• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perawatan Postpartum pada Ibu HIV Post Bedah Caesarea Bedah caesarea adalah metode persalinan yang sering dilakukan pada ibu

2.2. Konsep Bedah Caesarea

2.2.4. Perawatan Postpartum pada Ibu HIV Post Bedah Caesarea Bedah caesarea adalah metode persalinan yang sering dilakukan pada ibu

yang terdeteksi HIV karena berdasarkan kemanfaatan dapat mencegah penularan HIV ke bayi yang dilahirkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian tentang kemanfaatan bedah caesarea dibandingkan dengan persalinan pervaginam pada wanita positif HIV didapatkan bahwa bedah caesarea yang dijadwalkan dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi sampai dengan 80% dan apabila bedah caesarea elektif disertai dengan penggunaan pengobatan antiretroviral maka risiko dapat diturunkan sampai dengan 87% (Boer, England, Godfried, & Thorne, 2010). Akan tetapi, persalinan melalui bedah caesarea bukanlah alternatif yang lebih aman karena di perlukan pengawasan khusus terhadap indikasi di lakukannya maupun perawatan ibu setelah tindakan tersebut, karena tanpa pengawasan yang baik dan cermat akan berdampak pada kematian ibu (Tenreng, 2009).

Perawatan postpartum merupakan komponen penting dari perawatan kesehatan yang baik bagi ibu dan bayi (The National Road Map Strategic Plan, 2008). Periode postpartum didefinisikan sebagai enam minggu pertama setelah kelahiran, sangat penting untuk kesehatan dan kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Waktu yang paling rentan kedua adalah selama beberapa jam dan hari setelah kelahiran. Kurangnya perawatan dalam periode ini dapat mengakibatkan kematian atau cacat serta hilangnya kesempatan untuk mempromosikan perilaku sehat, yang mempengaruhi ibu, bayi baru lahir, dan anak-anak (Warren et al.,

Perawatan postpartum pada perempuan positif HIV pada dasarnya sama dengan pasien yang tidak terinfeksi meskipun mereka mungkin ada peningkatan pada risiko komplikasi postpartum seperti infeksi luka, dan lain-lain (Madiba & Magula, 2010). The Nova Safety Association Konstruksi Scotia (NSCSA) menunjukkan 10% dari perempuan yang telah menjalani bedah caesarea membutuhkan perawatan khusus pasca operasi dalam unit ketergantungan tinggi, 3,5% dari perempuan-perempuan tersebut dipindahkan ke unit perawatan intensif.

Berdasarkan studi case control terkait faktor-faktor risiko masuk ICU selama dirawat di rumah sakit untuk kalangan perempuan yang melahirkan di Amerika Serikat antara tahun 1984 dan 1997 ditemukan bahwa dari keseluruhan tingkat masuk ICU (0,13%) secara signifikan adalah perempuan yang melahirkan secara caesarea dibanding perempuan yang melahirkan secara normal.

Menurut Deardorff (2007) setiap individu akan mengalami pemulihan yang berbeda-beda, tergantung dari usia, tipe operasi, kondisi tubuh dan kesehatan secara umum. Perempuan positif HIV lebih rentan terhadap komplikasi infeksi postpartum, termasuk saluran kemih, episiotomi dan infeksi bagian luka bedah caesarea. Setengah dari semua kematian ibu setelah melahirkan terjadi selama minggu pertama setelah bayi lahir, dan mayoritas ini terjadi selama 24 jam pertama setelah melahirkan.

Penyebab utama kematian ibu di Afrika, 34%nya disebabkan karena perdarahan, yang sebagian besar terjadi pada periode postpartum. Sepsis dan infeksi mengklaim 10% lainnya dari kematian maternal, hampir semua selama

periode postpartum. Ibu positif HIV lebih berisiko mengalami kematian ibu pasca melahirkan dibandingkan perempuan HIV negatif (HRSA, 2013).

Petugas kesehatan harus menyadari hal tersebut dan mengamati tanda- tanda infeksi. Ibu harus diberikan informasi tentang gejala-gejala awal infeksi pada saat pemulangan, terutama di mana masa rawat postpartum di rumah sakit yang singkat. Semua ibu harus diberi petunjuk tentang perawatan perineal dan penanganan yang aman dari lokia dan bercak darah pada pembalut atau bahan (HRSA, 2013).

