Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Akhmad Haris Khariri 106033201158
PRODI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iv
Gerakan Fundamentalis di Perguruan Tinggi; Studi tentang Pola Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta
Skripsi ini menganalisa pola gererakan dan strategi kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HT) dan gejala fundamentalisme Islam yang ada di Kampus UIN Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola gerakan dan strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI dan untuk mengetahui gejala fundamentalisme Islam di Kampus UIN Jakarta. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan studi pustaka (library research) dan wawancara. Penulis menemukan bahwa, pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di lingkungan kampus UIN Jakarta relatif intens dilakukan dan mengambil beberapa bentuk diantaranya dengan memanfaatkan berbagai sarana baik yang dimiliki internal organisasi maupun sarana-sarana kampus seperti memanfaatkan media kampus Radio Dakwah dan Komunikasi RDK Fakultas Dakwah dan Komunikasi, sarana ibadah Student Center SC, afiliasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan lain-lain. Adapun sarana internal HTI mengembangkan sumber daya organisasi seperti pengembangan kelompok-kelompok studi seperti SRIKAYA, Gema Pembebasan, Muslim Science Comonity MSC, Lisma HTI dan lain-lain. Berbagai subsistem ini dimanfaatkan HTI untuk mengembangkan berbagai gagasannya melalui beberapa varian kegiatan-kegiatan seperti diskusi, seminar, aksi demonstrasi, pengajian, melakukan pendekatan pertemanan dan lain-lain.
Selanjutnya strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI yaitu dengan melakukan pembinaan intensif terhadap calon kadernya. Proses pembinaan tersebut ditempuh
melalui berbagai tahapan seperti tahapan pembinaan dan pengkaderan (al-tathqif),
tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah al-tafaul ma’a al-umah), dan tahapan
pengambilan kekuasaan (istilam al-hukm). Selanjutnya terkait dengan
fundamentalisme Islam penulis menemukan beberapa kemiripan-kemiripan karakteristik HTI dengan gerakan fundamentalisme Islam seperti sikap HTI dalam merespon gagsan-gagasan Barat, memiliki unsur politik yang kuat, cara memahami terhadap doktrin keagamaan dan lain-lain.
v
kepada Nabi Muhamad SAW, sebagai rasul pembawa misi pembebasan dari pemujaan terhadap berhala, rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan akhlak. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga, sahabat nabi serta seluruh umat.
Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayahnya, Alhamdulillah penulis mampuh menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi salahsatu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul “Gerakan Islam Fundamentalis di PerguruanTinggi Studi Tentang Pola
Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan serta mejadi pekerjaan yang berat bagi penulis yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada
Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terima kasih kepada jajaran pembantu Dekan, bapak Hendro Prasetyo Ph.D sebagai Pengurus Dekan (Pudek) I FISIP, ibu Dra.Hj. Wiwi Siti Sajaroh, MA Sebagai Pudek II dan Bapak Ahmad Abrori M.Si sebagai Pudek III FISIP. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. Sebagai Ketua Prodi Ilmu Politik. Bapak M. Zaki Mubarak. M. Si. Sebagai Sekertaris Prodi Ilmu Politik.
v
Ayah Abdul Karim Bakhri dan Ibunda Sulsiyah, terima kasih atas kasih sayang dan bimbingan motivasi yang tidak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampuh mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan.
Terima kasih juga kepada kaka-kakaku Ufi Ulfiyah, Nasrul Umam Syafi’i,
Akhmad Mae’hi, Susilawati, Huzaemah, Humaerah yang telah memberikan semangat kepada penulis.Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2006/2007 yaitu Bara Ilyasa, Rifqi Zabadi Assegaf, Dedi Candra, Agam Dilya Ulhaq, Rido, Santi, Afrina, Hadi Mustofa, Bangbang, Akhmad Riki, Dede Sahrudin, Khawasih Qudri, Torik, Anwar, Eko Aryo, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat di Sanggar Kreatif Anak Bangsa yaitu Diki (Ucok), Riswan, Hamzah, Kiki, Ipah, Mas Adit, Anisa Zahra, Lyna, IrhamMudzakir, Kumi Laila, Sofa, Sofi, Akhmad Suparjo dan yang lainnya. Terima kasih kepada DPP HTI yang telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis dalam proses pencarian data dan terimakasih kepada pengurus HTI Cabang Ciputat yang telah bersedia memeberikan penulis kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai skripsi ini.
Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada sepuruh komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya,semoga Allah SWT membalas segala kebaikan amalbudi baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Dan skripsi ini walaupun masih banyak kekurangan semoga bermanfaat bagi kita semua.Wassalam
Jakarta, 21 Januari 2014
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……….....iv
KATA PENGANTAR ………...v
DAFTAR ISI ………..vi
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ………...……….. 1
B. Pertanyaan Penelitian ………... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….…… .13
D. Tinjauan Pustaka ...……….... 14
E. Kerangka Teoritis …………...………16
F. Metodologi Penelitian ………...…... 21
G. Sistematika Penelitian ………...… 22
BAB II KERANGKA TEORITIS A. Teori Fundamentalisme ………...…. 25
B. Teori Gerakan Sosial ……….... 32
1. Struktur Kesempatan Politik ………... 34
2. Mobilisasi Sumber daya ………..………. 37
3. Proses Pembingkaian ………... 40
BAB III SEKILAS TENTANG GERAKAN ISLAM HIZBUT TAHRIR
A. Sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia ... 51
B. Hizbut Tahrir Indonesia Sebagai organisasi yang berideologi
Islam………... 55
C. HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta...……….. 60
D. Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam ... 65
BAB IV POLA GERAKAN DAN STRATEGI KADERISASI HIZBUT
TAHRIR INDONESIA DI KAMPUS UIN JAKARTA
A. Masjid Sebagai Instrumen Pengembangan Jejaring Sosial HTI
UIN Jakarta (Ilustrasi Masjid Fatullah dan Masjid
Baitulrrahmah Legoso) ………. 73
B. Memanfaatkan Relasi Personal (Pertemanan dan Keluarga) ...…. 76
C. Membentuk Kelompok Studi dan Memanfaatkan Sarana
Kampus..………. ………...80
D. Pembingkaian Isu Sebagai Pola Gerakan HTI di UIN Jakarta .... 83
E. Strategi Kaderisasi HTI di UIN Jakarta ……… 89
1. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Al-Tahqif) ………... 90
ma’a al- Ummah) ... 94
3. Tahapan Pengambilan Kekuasaan (Istilam Al-Hukum) ... 109
F. Faktor-faktor yang Mendukung Eksistensi HTI di Kampus
UIN Jakarta ………... 111
1. Jaringan ………... 112
2. Keberadaan Para Aktivis HTI sebagai Sumber Daya ……….. 115
G. Eksistensi HTI sebagai Indikator dari Fundamentalisme Islam di
Kampus UIN Jakarta ……….... 118
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……….122
B. Saran ………...126
DAFTAR PUSTAKA ……….
Bab I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak organisasi
relogio-politik yang berkembang pasca Orde Baru. Ditinjau secara historis
keberadaan HTI di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1982-1983 atas prakarsa seorang
mubaligh dari pesantren Al-Ghozali yaitu Abdullah Nuh.1 Pada awalnya aktivitas
HTI hanya berpusat di lingkungan pesantren saja, namun berkat interaksi yang terus
dilakukan oleh para aktivisnya maka gagasan-gagasan HTI terus menyebar hingga ke
Masjid Al-Gifari di Institute Pertanian Bogor (IPB). Di kampus inilah HTI
menemukan momentum pertamanya untuk bersentuhan secara langsung dengan para
mahasiswa.2
Pada saat HTI pertama kali diperkenalkan di Indonesia, keberadaan anggota
HTI sangat terbatas. Namun, karena para aktivis HTI memiliki semangat besar dalam
mengemban misi dakwah Islam, maka gerakan mereka sangat cepat menyebar ke
kampus-kampus lainnya di Indonesia. Mengutip apa yang pernah ditulis oleh M. Zaki
Mubarak yaitu:
1
Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, (Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), 121-122.
