• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengan Ibu HIV-AIDS dalam Melakukan Perawatan Postpartum dengan Sectio Caesarea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengan Ibu HIV-AIDS dalam Melakukan Perawatan Postpartum dengan Sectio Caesarea"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep HIV-AIDS, perawatan bedah caesarea, teori Ramona Mercer, dan studi fenomenologi. Adapun penjelasan masing-masing setiap variabel akan diuraikan dibawah ini. 2.1. Konsep HIV-AIDS

Salah satu masalah kesehatan akibat perubahan tatanan dunia dan merupakan isu penting bersama masyarakat dunia adalah penyakit menular AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang disebabkan oleh HIV (Human Immuno deficiency Viru) (Setyoadi & Triyanto, 2012). Penyakit ini pertama kali ditemukan di wilayah Los Angeles California, Amerika Serikat oleh Gottlieb pada tahun 1981 (PATH, 2011).

Penambahan jumlah kasus HIV-AIDS mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Masalah kesehatan pandemik ini merupakan fenomena yang menarik perhatian dunia belakangan ini. Berbagai program telah dibuat untuk menurunkan angka mortalitas atau morbiditas akibat penularan HIV-AIDS. Salah satu program tersebut adalah Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT). Penularan HIV-AIDS dapat melalui berbagai cara baik melalui kontak seksual maupun non seksual seperti transmisi parenteral dan transmisi transplasental.

(2)

HIV (Depkes, 2009). Oleh karena itu pemerintah Indonesia membuat program kebijakan dan strategi diantaranya: melakukan Strategi Nasional Penanggulangan HIV-AIDS (STRANAS), mengadakan penyuluhan kesehatan masyarakat, perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap ODHA.

2.1.1. HIV- AIDS dan Kehamilan

Menurut Permenkes (2013) tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, pengertian Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Sedangkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang meng- infeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Setelah infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan pengidapnya menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap lebih lanjut dari infeksi HIV adalah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) berlangsung dalam waktu 10-15 tahun untuk orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS (Handicap International, 2012).

(3)

Kehamilan tidak lantas memperburuk kondisi kesehatan perempuan yang terinfeksi HIV atau mempercepat laju penyakitnya. Kehamilan pada perempuan yang terinfeksi HIV dapat menyebabkan penurunan jumlah CD4 yang berbeda pada setiap wanita dan kembali keangka semula setelah melahirkan (Spiritia, 2009).

Pada kehamilan, fungsi imun ditekan pada perempuan terinfeksi HIV dan tidak terinfeksi. Ada penurunan imunoglobulin, mengurangi tingkat komplemen pada awal kehamilan dan penurunan yang lebih signifikan dalam imunitas diperantarai sel selama kehamilan (WHO & UNAIDS, 2004).

Pemantauan jumlah CD4 pada saat kehamilan penting dilakukan karena dapat memicu terjadinya penyakit infeksi yang berisiko tinggi (IO) bila jumlahnya rendah yang tentunya dapat mempengaruhi kondisi ibu dan janinnya (Aberg et al., 2009).

Manajemen kehamilan pada perempuan yang terinfeksi HIV harus dilihat secara holistik dan bagian dari perawatan jangka panjang. Perawatan medis dari ibu yang terinfeksi HIV harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing ibu. Manejemen obstetri pada ibu yang terinfeksi HIV sama dengan perempuan yang tidak terinfeksi pada kebanyakan kasus (Chou et al., 2005).

(4)

dukungan pemberian makan bayi dan tindak lanjut yang tepat untuk bayi yang baru lahir dan ibu (British Columbia Guidelines, 2013).

Infeksi HIV telah dilaporkan memiliki sedikit efek pada kehamilan atau komplikasi di negara maju, oleh karena itu penting dilakukan beberapa hal pada ibu yang terinfeksi HIV antara lain: skrining antenatal, terapi obat-obatan, perawatan antenatal, perawatan persalinan dan perawatan postpartum yang mencakup monitoring universal precaution, perawatan perineum, lochea, penggunaan kontrasepsi, penatalaksanaan perdarahan, perawatan luka, dan lain-lain terkait dengan risiko infeksi pada ibu yang positif HIV.

Komplikasi infeksi juga lebih umum selama periode postpartum pada ibu positif HIV. Operasi caesarea terutama terkait dengan morbiditas infeksi lebih tinggi dalam beberapa laporan, terutama pada wanita dengan jumlah CD4 rendah, dengan kematian meningkat dalam satu studi di Rwanda (WHO & UNAIDS, 1998).

2.1.2. Perjalanan Infeksi HIV

(5)

menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif.

Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.

(6)

2.1.3. Manifestasi Klinis

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain (Permenkes, 2013). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk (WHO (2004) dalam Thomlinson, 2004).

(7)

2.1.4. Cara Penularan

HIV masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan transeksual mencapai sirkulasi sistemik secara langsung diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan membran mukosa (Noviana, 2013). Menurut Permenkes (2013), Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, melalui hubungan seksual, penggunaan jarum yang tidak steril atau terkontaminasi HIV, dan penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin dalam kandungannya.

1. Hubungan seksual

Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua cara penularan. Paling sering, infeksi HIV menyebar dengan melakukan hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi. Virus ini dapat masuk ke dalam tubuh melalui selaput vagina, vulva, penis, rektum, atau mulut selama seks. transmisi oral seks juga mungkin (Tran, 2014). Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki (homoseksual) yang sebahagian besar dipengaruhi oleh faktor perilaku (WHO/UNAIDS, 2009 dalam Setyodi & Triyanto, 2012).

(8)

masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital (Permenkes, 2013).

2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat medis lainnya yang dapat menembus kulit yang dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (Permenkes, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di India oleh Singru dan Banerjee (2008) persentase terbesar yang terinfeksi HIV melalui darah dan cairan tubuh pasien adalah perawat, dan pemaparan darah dan cairan tubuh yang terbanyak adalah melalui jarum suntik. Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2012).

3. Penularan dari ibu ke anak

(9)

Penularan dari ibu ke anak dapat terjadi karena faktor biologi (Inherited Biological Risk) dimana infeksi ditularkan secara langsung dari ibu ke janin yang di kandungnya (Kendal, 2014). Selain itu juga biasa ditularkan melalui proses menyusui (UNICEF, 2009). Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Hal ini sejalan dengan penelitian Fang et al. (2009) dalam Setyodi dan Triyanto (2012) yang menyebutkan bahwa risiko tinggi kematian bayi yang terinfeksi HIV adalah 9.87 kali dibanding dengan bayi yang tidak terinfeksi.

2.1.5. Strategi Penanggulangan/Pencegahan HIV-AIDS

Strategi Penanggulangan HIV-AIDS telah dirumuskan oleh KPA Nasional (2007) yang mengacu pada pedoman penanggulangan HIV-AIDS yang dikeluarkan oleh WHO yaitu dengan cara mengembangkan hasil-hasil yang sudah dicapai dan menjabarkan paradigma baru dalam upaya penangggulangan HIV-AIDS secara bersama-sama, komprehensif, terpadu yang diselenggarakan secara sinergis oleh semua stakeholder (Setyodi & Triyanto, 2012).

(10)

Promosi kesehatan adalah ilmu dan seni yang dapat membantu orang untuk mengubah gaya hidup mereka menuju keadaan kesehatan yang optimal, termasuk dalam pencegahan penyakit HIV-AIDS (Edelman & Mandle, 2002 dalam Mthobeni & Peu, 2012). Upaya untuk mencapai tujuan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit dilakukan dengan menggunakan pendekatan tiga tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekundar dan pencegahan tersier (Stanhope & Lancaster, 2000).

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya pencegahan yang berfokus pada faktor risiko sebelum proses penyakit dimulai dengan mengarahkan pada perubahan faktor risiko lingkungan dan perilaku individu (Global Report, 2010). Pendidikan kesehatan merupakan strategi utama dalam pencegahan primer yang diarahkan pada perubahan perilaku untuk mencegah terjadinya kesakitan (Stanhope & Lancaster, 2000).

