• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Konsep Diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Konsep Diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental

2.1.1 Pengertian Retardasi Mental

Keterbelakangan mental (mental retardation, MR) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan yang berada di bawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya kemampuan menyesuaikan diri (perilaku maladaptif), yang mulai tampak pada awal kelahiran. Pada mereka yang mengalami mental retardation memiliki keterbelakangan dalam kecerdasan, mengalami kesulitan belajar dan adaptasi sosial. Diperkirakan ada sekitar tiga persen dari total penduduk dunia mengalami keterbelakangan mental (Pieter, dkk, 2011).

Mark Durand (2007 dalam Pieter, Janiwarti dan Saragih, 2011) mengatakan bahwa mental retardation adalah bentuk keterbelakangan fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata yang disertai oleh defisit fungsi adaptasi, seperti kegagalan dalam mengurus diri sendiri dan timbulnya perilaku menentang (okupasional).

Menurut DSM-IV-TR (2004) mental retardation merupakan gangguan fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata dengan skor IQ-70 ataupun kurang. Mental retardation ditandai dengan defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif, seperti bidang komunikasi, mengurus dirinya sendiri, home living, keterampilan sosial, interpersonal, dan keterampilan akademik.

2.1.2 Ciri-ciri Klinis Retardasi Mental

Menurut DSM-IV-TR (2004) ciri-ciri klinis mental retardation:

(2)

2. Orang yang memiliki defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang timbul secara bervariasi. Tanda-tanda umum dari mental retardation adalah kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan dalam mengurus diri sendiri atau rumah, kesulitan dalam membina relasi sosial atau personal, rendahnya kemampuan akademis, kesehatan dan keselamatan.

3. Umur onset, yakni timbulnya mental retardation pada usia 18 tahun. Batasan ini ditetapkan sebagai identifikasi gangguan pada fase-fase perkembangan berikutnya. Selanjutnya menurut DSM-IV-TR, ciri-ciri klinis mental retardation diselaraskan dengan tingkatan kemampuannya, yakni:

a. Retardasi Mental Katagori Ringan

Retardasi mental kategori ringan disebut juga dengan mental retardation kategori mild (ringan) dengan tingkat IQ=50-70, memiliki fungsi intelegensi yang secara signifikan berada pada subaverage ke bawah. Penderitanya membutuhkan bantuan yang cukup terbatas dan tak membutuhkan bantuan total. Dia masih bisa mandiri dengan tingkat pengawasan yang minimal dan masih memiliki prestasi yang memadai. Akan tetapi mereka masih sangat tergantung pada pendidikan, pelatihan, dan dukungan masyarakat.

Anak dengan retardasi mental ringan masih dapat membaca hingga kelas empat sampai enam sekolah dasar. Meskipun dia memiliki kesulitan membaca, tetapi dia masih mampu mempelajari pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membutuhkan pengawasan, bimbingan, dan pelatihan khusus. Penderita retardasi mental tidak memiliki kelainan fisik yang signifikan, tetapi mereka kerap kali menderita epilepsi.

b. Retardasi Mental Kategori Sedang

(3)

bantuan yang cukup terbatas, tidak membutuhkan bantuan total, masih mampu mandiri dengan tingkat pengawasan yang cukup minimal, masih memiliki prestasi yang memadai dan tergantung pola pendidikan, bimbingan, pelatihan, dan dukungan masyarakat.

Anak yang memiliki retardation mental IQ=36-51 jelas sekali memiliki keterbatasan dan keterlambatan dalam belajar bicara dan keterlambatan dalam perkembangan lainnya, seperti duduk. Dengan melalui pelatihan dan dukungan masyarakat (lingkungan), penderita retardasi mental masih dapat hidup mandiri untuk taraf keterampilan dan kebutuhan tertentu.