Ibu harus diberikan informasi tentang cara merawat bayi mereka tanpa risiko paparan infeksi, diskusi lengkap mengenai risiko dan manfaat dari pilihan pemberian makanan bayi. Jika ibu tidak menyusui, ibu harus menerima informasi lengkap tentang pemberian susu formula yang aman dan proses menyusui harus ditekan. Ibu yang memilih untuk menyusui harus diberitahukan mengenai peningkatan risiko penularan mungkin dengan adanya puting pecah, mastitis, abses payudara atau lesi oral pada anak. Durasi berkurang menyusui dan penyapihan dini dapat didorong untuk mengurangi risiko penularan di mana hal ini dapat dicapai dengan aman(WHO/UNAIDS, 1998).

Ibu harus diberi konseling tentang perlunya perawatan tindak lanjut untuk ibu dan anaknya, dan pilihan yang tersedia untuk tes HIV pada anak. pemberian informasi tentang kelompok dukungan HIV lokal yang tersedia, rekomendasi penggunaan kontrasepsi harus diberikan dan pengaturan awal dibuat untuk memulai dengan metode yang tepat (HRSA, 2013).

Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan pada perawatan bedah caesarea pada ibu yang positif HIV-AIDS dan ibu negatif HIV-AIDS. Hanya saja diperlukan pengawasan ekstra terkait komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan ataupun infeksi luka terkait penyakit infeksi yang berisiko tingginya. Oleh karena itu, perlunya pengawasan dan monitoring yang ketat pada ibu postpartum, khususnya ibu yang positif HIV-AIDS yang menjalani bedah caesarea. Perawatan setelah proses kelahiran sangat penting, tidak hanya untuk sekedar bertahan hidup tetapi juga untuk masa depan ibu maupun bayi yang baru dlahirkan karena perubahan besar terjadi selama periode ini yang menentukan kesejahteraan ibu dan bayi dan potensi masa depan yang sehat (WHO, 2010). Monitoring tersebut meliputi:

1. Monitoring Rutin setelah Bedah Caesarea

Setelah dilakukannya bedah caesarea, ibu harus di observasi satu demi satu oleh ahli anastesi, recovery nurse, bidan atau tenaga terlatih lainnya sampai jalan nafas terkontrol, Cardiorespiratory stabil dan mampu berkomunikasi (NICE, 2011). Semua ruang pemulihan dikelola ke tingkat yang memungkinkan ini menjadi hal rutin. ibu harus berada dibawah pengawasan setiap saat dan semua pengukuran harus dicatat. Pengenalan sistem perekaman otomatis dianjurkan. Frekuensi rekaman akan tergantung pada tahap pemulihan dan kondisi klinis pasien (NICE, 2011).

Pemantauan terhadap tekanan darah, laju dan irama jantung, laju pernapasan dan pulse oximetry secara terus menerus setiap 5 menit selama 30 menit pertama dalam masa pemulihan. Selain itu informasi yang harus dicatat

juga adalah: tingkat kesadaran, saturasi oksigen dan pemberian oksigen, tekanan darah, frekuensi pernafasan, laju dan irama jantung, intensitas nyeri, infus intravena dan obat-obatan yang diberikan (Warren, Daly, Toure, & Mongi, 2011).

Bagi ibu dengan epidural atau intratekal analgesik perlu pengamatan ekstra termasuk nyeri dan skor sedasi, laju pernapasan dan mobilitas. Rekaman ini biasanya akan dilanjutkan setelah keluar dari ruang pemulihan. Hal ini berlaku umum bahwa setelah keluar dari ruang pemulihan menuju bangsal, pengamatan terhadap frekuensi napas, denyut jantung, tekanan darah, rasa sakit dan obat penenang harus dilanjutkan setiap setengah jam selama dua jam dan perjam setelah itu asalkan pengamatan stabil. Jika observasi terhadap hal-hal tersebut tidak stabil maka observasi lebih sering dilakukan dan dianjurkan tinjauan tim medis (NICE, 2011).

Bagi ibu yang mendapat opioid intratekal, minimal setiap jamnya harus diobservasi laju pernafasan, sedasi dan skor nyeri selama setidaknya 12 jam untuk diamorfin dan 24 jam untuk morfin. Untuk opioid epidural dan opioid PCA, harus ada pemantauan rutin perjamnya yang terakhir sepanjang durasi pengobatan ditambah jangka waktu minimal 2 jam setelah penghentian (NICE, 2011).