Pemberian pendidikan kesehatan dapat memberikan informasi pada pengidap AIDS, dimana informasi yang akurat mengenai HIV-AIDS merupakan syarat penting bagi orang dalam mengadopsi perilaku untuk mencegah infeksi AIDS. Upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi HIV adalah dengan cara merubah faktor risiko yang ada pada kelompok sub populasi yang berisiko atau masyarakat umum.

(11)

Penelitian telah menunjukkan bahwa perilaku berisiko HIV dapat dikurangi dalam populasi yang ditargetkan melalui intervensi yang memberikan konseling pengurangan risiko, menekankan pendekatan kognitif untuk pemecahan masalah dan perubahan perilaku, dan membantu individu untuk membangun keterampilan yang mereka butuhkan untuk mengurangi risiko HIV (NICE, 2011).

Penelitan yang dilakukan CDC antara siswa sekolah tinggi AS (2011) menunjukkan bahwa 47,4% pernah melakukan hubungan seksual, 3,7% telah melakukan hubungan seksual selama tiga bulan sebelumnya, dan 39,8% tidak menggunakan kondom terakhir kali mereka berhubungan seks, 76,7% tidak menggunakan pil KB atau Depo-Provera untuk mencegah kehamilan yang terakhir kali mereka berhubungan seks, 15,3% pernah melakukan hubungan seks dengan empat atau lebih orang selama hidup mereka. Untuk mengurangi perilaku seksual berisiko dan masalah kesehatan yang terkait di kalangan pemuda, sekolah dan organisasi pemuda lainnya dapat membantu kaum muda mengadopsi sikap seumur hidup dan perilaku yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan termasuk perilaku yang mengurangi risiko mereka untuk HIV, PMS lainnya, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Hasil penelitian Hunt et al. (2011) menggambarkan bahwa pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap pilihan dan perubahan perilaku.

2. Pencegahan Sekunder

(12)

2009). Pencegahan dengan deteksi dini terhadap penyakit dan penanganan awal penyakit yang dilakukan melalui program skrining (Setyodi & Triyanto, 2012).

Skrining berupa pemeriksaan awal terhadap suatu kasus yang dapat dilakukan dengan berbagai metode. Penelitian yang dilakukan Illa (2010) menggunakan proyek ROADMAP (Reeducating Older Adult in Maintaining AIDS Prevention) yaitu intervensi pencegahan sekunder terbukti efektif untuk mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi diantara pasien positif HIV dewasa di klinik perawatan primer.

3. Pencegahan Tersier

(13)

Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan penularan dari ibu pada anak secara komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi empat pilar atau komponen, yang dikenal sebagai “prong”.

Menurut Permenkes (2013) tentang pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat dilakukan melalui empat prong/kegiatan yaitu: 1) pen cegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi, 2) pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif, 3) pencegahan penularan HIV dari ibu hamil positif HIV ke bayi yang dikandungnya dan 4) pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta anak dan keluarganya.

Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa di cegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.

(14)

termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV dan AIDS dikalangan remaja semakin baik. Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:

A (Abstinence) berarti tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah, B (Be Faithful) berarti bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan), C (Condom) berarti menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, D (Drug No) berarti tidak menggunakan narkoba.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan tahap ini antara lain:

1. Menyebarluaskan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV dan AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu maupun kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari penularan HIV dan IMS, menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV sedini mungkin, meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tatalaksana ODHA perempuan dan meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS .

(15)

2. Mobilisasi masyarakat

Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), atau posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan. Selain itu mobilisasi masyarakat dapat dilakukan dengan cara menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril serta melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi (Permenkes, 2013).

3. Layanan tes HIV

Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan konseling dan tes HIV melalui pendekatan konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang merupakan komponen penting dalam upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah dilakukan dengan memperhatikan tiga C yaitu: counselling, confidentiality, dan informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui (Permenkes, 2013).

(16)

kurang dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20% dan 50% sedangkan pada pasien HIV negatif konseling dilakukan agar tidak tertular (Permenkes, 2013).

(17)

tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya, 8) konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki, 9) pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin, 10) menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV dan AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana, dan 11) upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian dari upaya pencegahan (Permenkes, 2013).

4. Dukungan untuk perempuan HIV negatif

(18)

Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV

Bagi perempuan hamil dengan HIV disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang berkualitas, penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi (Permenkes, 2013).

Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontra sepsi yang sesuai dengan kondisinya. Bagi perempuan dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan tetap menggunakan kondom. Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemung kinan yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV yang belum terindikasi untuk mengikuti terapi ARV bila memutuskan untuk hamil (Permenkes, 2013).

(19)

HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada pasangannya. Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain: mengadakan KIE tentang HIV dan AIDS dan perilaku seks aman, menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan, melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS, melakukan promosi penggunaan kondom, memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat, memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin merencanakan kehamilan.

Prong 3:Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya.

(20)

Prong 4: Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

(21)

kegiatan peningkatan ekonomi keluarga, dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak (Permenkes, 2013).

Dukungan psikososial yang baik bagi ibu dengan HIV dapat menjadikan ibu bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya sehingga dapat bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain. Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA ini perlu diketahui oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia reproduktif. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka (Permenkes, 2013).

2.1.6. Upaya Pengobatan

Banyak orang yang hidup dengan HIV rentan terhadap berbagai infeksi penyakit infeksi yang berisiko tinggi, termasuk bakteri, infeksi parasit, virus dan jamur karena kehilangan sistem kekebalan tubuh. Pencegahan dan manajemen yang tepat terkait infeksi ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan penundaan penggunaan ART (Handycap International, 2012).

(22)

2009 hampir meluas di dunia. Seperti Eropa Timur (34%), sub-Sahara Afrika (33%), Asia (29%), Karibia (30%), dan Amerika Selatan (6%).

Peningkatan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV di seluruh dunia terutama dikalangan usia produktif menekankan pentingnya pemahaman managemen HIV pada saat kehamilan Selama dekade terakhir, kemajuan signifikan telah dilakukan dalam pencegahan penularan HIV, termasuk penggunaan terapi antiretroviral secara tunggal atau kombinasi, bedah caesarea elektif sebagai pilihan persalinan dan meniadakan proses menyusui (Loutfy & Walmsley, 2004).

(23)

Pemberian obat ARV untuk ibu selama kehamilan dan persalinan dan pada neonatus adalah intervensi yang terkait dengan penurunan terbesar dalam transmisi perinatal. Obat ARV mengurangi penularan perinatal melalui beberapa mekanisme, diantaranya, dengan menurunkan viral load ibu dan dengan menyediakan pra dan pasca pajanan untuk bayi melalui transfer plasenta. Oleh karena itu, setidaknya 1 nucleoside/agen nukleotida dengan transfer plasenta yang tinggi harus dimasukkan dalam rejimen ARV pada kehamilan (HRSA, 2013).

Profilaksis ARV direkomendasikan untuk semua perempuan hamil yang terinfeksi HIV, terlepas dari jumlah CD4 dan/atau viral load. Meskipun tingkat penularan perinatal rendah pada wanita dengan viral load HIV tidak terdeteksi atau rendah, tidak ada batas di bawah ini yang kekurangan transmisi dapat terjamin. Keputusan mengenai penggunaan ARV atau profilaksis selama kehamilan harus dilakukan oleh seorang wanita setelah diskusi rinci dan tanpa paksaan dari manfaat dan risiko potensial dari terapi (HRSA, 2013).

(24)

Durasi yang lebih lama dan/atau inisiasi awal ARV dikaitkan dengan tingkat penularan yang lebih rendah. Dalam sebuah studi Prancis mengevaluasi faktor risiko penularan perinatal pada wanita dengan viral load <500 c/ml pada saat melahirkan, tingkat penularan secara keseluruhan adalah 0,5%; tingkat penularan tertinggi terjadi di kalangan wanita yang tidak memakai ARV pada saat konsepsi dan yang tidak memiliki viral load <500 c/ml pada usia kehamilan 14, 28, dan 32 minggu. Ketika ARV dimulai selama kehamilan, usia kehamilan saat memulai terapi tidak berbeda antara kelompok (30 minggu), tapi viral load menurun sebelumnya di nontransmitters. Kemampuan untuk mencapai penekanan virus maksimal dipengaruhi oleh viral load pada awal kehamilan; dalam sebuah studi dari Inggris, dengan inisiasi viral load > 10.000 ml (c/ml), menunda inisiasi ARV melewati usia kehamilan 20 minggu dapat mengurangi kemungkinan viral load <50 c/ml pada saat persalinan, sedangkan hanya 37% dari mereka yang viral load awal > 100.000 c/ml mencapai maksimal penekanan viral load pada akhir kehamilan dan ini tergantung pada durasi rejimen ARV (HRSA, 2013).

