeka (P2BLM) menemui Supriadi yang juga berada ditempat kejadian perkara
dan mengatakan kenapa dan/atau apa dasar kalian untuk merusak kios pedagang
buku, lalu dijawab Supriadi atas dasar perintah Pemko, lalu kembali ditanya salah
seorang pedagang kalau memang benar ini atas dasar suruhan Pemko mana bukti
Para pedagang kemudian meminta kepada Supriadi dan kawan – kawan supaya
menghentikan pengrusakan.
Sekitar pukul 12.10 wib, Supriadi dan kawan-kawan selanjutnya
mengambil posisi mundur dan menghentikan aksi penghancuran kios milik Yuan
Pasaribu, begitupun dikarenakan sikap yang sangat tidak manusiawi (melakukan
pengrusakan) yang dilakukan para perusak menimbulkan perasaan yang sama dari
para pedagang untuk mempertahankan hak untuk mencari kehidupannya dan
selanjutnya para pedagang tetap mengawasi serta berjaga untuk menghindari aksi
pengrusakan susulan.
Sekitar Pukul 14.17 WIB, Supriadi dan kawan - kawan kembali
melakukan penghancuran salah satu kios, sehingga membuat para pedagang
secara spontan mendatangi dan menghadang lalu meminta kepada Supriadi dan
kawan-kawan agar supaya menghentikan pengrusakan, lalu salah seorang suruhan
Supriadi memerintahkan kepada kawan-kawanya untuk masuk kedalam proyek
yang bersebelahan dengan kios para pedagang buku bekas Lapangan Merdeka
Medan. Terjadi bentrok dengan aksi saling dorong antara pedagang buku dengan
oknum yang mengaku dari Pemko Medan. Kejadian tersebut beradasarkan
pernyataan Fadli Syahputra :
jangan pernah membuat tindakan. Kita sabar, lalu tiba-tiba banyak berani mereka hancurkan kios, udah ada satu itu yang dipukul mereka kek, martil, linggis, godam, ketauan sama pedagang ya ributlah. Menjerit pedagang, kumpul semua pedagang, bentrok belum sempat puku-pukulan cuman tolak-tolakan aja, gak lama itu datang pihak kepolisian medan barat di tengahi sama mereka yang sedikit beratnya
ke kontraktor”.
Berdasarkan kejadian tersebut pedagang buku membuat laporan
pengaduan kepihak kepolisian. Pihak pelapor sebagai korban pengancaman dan
pengrusakan kios pedagang buku yang tergabung dalam Pesatuan Pedagang Buku
Lapangan Merdeka (P2BLM) merupakan tempat korban berjualan/berdagang/jual
beli buku untuk mencari nafkah. Bersama dengan Kuasa Hukum P2BLM yaitu,
Taufik Umar Dhani, pedagang memberikan surat pengaduan laporan. Pedagang
menyatakan bahwa mereka yang cenderung untuk diperiksa dan diproses. Pihak
Kepolisian secara tidak langsung membela oknum pihak Pemko atau Kontraktor,
Supriadi. Ini sesuai dengan yang dikatakan Bapak Sainan :
“Kita yang melapor malah kita yang diperiksa sama pihak kepolisian dan penyidik, kita jumpa langsung dengan Polsek Medan Barat, sewaktu jaman Pak Nico. Malah kita yang diproses dan disidik. Nah pada saat itu untungnya kita membawa tim advokasi kita yaitu bang Taufik Umar Dhani. Nah, diliiatnya pembicaraan itu sudah tidak mengarah lagi kepada kita membuat pengaduan, malah kita yang di proses, dihentikan Dia terus. Awalnya kan kita mau ngadu kios kita di rusak, lama-lama kenapa kita yang disidik, kita langsung keluar dan gak mau lagi kami buat surat laporan lagi. Nah, disitu kan nampak
bahwa pihak kepolisian membantu pihak pengembang”.