2
Gerakan HTI banyak tersebar di kampus-kampus di Indonesia seperti Institute Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjajaran (UNPAD), IKP Malang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Indonesia Depok dan lain-lain. Simpul-simpul jaringan ini pula terbagun secara merata di banyak kota di Indonesia diantaranya Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain. Kampus-kampus kemudian dijadikan center-center untuk melakukan aktivitas HTI dan melakukan kaderisasi anggotanya.3
Selain di kampus-kampus yang telah disebutkan di atas, aktivitas HTI juga
tumbuh di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarata).
Dalam hal ini, menurut Aat Yuliawati menyebutkan bahwa momentum pertama HTI
di kampus UIN Jakarta adalah sejak 2001. Pada fase pertama HTI bersentuhan
dengan UIN Jakarta, gerakan mereka masih mengambil langkah ekslusif dan hanya
terbatas pada beberapa orang saja. Ruang lingkup gerakan mereka juga masih bersifat
personal dan hanya mengandalkan ikatan-ikatan pertemanan. Bagi anggota baru yang
tertarik pada ide-ide HTI akan langsung dibina dengan metode halaqah „am4
(pertemuan atau forum untuk mendiskusikan maslah-masalah agama).5
Selanjutnya sekitar tahun 2002 aktivitas dakwah HTI mulai lebih terorganisisr
dengan rapi, kemudian pada tahun ini pula mereka melakukan beberapa kali
3
M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3S, 2008), h. 75-76.
4
Halaqah„am biasanya dilakukan untuk memperkenalkan dan membina siapa saja yang memiliki ketertarikan dengan ide-ide HTI. Halaqah‟am ini dilakukan oleh aktivis HTI sebagai pembinanya. Adapun peserta halaqah‟am ini sangat terbatas, biasanya satu orang pembina akan menangani maksimal lima orang peserta. Halaqoh ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dan minimal delapan minggu waktu yang digunakan. Setelah selasai mengikuti Halaqoh umum ini, maka peserta akan ditawarkan ke tahap selanjutnya dengan syarat peserta harus setuju dengan gagasan-gagasan HTI. Sumber diambil dari wawancara penulis dengan Ust. Fadlan, selaku ketua Komisariat HTI UIN Jakarta, di Masjid Al-Mukhlisisn Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 5 februari 2013. Pukul 15.00 wib.
5
Aat Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”, (Skripsi SI
halaqah‟am (pertemuan atau forum untuk mendiskusiakan masalah-masalah Islam)
dan pelatihan untuk perluasan organisasi.6 Di tahun 2003-2004 HTI mulai merambah
ke fakultas-fakultas di sekitar kampus UIN Jakarta. Pola gerakan yang mereka
bangun adalah dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi, kajian lesehan,
pengajian sederhana di masjid-masjid, kajian rutin anggota dan seminar. Salah satu
kegiatan seminar HTI yang paling banyak mendapat sorotan pada fase awal HTI
adalah Seminar Nasional Khilafah dengan tajuk “Penegakan Syariat Islam
Relefankah ?...”. Acara tersebut di selenggarakan pada tahun 2004 di Aula Student
Center UIN Jakarta. Adapun yang menjadi pembicara dalam senimar tersebut yaitu,
DPP HTI yaitu Ust. Hafid Abdurahman dan Ust. Abu Zaid.7
Sejak menit pertama kedatangannya di kampus UIN Jakarta hingga saat ini para
aktivis HTI masih konsisten dalam melakukan aktivitas gerakan. Asumsi ini dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa kegiatan/aktivitas HTI yang sampai saat ini tetap
berlangsung seperti halnya terlihat pada kegiatan-kegiatan HTI di tahun 2012 yang
lalu. Menjelang tahun 2012 para aktivis HTI mengadakan halaqah rutin dengan tema
“Islam: Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat 2012”, yang bertempat di
masjid-masjid sekitar kampus seperti masjid Al-Mukhlisin, Baiturrahmah, Fatullah,
6
Halaqah„am dalam pengertian kalangan HTI merupakan kegiatan yang dilakukan aktivis HTI untuk memperkenalkan HTI kepada orang-orang yang belum mengenal HTI. Halaqah „am sendiri dalam HTI dilakukan dengan berbagai uslub (cara) seperti diskusi, seminar, dialog dan bahkan mengunakan pendekatan personal seperti dengan memanfaatkan hubungan teman kost, teman kuliah, saudara, dan keluarga. Lihat Arifin dalam Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 155-161.
7Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”,
al-Mugirah dan lain-lain.8 Menurut keterangan Andriansyah dalam wawancara
dengan penulis menyebutkan bahwa, dalam rentang waktu dua bulan antara
Desember dan Oktober 2012 HTI telah mengadakan lima kali halaqah di Masjid
Baiturrahmah dan dalam halaqah tersebut ada sekitar 15 peserta baru di tiap-tiap
pertemuannya.9
Adapun yang menjadi pemateri dalam seminar tersebut HTI langsung
mendatangkan pengurus DPP HTI seperti Drs. Wahyudi Al-Marokay (anggota
Lajnah Faaliyah DPP HTI) dan Ust. Ade Sudiyana. LC (anggota Lajnah Tsaqafiyah
DPP HTI), dan acara tersebut bersifat umum.10
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seminar adalah salah satu bagian dari
strategi HTI UIN Jakarta untuk memperluas pengaruh mereka di lingkungan kampus
UIN Jakarta. Selain melalui halaqah‟am, HTI juga memangfaatkan media serta
tulisan-tulisan kecil sebagai instrumen dakwahnya seperti pembuatan web site
www.uinjakartamenujukhilafah.or.id, www.hizb-tahrir.or.id, pembuatan pamflet, Cipuat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 4 Desember 2012, pukul 20.30 wib.
9
Wawancara penulis dengan Andriansyah (pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. Selain menjadi pengurus masjid, Andriyansah juga aktif sebagai Mahasiswa di Fakultas Science dan Teknologi, smester 8 UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 12 April 2012, pukul 15.00 wib.
10
yaitu Radio Dakwah dan Komunikasi (RDK) di fakultas dakwah dan komunikasi
UIN Jakarta.
Pola gerakan lainnya yang lakukan oleh HTI UIN Jakarta adalah dengan
memanfaatkan sumber daya organisasi. Pemanfaatan sumber daya organisasi ini
diwujudkan dalam bentuk perluasan subsistem-subsistem di internal organisasi,
seperti pembuatan kelompok-kelompok kecil yang memiliki relasi langsung dengan
HTI. Kelompok-kelompok ini di bentuk selain untuk pengembangan intelektual, juga
bertujuan untuk mengenalkan ide-ide HTI ke para mahasiswa. Beberapa sub
organisasi tersebut diantaranya adalah kelompok diskusi Gema Pembebasan yang
memliki agenda rutin setiap satu minggu satu kali, diskusi LISMA untuk kaum
perempuan HTI, Muslimah HTI, Muslim Science Comunity(MSC), SRIKAIA (Seri
Kajian dan Analisa), dan lain-lain.11
Pada 3 April 2013, kelompok diskusi Muslimah HTI UIN Jakarta mengadakan
dialog interaktif di Saung Bambu. INA Ciputat dan tema yang diangkat adalah
“Menjawab Pertanyaan Seputar Khilafah”.12 Aktivitas diskusi ini sengaja bersifat
terbuka, sehingga bagi siapa saja yang tertarik terhadap kajian keilmuan bisa mudah
bergabung didalamnya tanpa diberikan sekat-sekat golongan.
11
Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib.