2.2. Konsep Bedah Caesarea

(25)

Dalam beberapa tahun terakhir kecenderungan pilihan melahirkan dengan operasi caesarea meningkat di berbagai negara. Adanya peningkatan pilihan melahirkan dengan operasi caesarea di seluruh dunia, telah menjadi sorotan dan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Di Amerika Serikat, angka kelahiran caesarea meningkat secara bermakna selama sepuluh tahun terakhir.

Centers for Disease Control (2011) melaporkan 32,8% dari kelahiran adalah bedah caesarea (Martin et al., 2013 dalam Stadtlander, 2014). Peningkatan tersebut dikarenakan berbagai macam faktor seperti kemajuan teknologi dan profesional, pergeseran hukum, dan budaya (Stadtlander, 2014), contohnya termasuk kemajuan teknologi ultrasound dan pemantauan janin, keengganan meningkat menjadi menggunakan forcep, takut litigasi, perubahan sosial terhadap pengambilan keputusan bersama, dan peningkatan usia ibu dengan kehamilan lebih sedikit (D'Souza & Arulkumaran, 2013).

Peningkatan bedah caesarea juga disebabkan meluasnya indikasi bedah caesarea, indikasi medis, dan meningkatnya proporsi perempuan yang terinfeksi HIV yang melakukan operasi caesarea untuk mengurangi risiko penularan ke bayinya (Jamieson, 2010).

(26)

alternatif persalinan yang mudah dan nyaman. Anggapan ini membuat para ibu memilih persalinan cara ini dari pada alami, meskipun tanpa indikasi medis (Kasdu, 2003).

2.2.1. Defenisi Bedah Caesarea

Bedah caesarea (Cesarean Sectio) adalah pelahiran janin melalui insisi yang di buat pada dinding abdomen dan uterus (Reeder, Martin, & Griffin, 2014).

Operasi caesarea adalah operasi umum abdomen untuk kelahiran melalui pembedahan dari janin dan plasenta (Dodd, Anderson, & Gates, 2012).

Bedah caesarea didefinisikan sebagai prosedur pembedahan dengan membuat sayatan di kulit perut bagian bawah dan kemudian di dalam rahim untuk mengekstrak bayi (Michaluk, 2011). Sebuah operasi caesarea, biasanya disingkat menjadi C-section, adalah proses melahirkan di mana dokter bedah mengeluarkan bayi dari rahim (Claire, 2009).

2.2.2. Indikasi Bedah Caesarea

Persalinan secara caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan menyebabkan risiko pada ibu ataupun pada janin. Adapun indikasi dilakukannya bedah caesarea adalah persalinan berkepanjangan, malpresentasi atau malposisi, disproporsi sefalo-pelvis, distress janin, prolaps tali pusat, plasenta previa, abrupsio plasenta, penyakit pada calon ibu, bedah caesarea ulangan (Simkin dkk., 2008).

(27)

caesarea adalah Gawat janin, Diproporsi Sepalopelvik, Persalinan tidak maju, plasenta previa, prolapsus tali pusat, mal presentase janin/ letak lintang (Norwitz & Schorge, 2007), panggul sempit dan preeklamsia (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010).

Indikasi lain dilakukannya bedah caesarea adalah: adanya distosia, Cephalo Pelvic Disproportion (CPD), letak transverse/obliq, plasenta previa, abrupsio plasenta, prolaps tali pusat, preeklampsia berat, distress janin, gagal persalinan, gameli, riwayat seksio, obstruksi jalan lahir, stenosis serviks/vagina, dan ruptur uterus. Atau dapat juga dikarenakan rasa takut menjalani persalinan normal, takut pelvik rusak, pengalaman buruk melahirkan secara normal, usia ibu lebih dari 35 tahun, serta penyakit infeksi (Sherwen, Scoloveno, & Weingarten (1999); Ladewig, London, & Olds, 2001). Dengan memperhatikan indikasi tersebut, maka tindakan bedah caesarea bersifat emergensi atau dapat pula direncanakan oleh klien (elektif).

2.2.3. Komplikasi Bedah Caesarea

Bedah caesarea terus mengalami peningkatan secara prevalensi di dunia. Menurut WHO, angka rata-rata persalinan bedah caesarea di dunia mencapai 20%, angka ini juga tidak jauh berbeda dibeberapa negara lainnnya (Chapman et al., 2009).

(28)

samping itu morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal dapat diturunkan secara bermakna (Roeshadi, 2006).

Bedah caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Cunningham, 2005). Akan tetapi, persalinan melalui bedah caesarea bukanlah alternatif yang lebih aman karena di perlukan pengawasan khusus terhadap indikasi di lakukannya bedah caesarea maupun perawatan ibu setelah tindakan bedah, karena tanpa pengawasan yang baik dan cermat akan berdampak pada kematian ibu (Tenreng, 2009).

Morbiditas dan mortalitas maternal lebih sering terjadi setelah tindakan caesarea dibanding setelah kelahiran pervaginam. Komplikasi yang ditimbulkan pada pembedahan caesarea darurat atau yang tidak direncanakan lebih tinggi dibandingkan dengan sectio caesarea yang telah direncanakan sebelumnya (Cunningham, 2005).

Angka risiko kematian pada bedah caesarea sangat tinggi akibat infeksi. Komplikasi infeksi akibat bedah caesarea meliputi demam, infeksi pada luka bekas operasi, endometritis, bakterimia, dan infeksi saluran kemih (Chapman et al., 2009).

(29)

panjang termasuk nyeri kronis, infertilitas, obstruksi usus, abnormal plasenta serta ruptur uterus (Lancet, 2013).

Beberapa saran biologis sebagai penyebab dari ini termasuk jaringan parut, adhesi dan abnormal plasentasi, faktor psikososial, seperti keengganan untuk hamil (Gilliam, 2006). Menjalani bedah caesarea sebelumnya meningkatkan risiko keguguran spontan (Clark & Silver, 2011).

Dampak yang paling konsisten dan terbaik dari bedah caesarea pada hasil kehamilan berikutnya berkaitan dengan plasenta abnormal. jaringan parut Uterine dipercaya dapat mencegah implantasi normal dan migrasi plasenta mengakibatkan sejumlah masalah plasenta (Gilliam, 2006). Selain bagi ibu, bedah caesarea juga berdampak pada bayi baru lahir berupa risiko gangguan pernapasan, risiko masuk ke unit perawatan intensif neonatal (NICU), dan lama rawat di rumah sakit lebih panjang lagi dibandingkan dengan persalinan vagina spontan (Kamath et al., 2009).

(30)

2.2.4. Perawatan Postpartum pada Ibu HIV PostBedah Caesarea

Bedah caesarea adalah metode persalinan yang sering dilakukan pada ibu yang terdeteksi HIV karena berdasarkan kemanfaatan dapat mencegah penularan HIV ke bayi yang dilahirkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian tentang kemanfaatan bedah caesarea dibandingkan dengan persalinan pervaginam pada wanita positif HIV didapatkan bahwa bedah caesarea yang dijadwalkan dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi sampai dengan 80% dan apabila bedah caesarea elektif disertai dengan penggunaan pengobatan antiretroviral maka risiko dapat diturunkan sampai dengan 87% (Boer, England, Godfried, & Thorne, 2010). Akan tetapi, persalinan melalui bedah caesarea bukanlah alternatif yang lebih aman karena di perlukan pengawasan khusus terhadap indikasi di lakukannya maupun perawatan ibu setelah tindakan tersebut, karena tanpa pengawasan yang baik dan cermat akan berdampak pada kematian ibu (Tenreng, 2009).