4.4 Strategi Perjuangan Peadagang Buku
Pedagang buku (P2BLM) dalam mencapai tuntutannya pastinya pedagang
buku mempunyai rencana-rencana untuk mendukung tujuan dari pedagang buku
(P2BLM) yaitu revitalisasi, rencana-rencana pedagang buku (P2BLM) diambil
pedagang buku (P2BLM). Setelah rencana itu sudah menjadi keputusan bersama
hal ini menjadi acuan strategi perjuangan pedagang buku. Strategi perjuangan
yang dilakukan pedagang buku ini mendukung secara penuh tujuan dari pedagang
buku, perjuangan yang dilakukan oleh pedagang buku (P2BLM) haruslah
mempunyai langkah-langkah strategis, agar perjuangan pedagang buku bergerak
secara sistematis dan terorganisir. Berikut langkah-langkah yang dilakukan
pedagang buku untuk mencapai tujuannya mengundang LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang bergerak dibidang Hukum dan HAM, organisasi mahasiswa,
dan masyarakat sipil yang mau terlibat. Aksi menyampaikan aspirasi pedagang
buku (P2BLM) dan melakukan panggung rakyat. Pedagang buku
mengkonsolidasikan seluruh elemen yang mau terlibat agar pedagang buku
mempunyai bantuan hukum dan bantuan masa agar pedagang buku mempunyai
dukungan lebih kuat untuk menolak kebijakan Pemerintah Kota Medan, Sainan
mengatakan:
“Kami Pedagang buku (P2BLM) hanya rakyat biasa, saya sendiripun tidak mengerti tentang permaslahan hukum, makanya kami pedagang buku mengundang kawan-kawan LSM dan organisasi mahasiswa agar pedagang buku mempunya perlindungan hukum untuk mencapai tujuan kami. Pedagang buku juga melakukan demonstrasi untuk menyampaikan aspirasinya dan mengkampanyekan tujuan kami kemasyarakat kota medan dan pemerintah kota medan dengan bantuan masa dari rekan-rekan organisasi mahasiswa. Pedagang buku sangat berterima kasih kepada LSM dan organisasi mahasiswa yang mau ikut tergabung dan mendukung tujuan pedagang buku (P2BLM) dan kami berharap LSM dan organisasi mahasiswa tetap mengkawal pedagang buku untuk mencapai tujuannya”.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pedagang buku didukung oleh LSM
(P2BLM) dan membuat pedagang buku menjadi sangat optimis untus mencapai
tujuan pedagang buku (P2BLM).
4.4.1 Membangun Koalisi
Keberadaan pedagang buku disatu sisi diharapkan masyarakat luas, disatu
sisi seperti sektor yang tidak diharapkan oleh Pemerintah Kota Medan.
Keberadaan pedagang buku dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
terhadap buku-buku bekas dan murah. Pemko Medan yang akan merelokasi
pedagang buku, maka yang akan kehilangan adalah masyarakat. Relokasi
ketempat yang tidak lebih baik, akan menimbulkan perlawanan bukan hanya dari
pedagang buku itu sendiri.
Bentuk koalisi antara pedagang buku dengan diluar dari pihak pedagang
diperlukan untuk membangun jaringan serta dukungan masyarakat terhadap apa
yang sedang dialami oleh pedagang. Perlawanan akan menjadi gerakan kolektif
untuk menolak relokasi tersebut. Koalisi diperlukan untuk membantu pedagang
mempejuangkan hak-hak mereka.