c. Retardasi Mental Kategori Berat

Retardasi mental kategori berat disebut juga dengan mental retardation kategori severe (berat) dengan tingkat skor IQ=20-25 dan IQ=30-45, memiliki keterampilan komunikasi formal yang sangat terbatas, sehingga tidak pernah bicara lisan dan jika adapun bicaranya hanya sebatas satu atau dua kata. Penderitanya membutuhkan bantuan khusus dan total, seperti mandi, berpakaian, dan makan. Penderitanya total membutuhkan bantuan living home, tidak memiliki keselamatan, kesehatan apalagi keterampilan akademik.

d. Retardasi Mental Kategori Sangat Berat

(4)

Anak-anak mental retardation dalam kategori sangat berat (IQ ≤ 19) biasanya tidak dapat berjalan, berbicara, ataupun memahami orang lain. Angka harapan hidup anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental relatif pendek dan tergantung pada faktor penyebabnya. Biasanya semakin berat mental retardation, maka semakin kecil angka harapan hidupnya.

2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Retardasi Mental

Adapun 5 faktor penyebab retardasi mental menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) yaitu :

a. Trauma (Sebelum dan Sesudah Lahir)

Faktor perkembangan dan kelahiran yang dimaksudkan ialah faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan selama pranatal, perinatal, dan postnatal. Faktor pranatal, yakni akibat penyakit, keracunan dari bahan-bahan kimia, obat-obatan yang tidak terkendali dalam penggunaanya, penggunaan alkohol (fetal alcohol sindrom), drugs, rokok, dan malanutrisi selama kandungan. Faktor perinata, yakni pengaruh dari kesulitan melahirkan atau kelahiran yang kurang oksigen (hipoksia). Faktor postnatal, yakni akibat infeksi atau virus, luka atau pencederaan pada otak atau cacat pada kepala.

b. Infeksi (Bawaan dan Sesudah Lahir) dan Kelainan Kromosom

Infeksi bawaan sesudah lahir yang menyebabkan mental retardation yaitu: rubela kongenitalis, meningitis, sitomegalo, ensefalitis, toksoplasmosis kongenitalis, listeriosis, dan HIV.Sementara kelainan kromosom yang menyebabkan mental retardation adalah kesalahan pada jumlah kromosom (sindrom Down), defek pada kromosom (sindrom X yang rapuh, sindrom Aangelman, sindrom Prader-Willi), translokasi, dan sindrom cri du chat.

(5)

Kelainan genetik yang menyebabkan retardasi mental adalah galaktosemia, penyakit Tay-Sachs, leukodistrofi metakromatik adrenoleukodistrof, sindrom Lesch-Nyhan, sindrom rett, dan sklerosis tuberosa. Sementara faktor-faktor metabolik yang dapat menyebabkan retardasi mentaladalah sindrom Reye, dehidrasi hipernatremik, hipotiroid kongenital, hipoglikemia, dan diabetes melitus.

d. Akibat Keracunan

Pemakaian alkohol, kokain, amfetamina, dan obat lainnya pada ibu hamil. Serta keracunan metil merkuri (timah hitam) juga dianggap memberikan konstribusi besar sebagai penyebab retardasi mental.

e. Gizi dan Lingkungan

(6)

2.1.4 Klasifikasi Tingkatan Retardasi Mental

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) sebagai berikut:

TINGKAT KISARAN Ringan 52-68 Dapat membangun

kemampuan sosial

(7)

2.1.5 Bentuk-Bentuk Retardasi Mental

a. Alcohol syndrom,Yaitu mental retardation yang diakibatkan bahan kimia dan obat-obatan, seperti penylalanin. (Hellekson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011).

a. Lesch-Nyhan syndromadalah mental retardation yang diakibatkan gangguan cerebral palsy (spastisitas, pengencangan otot). Ciri-ciri Lesch-Nyhan syndrome ditandai dengan perilaku mencederai diri sendiri, seperti menggigit-gigit jari atau bibir. Gangguan ini hanya dideritai oleh anak laki-laki, karena yang bertanggung jawab adalah gen resesif, yakni ketika gen berada di kromosom X pada laki-laki tidak memiliki gen normal untuk menyeimbangi dan karena laki-laki tidak memiliki kromosom X yang kedua.