(31)

Perawatan postpartum pada perempuan positif HIV pada dasarnya sama dengan pasien yang tidak terinfeksi meskipun mereka mungkin ada peningkatan pada risiko komplikasi postpartum seperti infeksi luka, dan lain-lain (Madiba & Magula, 2010). The Nova Safety Association Konstruksi Scotia (NSCSA) menunjukkan 10% dari perempuan yang telah menjalani bedah caesarea membutuhkan perawatan khusus pasca operasi dalam unit ketergantungan tinggi, 3,5% dari perempuan-perempuan tersebut dipindahkan ke unit perawatan intensif.

Berdasarkan studi case control terkait faktor-faktor risiko masuk ICU selama dirawat di rumah sakit untuk kalangan perempuan yang melahirkan di Amerika Serikat antara tahun 1984 dan 1997 ditemukan bahwa dari keseluruhan tingkat masuk ICU (0,13%) secara signifikan adalah perempuan yang melahirkan secara caesarea dibanding perempuan yang melahirkan secara normal.

Menurut Deardorff (2007) setiap individu akan mengalami pemulihan yang berbeda-beda, tergantung dari usia, tipe operasi, kondisi tubuh dan kesehatan secara umum. Perempuan positif HIV lebih rentan terhadap komplikasi infeksi postpartum, termasuk saluran kemih, episiotomi dan infeksi bagian luka bedah caesarea. Setengah dari semua kematian ibu setelah melahirkan terjadi selama minggu pertama setelah bayi lahir, dan mayoritas ini terjadi selama 24 jam pertama setelah melahirkan.

(32)

periode postpartum. Ibu positif HIV lebih berisiko mengalami kematian ibu pasca melahirkan dibandingkan perempuan HIV negatif (HRSA, 2013).

Petugas kesehatan harus menyadari hal tersebut dan mengamati tanda-tanda infeksi. Ibu harus diberikan informasi tentang gejala-gejala awal infeksi pada saat pemulangan, terutama di mana masa rawat postpartum di rumah sakit yang singkat. Semua ibu harus diberi petunjuk tentang perawatan perineal dan penanganan yang aman dari lokia dan bercak darah pada pembalut atau bahan (HRSA, 2013).

Ibu harus diberikan informasi tentang cara merawat bayi mereka tanpa risiko paparan infeksi, diskusi lengkap mengenai risiko dan manfaat dari pilihan pemberian makanan bayi. Jika ibu tidak menyusui, ibu harus menerima informasi lengkap tentang pemberian susu formula yang aman dan proses menyusui harus ditekan. Ibu yang memilih untuk menyusui harus diberitahukan mengenai peningkatan risiko penularan mungkin dengan adanya puting pecah, mastitis, abses payudara atau lesi oral pada anak. Durasi berkurang menyusui dan penyapihan dini dapat didorong untuk mengurangi risiko penularan di mana hal ini dapat dicapai dengan aman(WHO/UNAIDS, 1998).

(33)

Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan pada perawatan bedah caesarea pada ibu yang positif HIV-AIDS dan ibu negatif HIV-AIDS. Hanya saja diperlukan pengawasan ekstra terkait komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan ataupun infeksi luka terkait penyakit infeksi yang berisiko tingginya. Oleh karena itu, perlunya pengawasan dan monitoring yang ketat pada ibu postpartum, khususnya ibu yang positif HIV-AIDS yang menjalani bedah caesarea. Perawatan setelah proses kelahiran sangat penting, tidak hanya untuk sekedar bertahan hidup tetapi juga untuk masa depan ibu maupun bayi yang baru dlahirkan karena perubahan besar terjadi selama periode ini yang menentukan kesejahteraan ibu dan bayi dan potensi masa depan yang sehat (WHO, 2010). Monitoring tersebut meliputi:

1. Monitoring Rutin setelah Bedah Caesarea

Setelah dilakukannya bedah caesarea, ibu harus di observasi satu demi satu oleh ahli anastesi, recovery nurse, bidan atau tenaga terlatih lainnya sampai jalan nafas terkontrol, Cardiorespiratory stabil dan mampu berkomunikasi (NICE, 2011). Semua ruang pemulihan dikelola ke tingkat yang memungkinkan ini menjadi hal rutin. ibu harus berada dibawah pengawasan setiap saat dan semua pengukuran harus dicatat. Pengenalan sistem perekaman otomatis dianjurkan. Frekuensi rekaman akan tergantung pada tahap pemulihan dan kondisi klinis pasien (NICE, 2011).

(34)

juga adalah: tingkat kesadaran, saturasi oksigen dan pemberian oksigen, tekanan darah, frekuensi pernafasan, laju dan irama jantung, intensitas nyeri, infus intravena dan obat-obatan yang diberikan (Warren, Daly, Toure, & Mongi, 2011).

Bagi ibu dengan epidural atau intratekal analgesik perlu pengamatan ekstra termasuk nyeri dan skor sedasi, laju pernapasan dan mobilitas. Rekaman ini biasanya akan dilanjutkan setelah keluar dari ruang pemulihan. Hal ini berlaku umum bahwa setelah keluar dari ruang pemulihan menuju bangsal, pengamatan terhadap frekuensi napas, denyut jantung, tekanan darah, rasa sakit dan obat penenang harus dilanjutkan setiap setengah jam selama dua jam dan perjam setelah itu asalkan pengamatan stabil. Jika observasi terhadap hal-hal tersebut tidak stabil maka observasi lebih sering dilakukan dan dianjurkan tinjauan tim medis (NICE, 2011).

Bagi ibu yang mendapat opioid intratekal, minimal setiap jamnya harus diobservasi laju pernafasan, sedasi dan skor nyeri selama setidaknya 12 jam untuk diamorfin dan 24 jam untuk morfin. Untuk opioid epidural dan opioid PCA, harus ada pemantauan rutin perjamnya yang terakhir sepanjang durasi pengobatan ditambah jangka waktu minimal 2 jam setelah penghentian (NICE, 2011).

2. Perawatan Luka

(35)

diperbolehkan mandi dengan mengalirkan air hangat diatas luka operasi dan mengeringkan luka dengan cara menepuk-nepuk dengan lembut menggunakan handuk bersih, flannel atau waslap (NICE, 2011).

Penyembuhan luka membutuhkan waktu beberapa minggu, seiring dengan waktu bekas luka akan menyusut dan warnanya akan memudar. Juga perlu memperhatikan kondisi steri-strip harus tetap pada luka sampai sembuh atau Steri-strip tidak lagi diperlukan untuk mendukung tepi luka (Winnipeg Regional Health Authority, 2012).

Perlunya pemberian informasi dari tenaga kesehatan terkait kondisi luka yang segera harus dilaporkan ibu seperti luka terbuka, bengkak dan merah, menjadi lebih sakit, keluar darah atau nanah dari luka dan mengeluarkan bau (Winnipeg Regional Health Authority, 2012). Hal tersebut dapat meminimalkan terjadinya infeksi luka yang dapat memperparah kondisi ibu terutama ibu dengan penyakit- penyakit infeksi yang berisiko tinggi.

(36)

pembentukan bekas luka di 40 hari postpartum serta meminimalkan rasa sakit dan pruritus.

Sebuah studi control acak yang dilakukan Juergens (2011) pada luka pasien bedah caesarea ditemukan tidak ada perbedaan signifikan hasil secara kosmetik serta kinerja penutupan luka yang sebanding untuk kedua teknik baik penggunaan prolene dan Leukosan® SkinLink pada penutupan luka termasuk kemudahan aplikasi, terjadinya komplikasi, nyeri yang ditimbukan ataupun secara kosmetik.

Perawatan & penyembuhan bekas luka (scar) pada ibu yang terinfeksi HIV pada dasarnya tidak berbeda dengan ibu yang tidak terdeteksi HIV. Pada pasien HIV-AIDS yang imunosupresi akan mengalami gangguan penyembuhan luka dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi luka. Tampaknya pasien yang positif HIV tanpa AIDS tidak memiliki peningkatan risiko masalah luka, sementara pasien dengan AIDS lebih mungkin mengalami gangguan penyembuhan luka (AJCEM, 2012).

