• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Fundamentalis Di Perguruan Tinggi islam (Studi: Pola Gerakan Dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gerakan Fundamentalis Di Perguruan Tinggi islam (Studi: Pola Gerakan Dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Akhmad Haris Khariri 106033201158

PRODI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Gerakan Fundamentalis di Perguruan Tinggi; Studi tentang Pola Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta

Skripsi ini menganalisa pola gererakan dan strategi kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HT) dan gejala fundamentalisme Islam yang ada di Kampus UIN Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola gerakan dan strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI dan untuk mengetahui gejala fundamentalisme Islam di Kampus UIN Jakarta. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan studi pustaka (library research) dan wawancara. Penulis menemukan bahwa, pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di lingkungan kampus UIN Jakarta relatif intens dilakukan dan mengambil beberapa bentuk diantaranya dengan memanfaatkan berbagai sarana baik yang dimiliki internal organisasi maupun sarana-sarana kampus seperti memanfaatkan media kampus Radio Dakwah dan Komunikasi RDK Fakultas Dakwah dan Komunikasi, sarana ibadah Student Center SC, afiliasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan lain-lain. Adapun sarana internal HTI mengembangkan sumber daya organisasi seperti pengembangan kelompok-kelompok studi seperti SRIKAYA, Gema Pembebasan, Muslim Science Comonity MSC, Lisma HTI dan lain-lain. Berbagai subsistem ini dimanfaatkan HTI untuk mengembangkan berbagai gagasannya melalui beberapa varian kegiatan-kegiatan seperti diskusi, seminar, aksi demonstrasi, pengajian, melakukan pendekatan pertemanan dan lain-lain.

Selanjutnya strategi kaderisasi yang dikembangkan HTI yaitu dengan melakukan pembinaan intensif terhadap calon kadernya. Proses pembinaan tersebut ditempuh

melalui berbagai tahapan seperti tahapan pembinaan dan pengkaderan (al-tathqif),

tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah al-tafaul ma’a al-umah), dan tahapan

pengambilan kekuasaan (istilam al-hukm). Selanjutnya terkait dengan

fundamentalisme Islam penulis menemukan beberapa kemiripan-kemiripan karakteristik HTI dengan gerakan fundamentalisme Islam seperti sikap HTI dalam merespon gagsan-gagasan Barat, memiliki unsur politik yang kuat, cara memahami terhadap doktrin keagamaan dan lain-lain.

(6)

v

kepada Nabi Muhamad SAW, sebagai rasul pembawa misi pembebasan dari pemujaan terhadap berhala, rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan akhlak. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga, sahabat nabi serta seluruh umat.

Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayahnya, Alhamdulillah penulis mampuh menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi salahsatu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan

judul “Gerakan Islam Fundamentalis di PerguruanTinggi Studi Tentang Pola

Gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Jakarta Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan serta mejadi pekerjaan yang berat bagi penulis yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada

Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terima kasih kepada jajaran pembantu Dekan, bapak Hendro Prasetyo Ph.D sebagai Pengurus Dekan (Pudek) I FISIP, ibu Dra.Hj. Wiwi Siti Sajaroh, MA Sebagai Pudek II dan Bapak Ahmad Abrori M.Si sebagai Pudek III FISIP. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. Sebagai Ketua Prodi Ilmu Politik. Bapak M. Zaki Mubarak. M. Si. Sebagai Sekertaris Prodi Ilmu Politik.

(7)

v

Ayah Abdul Karim Bakhri dan Ibunda Sulsiyah, terima kasih atas kasih sayang dan bimbingan motivasi yang tidak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampuh mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan.

Terima kasih juga kepada kaka-kakaku Ufi Ulfiyah, Nasrul Umam Syafi’i,

Akhmad Mae’hi, Susilawati, Huzaemah, Humaerah yang telah memberikan semangat kepada penulis.Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2006/2007 yaitu Bara Ilyasa, Rifqi Zabadi Assegaf, Dedi Candra, Agam Dilya Ulhaq, Rido, Santi, Afrina, Hadi Mustofa, Bangbang, Akhmad Riki, Dede Sahrudin, Khawasih Qudri, Torik, Anwar, Eko Aryo, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat di Sanggar Kreatif Anak Bangsa yaitu Diki (Ucok), Riswan, Hamzah, Kiki, Ipah, Mas Adit, Anisa Zahra, Lyna, IrhamMudzakir, Kumi Laila, Sofa, Sofi, Akhmad Suparjo dan yang lainnya. Terima kasih kepada DPP HTI yang telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis dalam proses pencarian data dan terimakasih kepada pengurus HTI Cabang Ciputat yang telah bersedia memeberikan penulis kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai skripsi ini.

Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada sepuruh komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya,semoga Allah SWT membalas segala kebaikan amalbudi baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Dan skripsi ini walaupun masih banyak kekurangan semoga bermanfaat bagi kita semua.Wassalam

Jakarta, 21 Januari 2014

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….....iv

KATA PENGANTAR ………...v

DAFTAR ISI ………..vi

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ………...……….. 1

B. Pertanyaan Penelitian ………... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….…… .13

D. Tinjauan Pustaka ...……….... 14

E. Kerangka Teoritis …………...………16

F. Metodologi Penelitian ………...…... 21

G. Sistematika Penelitian ………...… 22

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Teori Fundamentalisme ………...…. 25

B. Teori Gerakan Sosial ……….... 32

1. Struktur Kesempatan Politik ………... 34

2. Mobilisasi Sumber daya ………..………. 37

3. Proses Pembingkaian ………... 40

(9)

BAB III SEKILAS TENTANG GERAKAN ISLAM HIZBUT TAHRIR

A. Sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia ... 51

B. Hizbut Tahrir Indonesia Sebagai organisasi yang berideologi

Islam………... 55

C. HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta...……….. 60

D. Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam ... 65

BAB IV POLA GERAKAN DAN STRATEGI KADERISASI HIZBUT

TAHRIR INDONESIA DI KAMPUS UIN JAKARTA

A. Masjid Sebagai Instrumen Pengembangan Jejaring Sosial HTI

UIN Jakarta (Ilustrasi Masjid Fatullah dan Masjid

Baitulrrahmah Legoso) ………. 73

B. Memanfaatkan Relasi Personal (Pertemanan dan Keluarga) ...…. 76

C. Membentuk Kelompok Studi dan Memanfaatkan Sarana

Kampus..………. ………...80

D. Pembingkaian Isu Sebagai Pola Gerakan HTI di UIN Jakarta .... 83

E. Strategi Kaderisasi HTI di UIN Jakarta ……… 89

1. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Al-Tahqif) ………... 90

(10)

ma’a al- Ummah) ... 94

3. Tahapan Pengambilan Kekuasaan (Istilam Al-Hukum) ... 109

F. Faktor-faktor yang Mendukung Eksistensi HTI di Kampus

UIN Jakarta ………... 111

1. Jaringan ………... 112

2. Keberadaan Para Aktivis HTI sebagai Sumber Daya ……….. 115

G. Eksistensi HTI sebagai Indikator dari Fundamentalisme Islam di

Kampus UIN Jakarta ……….... 118

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….122

B. Saran ………...126

DAFTAR PUSTAKA ……….

(11)
(12)

Bab I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak organisasi

relogio-politik yang berkembang pasca Orde Baru. Ditinjau secara historis

keberadaan HTI di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1982-1983 atas prakarsa seorang

mubaligh dari pesantren Al-Ghozali yaitu Abdullah Nuh.1 Pada awalnya aktivitas

HTI hanya berpusat di lingkungan pesantren saja, namun berkat interaksi yang terus

dilakukan oleh para aktivisnya maka gagasan-gagasan HTI terus menyebar hingga ke

Masjid Al-Gifari di Institute Pertanian Bogor (IPB). Di kampus inilah HTI

menemukan momentum pertamanya untuk bersentuhan secara langsung dengan para

mahasiswa.2

Pada saat HTI pertama kali diperkenalkan di Indonesia, keberadaan anggota

HTI sangat terbatas. Namun, karena para aktivis HTI memiliki semangat besar dalam

mengemban misi dakwah Islam, maka gerakan mereka sangat cepat menyebar ke

kampus-kampus lainnya di Indonesia. Mengutip apa yang pernah ditulis oleh M. Zaki

Mubarak yaitu:

1

Syamsul Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, (Malang: Universitas Muhamadiyah Press, 2005), 121-122.