12
Berkat pola gerakan tersebut HTI UIN Jakarta menjadi mudah dikenal oleh para
mahasiswa di kampus UIN Jakarta. Hal lain yang penting diperhatikan terkait
pengembangan organisasi HTI adalah strategi kaderisasi. Dalam melakukan
kaderisasi HTI memiliki strategi yang berbeda dengan organisasi-organisasi internal
kampus pada umumnya seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
Himpunan Mahasiswa Indinesia (HMI), Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan
lain-lain. Di HTI calon kader tidak akan menemukan proses kaderisasi seperti LK
(Latihan Kader) di HMI atau MAPABA (Masa Pengkaderan Anggota Baru) di PMII.
Pada umumnya baik di PMII ataupun di HMI, setiap mahasiswa yang ingin menjadi
kader cukup dengan mengikuti MAPABA atau LK, setelah selesai mereka sudah bisa
dinyatakan sebagai kader.13 Meskipun di HMI maupun di PMII juga memiliki
tingkatan-tingkatan dalam proses kaderisasi namun tidak serumit seperti di HTI.
Di HTI proses kaderisasi terbagi ke dalam beberapa tahapan-tahapan yang harus
dilalui oleh calon kader. Setelah kader dinyatakan selesai mengikuti tahap-tahap yang
telah ditentukan, baru mahasiswa/anggota dinyatakan menjadi kader HTI. Tahapan
yang pertama biasanya dikenal dengan halaqah„am (pengajian sederhana untuk
peserta awal). Halaqah„am ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dengan
durasi waktu paling cepat delapan minggu. Setelah kader mengikuti halaqah„am,
biasanya darsin (peserta yang bersetatus sebagai pengkaji ide-ide HTI dalam
gagasan HTI, apabila setuju maka darisin layak mengikuti tahap selanjutnya dan
apabila tidak, maka proses kaderisasi dihentikan.14
Potret seperti inilah yang menjadi pembeda HTI dengan organisasi-oragnisasi
lain pada umumnya. Selain memiliki pola gerakan dan strategi khusus HTI juga
terkenal dengan keberadaan para aktivis/kader yang konsisten, militan dan kritis yang
siap memperjuangkan ideologinya. Sumbangsih yang diberikan para aktivis terhadap
organisasi sangat berpengaruh besar terhadap pengembangan organisasi. Dalam
perspektif teori gerakan sosial, persoalan massa atau anggota diklasifikasikan ke
dalam kerangka konsep resouce mobilisation (mobilisasi sumber daya), yang menjadi
salah satu modal sosial bagi gerakan sosial. Keberadaan para anggota sangat penting
bagi gerakan sosial karena mereka akan berperan memobilisasi, mengkader, dan
menyebarkan ide-ide organisasi melalui proses interaktif.
Untuk memotret keterlibatan aktivis/anggota dalam melakukan mobilisasi dapat
dilihat ketika persiapan menjelang Mukhtamar Khilafah HTI pada 2013 di Gelora
14
Dalam proses halaqah„am ini biasanya terbagi ke dalam dua tahap. Tahap yang pertama seorang calon anggota diwajibkan mengikutihalaqah‟am tahap pengenalan tentang HTI, tahapan ini peserta halaqah tidak langsung mengkonsumsi/mengkaji kitab-kitab wajib HTI seperti Nizhamul Islam
(Peraturan Hidup dalam Islam), Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam), dll. Tetapi, peserta awal hanya diberikan materi umum dan gambaran tentang HTI secara umum. Adapun waktu yang diberikan untuk halaqah ini yaitu delapan minggu dari delapan kali pertemuan. Setelah tahapan ini dilalui, maka peserta diberikan kesempatan untuk memilih apakah dia siap atau tidak mengikuti
halaqah selanjutnya dengan syarat harus komitmen dan setuju dengan ide-ide HTI bila peserta
Bung Karno Senayan Jakarta. Dalam upaya mobilisasi massa, hampir seluruh aktivis
HTI di UIN Jakarta dilibatkan untuk berperan baik itu sosialisasi, perekrutan peserta,
maupun kepanitiaan di acara tersebut. Menurut keterangan Ust. Zen menyebutkan:
Dalam mukhtamar khilafah kali ini HTI UIN Jakarta menargetkan sekitar 700 lebih peserta yang dihandle oleh HTI UIN Jakarta. Dan tadi pagi sudah ada beberapa bus yang telah diberangkatkan yaitu bus khusus akhwat. Keseluruhan bus yang telah disediakan sekitar 20 bus untuk wilayah ciputat dan HTI UIN sebagai penanggungjawab nya.15
Keterangan yang dipaparkan di atas, merupakan sebuah prestasi yang cukup
gemilang bagi usaha mobilisasi. Bagaimana tidak, dalam tenggang waktu yang tidak
terlalu lama para aktivis HTI mampu memobilisasi massa yang relatif banyak.
Keberhasialan HTI dalam memobilisasi massa tidak terlepas dari peran aktivis yang
konsisten dan memiliki loyalitas tinggi terhadap organisasi. Selain dalam hal
mobilisasi, para aktivis juga terlibat dalam berbagai kegiatan HTI seperti
halaqah‟am, pengajian lesehan, dan sosialisasi tentang ide-ide HTI baik melalui
lisam maupun tulisan.
Misi besar HTI adalah membangun sebuah tatanan masyarakat secara global yang diatur oleh syari’at Islam. Bagi HTI, sebuah tatanan masyarakat yang Islami
akan terwujud jika di dukung oleh keberadaan struktur politik Islam. Maka dari itu,
15
HTI menawarkan struktur politik Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya sistem
politik yang dapat menciptakan tatanan Islami, sistem khilafah juga diyakini sebagai
sistem yang bersumber dari al-qur’an dan sunah.16
Penerimaan HTI terhadap institusi khilafah secara total merupakan bagian dari
indikator bahwa mereka memahami teks keagamaan atau doktrin agama itu secara
skriptual.17 Selain dimensi politik, HTI juga sangat berhati-hati dalam menyikapi
segala macam gagasan-gagasan Barat. Sikap ekslusif ini diekspresikan ke dalam
bentuk penolakan mereka terhadap ide-ide dari Barat, seperti demokrasi, komunisme,
matrealisme, kapitalisme, pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya.18
Sikap HTI yang menolak gagasan-gagasan Barat dan cenderung tektual dalam
memahami doktrin agama tersebut telah menjadi karakter tersendiri bagi kelompok
ini. Maka dari itu, sebagian para sarjana ilmu sosial-keagamaan mengelompokan HTI
ke dalam kerangka konseptual gerakan fundamentalis Islam.
Dalam menyikapi Islam fundamentalis, dikalangan para sarjana memang masih
mengundang kontoversi. Tidak sedikit para sarjana yang menolak terhadap istilah
fundamentalis untuk disejajarkan dengan fenomena gerakan Islam. Seperti halnya
Martin Van Bruessen mengatakan bahwa: “Penerapan terminologi fundamentalis dalam
16
Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 100.
17
Skriptual yang di maksud adalah cara memahami atau mengartikan teks keagamaan secara harfiah atau mereka menolak segala bentuk penafsiran yang bersifat aqliyah dan kontekstual, karena dihawatirkan dapat mengurangi otensititas teks agama. Lihat Nurkhakim, Islam Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi, h. 35-42.
18
konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi, bagaimanapun kita berusaha
mendeskripsikannya akan tampak sulit difahami”.19
Selain Van Bruisen, pemikir lain seperti Khursid Ahmad menolak dengan alasan
istilah fundamentalisme adalah tradisi Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti
terjadi pemerkosaan yang besar-besaran terhadap sejarah.20
Merujuk pada pendapat para sarjana di atas, menghubungkan HTI dengan
gerakan fundamentalisme Islam memang bukanlah perkara mudah sebab dari sisi
historis, karakter, tempat dan rentang waktu pertumbuhan gerakan tersebut sudah
berbeda. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalis lahir dari
tradisi gereja Protestan di Barat (Amerika) pada paruh abad ke-19 dan permulaan
abad ke 20-an.21 Lain halnya dengan gerakan HTI, mereka lahir dan berkembang
seiring dengan kemunculan gerakan-gerakan Islam kontemporer di Timur Tengah
sekitar tahun 1952. Selanjutnya Hizbut Tahrir ditransfer ke Indonesia sekitar
1982/1983, dan mendapatkan penambahan nama Indonesia pada akhir kata tersebut
sebagai penunjuk identitas suatu negara.22
Meskipun banyak sarjana yang menolok kedua istilah disejajarkan, namun ada
pula sarjana yang justru menerima kedua istilah itu disejajarkan. Di antara para
19
Ufi Ulfiyah, “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012”, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2008), h. 39.