2. Perawatan Luka

Perawatan luka setelah bedah caesarea merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian khusus. Luka caesarea biasanya ditutup menggunakan dressing yang akan diangkat pada hari kedua pasca operasi (Winnipeg Regional Health Authority, 2012). Setelah pengangkatan dressing, pasien tidak dianjurkan

diperbolehkan mandi dengan mengalirkan air hangat diatas luka operasi dan mengeringkan luka dengan cara menepuk-nepuk dengan lembut menggunakan handuk bersih, flannel atau waslap (NICE, 2011).

Penyembuhan luka membutuhkan waktu beberapa minggu, seiring dengan waktu bekas luka akan menyusut dan warnanya akan memudar. Juga perlu memperhatikan kondisi steri-strip harus tetap pada luka sampai sembuh atau Steri- strip tidak lagi diperlukan untuk mendukung tepi luka (Winnipeg Regional Health Authority, 2012).

Perlunya pemberian informasi dari tenaga kesehatan terkait kondisi luka yang segera harus dilaporkan ibu seperti luka terbuka, bengkak dan merah, menjadi lebih sakit, keluar darah atau nanah dari luka dan mengeluarkan bau (Winnipeg Regional Health Authority, 2012). Hal tersebut dapat meminimalkan terjadinya infeksi luka yang dapat memperparah kondisi ibu terutama ibu dengan penyakit- penyakit infeksi yang berisiko tinggi.

Keterlambatan dalam penyembuhan luka caesarea dan pembentukan bekas luka terlihat adalah gejala umum dari morbiditas ibu setelah operasi caesarea. Kehamilan kemungkinan terkait dengan penyembuhan luka yang berubah termasuk pengembangan jaringan parut hipertrofik. Tingkat komplikasi luka mengikuti kelahiran caesarea bervariasi dari 2,5% hingga 34%. Penelitian yang dilakukan Samadi (2010) kepada 144 wanita yang menjalani bedah caesarea di RS. Samen-Ol-Aemmeh (Pbuh) di Mashhad, Iran menemukan bahwa aplikasi topikal dari hypericum perforatum terbukti aman dan dapat memfasilitasi penyembuhan luka caesarea pada 10 hari pertama postpartum dan meminimalkan

pembentukan bekas luka di 40 hari postpartum serta meminimalkan rasa sakit dan pruritus.

Sebuah studi control acak yang dilakukan Juergens (2011) pada luka pasien bedah caesarea ditemukan tidak ada perbedaan signifikan hasil secara kosmetik serta kinerja penutupan luka yang sebanding untuk kedua teknik baik penggunaan prolene dan Leukosan® SkinLink pada penutupan luka termasuk kemudahan aplikasi, terjadinya komplikasi, nyeri yang ditimbukan ataupun secara kosmetik.

Perawatan & penyembuhan bekas luka (scar) pada ibu yang terinfeksi HIV pada dasarnya tidak berbeda dengan ibu yang tidak terdeteksi HIV. Pada pasien HIV-AIDS yang imunosupresi akan mengalami gangguan penyembuhan luka dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi luka. Tampaknya pasien yang positif HIV tanpa AIDS tidak memiliki peningkatan risiko masalah luka, sementara pasien dengan AIDS lebih mungkin mengalami gangguan penyembuhan luka (AJCEM, 2012).

Infeksi luka pada pasien AIDS menyebabkan bertambahnya ketidak nyamanan, memperpanjang masa rawat di rumah sakit, menjadi beban tambahan pada pasien yang sudah lemah dan melemahkan sistem kekebalan tubuh lebih lanjut. Perawatan luka pada pasien HIV-AIDS tidak berbeda dengan pengobatan standar. Adanya kriteria yang berhubungan dengan luka seperti pemilihan jenis dressing yang tepat. Penggunaan dressing terbaik untuk penyembuhan luka pasca operasi perlu dibarengi dengan evaluasi terhadap luka berkelanjutan dan penilaian apakah dressing berguna untuk jenis luka dan tahap penyembuhan

adalah dasar perawatan luka yang optimal, dukungan emosional, pemberian pendidikan kesehatan akan meningkatkan baik kesejahteraan emosional maupun fisik pasien HIV-AIDS (AJCEM, 2012).