(37)

adalah dasar perawatan luka yang optimal, dukungan emosional, pemberian pendidikan kesehatan akan meningkatkan baik kesejahteraan emosional maupun fisik pasien HIV-AIDS (AJCEM, 2012).

Pada awalnya, bekas luka akan sedikit terangkat, bengkak, dan lebih gelap dari sisa kulit normal, tapi akan mulai menyusut secara signifikan dalam waktu enam minggu dari operasi. sayatan bedah caesarea hanya berkisar panjang 4- 6 inci dan lebar sekitar 1/8 inci. Setelah lokasi sayatan terus menerus sembuh, bekas luka akan lebih mendekati warna kulit dan lebarnya akan menyempit menjadi sekitar 1/16 inci. Mungkin rasa gatal terjadi sementara penyembuhan, namun banyak wanita mengatakan area bekas luka terasa mati rasa dan dapat tetap demikian bila tanpa perawatan (Claire, 2009) Setelah sembuh, kulit dan bekas luka akan berubah, dan perasaan sekitar bekas luka akan bergeser.

Karakteristik yang menandakan penyembuhan luka cepat adalah tidak ada atau minimalnya bahan asing, tidak ada infeksi, aposisi akurat, tidak ada ketegangan berlebihan, suplai darah yang baik dan tidak ada tepi pemisahan hematoma (AJCEM, 2012).

(38)

sabun cair dan pengeringan setelah setiap kontak dengan pasien. penggunaan agen bakterisida sebelum prosedur aseptik termasuk pembalut luka. Pengendalian infeksi juga termasuk penggunaan sarung tangan steril, cuci tangan setelah pelepasan sarung tangan. Penelitian yang dilakukan oleh Harrison, Lewis, dan Lavy (2002) menun jukkan bahwa adanya kontaminasi pra operasi menyebabkan peningkatan tajam (42%) kejadian infeksi pada pasien positif HIV dibandingkan dengan pasien negatif HIV.

Prinsip-prinsip perawatan luka pada pasien AIDS yang sedikit berbeda dari perawatan standar. Prinsip tersebut dibagi menjadi:

1. Teknik aseptik

Pada setiap perawatan postpartum terkait perawatan luka, perineum atau yang memungkinkan masuknya bakteri harus menggunakan instrument steril berupa sarung tangan steril.

2. Tipe luka

(39)

3. Pemilihan dressing

Pemilihan dressing tergantung pada evaluasi luka pasien. Apakah ada nekrotik, infeksi, granul, epitelisasi, apakah datar atau berongga. Idealnya luka harus tetap hangat dan lembab, terlindung dari infeksi dan kerusakan fisik. Kelembaban yang berlebihan di tempat tidur luka dapat melembutkan dan melemahkan tepi luka (maserasi). Akibatnya luka bisa membesar dan organisme patogen akan dapat menembus kulit di sekitarnya dan menyebabkan infeksi. Eksudat dan jaringan mati harus dihapus setelah irigasi saline berlebihan terutama dari luka yang kotor.

4. Melanjutkan evaluasi

Luka sangat penting untuk deteksi awal degenerasi jaringan yang akan menunjukkan perubahan dressing, pembersih atau debrider. Mengevaluasi dressing lama sangat membantu. Suplai darah yang baik untuk luka dapat dilakukankan oleh pembersihan kembali luka dan mempertahankan jaringan sehat disekitar luka.

5. Jahitan luka

(40)

cepat pula jahitan diangkat. Pengangkatan jahitan dalam waktu lama dari yang diperlukan dapat mendorong infeksi, dan akan meninggalkan bekas luka atau keloid.

6. Drainase luka

Drainase suction tertutup meminimalkan risiko infeksi drain harus diangkat segera setelah cairan berhenti. Banyak wanita mengatakan mereka merasa takut untuk menyentuh bekas luka mereka karena rasanya mati rasa. kulit dan bekas luka akan berubah, dan perasaan sekitar bekas luka akan bergeser. Banyak wanita mengatakan mereka merasa takut untuk menyentuh bekas luka mereka karena rasanya mati rasa atau menyakitkan. Sebenarnya menyentuh perut setelah operasi akan membantu mempercepat penyembuhan dan memperkecil ukuran bekas luka. Karena memijat merangsang ujung saraf. Hal ini membawa perasaan mati rasa akan hilang.

(41)

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Poor et al. (2014) di Rumah Sakit Mustafa Khomeini, Elam, Iran, pijat kaki dan tangan dapat dianggap sebagai metode pelengkap untuk mengurangi rasa nyeri dari operasi caesarea secara efektif dan untuk mengurangi jumlah obat dan efek sampingnya. Bekas luka yang sebenarnya jauh lebih dalam dari apa yang terlihat, dan semakin lama waktu memijat, semakin lembut bekas luka dan lebih dalam bisa menembus perut dan membantu tingkat yang lebih dalam. Jika mudah keloid, strip pembelian silika gel atau untuk membantu dalam perubahan warna dan tekstur pada permukaan bekas luka.

Pasien HIV-AIDS tidak boleh didiskriminasi dalam hal menerima intervensi bedah yang tepat karena takut masalah penyembuhan luka. Prosedur bedah dapat modalitas terapi yang aman dan efektif. Melanjutkan evaluasi luka dan penilaian apa ganti berguna untuk jenis luka dan tahap penyembuhan dasar perawatan luka yang optimal. Gizi yang adekuat terutama pada pasien HIV-AIDS memfasilitasi penyembuhan luka dan penurunan infeksi luka dengan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh.

(42)

menggunakan sarung tangan saat membersihkan area perineum dan bekas luka operasi.

3. Pemberian ASI

Tingkat inisiasi menyusui lebih tinggi pada wanita yang dengan kelahiran normal dibandingkan dengan mereka yang menjalani bedah caesarea. Namun, dengan tiga sampai enam bulan setelah kelahiran tidak ada perbedaan dalam tingkat menyusui antara kedua kelompok (NICE, 2011).

Evidence dari tiga dekade terakhir jelas menunjukkan bahwa menyusui bermanfaat bagi ibu, bayi dan masyarakat. Menurut Chertok dan Shoham-Vardi (2008), bayi yang lahir melalui bedah caesarea yang mendapat ASI memiliki rata-rata hospitalisasi yang lebih rendah selama tahun pertama dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi produksi ASI pada ibu postpartum dengan bedah caesarea. Penelitian yang dilakukan Lin et al. (2011) pada 141 ibu postpartum bedah caesarea pada unit regional teaching hospital di Northern, Taiwan antara Bulan Juni 2007 dan Bulan Juni 2008 menunjukkan bahwa ibu multipara berpikir bahwa mereka memiliki pasokan ASI lebih besar daripada ibu primipara. Paritas merupakan salah satu faktor penting bagi keberhasilan menyusui.

(43)

laktasi. Kedua, penelitian telah menunjukkan pengalaman menyusui berkorelasi dengan cara mengisap bayi. Huang, Lee, Gau, dan Huang (2007) menemukan bahwa bayi dari ibu dengan pengalaman menyusui kurang mungkin lebih rentan terhadap perilaku mengisap negatif. Primipara cenderung memiliki pengalaman menyusui kurang yang dapat mempengaruhi persepsi pasokan ASI.

Academy of Breastfeeding Medicine merekomendasikan model kebijakaan pemberan ASI bahwa bayi yang dilahirkan secara caesarea dianjurkan untuk disusui segera mungkin baik diruang bedah atau ruang pemulihan. Teknik kontak kulit ke kulit dapat digunakan untuk mempromosikan inisiasi menyusui dini pada bayi yang dilahirkan secara caesarea (Kuyper, Vitta, & Dewey, 2014).

Hasil survey tahun 2011 pada 68% rumah sakit di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kondisi kesehatan bayi yang menerima ASI untuk makan pertamanya 90% nya adalah bayi yang dilahirkan secara caesarea dan 75 % bayi yang dilahirkan melalui vagina.