20
Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L Esposito (ed). Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Perss, 1985), h. 283.
sarjana yang setuju adalah Roxanne L. Euben dan Bassam Tibi. Menurut kedua
sarjana tersebut bahwa fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan
religio-politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem religio-politik yang
didasatkan pada agama.23 Senada dengan Euben dan Tibi, sarjana lain seperti Leonard
Binder mendefinisikan fundamentalisme di dunia Islam bertujuan menetapkan tatanan politik Islam yang mana syari’ah akan diakui secara umum dan dilaksanakan
sebagai sebuah hukum secara legal.24
Berdasarkan pandangan dari para sarjana di atas, paling tidak penulis sudah
sedikit mendapatkan dukungan teoritis untuk menggabungkan kedua istilah yang
berbeda tersebut. Apabila HTI telah dapat diklasifikasikan ke dalam kerangka konsep
gerakan fundamentalis, maka usaha selanjutnya penulis akan menghubungkan
fenomena HTI ke dalam konteks sosial di UIN Jakarta.
Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN Jakarta adalah kampus Islam
yang sedang melakukan proses modernisasi pendidikan. Secara teoritis moderenisasi
bertujuan untuk merubah sebuah tatanan yang dianggap kolot, fundamental, tradisionl
ke dalam tatanan yang dianggap modern sesuai dengan perkembangan zaman.
Logikanya, apabila istilah moderenisasi dihadapkan dengan istilah fundamental yang
23
Dikutip dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 320.
24
lebih mencerminkan tradisional maka akan terjadi benturan yang mengarah pada
pengkikisan nilai-nilai, nilai tradisional oleh modern atau pun sebaliknya.
Dalam skripsi ini HTI diklasifikasikan sebagai gerakan Islam yang
merepresentasikan nilai-nilai fundamental. Lain halnya dengan UIN Jakarta, ia adalah
institusi pendidiakan yang mengusung proses moderenisasi dalam berbagai aspek
baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, tidak menuntut kemungkinan
akan terjadi pembendungan ruang gerak bagi pertumbuhan gerakan Islam
fundamental termasuk HTI.
Untuk membenarkan hipotesis di atas, maka skripsi ini akan menganalisis
keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Adapun tema masalah yang akan di kaji
dalam skripsi ini adalah: “Gerakan Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi” Studi
Tentang (Pola gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus
UIN Jakarta)
B. Pertanyaan Penelitian
Gerakan HTI adalah gerakan Islam yang tergolong aktif melakukan kaderisasi
di hampir seluruh kampus-kampus di Indonesia. Di UIN Jakarta organisasi HTI
merupakan organisasi yang juga terbilang berhasil dalam menjalankan aktivitas
keorganisasian seperti proses kaderisasi, penyebaran opini, pengembangan sumber
daya organisasi, maupun dalam penyeberan gagasan-gagasan ke HTI-an (Ideologi,
Agar penelitian ini bersifat sistematis dan objektif, maka perlu dirumuskan
beberapa pertanyaan yang menjadi fokus dalam skripsi ini:
a. Bagaimana pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di kampus UIN
Jakarta ?
b. Faktor apa saja yang menjadi pendukung keberadaan HTI di kampus UIN
Jakarta ?
c. Apakah di UIN Jakarta telah terjadi pertumbuhan gerakan
fundamentalisme Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini yaitu untuk mengetahui pola gerakan
dan strategi kaderisasi HTI dan mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung
keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Selanjutnya, mengingat UIN Jakarta adalah
kampus Islam yang sedang melakukan proses moderenisasi di berbagai sektor, maka
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetehui apakah di UIN Jakarta terjadi
peretumbuhan gerakan Islam fundamentalis serta mencari beberapa indikator nya.
2. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk menambah wawasan mahasiswa pada
umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa gerakan HTI di kampus
UIN Jakarta memiliki berbagai pola dan strategi tersendiri dalam mengembangkan
tidak luput dari tumbuhnya gerakan Islam fundamentalis didalamnya. Maka dari itu,
perlu kita amabil hikmah dari fenomena tersebut sebagai tambahan pengetahun
khususnya dalam mengembangkan ilmu sosial dan politik.
D. Tinjauan Pustaka
Dewasa ini telah terdapat banyak penelitian yang mengkaji masalah gerakan
sosial keagamaan dengan mengambil objek penelitian tentang HTI. Di antara
penelitian tersebut yang mendekati dengan penelitian penulis saat ini adalah
penelitian Syamsul Arifin yang bertema Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum
Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia. Peneliian Arifin dilakukan di
kampus-kampus di Malang, khususnya UIN Malang pada 2005. Arifin melakukan
analisis mendalam tentang ideologi HTI dan berusaha untuk menghubungkan HTI
dengan gerakan fundamentalis terutama pada analisis ideologi. Kemudian, Arifin juga
berupaya memaparkan penemuannya terkait dengan pola gerakan HTI di
kampus-kampus di Malang.
Sisi pembeda yang akan coba peneliti lakukan terkaiat penelitian skripsi ini
dengan penelitaian Arifin adalah penulis mengambil lokasi di kampus UIN Jakarta
dan daerah Jakarta. Dengan mengambil lokasi yang berbeda, paling tidak akan
nampak perbedaan terhadap ruang, mengingat jarak antara Malang dan Jakarta cukup
jauah. Kemudian durasi waktu yang dilakukan Arifin pada 2005 cukup jauh dengan
pastinya akan meniscayakan pengalaman-pengalaman baru yang berbeda pengalaman
sebelumnya. Secara substansi penelitian ini hanya akan berfokus pada strategi
kaderisasi dan pola-pola gerakan, sehingga ini akan berbeda dengan penelitian Arifin
yang memfokskan tidak hanya pada pola gerakan tetapi Arifin lebih meluas dan
menekankan dimensi ideologi HTI.
Selain Arifin, penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Aat Yuliawati, yang
meneliti tentang eran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta. Penelitian
yang dilakukan Aat dilakukan pada 2009, dan memfokuskan penelitiannya pada
materi-materi isi dakwah HTI di Kampus UIN Jakarta sebagai fokus analisisnya.
Meskipun penelitian ini mengambil objek yang sama dan tempat yang sama, namun
fokus penelitian penulis dengan Aat terdapat sisi perbedaannya yaitu, penelitian
penulis lebih fokus pada pola gerakan dan strategi HTI dalam melakukan kaderisasi,
sedangkan Aat memfokuskan pada materi dakwah HTI. Maka dari itu, penelitian
yang akan dilakukan penulis akan nampak jelas perbedaannya.
Adapun Imdadun Rahmat dalam dalam bukunya Arus Baru Islam radikal:
Transmisi, Revivalisme Islam timur Tengah ke Indonesia, juga pernah menyinggung
tentang HTI, namun Rahmat mengutarakan HTI dalam konteks general. Rahmat
melakukan analisis relasional antara gerakan-gerakan Islam Indonesia dan Timur
Tengah yang kemudian disimpulkan pada konsep revivalisme Islam transnasional.