(8)

c. Fragile X syndromemenurut Dykens (1998 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) adalah bentuk mental retardation ini akibat penyimpangan atau cacat pada kromosom X yang berkaitan dengan masalah-masalah belajar, hiperaktif, menghindar tatapan mata, perseverative speech dan ciri-ciri fisik yang tidak lazim, seperti telinga, buah zakar, lingkaran kepala yang besar. Estimasi gangguan ini diperkirakan 1 di antara 2.000 laki-laki. d. Cultural familial retardation, yaitu bentuk mental retardation yang ringan dan disebabkan

oleh pengaruh lingkungan dan kombinasi pengaruh biologis dengan psikososial, seperti akibat penganiayaan fisik, penelantaran dan deprivasi sosial. Ciri-ciri orang yang cultur familial retardation adalah memiliki skor IQ= 50-70, memiliki keterampilan adaptif yang cukup baik, namun tidak berpotensi untuk mengembangkan keterampilannya, memiliki keterlambatan dalam perkembangan.

2.1.6 Cara Penanganan Retardasi Mental

Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) cara penanganan mental retardation secara biologis untuk saat ini bukan pilihan utama. Secara umum, penanganan pada mental retardation harus paralel, yakni dengan mengajarkan berbagai keterampilan yang dibutuhkan agar mereka dapat produktif dan mandiri. Perlu kita ketahui bahwa para penderita mental retardation yang sangat mereka butuhkan ialah agar mereka dapat berpartisipasi dengan cara-cara tertentu dalam masyarakat, bersekolah bahkan memiliki harapan untuk dapat bekerja dan memperoleh kesempatan menjalin hubungan sosial yang lebih berarti. Dengan kemajuan teknologi dan pendidikan memberikan peluang yang lebih baik dan realitis dalam kehidupan bagi para penderita mental retardation.

(9)

a. Penanganan Behavioral

Penanganan gangguan mental retardation pertama kali diintroduksikan pada tahun 1960 yang menekankan pada pengajaran keterampilan melalui inovasi perilaku (behavior), seperti dengan mengajarkan mereka keterampilan untuk mandi, berpakaian dan buang air. (Wilson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011). Keterampilan perilaku seperti ini dipecahkan menjadi bagian-bagian lebih kecil (task analysis) dan mereka diajarkan dengan memberikan pujian-pujian atau penguatan (reinforce). Keberhasilan mengajarkan keterampilan dapat diukur dari tingkat kemandirian yang dicapai dengan memanfaatkan keterampilan yang telah diajarkan.

b. Latihan Komunikasi

(10)

c. Support Employment

Bellamy (1988 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) mengatakan salah satu metode yang mengajarkan penderita mental retardation agar dapat berpartisipasi dalam dunia pekerjaan secara memuaskan dan berkompetisi. (Bellamy, Rhodes, Mank, dan Albin, 1988). Terlepas dari besarnya biaya yang terkait, maka dengan metode ini bukan hanya menempatkan penderitanya dalam satu pekerjaan yang bermakna, tetapi yang terpenting adalah membuat mereka untuk dapat menjadi orang yang produktif, mandiri, dan berguna bagi masyarakat.

2.2 Konsep Diri

2.2.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah semua perasaan, kepercayaan, dan nilai yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain (Tarwoto dan Wartonah, 2010).

Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan lingkungannya (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Sedangkan menurut Kozier dan Snyder (2010) konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri positif penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep diri positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal, dan juga lebih mampu menerima atau beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya

(11)

aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress atau konflik. Konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu sama lain. Klien yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik akan dapat meningkatkan konsentrasi.

2.2.2 Komponen-komponen Konsep Diri a. Gambaran Diri (Body image)

Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Tarwoto & Wartonah, 2010)

Menurut Potter & Perry (2009) gambaran atau citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas, berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan.

Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi dari tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan. Gambaran diri (Body image) berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya, pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).

b. Ideal Diri

(12)

Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga Budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan (Salbiah, 2003).

c. Harga Diri

Harga diri (Self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna, dan kompeten (Potter & Perry, 2009).

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami gagal cenderung harga dirinya menjadi rendah. Harga diri diperoleh dari sendiri dan orang lain (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).

Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang telah berlangsung lama). Dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata) (Salbiah, 2003).

d. Peran

(13)

sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Menurut Stuart & Sundeen, (1998) penyesuaian individu terhadap perannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (a) kejelasan perilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang spesifik tentang peran yang diharapkan; (b) Kosistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan perannya; (c) Kejelasan budaya dan harapannya terhadap perilaku perannya; dan (d) Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidakselarasan.

Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat, 1992).

e. Identitas

Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas menunjukkan batasan dan pemisahan diri yang lainnya. Menjadi “diri sendiri” atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar (Potter & Perry, 2009).

Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek mandiri), kemampuan dan penyesuaian diri (Keliat, 1992).

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep diri

(14)

a) Tingkat perkembangan dan kematangan yakni, perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan mempengaruhi konsep dirinya.

b) Budaya yakni, pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya, dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat pada lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan fisik dan lingkungan psikososial. Lingkungan fisik adalah segala sarana yang dapat menunjang perkembangan konsep diri, sedangkan lingkungan psikososial adalah segala lingkungan yang dapat menunjang kenyamanan dan perbaikan psikologis yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri.

c) Sumber eksternal dan internal yaitu, kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri. Sumber internal misalnya, orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal misalnya, dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang kuat.

d) Pengalaman sukses dan gagal yakni, ada kecendrungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian juga sebaliknya.

e) Stresor dapat mempengaruhi kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian, dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik diri, dan kecemasan.

f) Usia tua, keadaan sakit, dan trauma akan mempengaruhi persepsi dirinya. 2.2.4 Kriteria Kepribadian sehat

Kriteria kepribadian yang sehat menurut Tarwoto & Wartonah, (2010) yakni:

(15)

b. Ideal dan realitas yaitu individu yang mempunyai ideal diri yang realitas dan mempunyai tujuan hidup yang dapat dicapai.

c. Konsep diri yang positif merupakan konsep diri yang menunjukkan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya.

d. Harga diri tinggi yakni, seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai seseorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang dia inginkan.

e. Kepuasan penampilan peran merupakan individu yang mempunyai kepribadian sehat akan dapat berhubungan dengan orang lain, secara intim dan mendapat kepuasan. Ia dapat mempercayai dan terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.

f. Identitas jelas yakni, individu merasakan keunikan dirinya yang memberi arah kehidupan dalam mencapai tujuan.

2.2.5 Karakteristik Konsep Diri Rendah

Menurut (Carpenito, 1995 dalam Taylor) yang dikutip oleh Tarwoto & Wartonah, (2010) ada beberapa karakteristik konsep diri yang rendah yaitu: menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu; Tidak mau berkaca, menghindari diskusi tentang topik dirinya, menolak usaha rehabilitas, melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat, mengingkari perubahan pada dirinya, tanda dari keresahan seperti marah, keputusasaan, dan menangis, menolak berpartisipasi dalam perawatan dirinya, tingkah laku yang merusak seperti gangguan obat-obatan dan alkohol, menghindari kontak sosial; dan kurang bertanggung jawab.

2.2.6 Konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental

(16)

terhadap hasil yang dicapai dalam kehidupan dengan mempunyai anak retardasi mental (Suliswati, 2005)