4.4.2 Koalisi Antar Organisasi Civil Society
Pedagang buku melayangkan surat pengaduan dan memohon perlindungan
kepada Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera
Utara (Kontras) terhadap tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemko
Medan mengenai permasalahan relokasi. Telah terjalin hubungan emosional
antara pedagang buku dan koordinator KontraS yaitu, Bapak Herdensi Adnin
sebagai alasan pedagang buku meminta bantuan advokasi. Pada saat perpindahan
juga lah yang ikut membantu memperjuangkan pedagang buku mendapatkan
hak-haknya. Dengan alasan tersebut, pedagang buku memilih dan membuat surat
pengaduan kepada KontraS. Hal ini seperti yang dikatakan Ibu Isdawati :
“Karena koordinator Kontras yang bernama Herdensi Adnin, beliau itu emang pemain lama dari 2003, dan beliau tau seluk beluk bagaimana pemindahan dari Titi Gantung ke Lapangan Merdeka. Yang jelas, tergerak juga hatinya untuk membantu kita. Beliau juga memperjuangkan tahun 2003 sampe ke Lapangan Merdeka, jadi karena udah dekat juga sama kita”.
KontraS yang bergerak dibidang Human Right tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) memiliki landasan untuk membela pedagang buku. Hal ini berdasarkan
penuturan Bapak Herdensi Adnin :
“Kalo KontraS ini kan isunya human right tentang hak asasi manusia, konvenan ekonomi sosial budaya yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 11 tahun 2005. Dalam konvenan ekonomi sosial budaya itu pertama ditegaskan bahwa setiap orang itu berhak untuk hidup dan memiliki penghidupan. Kedua, setiap orang itu berhak atas pekerjaan dan memilih pekerjaan sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang ia miliki, Nah berdagang itu adalah pekerjaan, jadi setiap individu itu punya hak dia itu untuk memilih pekerjaan sebagai pedagang. Nah, kalau itu hak maka tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Kalau itu hak maka tanggung jawab negara untuk melindunginya. Kalau itu hak maka tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Maka, KontraS mengambil sikap untuk mengingatkan negara bahwa mereka adalah
tanggung jawab negara”.
Pedagang mengakui bahwa mereka hanya memiliki tekad dan niat untuk
bertahan disisi Timur Lapangan Merdeka. Untuk masalah taktik dan strategi
gerakan perlawananan dikoordinir oleh KontraS dan didiskusikan bersama
pedagang. Peran KontraS sangat vital dalam proses perlawanan P2BLM dan pihak
KontraS menyatakan bahwa sudah pernah memfasilitasi untuk bersatunya kedua
permasalahan substansial, lebih mengutamakan permasalahan pedagang yang
bersifat struktural antara masyarakat dan negara. Tidak ada titik temu antara
kedua kelompok, membuat KontraS mengambil sikap untuk fokus terhadap
hak-hak yang harus didapatkan pedagang.
Fase ini apa yang disebut Baldridge sebagai fase mempengaruhi kelompok
sasaran (influence stage). Pada fase ini mempengaruhi kelompok-kelompok,
melakukan pencarian anggota simpatisan yaitu, mereka yang ikut memiliki tujuan
perubahan yang ingin dicapai. Pedagang buku mengadukan nasib mereka terhadap
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Ini sebagai langkah untuk memohon
perlindungan secara hukum untuk menyatakan bahwa mereka tidak layak untuk
digusur. Jaringan sosial yang dimiliki oleh KontraS, juga dimanfaatkan ketika
semua elemen masyarakat dihubungi oleh pihak pedagang buku, kelompok petani
(Front Rakyat Bersatu), aliansi nelayan, aliansi buruh, mahasiswa serta media
cetak dan online bergabung dengan pedagang buku untuk menolak relokasi
tersebut. Mempengaruhi kelompok civitas akademika yang bergerak dibidang
kemanusiaan, PUSHAM Universitas Negeri Medan (UNIMED), sejarawan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU),
dan Fakultas Hukum USU. Media cetak diloby oleh pihak KontraS seperti harian
Tribun, Waspada dan Analisa untuk mengangkat berita dan selalu
mempublikasikan ketika KontraS hendak melakukan konferensi pers. Seluruh
kelompok elemen masyarakat bersatu mendukung pedagang buku dan akan
tercipta sebagai konsumsi publik dan mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan
“Yah mempengaruhi kelompok-kelompok misalnya mempengaruhi PUSHAM UNIMED (Universitas Negeri Medan) karena disitu ada kelompok yang peduli juga terhadap HAM, kita melobi Fakultas Hukum USU disitu kan ada akademisi, melobi FISIP USU. Ketika semua organisasi ini bersuara membela pedagang itu kemudian persoalan pedagang buku ini kemudian menjadi konsumsi publik. Selalu lobi ke media, seperti Tribun, Waspada dan Analisa.