2

(13)

Gerakan HTI banyak tersebar di kampus-kampus di Indonesia seperti Institute Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjajaran (UNPAD), IKP Malang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanudin Makasar, Universitas Indonesia Depok dan lain-lain. Simpul-simpul jaringan ini pula terbagun secara merata di banyak kota di Indonesia diantaranya Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain. Kampus-kampus kemudian dijadikan center-center untuk melakukan aktivitas HTI dan melakukan kaderisasi anggotanya.3

Selain di kampus-kampus yang telah disebutkan di atas, aktivitas HTI juga

tumbuh di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarata).

Dalam hal ini, menurut Aat Yuliawati menyebutkan bahwa momentum pertama HTI

di kampus UIN Jakarta adalah sejak 2001. Pada fase pertama HTI bersentuhan

dengan UIN Jakarta, gerakan mereka masih mengambil langkah ekslusif dan hanya

terbatas pada beberapa orang saja. Ruang lingkup gerakan mereka juga masih bersifat

personal dan hanya mengandalkan ikatan-ikatan pertemanan. Bagi anggota baru yang

tertarik pada ide-ide HTI akan langsung dibina dengan metode halaqah „am4

(pertemuan atau forum untuk mendiskusikan maslah-masalah agama).5

Selanjutnya sekitar tahun 2002 aktivitas dakwah HTI mulai lebih terorganisisr

dengan rapi, kemudian pada tahun ini pula mereka melakukan beberapa kali

3

M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi, (Jakarta: LP3S, 2008), h. 75-76.

4

Halaqah„am biasanya dilakukan untuk memperkenalkan dan membina siapa saja yang memiliki ketertarikan dengan ide-ide HTI. Halaqah‟am ini dilakukan oleh aktivis HTI sebagai pembinanya. Adapun peserta halaqah‟am ini sangat terbatas, biasanya satu orang pembina akan menangani maksimal lima orang peserta. Halaqoh ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dan minimal delapan minggu waktu yang digunakan. Setelah selasai mengikuti Halaqoh umum ini, maka peserta akan ditawarkan ke tahap selanjutnya dengan syarat peserta harus setuju dengan gagasan-gagasan HTI. Sumber diambil dari wawancara penulis dengan Ust. Fadlan, selaku ketua Komisariat HTI UIN Jakarta, di Masjid Al-Mukhlisisn Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 5 februari 2013. Pukul 15.00 wib.

5

Aat Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”, (Skripsi SI

(14)

halaqah‟am (pertemuan atau forum untuk mendiskusiakan masalah-masalah Islam)

dan pelatihan untuk perluasan organisasi.6 Di tahun 2003-2004 HTI mulai merambah

ke fakultas-fakultas di sekitar kampus UIN Jakarta. Pola gerakan yang mereka

bangun adalah dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi, kajian lesehan,

pengajian sederhana di masjid-masjid, kajian rutin anggota dan seminar. Salah satu

kegiatan seminar HTI yang paling banyak mendapat sorotan pada fase awal HTI

adalah Seminar Nasional Khilafah dengan tajuk “Penegakan Syariat Islam

Relefankah ?...”. Acara tersebut di selenggarakan pada tahun 2004 di Aula Student

Center UIN Jakarta. Adapun yang menjadi pembicara dalam senimar tersebut yaitu,

DPP HTI yaitu Ust. Hafid Abdurahman dan Ust. Abu Zaid.7

Sejak menit pertama kedatangannya di kampus UIN Jakarta hingga saat ini para

aktivis HTI masih konsisten dalam melakukan aktivitas gerakan. Asumsi ini dapat

dibuktikan dengan adanya beberapa kegiatan/aktivitas HTI yang sampai saat ini tetap

berlangsung seperti halnya terlihat pada kegiatan-kegiatan HTI di tahun 2012 yang

lalu. Menjelang tahun 2012 para aktivis HTI mengadakan halaqah rutin dengan tema

“Islam: Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat 2012”, yang bertempat di

masjid-masjid sekitar kampus seperti masjid Al-Mukhlisin, Baiturrahmah, Fatullah,

6

Halaqah„am dalam pengertian kalangan HTI merupakan kegiatan yang dilakukan aktivis HTI untuk memperkenalkan HTI kepada orang-orang yang belum mengenal HTI. Halaqah „am sendiri dalam HTI dilakukan dengan berbagai uslub (cara) seperti diskusi, seminar, dialog dan bahkan mengunakan pendekatan personal seperti dengan memanfaatkan hubungan teman kost, teman kuliah, saudara, dan keluarga. Lihat Arifin dalam Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 155-161.

7Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”,

(15)

al-Mugirah dan lain-lain.8 Menurut keterangan Andriansyah dalam wawancara

dengan penulis menyebutkan bahwa, dalam rentang waktu dua bulan antara

Desember dan Oktober 2012 HTI telah mengadakan lima kali halaqah di Masjid

Baiturrahmah dan dalam halaqah tersebut ada sekitar 15 peserta baru di tiap-tiap

pertemuannya.9

Adapun yang menjadi pemateri dalam seminar tersebut HTI langsung

mendatangkan pengurus DPP HTI seperti Drs. Wahyudi Al-Marokay (anggota

Lajnah Faaliyah DPP HTI) dan Ust. Ade Sudiyana. LC (anggota Lajnah Tsaqafiyah

DPP HTI), dan acara tersebut bersifat umum.10

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, seminar adalah salah satu bagian dari

strategi HTI UIN Jakarta untuk memperluas pengaruh mereka di lingkungan kampus

UIN Jakarta. Selain melalui halaqah‟am, HTI juga memangfaatkan media serta

tulisan-tulisan kecil sebagai instrumen dakwahnya seperti pembuatan web site

www.uinjakartamenujukhilafah.or.id, www.hizb-tahrir.or.id, pembuatan pamflet, Cipuat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 4 Desember 2012, pukul 20.30 wib.

9

Wawancara penulis dengan Andriansyah (pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. Selain menjadi pengurus masjid, Andriyansah juga aktif sebagai Mahasiswa di Fakultas Science dan Teknologi, smester 8 UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, pada 12 April 2012, pukul 15.00 wib.

10

(16)

yaitu Radio Dakwah dan Komunikasi (RDK) di fakultas dakwah dan komunikasi

UIN Jakarta.

Pola gerakan lainnya yang lakukan oleh HTI UIN Jakarta adalah dengan

memanfaatkan sumber daya organisasi. Pemanfaatan sumber daya organisasi ini

diwujudkan dalam bentuk perluasan subsistem-subsistem di internal organisasi,

seperti pembuatan kelompok-kelompok kecil yang memiliki relasi langsung dengan

HTI. Kelompok-kelompok ini di bentuk selain untuk pengembangan intelektual, juga

bertujuan untuk mengenalkan ide-ide HTI ke para mahasiswa. Beberapa sub

organisasi tersebut diantaranya adalah kelompok diskusi Gema Pembebasan yang

memliki agenda rutin setiap satu minggu satu kali, diskusi LISMA untuk kaum

perempuan HTI, Muslimah HTI, Muslim Science Comunity(MSC), SRIKAIA (Seri

Kajian dan Analisa), dan lain-lain.11

Pada 3 April 2013, kelompok diskusi Muslimah HTI UIN Jakarta mengadakan

dialog interaktif di Saung Bambu. INA Ciputat dan tema yang diangkat adalah

“Menjawab Pertanyaan Seputar Khilafah”.12 Aktivitas diskusi ini sengaja bersifat

terbuka, sehingga bagi siapa saja yang tertarik terhadap kajian keilmuan bisa mudah

bergabung didalamnya tanpa diberikan sekat-sekat golongan.

11

Wawancara penulis dengan Ust. Fadlan (Ketua Komisariat HTI UIN Jakarta), di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten, Pada 5 Febriari 2013, pukul 15.00 wib.