Berdasarkan hasil penelitian Kuantitatif yang dilakukan oleh Widiyanto dan Afif, (2013) terhadap keluarga yang memiliki anak retardasi mental, menunjukkan bahwa subjek keluarga yang memiliki anak retardasi mental memiliki gambaran konsep diri negatif. Keluarga yang memiliki anak retardasi mental secara negatif beranggapan bahwa masyarakat sekitar menilai keluarga yang memiliki anak retardasi mental merupakan orang tua atau keluarga dengan gen yang tidak baik sehingga menghasilkan keturunan yang tidak baik (retardasi mental). Akibatnya keluarga yang memiliki anak retardasi mental akan menampilkan kesan yang negatif seperi rasa malu, dan rendah diri terhadap orang lain. Dapat juga mempengaruhi kurangnya kepercayaan diri orang tua atau keluarga karena memiliki anak retardasi mental, hal ini disebabkan adanya tuntutan dan harapan dari orang-orang yang dianggap penting seperti orang tua, saudara dan kerabat terhadap suatu kesuksesan kehidupan seseorang. Anak retardasi mental seringkali menjadi beban dan dapat membuat jenuh orang tua atau keluarganya karena tidak dapat memenuhi standar yang sesuai dengan tuntutan dan harapan keluarga.

2.3 Kecemasan

2.3.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah gangguan yang disebabkan oleh konflik yang tidak disadari mengenai keyakinan, nilai, krisis situasional, maturasi, ancaman pada diri sendiri, penyakit yang dipersepsikan sebagai ancaman kehidupan atau kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi (Pieter dan Lubis, 2010).

(17)

emosional dan penilaian individu yang subjektif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan belum diketahui secara khusus faktor penyebabnya.

Gangguan kecemasan sering juga dianggap sebagai suatu gangguan yang berkaitan dengan perasaan khawatir tidak nyata, tidak masuk akal, tidak cocok yang berlangsung terus (intens) atas prinsip yang terjadi (manifestasi) dan kenyataan yang dirasakan. Orang yang mengalami gangguan kecemasan selalu diikuti rasa ketakutan yang difuse, tidak jelas, tidak menyenangkan dan timbulnya rasa kewaspadaan yang tidak jelas (Pieter, Janiwarti, dan saragih, 2011).

2.3.2 Tanda-Tanda Umum Kecemasan

Tanda-tanda kecemasan (ansietas) adalah memiliki ketakutan yang tidak realistis, irrasional, dan tidak dapat secara intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas (Sutardjo dan Wiramihardja, 2007). Keluhan atau tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang sangat bervariasi, tergantung dari beratnya kecemasan yang dirasakan oleh individu tersebut, salah satunya keluhan-keluhan yang dikemukakan oleh Pieter dan lubis (2010) ada 2 gejala, yaitu gejala fisik dan gejala psikologis. Gejala fisik meliputi; ketegangan motorik seperti gemetar, gugup, nyeri otot dan mudah lelah, nafas pendek atau perasaan mudah tercekik, tangan dingin dan berkeringat, mulut kering dan pusing, mual, diare atau tidak nyaman abdomen, sering berkemih, tiba-tiba panas dan menggigil, tekanan darah meningkat. Gejala psikologis meliputi ; kegelisahan yang berlebihan, waspada yang berlebihan, sulit berkonsentrasi, respon kaget berlebihan, sulit tidur, mudah tersinggung dan hipersensitif.

2.3.3 Tingkat Kecemasan

Empat tingkat kecemasan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan efek pada tiap individu yang dikemukakan oleh Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) dan Tarwoto (2010), yaitu:

a. Cemas Ringan

(18)

cemas ringan akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas. Respon-respon fisiologis orang yang mengalami cemas ringan adalah sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung.

Respon kognitif orang yang mengalami cemas ringan adalah lapang persepsi melebar, dapat menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara efektif. Adapun respon perilaku dan emosi dari orang yang mengalami cemas adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.

b. Cemas Sedang

Pada cemas sedang tingkat lapangan persepsi pada lingkungan menurun dan memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan menyampingkan hal-hal lain. Respon fisiologis dari orang yang mengalami cemas sedang adalah sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gelisah.

Respon kognitif orang yang mengalami cemas sedang adalah lapangan persepsi yang menyempit, rangsangan luar sulit diterima, berfokus terhadap apa yang menjadi perhatian. Adapun respon perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentak-sentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman.

c. Cemas Berat

(19)

Respon kognitif orang mengalami cemas berat adalah lapangan persepsi yang sangat sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun respon perilaku dan emosinya terlihat dari perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, dan blocking.