KontraS sebagai pihak yang mengadvokasi pedagang buku juga
melaporkan kasus ini sebagai bentuk koalisi politik, kepada Kontras pusat di
Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta
OMBUDSMAN. Langkah ini sebagai perjuangan non litigasi yang bergerak
kearah politis dan loby politik untuk mendorong Pemko Medan mengakomodasi
apa yang sebenarnya menjadi hak pedagang buku. Bapak Herdensi Adnin
mengatakan sebagai berikut :
“Jadi, perjuangan politik. Langkah-langkah yang kita susun adalah langkah politik, bagaimana kita mempengaruhi negara supaya mereka memiliki kepedulian terhadap hak-hak pedagang. Makanya mereka butuh jaringan. Masyarakat kita ini tidak bisa dia mengadvokasi dirinya sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Makanya kita dorong masyarakat kita ini membentuk aliansi dia dengan kekuatan gerakan masyarakat yang lain. Jadi disitu ada petani, nelayan ada buruh ada mahasiswa, kelompok budayawan dan akademisi. Itu dicreate oleh pedagang untuk masuk dalam aliansi mereka. Setelah aliansi itu terbentuk baru KontraS bersama pedagang dan aliansinya mendesak Pemko Medan secara politik untuk merealisasikan apa yang sesungguhnya menjadi hak pedagang. Baik itu melalui jalur loby, maupun mempengaruhi institusi terkait lainnya misalnya Komnas Ham, DPRD Ombudsman supaya mereka mendorong Pemko Medan
memenuhi apa yang sesungguhnya menjadi hak pedagang”.
4.4.3 Awal Membangun Gerakan
Pada fase ini sesuai dengan apa yang dikatakan Baldrige sebagai fase
Organisasi pedagang awalnya terbentuk adalah berdasarkan berkumpulnya
mereka yang memiliki tujuan yang sama dan bukanlah organisasi formal
berlandaskan perjuangan. Hal ini seperti apa yang dikatakan Koordinator Kontras:
“Oleh karena itu, langkah yang kita bangun pertama adalah, membenahi organisasi pedagang dari organisasi STM (serikat tolong menolong) bahasa saya itu kemudian menjadi satu organisasi
perjuangan”.
Organisasi pedagang yang awalnya tidak memiliki Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) kini memiliki hal tersebut. Ini bertujuan untuk
mengubah organisasi pedagang buku kearah yang lebih formal. Inilah yang
dikatakan sebagai gerakan sosial karena pedagang awalnya tidak memiliki
perencanaan yang matang. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan
perlawanan yang bermaksud untuk mengeliminasi perubahan sosial yang tidak
dikehendaki.
Digelarnya kegiatan diskusi rutin antara pedagang dan KontraS untuk
menentukan arah organisasi mengenai permasalahan relokasi sebagai perilaku
yang terstruktur. Mulai menentukan pemimpin organisasi dan strukur badan
pengurus organisasi P2BLM. Gerakan perlawanan pedagang memiliki tujuan
untuk mempertahankan hak-hak hidup mereka yaitu berjualan disisi timur
Lapangan Merdeka. Pedagang melakukan perlawanan karena terancam hak-hak
untuk hidup, menghalangi usaha mereka berjualan untuk meningkatkan taraf
hidup serta menolak perubahan yaitu untuk direlokasi. Perlawanan ini melalui
pendekatan gerakan yaitu, antara ekonomi politik dan pedekatan moral ekonomi.