Selain Rahmat, penelitian serupa juga dilakukan oleh M. Zaki Mubarak dalam buku
Karya Mubarak, juga hampir serupa dengan Rahmat, yakni kedua peneliti tersebut
meletakan HTI ke dalam konteks yang lebih general. Keduanya tidak mengangkat
satu objek tunggal, sehingga penelitiannya terlihat hanya mendeskripsikan saja.
Namun, usaha yang dilakukan kedua peneliti tersebut patut diapresiasi karena
keduanya telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap pengetahuan akademisi
dan kontribusi refrensi tentang gerakan sosial. Oleh karena itu, penelitian yang
dilakukan penulis saat ini tidak lepas dari kontribusi para sarjana di atas, khususnya
dalam hal pemberian refrensi.
E.Kerangka Teoritis
1. Teori Fundamentalis Islam
Menghubungkan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dengan gerakan
fundamentalis bukanlah perkara yang mudah bagi siapapun yang tertarik meneliti
kedua gerakan ideologis tersebut. Dalam wacana gerakan-gerakan sosial kedua
gerakan di atas (HizbutTahrir dan fundamentalis) tersebut nampak jelas sisi
perbedaannya baik secara historis maupun dari sumber keduanya dilahirkan. Selain
itu, Penelaahan para sarjana mengenai gerakan Islam fundamentalis masih
mengundang pro dan kontra. Terlebih gerakan fundamentalis seolah sudah terlanjur
tercederai oleh stigma negatif, sehingga cukup sulit bagi penulis untuk
menghubungkan kedua gerakan ini dengan gerakan Islam.
Berangkat dari teoritisasi Eumen dan Tibi, yang menggolongkan
tatanan politik agama, maka langkah penulis meletakan fundamentalisme sebagai
kerangka teori dalam penelitian ini sedikit banyak telah menuai dukungan teoritis.25
Adapun soal istilah fundamentalisme dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai
tipe ideal (ideal type), agar cara penggunaannya lebih fleksibel, sehingga dengan
meletakan HTI sebagai ideal type, maka akan mempermudah penulis
menghubungkan gerakan HTI ke dalam kerangka fundamentalisme.
Cara kerja peletakan ideal type yang dilakukan penulis adalah dengan
mengidentifikasi berbagai karakteristik yang dianggap memiliki kesamaan yang satu
dengan yang lain. Tentu saja berbagai kriteria HTI yang sama dengan gerakan
fundamentalis tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai apakah HTI dapat
dikatagorikan fundamentalis atau tidak. Namun, berbagi ciri-ciri tertentu semata-mata
berfungsi sebagai woring hypothesis untuk membantu melihat persoalan yang
mengandung kemiripan-kemiripan. Dengan kata lain, jika suatu fenomena
kaberagamaan hanya memenuhi satu atau dua kriteria bukan berati dia tidak dapat
diasosiasikan pada suatu golongan tertentu (fundamentalis). Sebaliknya, bila
fenomena tersebut memiliki kriteria lebih dari tiga, ia juga tidak dapat dikeluarkan
dari katagori kelompok tertentu (fundamentalis).
Penelitian yang dilakuakan Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, ketika
meneliti tentang fundamentalisme dan radikalisme menunjukan cara pendekatan yang
25
hampir sama. Dalam menjelaskan istilah “fundamentalisme”, mereka tidak sekedar
mendaftar kriteria-kriteria yang mencari istilah tersebut. Lebih dari itu, mereka
meletakan kriteria fundamentalisme dalam kerangka ideal type agar cara
penggunannya lebih fleksibel.26
2. Teori Gerakan Sosial
Sebagaian kalangan dari para sarjana ilmu sosial umumnya memiliki
perbedaan pandangan ketika memahami gerakan sosial. Namun, dari berbagai
perbedaan itu ada semacam kesepakatan yang muncul di kalangan mereka yaitu
terkait dengan tiga faktor: kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi
sumber daya (resource mobilitation), dan proses pembingkaian (framing processes).
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan ketiga faktor yang muncul
dalam studi gerakan sosial sebagai bagian dari media analisis untuk mengetahui
berbagai masalah yang menjadi fokus penelitian ini. Seperti pada umumnya para
peneliti gerakan sosial, penelitian ini juga akan berangkat dari analisis kemunculan
sebuah gerakan sosial dalam hal ini HTI di kampus UIN Jakarta.
Untuk mendeteksi kemunculan gerakan sosial tersebut, maka akan diletakan
pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang
bertujuan untuk menganalisis kontek sosial dari kemunculan gerakan sosial. Argumen
26
utama dari pendekatan ini adalah bahwa berhasil atau tidaknya aktivis gerakan dalam
mengembangkan klaim-klaim tertentu, atau mobilisasi massa/suporter dan
menyebarkan pengaruh sangat tergantung pada konteks sosial-politik.27 Adapun
wilayah kerja pendekatan ini penulis gunakan hanya pada konteks mikro yaitu hanya
pada scope HTI di kampus UIN Jakarta. Variabel selanjutnya yang tidak kalah
penting untuk digunakan dalam penelitian ini adalah studi tentang alat atau instrumen
atau mekanisme relasional dalam rangka menyediakan infrastruktur pendukung yang
mereka butuhkan. Paling tidak terdapat tiga elemen penting dalam infrastruktur: basis
keanggotaan, jejaring komunikasi, dan pimpinan atau tokoh gerakan.28 Studi tentang
alat atau instrumen ini dikenal sebagai mobilisasi sumber daya .29
Selain dimensi-dimensi kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya,
dalam teori gerakan sosial dibutuhkan untuk mengkaji bagaimana individu-individu
peserta mengkonseptualisasikan diri mereka sebagai suatu kolektivitas. Selain itu,
gerakan sosial juga penting untuk mengetahui bagaimana para calon peserta
diyakinkan untuk berpartisipasi, dan cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan
dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interaktif. Dalam
perkembangan sebuah teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya
mewujudkan melalui studi tentang framing (pembingkaian).
27
Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 20.
28
Ibid., h. 22.
29
Trend pembingkain ini akan coba penulis gunakan sebagai alat analisis dalam
penelitian ini. Di beberapa aksinya HTI UIN Jakarta sering melakukan proses
framing untuk memobilisasi anggota, seperti terlihat dalam pembingkain terhadap
isu-isu nasional maupun internasional.
3. Strategi
Dalam penelitian ini, HTI diklasifikasikan sebagai salah satu dari eksemplar
kelompok fundamentalisme Islam dan ingin dipahami melalui perspektif teori
gerakan sosial. Dalam teori gerakan sosial dikemukakan bahwa, selain ideologi
gerakan sosial juga dipengaruhi oleh basis massa dan strategy for action.30
Sebagaimana disebutkan di atas, massa dalam gerakan sosial memiliki posisi
penting karena melalui kekuatan massa atau kader, suatu gerakan akan lebih mudah
untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam ideologi. Selanjutnya, karena
keberadaan massa/kader sangat amat penting maka gerakan sosial juga meniscayakan
pada strategi yang dirancang secara cermat. Strategi ini berkaitan dengan tata cara
untuk memperluas basis massa, pembinaan, serta strategi lainnya yang bisa
mengarahkan gerakan sosial agar bisa meraih tujuan secepat-cepatnya.
Mengingat pentingnya sebuah strategi, maka HTI sebagai gerakan sosial
membutuhkan strategi-strategi untuk membina dan memperluas basis massa nya.
30
Penelitian ini akan meletakan strategi ke dalam satu kerangka teori secara terpisah,
agar mampu menggambarkan dengan komprehensishif bagaimana strategi HTI
dalam merekrut kader-kadernya. Langkah seperti ini, berawal dari asumsi bahwa HTI
dikenal sebagai organisasi yang cukup selektif dalam merekrut kader-kadernya,
namun selektifitas terhadap perekrutan kader ini justru membuat HTI terbilang sukses
dalam merekrut anggota.
F. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
adalah library research dan observasi. Adapun library reseach yaitu metode
penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan
berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari
buku-buku, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang
dituju.31 Kemudian metode observasi yaitu penulis melakukan upaya pencaharian
data dengan cara terlibat langsung di lapangan dalam beberapa kegiatan-kegiatan HTI
dan penulis melakukan wawancara pada beberapa responden yang dianggap
representatif dengan penelitian yang penulis lakukan.
Penelitian gerakan sosial ini juga bersifat kualitataif yang berangkat dari
generalisasi empiris atau realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut
dideskripsikan dan dianalisis secara komprehensif. Aspek yang bersifat fenomenal
31
juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis. Penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang
dapat di amati dari subjek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung dari
setting itu secara keseluruhan. Subjek setudi baik berupa organisasi, lembaga, atau
pun individu tidak di persempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi
hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari satu keseluruhan.32
Metode kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis ini bertujuan
untuk menggambarkan pola gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan faktor pendukung
gerakan mereka di Kampus UIN Jakarta. Kemudian penulisan dalam skripsi ini
disesuaikan dengan standar karya ilmiah (skripsi, tesis, dan desertasi) yang
diterbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Teknik penulisan ini yang digunakan adalah merujuk pada
pedoman penulisan skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011. Selain itu penulis juga mewawancarai sejumlah pengurus organisasi
HTI khususnya yang masuk pada struktur organisasi HTI di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini, penulis akan menanyakan seputar pola gerakan
dan faktor yang mendukung HTI di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jawaban dari pengurus HTI tersebut akan dijadikan sumber rujukan data
analisa untuk menambahkan referensi dalam skripsi ini. Penulis paling tidak
32
mewawancarai ketua atau anggota yang memiliki posisi strategis dalam kepengurusan
HTI di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka penulis menggunakan
beberapa hal tentang sistemmatika penulisan dan disusun menurut bab per bab.
Kemudian dijelaskan sub per seb dari setiap tema pembahasan. Bab I, merupakan
pendahuluan yang mencakup tentang penyataan masalah, pertanyaan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metedologi
penelitian dan sistematika penulisan. Bab II meliputi tinjauan teoritis yang
mengedepankan beberapa teori yaitu fundamentalisme, teori gerakan sosial yang
dilengkapi dengan beberapa sub tema yaitu struktur kesempatan politik, mobilisasi
sumberdaya dan pembingkaian dan teori strategi. Bab III, membahas tentang
gambaran gerakan Islam Hizbut Tahrir, sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia, Hizbut
Tahrir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi
yang berideologi Islam, visi dan misi HTI di Kampus UIN Jakarta.
Bab IV, menganalisa pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di Kampus
UIN Jakarta dengan sub tema masjid sebagai instrumen pengembangan jaringan
sosial HTI UIN Jakarta, memanfaatkan relasi personal (pertemanan dan keluarga),
membentuk kelompok studi dan memanfaatkan sarana kampus, pembingkaian isu
sebagai pola gerakan HTI UIN Jakarta, strategi kaderisasi HTI di UIN Syarif
dengan umat, tahapan pengambilan kekuasaan, faktor yang mendukung eksistensi
HTI di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jaringan, keberadaan aktivis
sebagai sumberdaya, dan eksistensi HTI sebagai indicator fundamentalisme Islam di
Kampus UIN Jakarta. Bab V, mengenai sumber-sumber dan rujukan yang dipakai
BAB II
TEORITIS
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dipaparkan dalam bab I bahwa
yang menjadi pertanyaan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pola gerakan
dan strategi kaderisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di Kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu, karena HTI adalah organisasi yang eksis relatif lama,
maka penulis akan mencari faktor-faktor pendukung keberadaan HTI di kampus UIN
Jakarta.
Selanjutnya dalam skripsi ini HTI juga digolongkan sebagai eksemplar dari
gerakan fundamentalisme Islam. Oleh karena itu, penting kiranya penilitian ini
menyinggung soal fundamentalisme Islam yang kemudian akan dicari relevansinya
dengan gerakan HTI. Untuk itu, penulis mengawali analisa bab ini dengan teori-teori
yang sekiranya mendukung pembahasan pada masalah-masalah tersebut. Teori yang
digunakan penulis akan diawali dengan teori yang bersifat umum kemudian diikuti
dengan teori-teori yang lebih spesifik penunjang skripsi ini.
Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa menghubungkan
gerakan fundamentalis dengan HTI bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam wacana
gerakan sosial kedua gerakan ideologis tersebut terlihat jelas dimensi perbedaannya
baik secara historis, kultural, maupun sumber kedua gerakan itu dilahirkan.
tataran kata yang masih belum dikonotasikan pada suatu objek khusus. Namun,
berbeda dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang telah memiliki sifat khusus
karena kata ini telah merujuk pada suatu objek tentang kelompok tertentu. Kata
fundamentalis kemudian akan menjadi bermakna ketika dialamatkan pada suatu
peristiwa khususnya pada term gerakan keagamaan yang melibatkan sekte kristen
Protestan di Amerika pada abad ke-19 dan permulaan abad ke 20.1
Bersumber dari fenomena ini, maka oleh para sarjana ilmu sosial dan
keagamaan term fundamentalis memiliki makna dan merujuk pada suatu kelompok.
Gerakan fundamentalis Barat yang jelas-jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir yang
lahir dan berkembang dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Pada tahun 1982/1983
gerakan ini ditransfer ke Indonesia dengan sebutan HTI.2 Berangkat dari perbedaan di
atas, maka dibutuhkan dalam melakukan analisis empiris terkait kedua masalah
tersebut.
A. Teori Fundamentalisme
Sejak pertama kali dibentuk HTI telah menyebut identitas mereka sebagai
gerakan politik, bahkan para aktivis HTI mengaku bahwa HTI adalah nereka adalah
sebuah partai politik. Oleh karena itu, pola gerakan yang dibangun oleh HTI
dimanapun mereka berada selalu bersifat politis. Selain membentuk identitas politik
1
Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, trj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung: Mizan, 2001), h. 10
2
HTI juga banyak bergerak dalam ranah sosial-keagamaan sehingga sebagaian sarjana
mengasumsikan bahwa HTI sebagai gerakan keagamaan dan politik.
Sebagai gerakan politik ideologi yang dibangun HTI adalah ideologi Islam
artinya nilai-nilai Islam menjadi ruh untuk membangun sepirit perjuangan bagi HTI
serta Islam diyakini dapat mempersatukan umat di seluruh dunia Khilafah Islamiyah.3
Untuk memperkokoh keyakinan terhadap ideologi Islam An-Nabhani menegaskan:
Kami meyakini, bahwa filsafat kebangkitan Islam yang hakiki sesungguhnya bermula dari adanya sebuah mabda (ideologi) yang menggabungkan fikrah dan tariqah secara terpadu, ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakikatnya adalah sebuah aqidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta merupakan pemecahan untuk seluruh msalah kehidupan.4
3
Menurut bahasa,kata khilafah berasal dari bahasa Arab khalafa ,yakhlifu,khilafatan yang artinya menggantikan atau menjadi khalifah atau penguasa .Kata khalafa dapat diartikan kekuasaan atau pemerintahan. Sedang menurut istilah ,khilafah yaitu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam,dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan seluruhnya berlandaskan ajaran Islam. Bentuk khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al Quran dan sunnah pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Dan masa khulafaur rasyidin,dimana hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh kaum muslimin. Khilafah dapat diwujudkan dan ditegaskan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak umat Islam yang bersangkutan.Adanya khilafah memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam ,sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam itu sendiri ,tanpa adanya khilafah ,kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur,kemakmuran bersama tidak akan tercapai,bahkan eksistensi Islam dan umatnya dapat terancam. Konsep khilafah Islamiyah dewasa ini mengandung dua pengertian yaitu a. Negara Islam yaitu negara yang sumber hukum atau undang-Undangnya Al Qur an dan Sunnah dan dilaksanakan secara konsisten ,misalnya sekarang adalah Arab Saudi. b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya Beragama Islam ,undang-undangnya tidak secara eksplisit berdasarkan Al Qur an dan Sunnah,tetapi umat Islam menjalankan agamanya dengan sebaik-bauknya .Misalnya sekarang adalah negara-negara Arab,Malaysia ,Iran ,Brunai Darussalam dan negara-negara anggauta Organisasi Konprensi Islam (OKI). Drs.Suyono, Pengertian Khilafah Islamiyah, Internet di unduh pada 5 Februari 2013, dalam http://suyono1978.blogspot.com/2012/06/pengertian-khilafah-islamiyah.html.