Pada awalnya, bekas luka akan sedikit terangkat, bengkak, dan lebih gelap dari sisa kulit normal, tapi akan mulai menyusut secara signifikan dalam waktu enam minggu dari operasi. sayatan bedah caesarea hanya berkisar panjang 4- 6 inci dan lebar sekitar 1/8 inci. Setelah lokasi sayatan terus menerus sembuh, bekas luka akan lebih mendekati warna kulit dan lebarnya akan menyempit menjadi sekitar 1/16 inci. Mungkin rasa gatal terjadi sementara penyembuhan, namun banyak wanita mengatakan area bekas luka terasa mati rasa dan dapat tetap demikian bila tanpa perawatan (Claire, 2009) Setelah sembuh, kulit dan bekas luka akan berubah, dan perasaan sekitar bekas luka akan bergeser.

Karakteristik yang menandakan penyembuhan luka cepat adalah tidak ada atau minimalnya bahan asing, tidak ada infeksi, aposisi akurat, tidak ada ketegangan berlebihan, suplai darah yang baik dan tidak ada tepi pemisahan hematoma (AJCEM, 2012).

Sumber-sumber infeksi pada pasien HIV-AIDS juga perlu diketahui baik yang bersifat endogen ataupun eksogen. Faktor endogen berasal dari bakteri flora normal pasien yang mencemari luka dan menyebabkan infeksi yang dapat dicegah melalui teknik higienis pasien, penggunaan pakaian dan sprei yang bersih, dan menghindari kontaminasi luka melalui teknik dressing yang buruk. Infeksi eksogen berasal dari infeksi silang melalui staf rumah sakit, pasien lain, peralatan dan lingkungan yang dapat dicegah dengan cara mencuci tangan menggunakan

sabun cair dan pengeringan setelah setiap kontak dengan pasien. penggunaan agen bakterisida sebelum prosedur aseptik termasuk pembalut luka. Pengendalian infeksi juga termasuk penggunaan sarung tangan steril, cuci tangan setelah pelepasan sarung tangan. Penelitian yang dilakukan oleh Harrison, Lewis, dan Lavy (2002) menun jukkan bahwa adanya kontaminasi pra operasi menyebabkan peningkatan tajam (42%) kejadian infeksi pada pasien positif HIV dibandingkan dengan pasien negatif HIV.

Prinsip-prinsip perawatan luka pada pasien AIDS yang sedikit berbeda dari perawatan standar. Prinsip tersebut dibagi menjadi:

1. Teknik aseptik

Pada setiap perawatan postpartum terkait perawatan luka, perineum atau yang memungkinkan masuknya bakteri harus menggunakan instrument steril berupa sarung tangan steril.

2. Tipe luka

Penentuan tipe luka terkait pemilihan pendekatan yang akan dilakukan. Pendekatan bedah atau non bedah. Pendekatan bedah menyangkut pertanyaan kebersihan luka, kedalaman luka, dan lain-lain. Sementara luka non bedah mungkin laserasi traumatis, luka pretibial atau insiden luka bakar. Semua luka non-bedah harus dianggap sebagai berpotensi terkontaminasi.

3. Pemilihan dressing

Pemilihan dressing tergantung pada evaluasi luka pasien. Apakah ada nekrotik, infeksi, granul, epitelisasi, apakah datar atau berongga. Idealnya luka harus tetap hangat dan lembab, terlindung dari infeksi dan kerusakan fisik. Kelembaban yang berlebihan di tempat tidur luka dapat melembutkan dan melemahkan tepi luka (maserasi). Akibatnya luka bisa membesar dan organisme patogen akan dapat menembus kulit di sekitarnya dan menyebabkan infeksi. Eksudat dan jaringan mati harus dihapus setelah irigasi saline berlebihan terutama dari luka yang kotor.

4. Melanjutkan evaluasi

Luka sangat penting untuk deteksi awal degenerasi jaringan yang akan menunjukkan perubahan dressing, pembersih atau debrider. Mengevaluasi dressing lama sangat membantu. Suplai darah yang baik untuk luka dapat dilakukankan oleh pembersihan kembali luka dan mempertahankan jaringan sehat disekitar luka.

5. Jahitan luka

Pengangkatan jahitan luka memerlukan pertimbangan yang matang. Setiap baris jahitan pasien harus dievaluasi untuk menentukan apakah proses penyembuh an sempurna. Waktu pengangkatan jahitan tidak harus tergantung pada dogma namun harus mengikuti evaluasi luka pasien karena ada berbagai faktor, terutama situs dan kondisi kesehatan umum pasien termasuk status imun yang dapat menunda penyembuhan. Pengangkatan jahitan tergantung pada suplai darah yang melalui luka tersebut. Semakin baik suplai darah ketempat luka maka semakin

cepat pula jahitan diangkat. Pengangkatan jahitan dalam waktu lama dari yang diperlukan dapat mendorong infeksi, dan akan meninggalkan bekas luka atau keloid.