(44)

Pada kelahiran caesarea dengan ibu yang terinfeksi HIV, pemberian ASI tidak dianjurkan karena dapat memicu penularan virus dari ibu ke anak. Sebuah uji klinis acak oleh American Academy Of Pediatrics (2009) pada 425 ibu hamil yang terinfeksi HIV di Kenya menunjukkan bahwa penularan melalui pemberian ASI lebih tinggi (96%) dibanding pemberian susu formula (70%) dengan durasi rata-rata menyusui adalah 17 bulan. Probabilitas kumulatif infeksi HIV pada anak-anak di usia 24 bulan secara signifikan lebih tinggi dalam ASI yaitu 36,7% dibanding pada kelompok susu formula sebesar 20,5%.

Meskipun penularan virus dapat terjadi selama proses menyusui namun pemberian ASI memiliki manfaat yang signifikan yang lebih besar dibandingkan risikonya, termasuk penyediaan gizi bayi yang ideal dalam 6 bulan pertama kehidupan dan ASI juga dapat dikatakan sebagai kontrasepsi alami yang dapat mengatur jarak kehamilan serta pemulihan ibu dari kehilangan darah pasca operasi dan persalinan.

(45)

4. Pengobatan Antiretroviral

Penggunaan ARV pasca melahirkan pada perempuan yang terinfeksi HIV harus mengacu pada nilai hitung sel CD4, viral load HIV, tanda klinis/stase penyakit, adanya indikasi lain untuk ART (misalnya hepatitis B kronis, nefropati terkait HIV), masalah kepatuhan, status infeksi HIV dari pasangan seksual perempuan, dan keputusan pasien setelah konseling. Setelah melahirkan, perempuan yang memenuhi indikasi untuk penggunaan ART harus meneruskan terapi tanpa terputus (HRSA, 2013).

Manfaat potensial melanjutkan terapi ARV pada perempuan dengan jumlah CD4 yang lebih tinggi harus mempertimbangkan kemungkinan toksisitas obat, biaya dan risiko perkembangan resistensi virus yang mungkin terjadi selama periode postpartum. Wanita yang memiliki pasangan seksual yang tidak terinfeksi harus melanjutkan ART pada postpartum untuk mengurangi risiko penularan HIV. Keputusan untuk melanjutkan terapi setelah melahirkan harus didiskusikan dengan ibu dan keputusan yang dibuat sebelum persalinan. Sampai bukti definitif tersedia untuk memandu keputusan ini, kelanjutan terapi pada wanita dengan jumlah CD4 tinggi harus didasarkan pada diskusi individual dengan wanita dan pertimbangan kemauan dan kemampuan untuk melakukan dan mematuhi terapi seumur hidup (HRSA, 2013).

(46)

dan mungkin depresi postpartum, ibu baru mungkin sangat rentan terhadap masalah berhubungan dengan kepatuhan terhadap pengobatan ARV. Penyedia layanan kesehatan harus menyadari bahwa depresi atau penyalahgunaan obat atau alkohol dapat mempengaruhi secara negatif terhadap kepatuhan dan diperlukan skrining postpartum pada kondisi ini (HRSA, 2013).

5. Penggunaan Kondom dan Kontrasepsi

Penggunaan kondom direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV untuk mengurangi risiko penularan antara pasangan, bagaimana pun, tingkat kegagalan kontrasepsi dengan kondom dilaporkan setinggi 14% seperti yang umum digunakan. Kontrasepsi oral juga dapat digunakan pada wanita yang terinfeksi HIV, terutama juga dengan penggunaan kondom sebagai bagian dari strategi perlindungan ganda. Interaksi obat antara obat antiretroviral dan kontrasepsi oral telah didokumentasikan oleh karena itu penting untuk menilai potensi interaksi antara ARV tertentu dan pil kontrasepsi oral (British Columbia Guidelines, 2013).

6. Pembekalan untuk Ibu setelah Bedah Caesarea/Discharge Planning

(47)

Pada pasien yang terdeteksi HIV, perlu diberikan informasi terkait perawatan kesehatan postpartum di rumah. Perawatan meliputi cara merawat luka bekas operasi, penggunaan teknik precaution terkait penyakit infeksi yang berisiko tinggi, termasuk penggunaan sarung tangan, penggunaan duk, perawatan perineum, perawatan payudara, teknik menyusui, dan lainnya (HRSA, 2013).

7. Nutrisi

(48)

Diet yang baik adalah salah satu cara paling sederhana untuk membantu orang yang hidup dengan HIV-AIDS dan bahkan dapat membantu menunda perkembangan virus mematikan. Sebuah panduan baru diterbitkan bersama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui hubungan antara infeksi dan gizi dan menawarkan saran diet sederhana untuk diperkirakan 42 juta orang yang hidup dengan HIV-AIDS.

(49)

Nutrisi dan HIV

kema 2.1. Siklus manfaat intervensi nutrisi Sumber : Adopsi dari RCQHC dan FANTA 2003a

(50)

Pada ibu pasca bedah caesarea, asupan nutrisi perlu diperhatikan, karena dapat berdampak langsung pada kesehatan ibu terutama terkait fase pemulihan luka, pencegahan infeksi dan lainnya. Kekurangan berbagai zat nutrisi pada masa postpartum dapat mengakibatkan permasalahan kesehatan pada ibu seperti penurunan daya tahan tubuh sehingga rentan terserang infeksi, kemungkinan terserang anemia dan terjadinya rabun senja akibat kekurangan vitamin A bahkan dapat menyebabkan kematian pada ibu (Campbella et al., 2009).

Permasalahan kesehatan pada masa postpartum juga terkait dengan tradisi tertentu yang berlaku di masyarakat seperti adanya pembatasan makanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Barrenes (2009) di Laos menemukan adanya pembatasan diet pada ibu postpartum yang dapat mengganggu pemenuhan asupan nutrisi yang dialami ibu usia produktif dan anak-anak. Di Indonesia, pembatasan diet tersebut dikenal dengan istilah berpantang makanan berupa tidak mengkonsumsi jenis makanan tertentu karena dianggap dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan (Swasono, 1997).

(51)

secara caesarea dimana ibu dengan HIV-AIDS membutuhkan banyak asupan nutrisi yang dapat membantu proses penyembuhan luka dan peningkatan daya tahan tubuh terkait penyakit infeksi yang berisiko tinggi terutama makanan yang kaya protein hewani yang mengandung asam amino yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

Penelitian yang dilakukan Yunsook (2003) menyatakan bahwa kekurangan asupan nutrisi pada pasien pasca bedah dapat mengakibatkan lamanya hari rawat karena proses penyembuhan terhambat dan risiko terjadinya infeksi pasca bedah. Asupan nutrisi yang adekuat sebelum dan sesudah pembedahan dapat menurunkan komplikasi setelah bedah.

Perawatan gizi dan dukungan membantu orang yang hidup dengan HIV (ODHA) mempertahankan dan meningkat kan status gizi mereka, meningkatkan respon kekebalan tubuh mereka, mengelola frekuensi dan keparahan gejala, dan meningkatkan tanggapan mereka terhadap terapi antiretroviral (ART) dan pengobatan medis lainnya.

(52)

2003) berupa hilangnya jaringan otot dan lemak, kekurangan vitamin dan mineral, peningkatan kebutuhan gizi karena infeksi, perubahan metabolik, replikasi virus, dan penyerapan nutrisi yang buruk, kelemahan dan mengurangi produktivitas, fungsi kekebalan tubuh berkurang, peningkatan kerentanan terhadap infeksi penyakit berisiko tinggi.

8. Perawatan Bayi/Anak

Perawatan bayi/anak yang terinfeksi HIV-AIDS memerlukan tindak lanjut rutin karena mereka berada pada risiko morbiditas dan mortalitas terlepas dari status infeksinya (Panel on Antiretroviral Therapy and Medical Management of HIV Infected Children, 2014). Pentingnya perawatan yang komprehensif untuk bayi/anak yang terpajan atau terinfeksi HIV-AIDS bertujuan untuk meminimalkan risiko penularan berupa pengenalan dini infeksi HIV, pencegahan infeksi oportunistik, terdaftarnya anak yang terinfeksi HIV dalam perawatan ART dini, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan, dan mencegah perkembangan penyakit (FHAPCO, 2007).