12

(17)

Berkat pola gerakan tersebut HTI UIN Jakarta menjadi mudah dikenal oleh para

mahasiswa di kampus UIN Jakarta. Hal lain yang penting diperhatikan terkait

pengembangan organisasi HTI adalah strategi kaderisasi. Dalam melakukan

kaderisasi HTI memiliki strategi yang berbeda dengan organisasi-organisasi internal

kampus pada umumnya seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),

Himpunan Mahasiswa Indinesia (HMI), Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan

lain-lain. Di HTI calon kader tidak akan menemukan proses kaderisasi seperti LK

(Latihan Kader) di HMI atau MAPABA (Masa Pengkaderan Anggota Baru) di PMII.

Pada umumnya baik di PMII ataupun di HMI, setiap mahasiswa yang ingin menjadi

kader cukup dengan mengikuti MAPABA atau LK, setelah selesai mereka sudah bisa

dinyatakan sebagai kader.13 Meskipun di HMI maupun di PMII juga memiliki

tingkatan-tingkatan dalam proses kaderisasi namun tidak serumit seperti di HTI.

Di HTI proses kaderisasi terbagi ke dalam beberapa tahapan-tahapan yang harus

dilalui oleh calon kader. Setelah kader dinyatakan selesai mengikuti tahap-tahap yang

telah ditentukan, baru mahasiswa/anggota dinyatakan menjadi kader HTI. Tahapan

yang pertama biasanya dikenal dengan halaqah„am (pengajian sederhana untuk

peserta awal). Halaqah„am ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan dengan

durasi waktu paling cepat delapan minggu. Setelah kader mengikuti halaqah„am,

biasanya darsin (peserta yang bersetatus sebagai pengkaji ide-ide HTI dalam

(18)

gagasan HTI, apabila setuju maka darisin layak mengikuti tahap selanjutnya dan

apabila tidak, maka proses kaderisasi dihentikan.14

Potret seperti inilah yang menjadi pembeda HTI dengan organisasi-oragnisasi

lain pada umumnya. Selain memiliki pola gerakan dan strategi khusus HTI juga

terkenal dengan keberadaan para aktivis/kader yang konsisten, militan dan kritis yang

siap memperjuangkan ideologinya. Sumbangsih yang diberikan para aktivis terhadap

organisasi sangat berpengaruh besar terhadap pengembangan organisasi. Dalam

perspektif teori gerakan sosial, persoalan massa atau anggota diklasifikasikan ke

dalam kerangka konsep resouce mobilisation (mobilisasi sumber daya), yang menjadi

salah satu modal sosial bagi gerakan sosial. Keberadaan para anggota sangat penting

bagi gerakan sosial karena mereka akan berperan memobilisasi, mengkader, dan

menyebarkan ide-ide organisasi melalui proses interaktif.

Untuk memotret keterlibatan aktivis/anggota dalam melakukan mobilisasi dapat

dilihat ketika persiapan menjelang Mukhtamar Khilafah HTI pada 2013 di Gelora

14

Dalam proses halaqah„am ini biasanya terbagi ke dalam dua tahap. Tahap yang pertama seorang calon anggota diwajibkan mengikutihalaqah‟am tahap pengenalan tentang HTI, tahapan ini peserta halaqah tidak langsung mengkonsumsi/mengkaji kitab-kitab wajib HTI seperti Nizhamul Islam

(Peraturan Hidup dalam Islam), Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam), dll. Tetapi, peserta awal hanya diberikan materi umum dan gambaran tentang HTI secara umum. Adapun waktu yang diberikan untuk halaqah ini yaitu delapan minggu dari delapan kali pertemuan. Setelah tahapan ini dilalui, maka peserta diberikan kesempatan untuk memilih apakah dia siap atau tidak mengikuti

halaqah selanjutnya dengan syarat harus komitmen dan setuju dengan ide-ide HTI bila peserta

(19)

Bung Karno Senayan Jakarta. Dalam upaya mobilisasi massa, hampir seluruh aktivis

HTI di UIN Jakarta dilibatkan untuk berperan baik itu sosialisasi, perekrutan peserta,

maupun kepanitiaan di acara tersebut. Menurut keterangan Ust. Zen menyebutkan:

Dalam mukhtamar khilafah kali ini HTI UIN Jakarta menargetkan sekitar 700 lebih peserta yang dihandle oleh HTI UIN Jakarta. Dan tadi pagi sudah ada beberapa bus yang telah diberangkatkan yaitu bus khusus akhwat. Keseluruhan bus yang telah disediakan sekitar 20 bus untuk wilayah ciputat dan HTI UIN sebagai penanggungjawab nya.15

Keterangan yang dipaparkan di atas, merupakan sebuah prestasi yang cukup

gemilang bagi usaha mobilisasi. Bagaimana tidak, dalam tenggang waktu yang tidak

terlalu lama para aktivis HTI mampu memobilisasi massa yang relatif banyak.

Keberhasialan HTI dalam memobilisasi massa tidak terlepas dari peran aktivis yang

konsisten dan memiliki loyalitas tinggi terhadap organisasi. Selain dalam hal

mobilisasi, para aktivis juga terlibat dalam berbagai kegiatan HTI seperti

halaqah‟am, pengajian lesehan, dan sosialisasi tentang ide-ide HTI baik melalui

lisam maupun tulisan.

Misi besar HTI adalah membangun sebuah tatanan masyarakat secara global yang diatur oleh syari’at Islam. Bagi HTI, sebuah tatanan masyarakat yang Islami

akan terwujud jika di dukung oleh keberadaan struktur politik Islam. Maka dari itu,

15

(20)

HTI menawarkan struktur politik Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya sistem

politik yang dapat menciptakan tatanan Islami, sistem khilafah juga diyakini sebagai

sistem yang bersumber dari al-qur’an dan sunah.16

Penerimaan HTI terhadap institusi khilafah secara total merupakan bagian dari

indikator bahwa mereka memahami teks keagamaan atau doktrin agama itu secara

skriptual.17 Selain dimensi politik, HTI juga sangat berhati-hati dalam menyikapi

segala macam gagasan-gagasan Barat. Sikap ekslusif ini diekspresikan ke dalam

bentuk penolakan mereka terhadap ide-ide dari Barat, seperti demokrasi, komunisme,

matrealisme, kapitalisme, pluralisme, liberalisme dan isme-isme lainnya.18

Sikap HTI yang menolak gagasan-gagasan Barat dan cenderung tektual dalam

memahami doktrin agama tersebut telah menjadi karakter tersendiri bagi kelompok

ini. Maka dari itu, sebagian para sarjana ilmu sosial-keagamaan mengelompokan HTI

ke dalam kerangka konseptual gerakan fundamentalis Islam.

Dalam menyikapi Islam fundamentalis, dikalangan para sarjana memang masih

mengundang kontoversi. Tidak sedikit para sarjana yang menolak terhadap istilah

fundamentalis untuk disejajarkan dengan fenomena gerakan Islam. Seperti halnya

Martin Van Bruessen mengatakan bahwa: “Penerapan terminologi fundamentalis dalam

16

Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 100.

17

Skriptual yang di maksud adalah cara memahami atau mengartikan teks keagamaan secara harfiah atau mereka menolak segala bentuk penafsiran yang bersifat aqliyah dan kontekstual, karena dihawatirkan dapat mengurangi otensititas teks agama. Lihat Nurkhakim, Islam Tradisi dan Reformasi: Pragmatisme Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi, h. 35-42.

18

(21)

konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi, bagaimanapun kita berusaha

mendeskripsikannya akan tampak sulit difahami”.19

Selain Van Bruisen, pemikir lain seperti Khursid Ahmad menolak dengan alasan

istilah fundamentalisme adalah tradisi Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti

terjadi pemerkosaan yang besar-besaran terhadap sejarah.20

Merujuk pada pendapat para sarjana di atas, menghubungkan HTI dengan

gerakan fundamentalisme Islam memang bukanlah perkara mudah sebab dari sisi

historis, karakter, tempat dan rentang waktu pertumbuhan gerakan tersebut sudah

berbeda. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalis lahir dari

tradisi gereja Protestan di Barat (Amerika) pada paruh abad ke-19 dan permulaan

abad ke 20-an.21 Lain halnya dengan gerakan HTI, mereka lahir dan berkembang

seiring dengan kemunculan gerakan-gerakan Islam kontemporer di Timur Tengah

sekitar tahun 1952. Selanjutnya Hizbut Tahrir ditransfer ke Indonesia sekitar

1982/1983, dan mendapatkan penambahan nama Indonesia pada akhir kata tersebut

sebagai penunjuk identitas suatu negara.22

Meskipun banyak sarjana yang menolok kedua istilah disejajarkan, namun ada

pula sarjana yang justru menerima kedua istilah itu disejajarkan. Di antara para

19

Ufi Ulfiyah, “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012”, (Skripsi SI Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2008), h. 39.