6. Drainase luka

Drainase suction tertutup meminimalkan risiko infeksi drain harus diangkat segera setelah cairan berhenti. Banyak wanita mengatakan mereka merasa takut untuk menyentuh bekas luka mereka karena rasanya mati rasa. kulit dan bekas luka akan berubah, dan perasaan sekitar bekas luka akan bergeser. Banyak wanita mengatakan mereka merasa takut untuk menyentuh bekas luka mereka karena rasanya mati rasa atau menyakitkan. Sebenarnya menyentuh perut setelah operasi akan membantu mempercepat penyembuhan dan memperkecil ukuran bekas luka. Karena memijat merangsang ujung saraf. Hal ini membawa perasaan mati rasa akan hilang.

Memijat bekas luka membantu untuk menyembuhkan lebih cepat, dan karena itu melembutkan jaringan parut dan menciptakan efek datar, bekas luka halus. Memijat sayatan bedah caesarea membantu mengatur jaringan parut karena pijat secara teratur memberikan kompresi yang meningkatkan sirkulasi dan koneksi, merangsang proses penyembuhan. Pijat sendiri bekas luka mengurangi potensi adhesi bedah caesarea bekas luka, salah satu sumber yang signifikan komplikasi jangka panjang. Sentuhan dan pijat begitu konsisten akan membantu tampilan dan nuansa dari bekas luka , serta meningkatkan sirkulasi dan kesadaran diri.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Poor et al. (2014) di Rumah Sakit Mustafa Khomeini, Elam, Iran, pijat kaki dan tangan dapat dianggap sebagai metode pelengkap untuk mengurangi rasa nyeri dari operasi caesarea secara efektif dan untuk mengurangi jumlah obat dan efek sampingnya. Bekas luka yang sebenarnya jauh lebih dalam dari apa yang terlihat, dan semakin lama waktu memijat, semakin lembut bekas luka dan lebih dalam bisa menembus perut dan membantu tingkat yang lebih dalam. Jika mudah keloid, strip pembelian silika gel atau untuk membantu dalam perubahan warna dan tekstur pada permukaan bekas luka.

Pasien HIV-AIDS tidak boleh didiskriminasi dalam hal menerima intervensi bedah yang tepat karena takut masalah penyembuhan luka. Prosedur bedah dapat modalitas terapi yang aman dan efektif. Melanjutkan evaluasi luka dan penilaian apa ganti berguna untuk jenis luka dan tahap penyembuhan dasar perawatan luka yang optimal. Gizi yang adekuat terutama pada pasien HIV-AIDS memfasilitasi penyembuhan luka dan penurunan infeksi luka dengan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh.

Salah satu masalah bagi ibu pada periode pasca bedah caesarea adalah rasa nyeri, yang mengganggu hubungan awal antara ibu dan bayi baru lahir; manajemen nyeri tepat mencegah efek samping dari rasa nyeri, memfasilitasi pemulihan pasien, mengurangi biaya perawatan dengan meminimalkan atau menghilangkan distress ibu, dan meningkatkan interaksi ibu-bayi. Perawatan luka pada ibu yang terinfeksi HIV harus menggunakan teknik precaution termasuk

menggunakan sarung tangan saat membersihkan area perineum dan bekas luka operasi.

3. Pemberian ASI

Tingkat inisiasi menyusui lebih tinggi pada wanita yang dengan kelahiran normal dibandingkan dengan mereka yang menjalani bedah caesarea. Namun, dengan tiga sampai enam bulan setelah kelahiran tidak ada perbedaan dalam tingkat menyusui antara kedua kelompok (NICE, 2011).

Evidence dari tiga dekade terakhir jelas menunjukkan bahwa menyusui bermanfaat bagi ibu, bayi dan masyarakat. Menurut Chertok dan Shoham-Vardi (2008), bayi yang lahir melalui bedah caesarea yang mendapat ASI memiliki rata- rata hospitalisasi yang lebih rendah selama tahun pertama dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi produksi ASI pada ibu postpartum dengan bedah caesarea. Penelitian yang dilakukan Lin et al. (2011) pada 141 ibu postpartum bedah caesarea pada unit regional teaching hospital di Northern, Taiwan antara Bulan Juni 2007 dan Bulan Juni 2008 menunjukkan bahwa ibu multipara berpikir bahwa mereka memiliki pasokan ASI lebih besar daripada ibu primipara. Paritas merupakan salah satu faktor penting bagi keberhasilan menyusui.