(53)

Penatalaksanaan infeksi HIV pada anak tergantung pada tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan di suatu negara. Anak dengan infeksi HIV dapat dirawat di rumah sakit atau umumnya di rawat di rumah sendiri. Penatalaksanaan pemberian pengobatan antiretroviral pada anak yang terinfeksi HIV dilakukan sedini mungkin bila sudah muncul gejala klinis AIDS (NICE, 2011).

Saat ini tatalaksana anak yang terinfeksi HIV telah menggunakan obat-obatan antiretroviral yang diberikan dalam bentuk kombinasi. Pemberian ARV pada bayi usia di bawah 12 bulan dimulai bila jumlah sel CD4 <25-30% dan muatan virus >106/mL, sedangkan untuk anak yang berusia diatas 12 bulan bila jumlah partikel RNA >250.000 c/mL. Angka mortalitas dapat diturunkan dengan pemberian obat antiretroviral sebelum bayi berusia tiga bulan (Setiawan, 2009).

2.3. Teori Maternal Role Attainment Becoming A Mother pada Ibu

Postpartumdengan HIV- AIDS

Masa menjadi ibu merupakan peristiwa besar dalam hidup. Menjadi seorang ibu, melibatkan peralihan dari realitas yang dikenal ke realitas baru. Untuk mencapai tujuan tersebut maka seyogyanya seorang ibu memahami tahapan-tahapan yang harus dilalui seperti restrukturisasi tujuan, perilaku dan tanggung jawab untuk mencapai konsepsi baru dan identitas itu sendiri (Mercer (2004) dalam Henriques, Botelho, & Catarino, 2015).

(54)

pengetahuan dan keterampilan seperti dukungan dan sumber daya komunitas (Henriques, Botelho, & Catarino, 2015).

Pengalaman menjadi seorang ibu dapat bersifat sangat signifikan terutama pada masa-masa senang dan proses yang dialami pada masa susah. Menjadi seorang ibu bagi perempuan dengan HIV-AIDS merupakan unsur normalitas penerimaan sosial dan identitas dalam masyarakat sekaligus sebagai mekanisme koping yang membantu mengatasi penyakit mereka sebagai sumber komitmen, kasih sayang dan pemenuhan peran (Ciambrone (2003) dalam Hinks, 2010). Bagi ibu dengan HIV-AIDS dalam proses transisi ke peran ibu, proses pengaturan pengalaman adaptasi dan transisi, dimana perspektif masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang bertemu peran ibu sebagai karakteristik individu setiap wanita (self-esteem, integritas pribadi dan kepercayaan diri).

(55)

Pencapaian peran ibu ini perlu mendapat perhatian terlebih pada ibu dengan HIV-AIDS. Hal ini terkait perawatan yang ibu terima selama fase kehamilan, fase persalinan, dan fase sesudah persalinan. Untuk meminimalkan penularan dari ibu kepada bayinya, pemilihan metode persalinan secara caesarea merupakan pilihan terbaik saat ini. Ibu yang telah mengalami persalinan caesarea, mempunyai kebutuhan perawatan postpartum yang sama dengan ibu yang melahirkan pervaginam (Ladewig et al., 2005).

Periode postpartum juga dikenal sebagai trimester keempat, periode ini sama pentingnya dengan setiap fase persalinan. Oleh karena itu diperlukan perhatian khususnya para praktisi kesehatan dalam melakukan perawatan pada ibu yang baru bersalin sedemikian rupa sehingga dapat mengembalikan kekuatan, kekencangan otot, vitalitas dan kesehatan ibu secara keseluruhan (Grant, 2011).

Periode postpartum adalah fase yang sangat istimewa dalam kehidupan seorang ibu yang baru melahirkan dan bayi yang baru lahir, bagi wanita yang mengalami persalinan untuk pertama kalinya, kemungkinan besar adalah peristiwa yang paling signifikan dan mengubah hidup. Hal ini penuh dengan gejolak emosi, perubahan fisik, hubungan baru dan berubah, asumsi dan penyesuaian ke dalam peran baru ibu (WHO, 2010).

(56)

perawatan mata, hidung serta telinga bayi (NICE, 2011). Perawatan postpartum bila dilakukan dengan benar, dapat menghindarkan ibu dengan HIV-AIDS dari komplikasi yang tidak diinginkan seperti perdarahan, infeksi luka, penurunan daya tahan tubuh, dan lain-lain yang tentunya dapat meningkatkan produktivitas ibu dalam melakukan perawatan diri dan bayinya.

(57)

Pada masa ini, ibu memerlukan dukungan dari lingkungan termasuk keluarga, terutama pada masa postpartum melalui pengawasan ekstra terkait komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan ataupun infeksi luka terkait penyakit-penyakit infeksi yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, perlunya pengawasan dan monitoring yang ketat pada ibu postpartum, khususnya ibu pengidap HIV-AIDS yang menjalani bedah caesarea. Keberhasilan dalam melakukan perawatan mandiri sangat tergantung pada tingkat maturitas, tingkat pengetahuan, pengalaman hidup, kebiasaan dan keadaan kesehatan mental (Orem (2001) dalam Aisyah, 2010). Perawatan mandiri selama masa postpartum sangat diperlukan ibu untuk mencapai kesehatan yang optimal dan berkaitan dengan perannya sebagai ibu.

Pencapaian peran ibu (Maternal role attainment) menurut Mercer (1985) adalah sebagai kompetensi wanita dalam perannya menjadi ibu, integrasi perannya dengan peran lain dalam hidupnya, dan rasa kenyamanannya dalam asumsi identitas ibu. Suatu proses dimana ibu mencapai kemampuan dalam peran ibu dan area yang penting bagi tenaga kesehatan yang bekerja dengan ibu selama tahun pertama masa postpartum seperti sulitnya memenuhi peran ibu telah terbukti dapat berdampak bagi anak (Mercer, 1990).

(58)

Tahap antisipatif terkait erat dengan tahap operasional kognitif dan fantasi Rubin termasuk penerimaan ibu terhadap janin sebagai individu yang terpisah dan fantasi tentang bayi yang baru lahir. Definisi Mercer pada tahap antisipatif termasuk penyesuaian sosial dan psikologis awal kehamilan. Harapan dari peran ibu selama tahap ini adalah dengan mencari informasi dari orang lain dalam hal peran dan dengan memvisualisasikan diri sendiri dalam peran tersebut. Formal (role-taking) adalah suatu tahapan setelah kelahiran bayi dimana perilaku seorang ibu dipelajari dan direplikasi sehingga profesionalitas diri dan orang lain dalam lingkungan sosial wanita sering menjadi panduan pada tahap ini.

Tahap informal (role-making) dimulai sebagai struktur dimana peran wanita sebagai ibu untuk menyesuaikan dirinya berdasarkan pengalaman masa lalu dan tujuan masa depan. Pada tahap ini, ibu mempelajari isyarat bayi dan mengembangkan gaya uniknya sebagai seorang ibu. Dan tahap akhir adalah tahap personal (role identity) dimana ibu mengintegrasikan perannya kedalam sistem dirinya. Peran diinternalisasi, dan memandang dirinya sebagai seorang ibu yang kompeten (Mercer (1981) dalam Alligood, 2014).

(59)

menunjukkan komunikasi personal bahwa keperawatan adalah profesi yang dinamis dengan berfokus pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, pelaksanaan perawatan bagi mereka yang membutuhkan tenaga profesional untuk mencapai fungsi kesehatan pada tingkat yang optimal, dan penelitian untuk melakukan perubahan, ilmu pengetahuan berdasarkan kepada asuhan keperawatan yang terbaik (Nugroho, 2014).

Dalam memberikan asuhan keperawan kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat perlu melakukan pengkajian situasi dan lingkungan klien, mengidentifikasi tujuan bersama klien, memberikan bantuan kepada klien melalui pembelajaran, dukungan, melaksanakan perawatan klien yang tidak dapat melakukan perawatan sendiri dalam konteks lingkungan klien. Dalam tulisannya Mercer (1995) mengatakan pentingnya asuhan keperawatan. Walaupun ia tidak menyebutkan secara spesifik dalam bukunya ‘Becoming a Mother: Research on Maternal from Rubbin to The Present’. Mercer menekankan bahwa ketiga bantuan atau perawatan yang diterima bagi seorang wanita selama kehamilan dan tahun pertama kelahiran dapat memberikan dampak yang penjang terhadap ibu dan bayinya. Perawat dalam tatanan keperawatan ibu dan anak memegang peranan yang luas di dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan memberikan informasi selama periode tersebut (Mercer (2004) dalam Alligood & Tommey, 2014).