4
Misi besar politik HTI adalah membangun tatanan sosial politik Islam
dibawah struktur politik khilafah Islamiyah.5 Oleh karena itu, HTI menolak
konsep-konsep politik di luar konsep-konsep politik Islam seperti demokrasi, monarki, presidensial,
negara bangsa (nation state) dan lain sebagainya. Selain itu, ideologi-ideologi politik
dari Barat seperti kapitalisme, komunisme, dan fasisme dianggap sebagai ideologi
kafir yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan bagi umat Islam harus waspada
dan menghindarinya.6
Barjuang melawan negera-negara kafir imprealis yang menguasai negara-negara Islam. Mengahadapi segala macam bentuk penjajahan, baik yang berupa pemikiran, politik, penjajahan, maupun militer. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya yang menjadi tempat kegiatan HT, serta mengungkapkan kejahatan mereka, memberi kritik, nasehat.Berusaha menghapus kekuasaannya dan menggantikan dengan hukum-hukum Islam.7
Ciri politis yang terangkum dalam gerakan HTI selama ini diasumsikan oleh
sebagian para sarjana sebagai gerakan fundamentalis Islam. Adapun dalam skripsi ini,
menghubungkan gerakan HTI dengan gerakan fundamentalis Islam penulis berangkat
dari kerangka teori yang dikonseptualisasikan oleh Ronnex L. Euben dan Basam Tibi
yaitu fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio-politik yang
berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem politik yang didasarkan pada
5Farid Wadjidi, “Mengenal Hizbut Tahrir,” al
-Wa’ie, 20 Maret 2005, 55
6
KH.Shiddiq al-Jawi, “Islam Menolak Demokrasi”al-Wa‟ie, 1-31 Maret 2013, 18-21.
7
agama.8 Di antara kedua sarjana tersebut sama-sama meletakan perhatiannya pada
unsur politik ketika mendefinisikan gerakan fundamentalisme Islam.
Selain kedua pemikir di atas, Syamsul Arifin menyebutkan beberapa aspek
penting untuk menghubungkan gerakan Islam dengan gerakan fundamentalis.
Pertama, meskipun tetap mempertahankan motivasi keagamaan, fundamentalisme
juga memiliki aspek politik. Dalam pandangan kaum fundamentalis, keselamatan
tidak hanya bisa didapatkan dengan pengasingan diri dari urusan duniawi, melainkan
harus didapat dengan melibatkan diri dalam urusan dunia (institusi dunia). Kedua,
fundamentalisme dibatasi pada faham dan gerakan kembali pada tradisi religious
skriptual dan sebagai konsekuensinya mereka menolak segala bentuk interpretasi.
Dengan sikap yang seperti itu fundamentalisme diposisikan sebagai kelompok yang
menolak pluralisme. Ketiga, kelompok fundamentalisme selain memiliki sikap yang
keras dan reaksioner terhadap modernisme, tetapi mereka juga sebagai ekspresi dari
moderenitas.9
Dari pemaparan di atas penulis meletakan aspek politik sebagai cara untuk
menghubungkan HTI dengan gerakan fumdamentalis. Selain itu, karakter lainya yang
biasa dihubungkan antara HTI dan gerakan fundamentalis adalah sikap mereka yang
anti terhadap ideologi-ideologi Barat seperti fasisme, kapitalisme, komunisme,
sekulerisme, dan lain-lain. Kemudian, jika kita menoleh pada apa yang di kemukakan
8
Arifin.,Ideologi dan Praksis Gerakan sosial Kaum Fudamental: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 52.
99
oleh Arifin di atas, maka terdapat karakter yang sama antara HTI dengan gerakan
fundamentalis yaitu adanya faham kembali kepada tradisi religius, artinya kedua
gerakan ini memandang bahwa setiap perkara yang terjadi di dunia ini baik itu soal
agama, sosial, ekonomi, budaya maupun politik agama diyakini sebagai solusi untuk
mengatasi masalah.
Meskipun wacana gerkan fundamentalisme Islam sendiri masih mengundang
kontroversi dikalangan para sarjana gerakan sosial. Kesulitan para sarjana untuk
menghubungkan wacana gerakan fundamentalis dengan gerakan Islam terletak pada
beberapa faktor diantaranya adalah dimensi historis, ruang dan waktu istilah itu
dikembangkan.
Secara historis kedua istilah tersebut sangat jelas perbedaannya. Sebagaimana
telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari tradisi Kristen yang
merujuk pada gerakan keagamaan dalam sekte Kristen Protestan Amerika yang
muncul sekitar abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.10 Selanjutnya sebagai istilah,
fundamentalisme diadopsi dari buku yang berjudul The Fundamentals: A Testimony
to The Truth, sebuah kumpulan yang berasal dari para teolog konservarif.11
Dalam tradisi kristen sendiri kemunculan gerakan fundamentalisme
merupakan bentuk reaksi terhadap banyak hal, seperti berkembangnya kajian kritik
terhadap injil, populernya teori Darwin, perseteruan antara sains versus teologi. Kaum
10
Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 10.
11
fundamentalis memiliki doktrin yang disebut five point of fundamentalism. Lima
doktrin itu adalah; 1) Injil tidak pernah salah, kata perkata. 2) Ketuhanan Yesus
Kristus. 3) Kelahiran Yesus dari Perawan Maria. 4) Penebusan doas. 5) Kebangkitan
Yesus ke dunia secara fisik.12
Kelima doktrin ini merupakan hasil interpretasi para teolog konservatif
terhadap Injil. Interpretasi ini bersifat tekstual sekaligus menolak kontekstualitas
kalangan liberal dan memiliki pengertian yang mutlak, jelas tidak berubah. Jams
Barr, mengatakan setigma sosial yang kerap dialamatkan pada kelompok ini adalah
fanatik, militan, berfikiran sempit, dan pada kepada mereka yang berbeda keyakinan
di luar jalur kelompok sejati dalam kasus tertentu menggunakan kekerasan dalam
mencapai tujuannya.13
Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama
kristen di Amerika, Peter Huff mencatat terdapat enam karakteristik penting gerakan
fundamentalisme. Secara sosiologis, gerakan fundamentalisme sering dikaitkan
dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan
perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukan
kecenderungan kepada suatu yang vulgar dan tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat
intelektual; secara psikologis, gerakan fundamentalisme ditandai dengan
12
F.L Cross (ed) The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press,
1997), h. 926, seperti dikutip dari Rifyal Ka’bah, Modernisme dan Fundamentalisme ditinjau dari konteks Islam(Ulmul Qur’an, No. 3 vol IV, 1993), h. 26.
13
otoriterianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara
intelektual, gerakan fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan
ketidak-mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis,
fundamentalisme diidentikan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan
tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikatakan dengan populisme
reaksioner.14
Dengan demikian secara etimologis dan istilah, gerakan fundamentalisme
tidak akan ditemukan dalam tradisi Islam. Grrakan fundamentalisme dalam tradisi
Islam hanya padanan kata. Penerapan fundamentalisme dalam tradisi Islam pada
akhirnya lebih banyak ditolak daripada diterima.15 Dalam hal ini, John L. Esposito
mengatakan dalam beberapa hal kata itu (baca Fundamentalisme Islam) menceritakan
tentang segalanya, akan tetapi pada saat yang sama tidak mengungkapkan apa-apa.16
Martin Van Bruessen mengatakan hal serupa bahwa penerapan terminologi
fundamentalisme dalam konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi,
14
Huff, “The Challenge of Fundamentalism for Interreligiuos Dialogue”, Cross Curent (SpringSummer,200),10http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_SpringSammer/63300895/print .jhtml. Diakses pada 09 Desember 2012, pukul 19.30 wib.