2.3.4 Faktor-Faktor Penyebab Cemas

Menurut Pieter dan Lubis (2010) ada faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor ekstrnal). Namun demikian pencetus cemas (ansietas) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategorik yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya.

2. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status / peran diri, dan hubungan interpersonal.

Menurut Pieter, Janiwarti, dan saragih (2011) berdasarkan teori psikoanalisis cemas merupakan konflik emosional antara dua elemen kepribadian, yakni Id, Ego, dan Superego. Id mencerminkan dorongan instingtif dan impuls-impuls primitif. Ego melambangkan mediatir antara Id dan Superego. Sedangkan Superego mencerminkan hati nurani seseorang yang dikendali oleh norma-norma lingkungan, agama dan budaya. Kaitannya pada cemas adalah peringatan terhadap pertahanan ego.

Adapun pada teori interpersonal mengatakan bahwa cemas terjadi akibat ketakutan atas penolakan interpersonal dan disertai dengan trauma masa perkembangan seperti kehilangan atau perpisahan orang tua. Demikian juga dengan kehilangan harga diri, di mana biasanya orang yang mengalami hilangnya harga diri bisa berakibat timbulnya cemas berat.

(20)

cemasnya. Sumber-sumber frustrasi adalah pada usaha pemenuhan kebutuhan, kondisi fisik individu dan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab cemas adalah adanya perasaan takut tidak diterima dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis, seperti trauma perpisahan, kehilangan atau bencana alam, adanya frustrasi akibat kegagalan mencapai tujuan, adanya ancaman pada integritas diri, yakni meliputi kegagalan memenuhi kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar) dan adanya ancaman pada konsep diri.

2.3.5 Cara Mengatasi Cemas

Menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) ada 4 komponen cara mengatasi cemas antara lain yaitu:

a. Terapi Individual

Terapi individual adalah dengan mengajak klien mengeksplorasi rangsangan yang menimbulkan cemas, mengajari klien untuk menghambat respon cemas melalui penyelesaian dan analisis logis. Membantu klien memahami bagaimana pikiran, perasaan dan situasi yang dapat mencetuskan respons yang terantisipasi. Tingkatkan pengenalan pada keterbatasan diri dalam serangan cemas sehingga klien dapat memulai membentuk kontrol pada semua aspek keterbatasannya. Mendorong klien untuk mengatasi kecemasan, seperti mengatakan kamu dapat melewati segala masalahmu. Ajarkan klien tentang relaksasi untuk mengurangi segala ketegangan fisik. Mengkaji dan monitor gejala kecemasan, apakah ada keinginan untuk bunuh diri.

b. Terapi Kelompok

(21)

dalam menenteramkan suasana hatinya. Bantu klien mengidentifikasi kapan cemas meningkat dan mereduksi proses cemasnya.

c. Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah dengan mengajarkan kepada keluarga klien tentang cemas yang terjadi pada klien. Mengajarkan keluarga klien untuk mengembangkan keterampilan komunikasi yang efektif, mereduksi konflik keluarga dan mengajarkan tentang makna kejujuran, empati, dan keterbukaan.

d. Terapi Obat-obatan

Menggunakan obat cemas (terutama benzodiazepin), anti depresan (seperti selective sorotonin reuptake inhibitor), inhibitor oksidae moenoamin (obat untuk panik berat).