20

Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L Esposito (ed). Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Perss, 1985), h. 283.

(22)

sarjana yang setuju adalah Roxanne L. Euben dan Bassam Tibi. Menurut kedua

sarjana tersebut bahwa fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan

religio-politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem religio-politik yang

didasatkan pada agama.23 Senada dengan Euben dan Tibi, sarjana lain seperti Leonard

Binder mendefinisikan fundamentalisme di dunia Islam bertujuan menetapkan tatanan politik Islam yang mana syari’ah akan diakui secara umum dan dilaksanakan

sebagai sebuah hukum secara legal.24

Berdasarkan pandangan dari para sarjana di atas, paling tidak penulis sudah

sedikit mendapatkan dukungan teoritis untuk menggabungkan kedua istilah yang

berbeda tersebut. Apabila HTI telah dapat diklasifikasikan ke dalam kerangka konsep

gerakan fundamentalis, maka usaha selanjutnya penulis akan menghubungkan

fenomena HTI ke dalam konteks sosial di UIN Jakarta.

Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN Jakarta adalah kampus Islam

yang sedang melakukan proses modernisasi pendidikan. Secara teoritis moderenisasi

bertujuan untuk merubah sebuah tatanan yang dianggap kolot, fundamental, tradisionl

ke dalam tatanan yang dianggap modern sesuai dengan perkembangan zaman.

Logikanya, apabila istilah moderenisasi dihadapkan dengan istilah fundamental yang

23

Dikutip dari Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 320.

24

(23)

lebih mencerminkan tradisional maka akan terjadi benturan yang mengarah pada

pengkikisan nilai-nilai, nilai tradisional oleh modern atau pun sebaliknya.

Dalam skripsi ini HTI diklasifikasikan sebagai gerakan Islam yang

merepresentasikan nilai-nilai fundamental. Lain halnya dengan UIN Jakarta, ia adalah

institusi pendidiakan yang mengusung proses moderenisasi dalam berbagai aspek

baik secara struktural maupun kultural. Oleh karena itu, tidak menuntut kemungkinan

akan terjadi pembendungan ruang gerak bagi pertumbuhan gerakan Islam

fundamental termasuk HTI.

Untuk membenarkan hipotesis di atas, maka skripsi ini akan menganalisis

keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Adapun tema masalah yang akan di kaji

dalam skripsi ini adalah: “Gerakan Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi” Studi

Tentang (Pola gerakan dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus

UIN Jakarta)

B. Pertanyaan Penelitian

Gerakan HTI adalah gerakan Islam yang tergolong aktif melakukan kaderisasi

di hampir seluruh kampus-kampus di Indonesia. Di UIN Jakarta organisasi HTI

merupakan organisasi yang juga terbilang berhasil dalam menjalankan aktivitas

keorganisasian seperti proses kaderisasi, penyebaran opini, pengembangan sumber

daya organisasi, maupun dalam penyeberan gagasan-gagasan ke HTI-an (Ideologi,

(24)

Agar penelitian ini bersifat sistematis dan objektif, maka perlu dirumuskan

beberapa pertanyaan yang menjadi fokus dalam skripsi ini:

a. Bagaimana pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di kampus UIN

Jakarta ?

b. Faktor apa saja yang menjadi pendukung keberadaan HTI di kampus UIN

Jakarta ?

c. Apakah di UIN Jakarta telah terjadi pertumbuhan gerakan

fundamentalisme Islam ?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini yaitu untuk mengetahui pola gerakan

dan strategi kaderisasi HTI dan mengetahui faktor apa saja yang menjadi pendukung

keberadaan HTI di kampus UIN Jakarta. Selanjutnya, mengingat UIN Jakarta adalah

kampus Islam yang sedang melakukan proses moderenisasi di berbagai sektor, maka

penelitian ini juga bertujuan untuk mengetehui apakah di UIN Jakarta terjadi

peretumbuhan gerakan Islam fundamentalis serta mencari beberapa indikator nya.

2. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini untuk menambah wawasan mahasiswa pada

umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa gerakan HTI di kampus

UIN Jakarta memiliki berbagai pola dan strategi tersendiri dalam mengembangkan

(25)

tidak luput dari tumbuhnya gerakan Islam fundamentalis didalamnya. Maka dari itu,

perlu kita amabil hikmah dari fenomena tersebut sebagai tambahan pengetahun

khususnya dalam mengembangkan ilmu sosial dan politik.

D. Tinjauan Pustaka

Dewasa ini telah terdapat banyak penelitian yang mengkaji masalah gerakan

sosial keagamaan dengan mengambil objek penelitian tentang HTI. Di antara

penelitian tersebut yang mendekati dengan penelitian penulis saat ini adalah

penelitian Syamsul Arifin yang bertema Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum

Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia. Peneliian Arifin dilakukan di

kampus-kampus di Malang, khususnya UIN Malang pada 2005. Arifin melakukan

analisis mendalam tentang ideologi HTI dan berusaha untuk menghubungkan HTI

dengan gerakan fundamentalis terutama pada analisis ideologi. Kemudian, Arifin juga

berupaya memaparkan penemuannya terkait dengan pola gerakan HTI di

kampus-kampus di Malang.

Sisi pembeda yang akan coba peneliti lakukan terkaiat penelitian skripsi ini

dengan penelitaian Arifin adalah penulis mengambil lokasi di kampus UIN Jakarta

dan daerah Jakarta. Dengan mengambil lokasi yang berbeda, paling tidak akan

nampak perbedaan terhadap ruang, mengingat jarak antara Malang dan Jakarta cukup

jauah. Kemudian durasi waktu yang dilakukan Arifin pada 2005 cukup jauh dengan

(26)

pastinya akan meniscayakan pengalaman-pengalaman baru yang berbeda pengalaman

sebelumnya. Secara substansi penelitian ini hanya akan berfokus pada strategi

kaderisasi dan pola-pola gerakan, sehingga ini akan berbeda dengan penelitian Arifin

yang memfokskan tidak hanya pada pola gerakan tetapi Arifin lebih meluas dan

menekankan dimensi ideologi HTI.

Selain Arifin, penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Aat Yuliawati, yang

meneliti tentang eran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta. Penelitian

yang dilakukan Aat dilakukan pada 2009, dan memfokuskan penelitiannya pada

materi-materi isi dakwah HTI di Kampus UIN Jakarta sebagai fokus analisisnya.

Meskipun penelitian ini mengambil objek yang sama dan tempat yang sama, namun

fokus penelitian penulis dengan Aat terdapat sisi perbedaannya yaitu, penelitian

penulis lebih fokus pada pola gerakan dan strategi HTI dalam melakukan kaderisasi,

sedangkan Aat memfokuskan pada materi dakwah HTI. Maka dari itu, penelitian

yang akan dilakukan penulis akan nampak jelas perbedaannya.

Adapun Imdadun Rahmat dalam dalam bukunya Arus Baru Islam radikal:

Transmisi, Revivalisme Islam timur Tengah ke Indonesia, juga pernah menyinggung

tentang HTI, namun Rahmat mengutarakan HTI dalam konteks general. Rahmat

melakukan analisis relasional antara gerakan-gerakan Islam Indonesia dan Timur

Tengah yang kemudian disimpulkan pada konsep revivalisme Islam transnasional.

Selain Rahmat, penelitian serupa juga dilakukan oleh M. Zaki Mubarak dalam buku

(27)

Karya Mubarak, juga hampir serupa dengan Rahmat, yakni kedua peneliti tersebut

meletakan HTI ke dalam konteks yang lebih general. Keduanya tidak mengangkat

satu objek tunggal, sehingga penelitiannya terlihat hanya mendeskripsikan saja.

Namun, usaha yang dilakukan kedua peneliti tersebut patut diapresiasi karena

keduanya telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap pengetahuan akademisi

dan kontribusi refrensi tentang gerakan sosial. Oleh karena itu, penelitian yang

dilakukan penulis saat ini tidak lepas dari kontribusi para sarjana di atas, khususnya

dalam hal pemberian refrensi.

E.Kerangka Teoritis

1. Teori Fundamentalis Islam

Menghubungkan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dengan gerakan

fundamentalis bukanlah perkara yang mudah bagi siapapun yang tertarik meneliti

kedua gerakan ideologis tersebut. Dalam wacana gerakan-gerakan sosial kedua

gerakan di atas (HizbutTahrir dan fundamentalis) tersebut nampak jelas sisi

perbedaannya baik secara historis maupun dari sumber keduanya dilahirkan. Selain

itu, Penelaahan para sarjana mengenai gerakan Islam fundamentalis masih

mengundang pro dan kontra. Terlebih gerakan fundamentalis seolah sudah terlanjur

tercederai oleh stigma negatif, sehingga cukup sulit bagi penulis untuk

menghubungkan kedua gerakan ini dengan gerakan Islam.

Berangkat dari teoritisasi Eumen dan Tibi, yang menggolongkan

(28)

tatanan politik agama, maka langkah penulis meletakan fundamentalisme sebagai

kerangka teori dalam penelitian ini sedikit banyak telah menuai dukungan teoritis.25

Adapun soal istilah fundamentalisme dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai

tipe ideal (ideal type), agar cara penggunaannya lebih fleksibel, sehingga dengan

meletakan HTI sebagai ideal type, maka akan mempermudah penulis

menghubungkan gerakan HTI ke dalam kerangka fundamentalisme.

Cara kerja peletakan ideal type yang dilakukan penulis adalah dengan

mengidentifikasi berbagai karakteristik yang dianggap memiliki kesamaan yang satu

dengan yang lain. Tentu saja berbagai kriteria HTI yang sama dengan gerakan

fundamentalis tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai apakah HTI dapat

dikatagorikan fundamentalis atau tidak. Namun, berbagi ciri-ciri tertentu semata-mata

berfungsi sebagai woring hypothesis untuk membantu melihat persoalan yang

mengandung kemiripan-kemiripan. Dengan kata lain, jika suatu fenomena

kaberagamaan hanya memenuhi satu atau dua kriteria bukan berati dia tidak dapat

diasosiasikan pada suatu golongan tertentu (fundamentalis). Sebaliknya, bila

fenomena tersebut memiliki kriteria lebih dari tiga, ia juga tidak dapat dikeluarkan

dari katagori kelompok tertentu (fundamentalis).

Penelitian yang dilakuakan Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, ketika

meneliti tentang fundamentalisme dan radikalisme menunjukan cara pendekatan yang

25

(29)

hampir sama. Dalam menjelaskan istilah “fundamentalisme”, mereka tidak sekedar

mendaftar kriteria-kriteria yang mencari istilah tersebut. Lebih dari itu, mereka

meletakan kriteria fundamentalisme dalam kerangka ideal type agar cara

penggunannya lebih fleksibel.26

2. Teori Gerakan Sosial

Sebagaian kalangan dari para sarjana ilmu sosial umumnya memiliki

perbedaan pandangan ketika memahami gerakan sosial. Namun, dari berbagai

perbedaan itu ada semacam kesepakatan yang muncul di kalangan mereka yaitu

terkait dengan tiga faktor: kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi

sumber daya (resource mobilitation), dan proses pembingkaian (framing processes).

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan ketiga faktor yang muncul

dalam studi gerakan sosial sebagai bagian dari media analisis untuk mengetahui

berbagai masalah yang menjadi fokus penelitian ini. Seperti pada umumnya para

peneliti gerakan sosial, penelitian ini juga akan berangkat dari analisis kemunculan

sebuah gerakan sosial dalam hal ini HTI di kampus UIN Jakarta.

Untuk mendeteksi kemunculan gerakan sosial tersebut, maka akan diletakan

pendekatan struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang

bertujuan untuk menganalisis kontek sosial dari kemunculan gerakan sosial. Argumen

26

(30)

utama dari pendekatan ini adalah bahwa berhasil atau tidaknya aktivis gerakan dalam

mengembangkan klaim-klaim tertentu, atau mobilisasi massa/suporter dan

menyebarkan pengaruh sangat tergantung pada konteks sosial-politik.27 Adapun

wilayah kerja pendekatan ini penulis gunakan hanya pada konteks mikro yaitu hanya

pada scope HTI di kampus UIN Jakarta. Variabel selanjutnya yang tidak kalah

penting untuk digunakan dalam penelitian ini adalah studi tentang alat atau instrumen

atau mekanisme relasional dalam rangka menyediakan infrastruktur pendukung yang

mereka butuhkan. Paling tidak terdapat tiga elemen penting dalam infrastruktur: basis

keanggotaan, jejaring komunikasi, dan pimpinan atau tokoh gerakan.28 Studi tentang

alat atau instrumen ini dikenal sebagai mobilisasi sumber daya .29

Selain dimensi-dimensi kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya,

dalam teori gerakan sosial dibutuhkan untuk mengkaji bagaimana individu-individu

peserta mengkonseptualisasikan diri mereka sebagai suatu kolektivitas. Selain itu,

gerakan sosial juga penting untuk mengetahui bagaimana para calon peserta

diyakinkan untuk berpartisipasi, dan cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan

dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan melalui proses interaktif. Dalam

perkembangan sebuah teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya

mewujudkan melalui studi tentang framing (pembingkaian).

27

Mukhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, h. 20.

28

Ibid., h. 22.

29

(31)

Trend pembingkain ini akan coba penulis gunakan sebagai alat analisis dalam

penelitian ini. Di beberapa aksinya HTI UIN Jakarta sering melakukan proses

framing untuk memobilisasi anggota, seperti terlihat dalam pembingkain terhadap

isu-isu nasional maupun internasional.

3. Strategi

Dalam penelitian ini, HTI diklasifikasikan sebagai salah satu dari eksemplar

kelompok fundamentalisme Islam dan ingin dipahami melalui perspektif teori

gerakan sosial. Dalam teori gerakan sosial dikemukakan bahwa, selain ideologi

gerakan sosial juga dipengaruhi oleh basis massa dan strategy for action.30

Sebagaimana disebutkan di atas, massa dalam gerakan sosial memiliki posisi

penting karena melalui kekuatan massa atau kader, suatu gerakan akan lebih mudah

untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam ideologi. Selanjutnya, karena

keberadaan massa/kader sangat amat penting maka gerakan sosial juga meniscayakan

pada strategi yang dirancang secara cermat. Strategi ini berkaitan dengan tata cara

untuk memperluas basis massa, pembinaan, serta strategi lainnya yang bisa

mengarahkan gerakan sosial agar bisa meraih tujuan secepat-cepatnya.

Mengingat pentingnya sebuah strategi, maka HTI sebagai gerakan sosial

membutuhkan strategi-strategi untuk membina dan memperluas basis massa nya.

30

(32)

Penelitian ini akan meletakan strategi ke dalam satu kerangka teori secara terpisah,

agar mampu menggambarkan dengan komprehensishif bagaimana strategi HTI

dalam merekrut kader-kadernya. Langkah seperti ini, berawal dari asumsi bahwa HTI

dikenal sebagai organisasi yang cukup selektif dalam merekrut kader-kadernya,

namun selektifitas terhadap perekrutan kader ini justru membuat HTI terbilang sukses

dalam merekrut anggota.

F. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini

adalah library research dan observasi. Adapun library reseach yaitu metode

penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan

berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari

buku-buku, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang

dituju.31 Kemudian metode observasi yaitu penulis melakukan upaya pencaharian

data dengan cara terlibat langsung di lapangan dalam beberapa kegiatan-kegiatan HTI

dan penulis melakukan wawancara pada beberapa responden yang dianggap

representatif dengan penelitian yang penulis lakukan.

Penelitian gerakan sosial ini juga bersifat kualitataif yang berangkat dari

generalisasi empiris atau realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut

dideskripsikan dan dianalisis secara komprehensif. Aspek yang bersifat fenomenal

31

(33)

juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis. Penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang

dapat di amati dari subjek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung dari

setting itu secara keseluruhan. Subjek setudi baik berupa organisasi, lembaga, atau

pun individu tidak di persempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi

hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari satu keseluruhan.32

Metode kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis ini bertujuan

untuk menggambarkan pola gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan faktor pendukung

gerakan mereka di Kampus UIN Jakarta. Kemudian penulisan dalam skripsi ini

disesuaikan dengan standar karya ilmiah (skripsi, tesis, dan desertasi) yang

diterbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Teknik penulisan ini yang digunakan adalah merujuk pada

pedoman penulisan skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2011. Selain itu penulis juga mewawancarai sejumlah pengurus organisasi

HTI khususnya yang masuk pada struktur organisasi HTI di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini, penulis akan menanyakan seputar pola gerakan

dan faktor yang mendukung HTI di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Jawaban dari pengurus HTI tersebut akan dijadikan sumber rujukan data

analisa untuk menambahkan referensi dalam skripsi ini. Penulis paling tidak

32

(34)

mewawancarai ketua atau anggota yang memiliki posisi strategis dalam kepengurusan

HTI di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka penulis menggunakan

beberapa hal tentang sistemmatika penulisan dan disusun menurut bab per bab.

Kemudian dijelaskan sub per seb dari setiap tema pembahasan. Bab I, merupakan

pendahuluan yang mencakup tentang penyataan masalah, pertanyaan penelitian,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metedologi

penelitian dan sistematika penulisan. Bab II meliputi tinjauan teoritis yang

mengedepankan beberapa teori yaitu fundamentalisme, teori gerakan sosial yang

dilengkapi dengan beberapa sub tema yaitu struktur kesempatan politik, mobilisasi

sumberdaya dan pembingkaian dan teori strategi. Bab III, membahas tentang

gambaran gerakan Islam Hizbut Tahrir, sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia, Hizbut

Tahrir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi

yang berideologi Islam, visi dan misi HTI di Kampus UIN Jakarta.

Bab IV, menganalisa pola gerakan dan strategi kaderisasi HTI di Kampus

UIN Jakarta dengan sub tema masjid sebagai instrumen pengembangan jaringan

sosial HTI UIN Jakarta, memanfaatkan relasi personal (pertemanan dan keluarga),

membentuk kelompok studi dan memanfaatkan sarana kampus, pembingkaian isu

sebagai pola gerakan HTI UIN Jakarta, strategi kaderisasi HTI di UIN Syarif

(35)

dengan umat, tahapan pengambilan kekuasaan, faktor yang mendukung eksistensi

HTI di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jaringan, keberadaan aktivis

sebagai sumberdaya, dan eksistensi HTI sebagai indicator fundamentalisme Islam di

Kampus UIN Jakarta. Bab V, mengenai sumber-sumber dan rujukan yang dipakai

(36)

BAB II

TEORITIS

Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dipaparkan dalam bab I bahwa

yang menjadi pertanyaan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pola gerakan

dan strategi kaderisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di Kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Selain itu, karena HTI adalah organisasi yang eksis relatif lama,

maka penulis akan mencari faktor-faktor pendukung keberadaan HTI di kampus UIN

Jakarta.

Selanjutnya dalam skripsi ini HTI juga digolongkan sebagai eksemplar dari

gerakan fundamentalisme Islam. Oleh karena itu, penting kiranya penilitian ini

menyinggung soal fundamentalisme Islam yang kemudian akan dicari relevansinya

dengan gerakan HTI. Untuk itu, penulis mengawali analisa bab ini dengan teori-teori

yang sekiranya mendukung pembahasan pada masalah-masalah tersebut. Teori yang

digunakan penulis akan diawali dengan teori yang bersifat umum kemudian diikuti

dengan teori-teori yang lebih spesifik penunjang skripsi ini.

Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa menghubungkan

gerakan fundamentalis dengan HTI bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam wacana

gerakan sosial kedua gerakan ideologis tersebut terlihat jelas dimensi perbedaannya

baik secara historis, kultural, maupun sumber kedua gerakan itu dilahirkan.

(37)

tataran kata yang masih belum dikonotasikan pada suatu objek khusus. Namun,

berbeda dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang telah memiliki sifat khusus

karena kata ini telah merujuk pada suatu objek tentang kelompok tertentu. Kata

fundamentalis kemudian akan menjadi bermakna ketika dialamatkan pada suatu

peristiwa khususnya pada term gerakan keagamaan yang melibatkan sekte kristen

Protestan di Amerika pada abad ke-19 dan permulaan abad ke 20.1

Bersumber dari fenomena ini, maka oleh para sarjana ilmu sosial dan

keagamaan term fundamentalis memiliki makna dan merujuk pada suatu kelompok.

Gerakan fundamentalis Barat yang jelas-jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir yang

lahir dan berkembang dalam tradisi Islam di Timur Tengah. Pada tahun 1982/1983

gerakan ini ditransfer ke Indonesia dengan sebutan HTI.2 Berangkat dari perbedaan di

atas, maka dibutuhkan dalam melakukan analisis empiris terkait kedua masalah

tersebut.

A. Teori Fundamentalisme

Sejak pertama kali dibentuk HTI telah menyebut identitas mereka sebagai

gerakan politik, bahkan para aktivis HTI mengaku bahwa HTI adalah nereka adalah

sebuah partai politik. Oleh karena itu, pola gerakan yang dibangun oleh HTI

dimanapun mereka berada selalu bersifat politis. Selain membentuk identitas politik

1

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, trj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung: Mizan, 2001), h. 10

2

(38)

HTI juga banyak bergerak dalam ranah sosial-keagamaan sehingga sebagaian sarjana

mengasumsikan bahwa HTI sebagai gerakan keagamaan dan politik.

Sebagai gerakan politik ideologi yang dibangun HTI adalah ideologi Islam

artinya nilai-nilai Islam menjadi ruh untuk membangun sepirit perjuangan bagi HTI

serta Islam diyakini dapat mempersatukan umat di seluruh dunia Khilafah Islamiyah.3

Untuk memperkokoh keyakinan terhadap ideologi Islam An-Nabhani menegaskan:

Kami meyakini, bahwa filsafat kebangkitan Islam yang hakiki sesungguhnya bermula dari adanya sebuah mabda (ideologi) yang menggabungkan fikrah dan tariqah secara terpadu, ideologi tersebut adalah Islam. Sebab, Islam pada hakikatnya adalah sebuah aqidah yang melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta merupakan pemecahan untuk seluruh msalah kehidupan.4

3

Menurut bahasa,kata khilafah berasal dari bahasa Arab khalafa ,yakhlifu,khilafatan yang artinya menggantikan atau menjadi khalifah atau penguasa .Kata khalafa dapat diartikan kekuasaan atau pemerintahan. Sedang menurut istilah ,khilafah yaitu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam,dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan seluruhnya berlandaskan ajaran Islam. Bentuk khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al Quran dan sunnah pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Dan masa khulafaur rasyidin,dimana hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh kaum muslimin. Khilafah dapat diwujudkan dan ditegaskan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak umat Islam yang bersangkutan.Adanya khilafah memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam ,sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam itu sendiri ,tanpa adanya khilafah ,kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur,kemakmuran bersama tidak akan tercapai,bahkan eksistensi Islam dan umatnya dapat terancam. Konsep khilafah Islamiyah dewasa ini mengandung dua pengertian yaitu a. Negara Islam yaitu negara yang sumber hukum atau undang-Undangnya Al Qur an dan Sunnah dan dilaksanakan secara konsisten ,misalnya sekarang adalah Arab Saudi. b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya Beragama Islam ,undang-undangnya tidak secara eksplisit berdasarkan Al Qur an dan Sunnah,tetapi umat Islam menjalankan agamanya dengan sebaik-bauknya .Misalnya sekarang adalah negara-negara Arab,Malaysia ,Iran ,Brunai Darussalam dan negara-negara anggauta Organisasi Konprensi Islam (OKI). Drs.Suyono, Pengertian Khilafah Islamiyah, Internet di unduh pada 5 Februari 2013, dalam http://suyono1978.blogspot.com/2012/06/pengertian-khilafah-islamiyah.html.

4

(39)

Misi besar politik HTI adalah membangun tatanan sosial politik Islam

dibawah struktur politik khilafah Islamiyah.5 Oleh karena itu, HTI menolak

konsep-konsep politik di luar konsep-konsep politik Islam seperti demokrasi, monarki, presidensial,

negara bangsa (nation state) dan lain sebagainya. Selain itu, ideologi-ideologi politik

dari Barat seperti kapitalisme, komunisme, dan fasisme dianggap sebagai ideologi

kafir yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan bagi umat Islam harus waspada

dan menghindarinya.6

Barjuang melawan negera-negara kafir imprealis yang menguasai negara-negara Islam. Mengahadapi segala macam bentuk penjajahan, baik yang berupa pemikiran, politik, penjajahan, maupun militer. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya yang menjadi tempat kegiatan HT, serta mengungkapkan kejahatan mereka, memberi kritik, nasehat.Berusaha menghapus kekuasaannya dan menggantikan dengan hukum-hukum Islam.7

Ciri politis yang terangkum dalam gerakan HTI selama ini diasumsikan oleh

sebagian para sarjana sebagai gerakan fundamentalis Islam. Adapun dalam skripsi ini,

menghubungkan gerakan HTI dengan gerakan fundamentalis Islam penulis berangkat

dari kerangka teori yang dikonseptualisasikan oleh Ronnex L. Euben dan Basam Tibi

yaitu fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio-politik yang

berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem politik yang didasarkan pada

5Farid Wadjidi, “Mengenal Hizbut Tahrir,” al

-Wa’ie, 20 Maret 2005, 55

6

KH.Shiddiq al-Jawi, “Islam Menolak Demokrasi”al-Wa‟ie, 1-31 Maret 2013, 18-21.

7

(40)

agama.8 Di antara kedua sarjana tersebut sama-sama meletakan perhatiannya pada

unsur politik ketika mendefinisikan gerakan fundamentalisme Islam.

Selain kedua pemikir di atas, Syamsul Arifin menyebutkan beberapa aspek

penting untuk menghubungkan gerakan Islam dengan gerakan fundamentalis.

Pertama, meskipun tetap mempertahankan motivasi keagamaan, fundamentalisme

juga memiliki aspek politik. Dalam pandangan kaum fundamentalis, keselamatan

tidak hanya bisa didapatkan dengan pengasingan diri dari urusan duniawi, melainkan

harus didapat dengan melibatkan diri dalam urusan dunia (institusi dunia). Kedua,

fundamentalisme dibatasi pada faham dan gerakan kembali pada tradisi religious

skriptual dan sebagai konsekuensinya mereka menolak segala bentuk interpretasi.

Dengan sikap yang seperti itu fundamentalisme diposisikan sebagai kelompok yang

menolak pluralisme. Ketiga, kelompok fundamentalisme selain memiliki sikap yang

keras dan reaksioner terhadap modernisme, tetapi mereka juga sebagai ekspresi dari

moderenitas.9

Dari pemaparan di atas penulis meletakan aspek politik sebagai cara untuk

menghubungkan HTI dengan gerakan fumdamentalis. Selain itu, karakter lainya yang

biasa dihubungkan antara HTI dan gerakan fundamentalis adalah sikap mereka yang

anti terhadap ideologi-ideologi Barat seperti fasisme, kapitalisme, komunisme,

sekulerisme, dan lain-lain. Kemudian, jika kita menoleh pada apa yang di kemukakan

8

Arifin.,Ideologi dan Praksis Gerakan sosial Kaum Fudamental: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 52.

99

(41)

oleh Arifin di atas, maka terdapat karakter yang sama antara HTI dengan gerakan

fundamentalis yaitu adanya faham kembali kepada tradisi religius, artinya kedua

gerakan ini memandang bahwa setiap perkara yang terjadi di dunia ini baik itu soal

agama, sosial, ekonomi, budaya maupun politik agama diyakini sebagai solusi untuk

mengatasi masalah.

Meskipun wacana gerkan fundamentalisme Islam sendiri masih mengundang

kontroversi dikalangan para sarjana gerakan sosial. Kesulitan para sarjana untuk

menghubungkan wacana gerakan fundamentalis dengan gerakan Islam terletak pada

beberapa faktor diantaranya adalah dimensi historis, ruang dan waktu istilah itu

dikembangkan.

Secara historis kedua istilah tersebut sangat jelas perbedaannya. Sebagaimana

telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari tradisi Kristen yang

merujuk pada gerakan keagamaan dalam sekte Kristen Protestan Amerika yang

muncul sekitar abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.10 Selanjutnya sebagai istilah,

fundamentalisme diadopsi dari buku yang berjudul The Fundamentals: A Testimony

to The Truth, sebuah kumpulan yang berasal dari para teolog konservarif.11

Dalam tradisi kristen sendiri kemunculan gerakan fundamentalisme

merupakan bentuk reaksi terhadap banyak hal, seperti berkembangnya kajian kritik

terhadap injil, populernya teori Darwin, perseteruan antara sains versus teologi. Kaum

10

Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 10.

11

(42)

fundamentalis memiliki doktrin yang disebut five point of fundamentalism. Lima

doktrin itu adalah; 1) Injil tidak pernah salah, kata perkata. 2) Ketuhanan Yesus

Kristus. 3) Kelahiran Yesus dari Perawan Maria. 4) Penebusan doas. 5) Kebangkitan

Yesus ke dunia secara fisik.12

Kelima doktrin ini merupakan hasil interpretasi para teolog konservatif

terhadap Injil. Interpretasi ini bersifat tekstual sekaligus menolak kontekstualitas

kalangan liberal dan memiliki pengertian yang mutlak, jelas tidak berubah. Jams

Barr, mengatakan setigma sosial yang kerap dialamatkan pada kelompok ini adalah

fanatik, militan, berfikiran sempit, dan pada kepada mereka yang berbeda keyakinan

di luar jalur kelompok sejati dalam kasus tertentu menggunakan kekerasan dalam

mencapai tujuannya.13

Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama

kristen di Amerika, Peter Huff mencatat terdapat enam karakteristik penting gerakan

fundamentalisme. Secara sosiologis, gerakan fundamentalisme sering dikaitkan

dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan

perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukan

kecenderungan kepada suatu yang vulgar dan tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat

intelektual; secara psikologis, gerakan fundamentalisme ditandai dengan

12

F.L Cross (ed) The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press,

1997), h. 926, seperti dikutip dari Rifyal Ka’bah, Modernisme dan Fundamentalisme ditinjau dari konteks Islam(Ulmul Qur’an, No. 3 vol IV, 1993), h. 26.

13

(43)

otoriterianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara

intelektual, gerakan fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan

ketidak-mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis,

fundamentalisme diidentikan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan

tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikatakan dengan populisme

reaksioner.14

Dengan demikian secara etimologis dan istilah, gerakan fundamentalisme

tidak akan ditemukan dalam tradisi Islam. Grrakan fundamentalisme dalam tradisi

Islam hanya padanan kata. Penerapan fundamentalisme dalam tradisi Islam pada

akhirnya lebih banyak ditolak daripada diterima.15 Dalam hal ini, John L. Esposito

mengatakan dalam beberapa hal kata itu (baca Fundamentalisme Islam) menceritakan

tentang segalanya, akan tetapi pada saat yang sama tidak mengungkapkan apa-apa.16

Martin Van Bruessen mengatakan hal serupa bahwa penerapan terminologi

fundamentalisme dalam konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi,

14

Huff, “The Challenge of Fundamentalism for Interreligiuos Dialogue”, Cross Curent (SpringSummer,200),10http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_SpringSammer/63300895/print .jhtml. Diakses pada 09 Desember 2012, pukul 19.30 wib.

15

Adanya penolakan terhadap istilah fundamentlaisme disejajarkan dengan istilah Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, geneologi istilah fundemantalisme berasala dari pengalaman kasus Kristen.Kedua, memiliki implikasi yang jauh lebih buruk jika diterapkan dalam Islam, seperti kebodohan, keterbelakangan.Ketiga, karena luasnya kajian yang direpresentasikan oleh istilah fundamentalisme Islam, maka beragam paradigma dan perspektif yang digunakan oleh para sarjana sebagai metode dalam mengkajinya. Maka wajar apabila melahirkan beragam kesimpulan Lihat Ufi Ulfiyah dalam “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke-13 Tahun 2012”, h. 38

16

(44)

bagaimanapun kita berusaha mendeskripsikannya akan tampak sebagai sesuatu yang

sulit dipahami.17

Khursid Ahmad menolak dengan alasan istilah fundamentalisme adalah khas

Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti terjadi pemerkosaan yang besar-besaran

terhadap sejarah.18 Sedangkan Chandra Muzaffar dengan lantang mengatakan

gerakan fundamentalisme Islam adalah suatu bukti khas Barat dan menunjukan

adanya vested interest dalam penggunaannya baik oleh media maupun akademisi.19

Dari sekian banyak para sarjana yang tidak setuju terhadap istilah

fundamentalisme dihubungkan dengan gerakan Islam, namun ada beberapa sarjana

yang justru setuju atau paling tidak menemukan persamaan-persamaan dari kedua

istilah tersebut dihubungkan. Ibrahim Abu Bakar dari Universitas Kebangsaan

Malaysia (UKM) menemukan beberapa persamaan dari kedua istilah tersebut. Dalam

interpretasinya Abu Bakar mengelompokan persamaan gerakan fundamentalisme dan

gerakan Islam yaitu dalam hal interpretasi terhadap teks, sikap ingklusif, cenderung

menolak gagasan-gagasan Barat dan lain-lain.20

17

Imron Rosidy (ed), Agama dalam Pergulatan Dunia ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998 ), h. 63.

18

Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h. 283.

19

Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global, trj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 236.

20

Beberapa persamaan yang ditemukan oleh Ibrahim Abu Bakar adalah:Pertama,

fundamentalisme memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, rdikalisme, dan militanisme. Ketiga,

(45)

B. Teori Gerakan Sosial

Ditinjau dari perspektif sejarah, fenomena gerakan sosial sebetulnya bukanlah

masalah baru di seantero bumi ini. Sebagai tipe klasiknya dalam mengkaji gerakan

sosial dapat dilihat pada gerakan buruh pada masyarakat Eropa di abad ke 19 dan

awal abad ke 20-an.21 Ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural yang

dilahirkan oleh revolusi industri sehingga memicu gerakan buruh di Eropa.

Dalam melihat gerakan sosial para sarjana memiliki pendekatan yang

berbeda-beda sehingga hal ini melahirkan perspektif yang berbeda-beda ketika

memaknainya. Seperti halnya Micheal Useem, dia mendefinisikan gerakan sosial

sebagai tindakan kolektifitas terorganisasi yang dimaksudkan mengadakan perubahan

terhadap kondisi sosial dan politik. Kemudian John McCarthy dan Mayer Zald

sedikitmelangkah lebih rinci dalam memahami gerakan sosial. Kedua sarjana itu

memahami gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan

di dalam distribusi apapun yang bernilai secara sosial. Lain halnya dengan Charles

Tilly yang menambahkan sisi perseteruan dalam interksi gerakan sosial. Tilly

sebagai penafsir agama yang benar dan diluar dari mereka salah. Dikutip oleh Hadimulyo,

“Fundamentalisme Islam: Istilah yang Dapat Menyesatkan”, Ulumul Qur‟an, No. 3 Vol. IV, 1993, h. 5.20

21

(46)

mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya perseteruan dan dan berkelanjutan di

antara warga negara.22

Beberapa sarjana di atas, memberikan ciri-ciri dan penekanan tertentu perihal

pendefinisian gerakan sosial. Berbeda dengan David Meyer dan Sidney Tarrow,

dalam karyanya Social Movenent Society 1998. Kedua sarjana ini berusaha

memasukan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah

definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: Tantangan-tantangan

bersama yang didasarkan atas tujaun dan solideritas bersama dalam interaksi yang

berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan, atau musuh, bahkan pemegang

otoritas.23 Goerge Simel dalam memetakan gerakan sosial ia lebih menekankan pada

jumlah anggota sebagai pendukung gerakan sosial.24

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh para sarjana maka HTI

bagian daripada gerakan sosial, kerana HTI sebagai sebuah kelompok masyarakat

22

Astrid S. Susanto, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu, (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 21

23

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2007), h. 1-4.

24

(47)

yang terorganisir dan memiliki orientasi untuk merubah sebuah tatanan sosial dan

politik yaitu dengan menegakan Islam sebagai rujukan tunggal dalam membangun

struktur sosial dan politik di bawah struktur kilafah Islamiyah. Kemudian, dari sisi

keanggotaan yang ditekankan oleh Simel, nampak jelas HTI memiliki jumlah anggota

yang cukup mempuni untuk diidentifikasi sebagai gerakan sosial.

Dari berbagai perbedaan dalam memahami gerakan sosial tersebut, penelitian

ini akan meletakan tiga faktor dalam memetakan secara teoritis persoalan gerakan

sosial yaitu kesempatan politik (political opportunities), mobilisasi sumber daya

(resource mobilization), dan proses pembingkaian (friming processes). Ketiga trend

teoritis inilah yang akan digunakan penulis untuk menganalisis HTI di kampus UIN

Jakarta.

1. Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure)

Gerakan sosial tidak beroprasi dalam ruang hampa, namun mereka adalah

bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas yang dicirikan oleh

bagian konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah dan cair yang

menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasaan, ketersediaan

sumber daya atau kelajiman struktur mobilisasi. Para aktor kolektif dibatasi maupun

diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang seringkali membatasi kemungkinan

(48)

Di kalangan para pemikir gerakan sosial, tidak ditemukan kesepakatan secara

khusus terkait faktor-faktor eksogen. Namun, para sarjana banyak memfokuskan pada

ketidaktersediaan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substansinya. Teori

kesempatan politik berasumsi bahwa para aktor, begitu mereka menyadari

terdapatnya kesempatan dan ancaman maka mereka akan memberikan tanggapan

secara rasional untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan atau mengetasi kesulitan.

Di Indonesia adanya perubahan sosial-politik pasca kepemimpinan Soeharto,

maka membuka kesempatan untuk lahirnya gerakan-gerakan sosial. Sistem politik

yang demokratis membuka ruang kebebasan pada masyarakat untuk berekpresi,

berkumpul dan berorganisasi. Selain kebebasan secara general berbagai aturan-aturan

yang dianggap membonsai pergerakan mahasiswa juga di amademen sebagai contoh

adalah amademen aturan kampus NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/

Badan Koordinasi Kampus).25

Terbukanya celah kesempatan politik tentunya banyak dimanfaatkan oleh

gerakan-gerakan sosial keagamaan untuk masuk pada institusi pendidikan khususnya

di lingkungan kampus. Seperti halnya HTI di kampus UIN Jakarta, kehadiran mereka

dipicu oleh adanya kesempatan untuk berekpresi dan berorganisasi. Selain adanya

kesempatan yang bersifat struktural, situasi sosial di lingkungan kampus juga turut

mendukung perkembangan HTI di kampus. Kebijakan kampus yang mengakomodir

25

Gambar

gambaran gerakan Islam Hizbut Tahrir, sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia, Hizbut

Referensi

Dokumen terkait

Metode ini juga digunakan untuk mendapatkan data yang bersifat fisik yang tidak dapat diperoleh dengan cara interview dan metode ini digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan

Berdasarkan hasil survei dan analisis data yang telah dilakukan, Kota Jogja menjadi tujuan utama responden kecamatan Mlati dan Ngaglik dalam melakukan pergerakan tujuan

[r]

[r]

Penelitian ini termasuk dalam penelitian tindakan kelas (PTK). Subjek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah peserta didik kelas X IIS 1 SMA Negeri 3

Pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar fisika ditinjau dari kemandirian siswa.. Tesis (tidak

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun inai (Lawsonia inermis L.) berpengaruh sangat nyata pada taraf uji 5% terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan

Ini menimbulkan adanya budaya sombong dan copy cats (budaya peniruan) pengaplikasian strata sosial yang terjadi pada siswa SMP Harapan Mandiri Medan pengguna