15
Adanya penolakan terhadap istilah fundamentlaisme disejajarkan dengan istilah Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, geneologi istilah fundemantalisme berasala dari pengalaman kasus Kristen.Kedua, memiliki implikasi yang jauh lebih buruk jika diterapkan dalam Islam, seperti kebodohan, keterbelakangan.Ketiga, karena luasnya kajian yang direpresentasikan oleh istilah fundamentalisme Islam, maka beragam paradigma dan perspektif yang digunakan oleh para sarjana sebagai metode dalam mengkajinya. Maka wajar apabila melahirkan beragam kesimpulan Lihat Ufi Ulfiyah dalam “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012”, h. 38
16
bagaimanapun kita berusaha mendeskripsikannya akan tampak sebagai sesuatu yang
sulit dipahami.17
Khursid Ahmad menolak dengan alasan istilah fundamentalisme adalah khas
Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti terjadi pemerkosaan yang besar-besaran
terhadap sejarah.18 Sedangkan Chandra Muzaffar dengan lantang mengatakan
gerakan fundamentalisme Islam adalah suatu bukti khas Barat dan menunjukan
adanya vested interest dalam penggunaannya baik oleh media maupun akademisi.19
Dari sekian banyak para sarjana yang tidak setuju terhadap istilah
fundamentalisme dihubungkan dengan gerakan Islam, namun ada beberapa sarjana
yang justru setuju atau paling tidak menemukan persamaan-persamaan dari kedua
istilah tersebut dihubungkan. Ibrahim Abu Bakar dari Universitas Kebangsaan
Malaysia (UKM) menemukan beberapa persamaan dari kedua istilah tersebut. Dalam
interpretasinya Abu Bakar mengelompokan persamaan gerakan fundamentalisme dan
gerakan Islam yaitu dalam hal interpretasi terhadap teks, sikap ingklusif, cenderung
menolak gagasan-gagasan Barat dan lain-lain.20
17
Imron Rosidy (ed), Agama dalam Pergulatan Dunia ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998 ), h. 63.
18
Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 283.
19
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global, trj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 236.
20
Beberapa persamaan yang ditemukan oleh Ibrahim Abu Bakar adalah:Pertama,
fundamentalisme memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, rdikalisme, dan militanisme. Ketiga,
B. Teori Gerakan Sosial
Ditinjau dari perspektif sejarah, fenomena gerakan sosial sebetulnya bukanlah
masalah baru di seantero bumi ini. Sebagai tipe klasiknya dalam mengkaji gerakan
sosial dapat dilihat pada gerakan buruh pada masyarakat Eropa di abad ke 19 dan
awal abad ke 20-an.21 Ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural yang
dilahirkan oleh revolusi industri sehingga memicu gerakan buruh di Eropa.
Dalam melihat gerakan sosial para sarjana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda sehingga hal ini melahirkan perspektif yang berbeda-beda ketika
memaknainya. Seperti halnya Micheal Useem, dia mendefinisikan gerakan sosial
sebagai tindakan kolektifitas terorganisasi yang dimaksudkan mengadakan perubahan
terhadap kondisi sosial dan politik. Kemudian John McCarthy dan Mayer Zald
sedikitmelangkah lebih rinci dalam memahami gerakan sosial. Kedua sarjana itu
memahami gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan
di dalam distribusi apapun yang bernilai secara sosial. Lain halnya dengan Charles
Tilly yang menambahkan sisi perseteruan dalam interksi gerakan sosial. Tilly
sebagai penafsir agama yang benar dan diluar dari mereka salah. Dikutip oleh Hadimulyo,
“Fundamentalisme Islam: Istilah yang Dapat Menyesatkan”, Ulumul Qur‟an, No. 3 Vol. IV, 1993, h. 5.20
21
mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya perseteruan dan dan berkelanjutan di
antara warga negara.22
Beberapa sarjana di atas, memberikan ciri-ciri dan penekanan tertentu perihal
pendefinisian gerakan sosial. Berbeda dengan David Meyer dan Sidney Tarrow,
dalam karyanya Social Movenent Society 1998. Kedua sarjana ini berusaha
memasukan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah
definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: Tantangan-tantangan
bersama yang didasarkan atas tujaun dan solideritas bersama dalam interaksi yang
berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan, atau musuh, bahkan pemegang
otoritas.23 Goerge Simel dalam memetakan gerakan sosial ia lebih menekankan pada
jumlah anggota sebagai pendukung gerakan sosial.24
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh para sarjana maka HTI
bagian daripada gerakan sosial, kerana HTI sebagai sebuah kelompok masyarakat
22
Astrid S. Susanto, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu, (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 21
23
Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2007), h. 1-4.
24
yang terorganisir dan memiliki orientasi untuk merubah sebuah tatanan sosial dan
politik yaitu dengan menegakan Islam sebagai rujukan tunggal dalam membangun
struktur sosial dan politik di bawah struktur kilafah Islamiyah. Kemudian, dari sisi
keanggotaan yang ditekankan oleh Simel, nampak jelas HTI memiliki jumlah anggota
yang cukup mempuni untuk diidentifikasi sebagai gerakan sosial.
Dari berbagai perbedaan dalam memahami gerakan sosial tersebut, penelitian
ini akan meletakan tiga faktor dalam memetakan secara teoritis persoalan gerakan
sosial yaitu kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi sumber daya
(resource mobilization), dan proses pembingkaian (friming processes). Ketiga trend
teoritis inilah yang akan digunakan penulis untuk menganalisis HTI di kampus UIN
Jakarta.
1. Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure)
Gerakan sosial tidak beroprasi dalam ruang hampa, namun mereka adalah
bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas yang dicirikan oleh
bagian konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah dan cair yang
menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasaan, ketersediaan
sumber daya atau kelajiman struktur mobilisasi. Para aktor kolektif dibatasi maupun
diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang seringkali membatasi kemungkinan
Di kalangan para pemikir gerakan sosial, tidak ditemukan kesepakatan secara
khusus terkait faktor-faktor eksogen. Namun, para sarjana banyak memfokuskan pada
ketidaktersediaan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substansinya. Teori
kesempatan politik berasumsi bahwa para aktor, begitu mereka menyadari
terdapatnya kesempatan dan ancaman maka mereka akan memberikan tanggapan
secara rasional untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan atau mengetasi kesulitan.
Di Indonesia adanya perubahan sosial-politik pasca kepemimpinan Soeharto,
maka membuka kesempatan untuk lahirnya gerakan-gerakan sosial. Sistem politik
yang demokratis membuka ruang kebebasan pada masyarakat untuk berekpresi,
berkumpul dan berorganisasi. Selain kebebasan secara general berbagai aturan-aturan
yang dianggap membonsai pergerakan mahasiswa juga di amademen sebagai contoh
adalah amademen aturan kampus NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/
Badan Koordinasi Kampus).25
Terbukanya celah kesempatan politik tentunya banyak dimanfaatkan oleh
gerakan-gerakan sosial keagamaan untuk masuk pada institusi pendidikan khususnya
di lingkungan kampus. Seperti halnya HTI di kampus UIN Jakarta, kehadiran mereka
dipicu oleh adanya kesempatan untuk berekpresi dan berorganisasi. Selain adanya
kesempatan yang bersifat struktural, situasi sosial di lingkungan kampus juga turut
mendukung perkembangan HTI di kampus. Kebijakan kampus yang mengakomodir
25