2.3.6 Tindakan Keperawatan Mengatasi Kecemasan Kepada Individu

Menurut Purba, Wahyuni, Daulay, dan Nasution (2012) tindakan keperawatan yang dapat dipilih dengan kondisi pasien atau individu sebagai berikut:

1. Kecemasan

Tindakan keperawatan untuk individu Tujuan:

a) Klien mampu mengenal kecemasan (ansietas)

b) Klien mampu mengatasi kecemasan melalui teknik relaksasi

c) Klien mampu memperagakan dan menggunakan teknik relaksasi untuk mengatasi kecemasan

Tindakan keperawatan:

a) Bina hubungan saling percaya

(22)

hubungan saling percaya adalah: (a) Mengucapkan salam terapeutik; (b) Berjabat tangan; (c) menjelaskan tujuan interaksi; dan (d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien

b) Bantu pasien mengenal kecemasan:

Adapun tahapan perawat untuk membantu pasien mengenal kecemasan yang dihadapi yakni : (a) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya; (b) Bantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan kecemasan; (c) Bantu pasien mengenal penyebab kecemasan; dan (d) Bantu pasien menyadari perilaku akibat kecemasan (ansietas)

c) Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri: (a) Pengalihan situasi; (b) Tarik nafas dalam dan mengerutkan serta mengendurkan otot-otot; dan (c) Menggunakan teknik 5 jari

d) Motivasi pasien melakukan teknik relaksasi setiap kali rasa cemas itu muncul 2.3.7 Kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental

(23)

Pada penelitian Hastuti pada tahun 2004 menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak dialami keluarga penderita retardasi mental mengacu pada tingkah laku dan emosi anak retardasi mental, masa depan anak, kesempatan anak retardasi mental untuk melanjutkan pendidikan dan pengasuhan anak retardasi mental setelah ketidakhadiran keluarga. Hal ini dikarenakan anak retardasi mental membutuhkan pengawasan yang berbeda-beda dari anak-anak lainnya. Permasalahn yang juga muncul pada keluarga penderita retardasi mental adalah kecemburuan terhadap orang tua lain yang tidak memilki anak retardasi mental.

2.4 Keluarga

2.4.1 Pengertian Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul serta tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, 2008). Menurut Friedman, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, (2008) Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang terikat dalam perkawinan, ada hubungan darah, atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah.

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lainnya, dan di dalamnya terdapat peranan dari masing-masing anggota, menciptakan serta mempertahankan kebudayaan yang telah ada (Salvicion G Baillon dan Aracelis Maglaya dalam Sujono Riyadin, 2009).

2.4.2 Struktur Keluarga

(24)

1) Struktur peran keluarga

a. Struktur peran keluarga; menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga baik didalam keluarganya sendiri maupun peran dilingkungan masyarakat.

b. Nilai atau norma keluarga; menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini dalam keluarga.

c. Pola komunikasi keluarga; menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi diantara orang tua, orang tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam keluarga besar. d. Struktur kekuatan keluarga, menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk

mengendalikan atau mempengaruhi orang lain dalam perubahan prilaku ke arah positif. 2) Ciri-ciri struktur keluarga

Menurut Satun Setiawati (2008) ciri-ciri struktur keluarga yaitu : a. Teroganisasi

Keluarga adalah cerminan organisasi, dimana masing-masing anggota keluarga memiliki peran dan fungsi masing-masing sehingga tujuan keluarga dapat tercapai.

b. Keterbatasan

Dalam mencapai tujuan, setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing sehingga dalam berinteraksi setiap anggota keluarga tidak bisa semena-semena, tetapi mempunyai keterbatasan yang dilandasi oleh tanggung jawab, masing-masing anggota keluarga.

c. Perbedaan dan kekhususan

Adanya peran yang beragam dalam keluarga menunjukkan masing-masing anggota keluarga mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dan hak seperti halnya peran ayah sebagai pencari nafkah utama, peran ibu yang merawat anak-anakn.

(25)

Menurut Satun Setiawati (2008), dominasi struktur keluarga terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Dominasi jalur hubungan darah

a) Patrilineal : Keluarga yang dihubungkan atau disusun melalui jalur garis ayah. b) Matrilineal : Keluarga yang dihubungkan atau disusun melalui jalur garis ibu 2. Dominasi keberadaan tempat tinggal

a) Patrilokal : Keberadaan tempat tinggal satu keluarga yang tinggal dengan keluarga dari pihak suami.

b) Matrilokal : Keberadaan tempat tinggal satu keluarga yang tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak istri.