(60)

dilaksanakannya. Peran ibu merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia yang berfokus pada interaksi bayi dan ayah yang saling mempengaruhi antara satu dan yang lain. Inti pada diri sendiri berasal dari konteks budaya sesuai dengan pemahaman terhadap lingkungan dan pengembangannya. Konsep harga diri dan percaya diri merupakan hal penting dalam melaksanakan peran setiap orang yang merupakan anggota keluarga untuk saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain (Mercer,1995).

Konsep kesehatan dalam teori Mercer mendefenisikan status kesehatan sebagaimana persepsi orangtua mengenai kesehatan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang, resisten terhadap kemungkinan timbulnya penyakit, cemas akan kesehatan, orientasi terhadap pemulihan penyakit. Status kesehatan bayi baru lahir tergantung kepada penyakit yang menyertai bayi sejak lahir dan melalui suatu rentang perawatan kesehatan seluruhnya yang dipengaruhi oleh cara perawatan yang dilakukan keluarga Status kesehatan keluarga mempunyai dampak negatif terhadap stress antepartum. Kesehatan juga di pandang sebagai hasil yang dipengaruhi oleh variabel ibu dan anak. Mercer menekankan pentingnya perawatan kesehatan selama proses persalinan dan masa saat kanak-kanak seorang anak (Alligood, 2014).

(61)

properti tatanan di sekitarnya, hubungan antara tatanan, dan konteks yang terbesar dimana tatanan dilaksanakan. Stress dan dukungan lingkungan sosial mempengaruhi peran ibu dan pola pengasuhan serta peran pengembangan anak.

Skema 2.2. Model maternal role attainment Ramona T. Mercer

(62)

pasangannya, dan hubungan intim di dalam keluarganya (Mercer, 2000). sebagai pusat interaksi lingkungan hidup. Varibel di dalam lingkungan keluarga dan teman meliputi dukungan sosial, nilai keluarga, penuntun budaya bagi pengasuhan, fungsi keluarga, dan stressor. Lingkungan komunitas meliputi perawatan sehari-hari, tempat ibadah, sekolah, tatanan kerja, rumah sakit, fasilitas rekreasi, dan pusat kebudayaan. Dampak dari pengaruh lingkungan sosial yang besar berupa: peraturan perundang-undangan terhadap wanita dan anak-anak, pengembangan ilmu pengetahuan neonatal dan reproduksi, konsistensi transmisi budaya, program nasionaal perawatan kesehatan (Alligood, 2014).

Skema 2.3. Pencapaian peran ibu ‘becoming a mother’

Amicrosystem within the evolving model of maternal role attainment. (From Mercer, R. T. [1995]. Becoming a mother. New York: Springer.)

(63)

individu yang menyatu dengan sistem keluarga. Keluarga dipandang sebagai suatu sistem semi tertutup yang terbatas dan merupakan suatu kontrol terhadap sitem keluarga dan sistem sosial. Mikrosistem sangat berpengaruh terhadap peran pengasuhan seorang ibu. Pada tahun 1995, Mercer mengembangkan konsep dan modelnya yang paling awal dengan menekankan pada pentingnya peran pengasuhan seorang ayah. Mercer menyatakan bahwa seorang ayah akan membantu mengurangi ketegangan yang terjadi diantara ibu dan ayah. Peran pengasuhan seorang ibu dicapai melalui interaksi ayah, ibu dan bayi. Lapisan a sampai d (Skema 2.3) merepresentasikan tahap peran pengasuhan seorang ibu yang dimulai dari antisipasi terhadap peran individu dan tahap pertumbuhan serta perkembangan bayi. Pencapaian peran ibu dalam lingkup mikrosistem dicapai melalui adanya interaksi antara bayi, ayah, dan ibu (Alligood, 2014).

(64)

Mercer (2004) membangun teori sebagai proses penelitian yang berkelanjutan yang memberikan bukti yang dapat menjelaskan konsep. Pada tahun 2003, Mercer mulai menguji teori peran pengasuhan ibu “Maternal Role Attainment” dan merevisi istilahnya menjadi “Becoming a Mother” yang lebih memberikan suatu proses refleksi yang akurasi berdasarkan pada penelitian terbaru. Mercer dan Walker (2006) menyajikan penjelasan yang rinci terkait faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi yang mempengaruhi proses menjadi seorang ibu (Skema 2.4)

Skema 2.4. Revisi konsep maternal role attainment – Becoming a mother

Interacting environments that affect the process of becoming a mother. (From Mercer, R. T., &

(65)

Lingkungan memiliki potensi untuk mempengaruhi proses positif atau negatif dan karena itu merupakan pertimbangan penting dalam melaksanakan praktek keperawatan dan penelitian. Mercer (1995) menggambarkan identitas peran sebagai suatu yang memiliki komponen internal dan komponen eksternal. Identitas adalah pandangan internal perempuan tentang dirinya sendiri sebagai seorang ibu. dan peran adalah komponen perilaku eksternal.

Hasil penelitian kualitatif telah mengidentifikasi tahapan dari peran pengaruh dengan menggunakan istilah penelitian partisipasi. Suatu perbandingan dari hasil penelitian ini telah menuntun Mercer (2004) mengajukan perubahan nama tahapan mengacu pada identifikasi peran pengasuhan seorang ibu, yaitu: memiliki komitmen dan persiapan kehamilan, menerima kehamilan, melaksanakan peran, dan sehat secara fisik selama dua minggu pertama kehamilan, kondisi ibu dalan keadaan normal selama minggu pertama sampai keempat kehamilan, dan telah teridentifikasi menjadi seorang ibu (Nugroho, 2014).

(66)

perayaan sosial di banyak masyarakat dan budaya, hal ini membawa penyesuaian tanggung jawab budaya, banyak faktor yang mempengaruhi masa transisi ibu dari kelahiran anak hingga membesarkan anak. beberapa di antaranya: agama, sistem kekerabatan, ekonomi, interaksi komunikasi dan teknologi medis. Namun di beberapa masyarakat ada variasi antara perawatan tradisional dan modern, sementara beberapa masyarakat menggabungkan kedua bentuk perawatan. Hal ini patut dicatat untuk diingat bahwa beberapa praktek-praktek tradisional atau budaya diuntungkan dengan adanya ibu baru dan bayi yang baru lahir (Raven, Chen, Tolhurst & Garner (2007) dalam Ujodi, 2014).

Gambar

Tabel 2.1.Perbandingan Tahapan Maternal Role Attainment &Becoming a Mother

Referensi

Dokumen terkait

Model matematik epidemi penyakit rebah semai pada tanaman kedelai pada setiap perlakuan inokulasi actinomycetes dan VAM dan musim tanam (musim hujan dan musim kemarau)

Ada perbedaan yang signifikan hasil belajar aspek sikap siswa kelas XII. SMA Kristen Satya Wacana Kota Salatiga semester 1 tahun

Dari Tabel IV-2 dan Gambar 4-2 bisa ditunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam klorida (HCl) yang digunakan dan semakin lama waktu reaksi, maka jumlah glukosa yang

tertarik untuk m elakukan eksperimen dengan judul “ PERBEDAAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XII SMA KRISTEN SATYA WACANA KOTA SALATIGA SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN

Untuk memperoleh asam lemak dari minyak biji karet, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan cara hidrolisis.. Proses hidrolisis menguraikan minyak biji

Nanofiller yang di Coating dengan Surface Coat dan Bahan Bonding Setelah Penyikatan. Multiple Comparisons Kekasaran

Hasil pengujian hipotesis menunjukan bahwa debt to equity ratio, profitability, ukuran perusahaan (size) , umur perusahaan (age) , kepemilikan pihak luar

Dapat juga dikatakan bahwa makna referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, baik berupa objek konkret atau