Dua mekanisme tindakan potensial dapat menjelaskan temuan ini. Pertama, Grajeda dan Perez-Escamilla (2002) menemukan bahwa wanita primipara mengalami stres yang lebih besar selama persalinan/melahirkan daripada wanita multipara, yang mungkin menjadi faktor penunda timbulnya

laktasi. Kedua, penelitian telah menunjukkan pengalaman menyusui berkorelasi dengan cara mengisap bayi. Huang, Lee, Gau, dan Huang (2007) menemukan bahwa bayi dari ibu dengan pengalaman menyusui kurang mungkin lebih rentan terhadap perilaku mengisap negatif. Primipara cenderung memiliki pengalaman menyusui kurang yang dapat mempengaruhi persepsi pasokan ASI.

Academy of Breastfeeding Medicine merekomendasikan model kebijakaan pemberan ASI bahwa bayi yang dilahirkan secara caesarea dianjurkan untuk disusui segera mungkin baik diruang bedah atau ruang pemulihan. Teknik kontak kulit ke kulit dapat digunakan untuk mempromosikan inisiasi menyusui dini pada bayi yang dilahirkan secara caesarea (Kuyper, Vitta, & Dewey, 2014).

Hasil survey tahun 2011 pada 68% rumah sakit di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kondisi kesehatan bayi yang menerima ASI untuk makan pertamanya 90% nya adalah bayi yang dilahirkan secara caesarea dan 75 % bayi yang dilahirkan melalui vagina.

ASI memiliki berbagai manfaat baik bagi ibu ataupun bayinya. Adapun manfaat bagi bayi yang telah dihubungkan dengan pemberian ASI termasuk risiko yang lebih rendah dari otitis media, infeksi gastrointestinal, necrotizing enterocolitis, infeksi saluran pernapasan bawah, sindrom kematian bayi mendadak, asma, alergi, leukimia, obesitas, dan diabetes (Ip et al., 2009). Manfaat pemberian ASI bagi ibu termasuk tingkat yang lebih rendah dari kanker ovarium, kanker payudara, diabetes tipe 2, serta depresi postpartum (Ip et al., 2009).

Pada kelahiran caesarea dengan ibu yang terinfeksi HIV, pemberian ASI tidak dianjurkan karena dapat memicu penularan virus dari ibu ke anak. Sebuah uji klinis acak oleh American Academy Of Pediatrics (2009) pada 425 ibu hamil yang terinfeksi HIV di Kenya menunjukkan bahwa penularan melalui pemberian ASI lebih tinggi (96%) dibanding pemberian susu formula (70%) dengan durasi rata-rata menyusui adalah 17 bulan. Probabilitas kumulatif infeksi HIV pada anak- anak di usia 24 bulan secara signifikan lebih tinggi dalam ASI yaitu 36,7% dibanding pada kelompok susu formula sebesar 20,5%.

Meskipun penularan virus dapat terjadi selama proses menyusui namun pemberian ASI memiliki manfaat yang signifikan yang lebih besar dibandingkan risikonya, termasuk penyediaan gizi bayi yang ideal dalam 6 bulan pertama kehidupan dan ASI juga dapat dikatakan sebagai kontrasepsi alami yang dapat mengatur jarak kehamilan serta pemulihan ibu dari kehilangan darah pasca operasi dan persalinan.

Selain pemberian ASI, yang perlu mendapat perhatian pada ibu dengan HIV-AIDS adalah perawatan payudara setelah proses persalinan. Perawatan payudara merupakan hal penting bagi Ibu khususnya ibu dengan HIV-AIDS yang lebih rentan terkena komplikasi infeksi postpartum dibanding dengan ibu yang tidak terinfeksi. Berdasarkan hasil penelitian khamsawarde (2010) menunjukkan bahwa ibu yang terinfeksi HIV-AIDS kurangmenjaga kebersihan tubuh, payudara dan puting susu mereka dibanding dengan ibu yang tidak terinfeksi.

4. Pengobatan Antiretroviral

Penggunaan ARV pasca melahirkan pada perempuan yang terinfeksi HIV harus mengacu pada nilai hitung sel CD4, viral load HIV, tanda klinis/stase penyakit, adanya indikasi lain untuk ART (misalnya hepatitis B kronis, nefropati terkait HIV), masalah kepatuhan, status infeksi HIV dari pasangan seksual

Dokumen terkait