Hal ini berdasarkan perhitungan untung dan rugi pedagang melakukan perlawanan
dengan dilakukan adalah reaksi dari komunitas pedagang buku bekas untuk
mendapatkan eksistensi pedagang buku, mendapatkan perhatian publik serta
mendapatkan ruang untuk tetap bertahan hidup.
Pedagang buku memiliki beberapa tuntutan terhadap Pemko Medan yaitu,
pedagang buku bekas yang tergabung dalam P2BLM memiliki beberapa tuntutan
terhadap Pemko Medan, yaitu :
1. Menolak Pemko Medan melakukan relokasi terhadap pedagang buku
bekas Lapangan Merdeka dan menuntut Pemko Medan untuk melakukan
revitalisasi.
2. Membatalkan Keputusan Walikota Medan Nomor: 511.3/1982 K/2012
tentang Penetapan Lokasi Pemindahan Pedagang Buku dari sisi timur
Lapangan Merdeka Medan ke Lokasi Jalan Pegadaian, Kelurahan Aur,
Kecamatan Medan Maimun milik PT. Kereta Api Indonesia tertanggal 25
Oktober 2012.
3. Menghentikan tahapan pembangunan City Check In, Sky Bird dan City
Card Bandara Internasional Kuala Namu dengan berdasarkan SK
Walikota Medan Nomor: 511.3/1982 K/2012 tertanggal 25 Oktober 2012.
4. Mengembalikan lokasi peruntukan yang sebenarnya atas pembangunan
City Check In, Sky Bridge, Dan City Card Bandara Internasional Kuala
Namu diatas lahan Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Medan (Pemko
Medan) di Jalan Jawa, Medan.
Menghentikan tindakan diskriminasi dan perbuatan melawan hukum yang
K/2012 tentang Penetapan Lokasi Pemindahan Pedagang Buku dari Sisi Timur
Lapangan Merdeka Medan ke Lokasi Jalan Pegadaian, Kelurahan Aur, Kecamatan
Medan Maimun Milik P.T. Kereta Api Indonesia tertanggal 25 Oktober 2012.
4.4.4 Menolak Relokasi
Pedagang buku menolak untuk direlokasi dari sisi timur Lapangan
Merdeka ke Jalan Pegadaian, Keluarahan Aur, Kecamatan Medan Maimun. Hal
ini berdasarkan lokasi yang tidak strategis dan penempatan kios di Lapangan
Merdeka sah secara hukum. Lokasi di Jalan Pegadaian, tidak banyak masyarakat
yang tidak mengetahui tempat tersebut karena bukan berada dipusat Kota Medan.
Pedagang buku memiliki kesadaran untuk menolak relokasi dibangkitkan
kesadarannya oleh Bapak Lilik Sukamto Lubis dan Herdensi Adnin dari pihak
KontraS yang mengadvokasi pedagang buku sebagai fase membangun kesadaran
(awakening stage). Pada fase ini sesuai yang dikatakan Baldrige mereka
melakukan sosialisasi untuk membawa kelompok tertindas yaitu, P2BLM untuk
memahami dan menghargai kekuatan mereka sendiri sehingga tergugah untuk
melakukan resistensi. Seperti yang diungkapkan Ibu Isdawati :
“Kita gak setuju untuk pindah, karena kita punya legalitas yang kuat, punya SK, punya surat izin, dan keputusan DPRD dari hasil sidang paripurna. Kita pertanyakan alasan kenapa kita mau direlokasi mereka gak bisa jawab. Kalau kita mau diganti harus ada UU perubahan peruntukkan tempat untuk pedagang buku. Nah, pedagang buku kalo mau dipindah harus ada dong melalui sidang paripurna juga kalo lahan parkir diperuntukkan untuk pedagang buku, secara hukum kita kuat. Kios gak layak, mereka menempatkan itu melanggar Perda lho. Walikota yang buat kenapa beliau yang melanggar. Seharusnya beliau yang jadi panutan untuk masyarakat
Relokasi ini tidak diinginkan oleh pedagang, yang menuntut kepastian
apabila mereka dipindahkan akan ada Surat Walikota dan perjanjian terhadap
pemakaian kios. Kebijakan Peraturan Daerah yang tidak sesuai, melanggar
kebijakan Pemko Medan itu sendiri yang menurut pedagang menolak relokasi
tersebut. Kawasan Lapangan Merdeka secara lokasi lebih strategis daripada Jalan
Pegadaian. Banyaknya debu dan kendaraan yang melintas ditepi jalan mengancam
nyawa pembeli dan penjual. Ini dikhawatirkan akan menurunya pendapatan
menjual buku. Lokasi di Pegadaian sangat tidak nyaman, kerasnya suara kereta
api, kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat yang melintas, panasnya terik
matahari serta tidak ada pohon yang rindang, membuat membaca buku dilokasi
tersebut tidak konsentrasi ketika hendak membeli dikeluhkan oleh pedagang buku.
Telah berdiri pusat perbelanjaan kompleks Centre Point juga menjadi
alasan pedagang untuk menolak relokasi tersebut. Menurut, Rencana Tata Ruang
dan Wilayah Kota (RTRWK) Medan Tahun 2011-2031, pembangunan sky bridge,
city check in dan lahan parkir diperuntukkan dilokasi Jalan Jawa Kecamatan
Medan Timur tepat berada dilokasi Kompleks Centre Point tersebut. Hal ini
berdasarkan apa yang dikatakan M. Hasrah Siregar :
“City check in dan lahan parkir itu ternyata menurut RTRWK seharusnya berada dibangun di Jalan Jawa, Kecamatan Medan Timur. Centre Point yang udah berdiri megah dilokasi untuk bangun itu kenapa kami yang digusur ? Kenapa Pemerintah gak berani gusur bangunan itu ? Jadi, gak ada alasan yang tepat untuk merelokasi kami, karena mereka yang berkuasa”.
Kota Medan yang dianggap sebagai pasar dibangun dan dirancang untuk
membangun kawasan pusat bisnis. Pembangunan pusat perbelanjaan
Pembangunan Kompleks Centre Point tersebut mengorbankan pedagang buku
yang tidak dapat porsi yang lebih dalam skala pembangunan. Penolakan relokasi
dilakukan dengan cara tetap bertahan dan berjualan disisi timur Lapangan
Merdeka dengan mengacuhkan surat pemberitahuan pengosongan kios untuk
segera pindah ke Jalan Pegadaian. Kawasan sisi timur Lapangan Merdeka juga
dipasangi spanduk tentang menolak relokasi oleh pedagang buku.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Sumatera Utara dan organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan
Merdeka (P2BLM) menyertakan beberapa alasan dengan landasan hukum, yaitu :
1. Bahwa pedagang buku yang dimaksud adalah para pedagang buku Sisi
Timur Lapangan Merdeka Medan atau Lapangan Sepatu Roda di
Lapangan Merdeka Medan yang tergabung dalam P2BLM dimana
berdagang atau berjualan dan atau melakukan kegiatan usaha jual beli
buku-buku dilokasi tersebut berdasarkan suatu kekuatan/dasar legalitas
yang diterbitkan pemerintahan Kota Medan, dimana legalitas yakni:
- Surat Persetujuan DPRD Kota Medan No. : 646/624 Perihal Persetujuan Revitalisasi Cagar Budaya Titi Gantung Medan dan
Pemindahan Pedagang Buku ke Lapangan Sepatu Roda, Tertanggal 11
Juli 2003, dengan dibubuhi stempel dan tanda tangan Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Kota Medan An. Tom Adlin Hajar.
- Surat Keputusan (SK) Walikota Medan No. : 510/1034/K/2003 tentang Penetapan Lokasi Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan menjadi