3. Dominasi pengambilan keputusan

a) Patriakal : Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak suami b) Matriakal : Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak istri. 2.4.3 Tipe-tipe Keluarga

Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial maka tipe keluarga juga berkembang mengikutinya. Berikut adalah berbagai tipe keluarga menurut Sri Setyowati (2008):

1. Tipe keluarga tradisional

a. Keluarga inti : yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (kandung atau angkat).

b. Keluarga besar : yaitu keluarga inti yang ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan darah.

(26)

d. Single Parent : yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ ibu) dengan anak (kandung/ angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian.

e. Single Adult : yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa (misalnya, seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau kuliah).

2. Tipe keluarga non tradisional

a. The unmarriedteenege mather : keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah.

b. The stepparent family : keluarga dengan orang tua tiri. Beberapa keluarga yang tidak ada hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama, pengalaman yang sama : sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak bersama.

c. The non marital heterosexual cohibitang family : keluarga yang hidup bersama dan berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.

d. Gay dan lesbian family : seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama sebagaimana pasangan suami istri.

e. Cohabiting couple : orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa alasan tertentu.

f. Group marriage family : beberapa orang dewasa menggunakan alat-alat rumah tangga bersama yang sudah saling menikah, berbagai sesuatu termasuk sexual dan membesarkan anaknya.

(27)

h. Foster family : keluarga yang menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali keluarga yang aslinya.

i. Homeless family : Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan ekonomi dan atau problem kesehatan mental.

j. Gang : Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikatan emosional dan yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya.

2.4.4 Fungsi keluarga

Fungsi keluarga menurut Friedman, 1998 dalam Satun S & Agus Citra D, (2008) sebagai berikut :

a. Fungsi Afektif

Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga.

b. Fungsi sosialisasi

Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi.

c. Fungsi reproduksi

(28)

d. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya yaitu : makan, pakaian, dan tempat tinggal.

e. Fungsi perawatan kesehatan

Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

2.4.5 Peran Keluarga

Peran keluarga menurut Setyowati & Muwarni (2008), yaitu :

Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :

1. Peranan Ayah : Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung/ pengayon, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.

2. Peranan Ibu : Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat sosial tertentu.

3. Peran Anak : Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

(29)

Peran Keluarga dibidang Kesehatan menurut Setyowati & Muwarni (2008) :

Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melakukan praktek asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan memengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dan tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.

Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut : (a) Mengenal masalah kesehatan; (b) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat; (c) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit; (d) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat; (e) Mempertahankan hubungan dengan (menggunakan) fasilitas kesehatan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terdiri dari 9 (sembilan) putaran dengan 5 (lima) proses pada setiap putarannya sehingga menghasilkan ciphertext yang acak dengan nilai korelasi sangat lemah

Bagian tubuh yang belum ideal menurut pendapat responden di atas hampir sama dengan hasil penelitian Widianti dan Candra (2012) pada rema- ja putri di SMA Theresiana

Berdasarkan hasil analisis pada alat musik akordion, alat musik beruas dan pola tabuhan rebana yang mengiringi tari Jepin Tembung Sanggar Bougenville Kota

Dalam proses enkripsi regenerasi kunci memberikan cara khusus bagaimana suatu algoritma mentransformasikan teks terang ( plaintext ) menjadi teks tersandi ( ciphertext

Gejala psikososial pada subjek hipotiroid, seperti mudah sedih, merasa tertekan, tidak bersemangat dan apatis serta lebih suka menyendiri, disebabkan oleh adanya mekanisme

HONORARIUM PANITIA PELAKSANA KEGIATAN; HONORARIUM PEGAWAI HONORER / TIDAK TETAP; BANTUAN TRANSPORT NARASUMBER DAN BANTUAN TRANSPORT PESERTA; HONORARIUM NARASUMBER; BELANJA

Wawancara yang dilakukan oleh pemilik atau perwakilan biro iklan adalah untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, modal,

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang