• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus di Kantor Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus di Kantor Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang)"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomena sepanjang sejarah Indonesia.

Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan

yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak

adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan

pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga,

menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan

menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan

secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan

apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik untuk

memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak

sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja

sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit (Sahdan, 2004).

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan

yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan

hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk

memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang

terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;

(6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat

untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam

(2)

berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan;

dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola

pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2004).

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana

seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu

memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain,

terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air

bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari

perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam

kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Kemiskinan

merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis, maka cara

penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan

semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat,

berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.

Di Kabupaten Deli Serdang sendiri terdapat 14.673 keluarga pra-sejahtera

(keluarga sangat miskin), 54.522 keluarga sejahtera I, dan 215.210 keluarga

sejahtera II (sumber: BPS Deli Serdang tahun 2016). Jumlah kemiskinan di Deli

Serdang tergolong banyak melihat melimpahnya sumber daya yang ada di Deli

Serdang dan banyaknya program pembangunan secara nasional yang telah

(3)

Demi mengatasi permasalahan kemiskinan ini, maka pemerintah

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir

Miskin yang kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Upaya Penanganan Fakir Miskin Melalui

Pendekatan Wilayah.

Di dalam PP Nomor 63 Tahun 2013 ini memuat tentang pembagian

wilayah penanganan fakir miskin dan masing-masing rencana program yang tidak

sama. Adapun pembagiannya antara lain penanganan fakir miskin wilayah

perdesaan, penanganan fakir miskin wilayah perkotaan, penanganan fakir miskin

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, penanganan fakir miskin wilayah

tertinggal/terpencil dan penanganan fakir miskin wilayah perbatasan antar negara.

Secara garis besar, poin-poin utama dalam PP ini adalah penyediaan

sumber mata pencaharian, bantuan permodalan dan akses pemasaran, peningkatan

pembangunan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan masyarakat dan

peerintahan, pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya, pengembangan

lingkungan permukiman yang sehat, peningkatan rasa aman dari tindak kekerasan

dan kejahatan, menjamin keamanan wilayah perbatasan serta pengamanan sumber

daya local, dan peningkatan daya tahan budaya local dari pengaruh negative

budaya asing.

Di dalam pasal 15 ayat e PP Nomor 63 Tahun 2013 ini dijelaskan bahwa

pemerintah memberikan bantuan stimulan untuk rehabilitasi rumah tidak layak

huni dalam bentuk uang dan/atau barang. Pasal inilah yang kemudian menjadi

(4)

program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni. Program ini ditujukan bagi

masyarakat miskin yang tinggal di rumah yang tidak layak serta masyarakat

miskin yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan kementerian sosial. Pasal ini

juga yang membuat penulis tertarik meneliti bagaimana bantuan stimulan untuk

rehabilitasi rumah tidak layak huni dari Kementerian Sosial, terlebih Kabupaten

Deli Serdang baru menerima bantuan ini sejak tahun 2015.

Namun dalam implementasi program, pasti ada hambatan yang dihadapi,

terlebih karena program ini baru berjalan selama dua tahun. Oleh karena itu

berpijak dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas mengenai kebijakan

program rehabilitasi rumah tidak layak huni tersebut, menjadi dasar peneliti perlu

untuk dilakukan penelitian tentang Implementasi Program Rehabilitasi Rumah

Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, adapun

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Menurut pendapat Sutrisno Hadi tujuan dari penelitian adalah :

menentukan pengembangan dan menguji kebenaran suatu kebenaranya suatu

(5)

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menganalisis

Proses Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di

Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun penelitian tentang Implementasi Program Rehabilitasi Rumah

Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang,

sesungguhnya dapat memberikan berbagai manfaat antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan

kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan memberikan

informasi dalam membuat suatu kebijakan yang tepat dengan menerapkan

teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama perkuliahan di

Departeman Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

2. Manfaat Praktis

Bagi Pemerintah Kabupaten Deli Serdang penelitian ini menjadi sumbangsih

pemikiran kepada SKPD terkait, dengan adanya analisis implementasi

program tersebut sehingga memberi gambaran serta masukan dalam

menjalankan program-program pemerintah dalam menurunkan angka

(6)

1.5 Kerangka Teori

Singarimbun (1995:18) menyebutkan bahwa teori merupakan serangkaian

asumsi,konsep dan konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar

konsep. Untuk memudahkan penulis dalam menyusun suatu pemikiran yang dapat

dijadikanfundamen dalam meneliti hal tersebut di atas, maka disusunlah beberapa

kerangka pemikiran sebagai berikut:

1.5.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan Publik merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris yaitu

Public Policy, kata policy ada yang menerjemahkan menjadi kebijakan (Wibawa,

1994) dan ada juga yang menerjemahkan menjadi kebijaksanaan (Islamy, 2001).

Meskipun belum ada kesepakatan apakah policy diterjemahkan menjadi

Kebijakan ataukah kebijaksanaan akan tetapi tampaknya kecenderungan yang

akan datang untuk policy digunakan istilah kebijakan maka dalam modul ini,

untuk public policy diterjemahkan menjadi kebijakan publik.

A. Thomas R. Dye

Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: Public

Policy is whatever the government choose to do or not to do (Kebijakan publik

adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu,

maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan tindakan

pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun

(7)

dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, bertujuan untuk kelancaran

lalu-lintas, karena becak dianggap mengganggu kelancaran lalulalu-lintas, di samping

dianggap kurang manusiawi. Akan tetapi, dengan dihapuskannya becak, kemudian

muncul ojek sepeda motor. Meskipun ojek sepeda motor ini bukan termasuk

kendaraan angkutan umum, tetapi Pemerintah DKI Jakarta tidak melakukan

tindakan untuk melarangnya. Tidak adanya tindakan untuk melarang ojek ini

dapat dikatakan belum adanya kebijakan publik yang dapat dikategorikan sebagai

tidak melakukan sesuatu.

B. James E. Anderson

Anderson mengatakan: Public Policies are those policies developed by

governmental bodies and officials. (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan

yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).

Menurut William Dunn (2008:23), tahap – tahap kebijakan publik adalah

sebagai berikut :

a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Kelompok masyarakat seperti partai politik, organisasi masyarakat, serikat,

atau kelompok lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu

yang disampaikan akan bersaing untuk dapat masuk ke dalam agenda

kebijakan.

b. Formulasi kebijakan (Policy Formulation)

Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para

pembuat kebijakan akan didefenisikan untuk dicari pemecahan masalah

(8)

Dalam tahap perumusan kebijakan masing – masing alternatif bersaing untuk

memecahkan masalah.

c.Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus

kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi

dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga

atau keputusan peradilan.

d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui program–

program yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan

administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah

diambil akan dilaksanakan oleh unit – unit administrasi yang memobilisasikan

sumber daya finansial dan sumber daya manusia.

e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauhmana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah.

Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang

diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat.

Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran – ukuran atau kriteria – kriteria yang

menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak

(9)

1.5.2 Implementasi Kebijakan

Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata implementation,

berasal dari kata kerja to implement. Menurut Webster’s Dictionary (2008), kata

to implement berasal dari bahasa Latin implementum dari asal kata impere dan plere. Kata implore dimaksudkan to fill up, to fill in, yang artinya mengisi penuh; melengkapi, sedangkan plere maksudnya to fill, yaitu mengisi. Dalam

Webster’sDictionary (2008) selanjutnya kata to implement dimaksudkan sebagai:

(1) to carry into effect; accomplish.

(2)to provide with the means for carrying out into effect or fulfilling; to give

practical effect to.

(3)to provide or equip with implements.

Pertama, to implement dimaksudkan membawa ke suatu hasil (akibat);

melengkapi dan menyelesaikan. Kedua, to implement dimaksudkan menyediakan

sarana (alat) untukmelaksanakan sesuatu. Ketiga, to implement dimaksudkan

menyediakan atau melengkapi dengan alat. Sehubungan dengan kata

implementasi di atas, Pressman dan Wildavsky mengemukakan bahwa,

ímplementation as to carry out, accomplish fulfill produce, complete. Maksudnya: membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, melengkapi.

Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkasn sebagai suatu

aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan

sarana (alat) untuk memperoleh hasil. Apabila pengertian implementasi di atas

dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik

(10)

publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk

mencapai tujuan kebijakan.

Implementasi atau pelaksanaan menurut Van Meter dan Van Horn

(Tangkilisan.2003:10) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah yang

diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan digariskan

dalam keputusan kebijaksanaan.Mengkaji masalah kebijakan berarti berusaha

memahami apa yang nyata terjadi sesudah program diberlakukan atau

dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah

proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha - usaha

mengadministrasikannya maupun yang menimbulkan dampak nyata atau

kejadian-kejadian pada masyrakat atau pada kejadian-kejadian tertentu.

Sedangkan menurut Grindle (1980;7) Implementasi merupakan proses umum

tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara

pembentukan sebuah kebijakan seperti halnya pasal – pasal sebuah undang –

undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan

pengadilan, keluarnya standar peraturan, dan konsekuensi dari kebijakan bagi

masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupan.

Menurut Zainal Abidin (2012) terdapat pendekatan dalam implementasi

(11)

1. Pendekatan strutural

Pendekatan ini melihat peran institusi atau organisasi sebagai sesuatu yang

sangat menetukan. Jika organisasi dianggap tidak sesuai dengan wujud

perubahan yang muncul dari kebijakan, maka perlu dilakukan :

a. Planning of change yaitu perencanaan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan untuk melakukan perubahan yang bersifat internal organisasi.

b. Planning for change yaitu perencanaan tentang perubahan organisasi untuk menghadapi perubahan dari luar.

2. Pendekatan prosedural / manajerial

pendekatan ini melihat implementasi dalam bentuk langkah-langkah yang

ditempuh dalam pelaksanaan (planning,programming, budgeting,

supervision, atau evaluation, review technique) 3. Pendekatan kewajiban / behavior

pendekatan ini berhubungan dengan penerimaan atau penolakan

masyarakat terhadap suatu kebijakan. penerimaan masyarakat terhadap

kebijakan tidak hanya ditentukan oleh isi atau substansi kebijakan, tetapi

juga oleh pendekatan dalam penyampaian dan cara

mengimplementasikannya.

4. Pendekatan Publik

keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh kemauan dan kemampuan

dari kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat atau dalam organisasi.

Dari pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa program

(12)

implementasi. Setelah sebuah kebijakan dibuat atau dirumuskan, baik

menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan, maka tahapan

selanjutnya adalah tindakanpelaksanaan atau implementasi. Dalam rangka

mencapai tujuan implementasi program yang efektif pemerintah dituntut

untuk melakukan aksi berupa membuat peraturan perundang-undangan

sebagai acuan, penghimpunan sumber daya yaitu sumber daya manusia

sebagai pelaksana dan sumber daya keuangan (finansial).

Model-Model Implementsi Kebijakan antara lain :

I. Model George C Edwads III

Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut

George C. Edwards III yaitu :

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga

akan mengurangi distorsi implementasi.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud

sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumberdaya keuangan

(13)

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator,

seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementator memiliki

disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik

seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator

memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka

proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang

standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi

setiap implementator dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang

akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan redtape, yakni

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan

aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Dengan demikian, keberhasilan implementasi dapat dilihat dari terjadinya

kesesuaian antara pelaksanaan atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan,

sasaran, dan kebijakan itu sendiri dapat memberikan dampak dan hasil yang baik

bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi, serta dalam implementasinya

(14)

Gambar 2.1.

Model George C Edwads III

Sumber : Mulyadi (2015), Studi Kebijakan Publik

II. Model Van Meter dan Van Horn

Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa ada enam variabel yang

mempengaruhi kinerja implementasi yakni :

1. Standard dan Sasaran Kebijakan

Standard dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisasikan. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan

terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen

implementasi.

(15)

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya

manusia yaitu kompetensi implementator maupun sumber daya non manusia

yaitu sumber daya keuangan (finansial)

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi

lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi

keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Agar pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma - norma, dan polapola

hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi

implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana

kelompokkelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi

implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau

menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit

politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yaitu :

a. Respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan

(16)

c. Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh

implementor.

Gambar 2.2.

Model Van Meter dan Van Horn

Sumber : Mulyadi (2015), Studi Kebijakan Publik

III. Model Grindle

Grindel menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan

kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang

dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari:

(17)

2) Tipe-tipe manfaat

3) Derajat perubahan yang diharapkan

4) Letak pengambilan keputusan

5) Pelaksanaan program

6) Sumber daya yang dilibatkan

Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan

oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu

yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.

Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan yang teridiri dari:

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2) Karakteristik lembaga penguasa

(18)

Gambar 2.3. Model Grindle

Sumber : Mulyadi (2015), Studi Kebijakan Publik

IV. Model Elmore, dkk

Lalu model yang disusun richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),

Benny Hjern & David O’Porter (1981). Pada pemerataan di atas model ini di

berikan labe “RE, dkk” yang terletak do kaudran “bawah ke puncak” dan lebih

berada di “mekanisme pasar”. Model ini di mulai dari mengindentifikasi jaringan

actor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka :

(19)

implementasi ini di dasarkan pada jenis kebijkan publik yang mendorong

masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap

melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu,

kebijakan yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang

menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang

menjadi pelaksanaannya. Kebijakan model ini biasanya di prakarasai oleh

masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba

kemasyarakatan (LSM).

Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan,

keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan

pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksanannya. Kebijakan Model ini biasanya

diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui

lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

V. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan

terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan

mekanisme pasar. Menurut Hogwood danGunn terdapat beberapa syarat yang

diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat

(20)

sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang

kebijakan dan badan pelaksana.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai. Syarat kedua ini kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang

bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakanfisik dan

politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yangdiinginkan karena

alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalupendek, khususnya

persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasanlainnya adalah bahwa

para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang

peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk mencapainya,

sehingga tindakan-tindakan pembatasan/ pemotongan terhadap pembiayaan

program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program

karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa terjadi

ialah apabila dana khususuntuk membiayai pelaksanaan program sudah

tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih

cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif menyerapnya.

Salah satu hal yang perlupula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada

dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar

penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena

itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau

hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu proses mengubah uang

itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan

(21)

untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir

tahunanggaran seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi

pemerintah(baik pusat maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan,

sehinggakarena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau

dilakukanhal-hal yang seharusnya tidak perlu.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia.

Persyaratanketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu

pihak harusdijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber

yangdiperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya

perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan

secara efektif bukan lantaran karena kebijakan tersebut telah

diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan

itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari,

tidaklain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang

tidakmemadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebab-sebab

timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang

tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang

diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini

Pressman dan Wildavsky(1973), menyatakan secara tegas bahwa setiap

kebijakan pemerintah padahakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara

(22)

bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu

gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori

yang menjadilandasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang

keliru.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata

rantaipenghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky (1973)

jugamemperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab

akibatnyatergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah

sekalimengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas,

semakinbesar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan

semakinmenjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam

matarantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak

terbuktiamat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna

menuntutadanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal,

yanguntuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada

badanbadanlain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus

melibatkanbadan-badan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan

denganorganisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik

artianjumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu

programternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan

hubungantertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap

(23)

bagikeberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar

apkankemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan

inimengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai,

dankesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan

yangpenting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses

implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik,

danlebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati

olehseluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi

danmendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana

pelaksanan program dapat dimonitor.

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratanini

mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju

tercapainnyatujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk

merinci danmenyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang

harusdilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.

1.5.3 Model yang digunakan dalam Penelitian Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang di Implementasikan dapat

dilakukan dengan model pendekatan Grindle. Sehingga dapat dilihat pelaksanaan

suatu kebijakan dengan variabel-variabel dalam model pendekatan tersebut.Oleh

(24)

Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu, adalah dengan

melihat indikator:

1) Isi Kebijakan Mencakup

a) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan

Suatu kebijakan sebaiknya mampu secara optimal menampung kepentingan

pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu kebijakan tersebut. Semakin

optimal suatu kebijakan dalam menampung kepentingan banyak pihak

maka semakin sedikit pihak yang menentang kebijakan tersebut untuk

diimplementasikan.

b) Jenis manfaat yang dihasilkan

Suatu kebijakan haruslah mampu menghasilkan manfaat yang besar dan

jelas manfaat yang dihasilkan kebijakan tersebut maka semakin besar

dukungan terhadap kebijakan tersebut untuk segera diimplementasikan.

c) Derajat perubahan yang diinginkan

Suatu kebijakan haruslah mampu menghasilkan perubahan kearah

kemajuan secara nyata dan rasional. Suatu kebijakan yang terlalu menuntut

perubahan perilaku dari kelompok sasaran akan lebih sulit untuk

diimplementasikan.

d) Kedudukan pembuat kebijakan

Pembuat kebijakan yang mempunyai wewenang (otoritas) yang tinggi dapat

(25)

yang baik sehingga keduduka pembuat kebijakan dapat mempengaruhi

proses implementasinya.

e) Pelaksanaan program

Pelaksana program harus mempunyai kualitas pemahaman yang baik

mengenai kondisi lapangan dan tugas yang harus dijalaninya. Koordinasi

haruslah baik supaya program berjalan efektif dan lancer.

f) Sumber daya yang dilibatkan

Sumber daya yang dimaksud adalah semua komponen yang diperlukan

dalam pelaksanaan program seperti keuangan, administrasi dan sebagainya.

2) Konteks Kebijakan mencakup

a) Kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat

Banyaknya actor dari berbagai tingkat pemerintahan maupun non

pemerintahan yang memiliki kepentingan serta strategi yang mungkin saja

berbeda berpengaruh terhadap pengimplementasian suatu kebijakan.

b) Karakteristik lembaga dan penguasa

Apa yang diimplementasikan sebenarnya adalah hasil dari perhitungan

berbagai kelompok yang berkompetisi memperebutkan sumber daya yang

terbatas, yang semua interaksi tersebut terjadi dalam konteks suatu

lembaga.

(26)

Pelaksana kebijakn yang baik tentu mempunyai tingkat kepatuhan serta

pemahaman (daya tanggap) yang tinggi terhadap kebijakan yang harus

mereka implementasikan. Adanya sikap pelaksana yang baik menimbulkan

tanggapan baik pula dari kelompok sasaran

1.5.4 Kemiskinan

Kuncoro (2006:103) mendefinisikan kemiskinan sebagai seseorang atau

sekelompok orang yang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi

yang dianggap sebagai kebutuhan minimal standar hidup tertentu. Beberapa ahli

lain mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan yang serba kekurangan dalam

mendapatkan sumber pendapatan untuk hidup minimum dan kekurangan dalam

memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar (Tumanggor, Suparlan dalam

Misbach, 2004:4). Kemiskinan dapat dikatakan sebagai suatu hambatan dalam

pembangunan, karena kemiskinan merupakan maslah keterbelakangan ekonomi

suatu negara (M.L Jhingan, 1996:42).

Menurut PBB kemiskinan adalah bahwa kemiskinan merupakan kondisi

dimana seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan

dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti tidak dapat memenuhi kesehatan,

standar hidup, kebebasan, harga diri dan rasa dihormati seperti orang lain.

Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1995:307) pola kemiskinan ada

empat yaitu, pertama adalah persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah

kronis atau turun temurun. Pola kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan

yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Pola ketiga adalah

(27)

dan petanitanaman pangan. Pola keempat adalah accidental poverty, yaitu

kemiskinan terjadi karena bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu

yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Kemiskinan dapat mengakibatkan masyarakat di suatu negara terutama di

negara sedang berkembang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memasuki

sector riil, baik sebagai pekerja maupun sebagai pelaku bisnis lainnya. Karena itu

sangat diperlukan suatu upaya penanggulangan agar seluruh masyarakat dapat

memasuki pasar kerja. Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan rumusan

yang konkrit yang dibuat oleh Bappenas berikut ini;

a. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang

terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status

gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan

tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari.

Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih

dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);

b. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan

oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu

layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku

hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak

fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan

yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh

golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan

(28)

kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding

82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu

bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001)

penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;

c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang

disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan

yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh

pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya

langsung maupun tidak langsung;

d. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan

terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan

kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh

migran perempuan dan pembantu rumahtangga;

e. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin

yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan

kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman

yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari

satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;

f. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air

bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan

menurunnya mutu sumber air;

g. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat

(29)

pemilikan tanah,serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan

lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi

oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota

keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;

h. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta

terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat

miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah

pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada

sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

i. Lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun INDEF (Institute

for Development of Economics and Finance, 2004) menggambarkan

bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik

dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi

pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi

pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi

di berbagai daerah konflik;

j. Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan,

pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari

wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya

pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya

partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga

(30)

akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan

keterlibatan mereka;

k. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya

tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong

terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai

rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak

miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota

5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di

perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan

adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan

rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu

layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya

perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses

layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8)

lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi

lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat

terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya

partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya

tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang

menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya

(31)

Sedangkan ukuran menurut World Bank menetapkan standar kemiskinan

berdasarkan pendapatan per kapita. Penduduk yang pendapatan per kapitanya

kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional. Dalam konteks

tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut World Bank adalah USD $2 per orang

per hari. Ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pilihan pada norma

pilihan di mana norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran

didasarkan konsumsi (consumption based poverty line). Oleh sebab itu, menurut

Kuncoro (2006:123) garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi terdiri dari

dua elemen, yaitu:

1. Pengeluaran yang diperlukan untuk memberi standar gizi minimum dan

kebutuhan mendasar lainnya.

2. Jumlah kebutuhan yang sangat bervariasi yang mencerminkan biaya

partisipasi dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Paul Spicker (dalam Andika Azzi, 2011) penyebab kemiskinan

dapat dibagi dalam empat, antara lain:

1. Individual explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri: malas, pilihn yang salah, gagal dalam bekerja,

cacat bawaan, belum siap memiliki anak dan sebgainya.

2. Familial explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor keturunan, di mana antar generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama

akibat pendidikan.

(32)

4. Structural explanation, menganggap kemiskinan sebagai produk dari masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan

status atau hak.

Badan Pusat Statistik mengukur kemiskinan berdasarkan beberapa

karakteristik besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan,

yaitu:

1. Tidak miskin, mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari

Rp 350.610.

2. Hampir Tidak Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara

Rp 280.488. s/d. Rp 350.610.- atau sekitar antara Rp 9.350 s/d.

Rp11.687.- per orang per hari.

3. Hampir Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp

233.740.- s/d Rp 280.488.- atau sekitar antara Rp 7.780.- s/d Rp

9.350.- per orang perhari.

4. Miskin, dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala Rp

233.740.- kebawah atau sekitar Rp 7.780.- kebawah per orang per hari

5. Sangat Miskin (kronis), tidak ada kriteria berapa pengeluaran per

orang perhari.

Kemudian jika dilihat dari karakteristik tempat tinggal (perumahan)

kriteriakemiskinan menurut standar Badan Pusat Statistik, yaitu :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang

(33)

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah

tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/

air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/

minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan

500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau

pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/

tamat SD.

14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.

500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal

motor, atau barang modal lainnya

Sedangkan menurut Todaro (2000:225), salah satu generalisasi (anggapan

(34)

bahwasanya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah

pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan

kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional.

Pengertian kemiskinan itu sangat luas, dimana mengelompokkan ukuran

kemiskinan menjadi 5 macam, yaitu :

a. Kemiskinan Absolut, yang diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat

pendapatan dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan.

Ukuran ini dikaitkan dengan batasan pada kebutuhan pokok atas

kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup

secara layak. Seseorang yang mempunyai pendapatan dibawah kebutuhan

minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin;

b. Kemiskinan Relatif, yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang

mengukur ketidakmerataan. Dalam kemiskinan relatif ini, seseorang yang

telah mampu memenuhi kebutuhan minimumnya belum tentu disebut tidak

miskin. Kondisi seseorang atau keluarga apabila dibandingkan dengan

masyarakat sekitarnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah, maka

orang atau keluarga tersebut berada dalam keadaan miskin;

c. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang

miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak

memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya

(35)

serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapatkan imbalan

pendapatan yang rendah;

d. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok

masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya

dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.

Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi

dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah

tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah

menurut ukuran yang dipakai secara umum;

e. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh

faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil,

distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan

ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat

tertentu.

Sharp (dalam Mudrajad, 2006:120) mengidentifikasikan penyebab

kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, yaitu:

1. Kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan

sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.

2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya

manusia (SDM).

(36)

P Todaro (2000: 200-206) mengemukakan dua anggapan dasar yang

kiranya cukup relevan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli di atas

mengenai kemiskinan, yaitu :

1. Kemiskinan identik dengan penduduk miskin yang tinggal di daerah

pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan

kegiatan lain yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional.

2. Kaum wanita dan anak-anak merupakan kaum yang paling menderita,

yang disebabkan oleh rendahnya kapasitas mereka dalam mencetak

pendapatan sendiri, terbatasnya kesempatan menikmati pendidikan dan

pekerjaan yang layak di sektor formal.

Menurut Atmawikarta (2007) kemiskinan dari segi non pendapatan adalah

masalah yang lebih serius dibandingkan dari kemiskinan dari segi pendapatan.

Apabila kita memperhitungkan semua dimensi kesejahteraan-konsumsi yang

memadai, kerentanan yang berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap

infrastruktur dasar maka hampir separuh rakyat Indonesia dapat dianggap telah

mengalami paling sedikit satu jenis kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir,

Indonesia memang telah mencapai beberapa kemajuan di bidang pengembangan

manusia. Telah terjadi perbaikan nyata pencapaian pendidikan pada tingkat

sekolah dasar; perbaikan dalam cakupan pelayanan kesehatan dasar (khususnya

dalam hal bantuan persalinan dan imunisasi); dan pengurangan sangat besar dalam

angka kematian anak.

Setelah mengetahui sebab-sebab kemiskinan, selanjutnya diuraikan model

(37)

mengharuskan setiap upaya penanggulangan kemiskinan dalam tatanan makro

perlu dilakukan secara terpadu, yang meliputi berbagai program pembangunan

terpadu baik sektoral maupun regional. Dalam hal ini yang diperlukan adalah

penajaman program dan kegiatan sehingga hasilnya lebih optimal dan berdampak

langsung terhadap kelompok sasaran.

Kebijaksanan penanggulangan kemiskinan secara umum dapat dibagi atas 3

kelompok (Edwina dalam Palupi, 2001:37)

1. Kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran, tetapi

memberikan dasar tercapainya upaya penanggulangan kemiskinan. Berbagai

program dan kebijaksanaan tidak terbatas pada penduduk miskin tetapi

program-program tersebut cukup berperan dalam mengatasi kemiskinan.

2. Kebijaksanaan yang langsung diarahkan pada peningkatan akses terhadap

sarana dan prasarana yang mendukung penyediaan kebutuhan dasar berupa

pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan, peningkatan

produktifitas dan pendapatan, khususnya masyarakat berpendapatan rendah.

3. Kebijaksanaan khusus, keseluruhan rencana dan kegiatannya tertuju pada

kelompok masyarakat miskin dan diberi nama yang mencerminkan kegiatan

tersebut. Program khusus ini berupaya untuk memberdayakan masyarakat

miskin agar mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan. Keberhasilan

suatu program dipengaruhi oleh tersedianya dana, daya dan sarana, intensitas

dan kualitas berbagai kegiatan pelaksanaannya, kualitas hasil langsung dari

(38)

Untuk lebih meningkatkan efektivitas program penanggulangan

kemiskinan maka penduduk miskin dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori,

yaitu:

a. Usia lebih dari 55 tahun, yaitu kelompok masyarakat yang tidak lagi

produktif (usia sudah lanjut, miskin dan tidak produktif), untuk kelompok

ini program pemerintah yang dilaksanakan bersifat pelayanan sosial;

b. Usia di bawah 15 tahun, yaitu kelompok masyarakat yang belum produktif

(usia sekolah, belum bisa bekerja), program yang dilaksanakan bersifat

penyiapan sosial; dan

c. Usia antara 15-55 tahun, yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja

tetapi tidak mendapat pekerjaan, menganggur), program yang

dilaksanakan bersifat investasi ekonomi, kelompok inilah yang seharusnya

menjadi sasaran utama penanggulangan kemiskinan.

Selanjutnya, berdasarkan pengelompokan tersebut maka program

penanggulangan kemiskinan harus difokuskan kepada penanganan penduduk

miskin dalam usia produktif melalui peningkatan kesempatan kerja/berusaha,

peningkatan kapasitas/pendapatan dan untuk selanjutnya mampu mewujudkan

kesejahteraan dan perlindungan sosial secara mandiri dan berkelanjutan.

Dalam hal ini intervensi kebijakan pemerintah akan dikonsentrasikan

kepada 2 (dua) bentuk upaya, yaitu pengurangan beban pengeluaran dan

peningkatan produktivitas. Upaya pengurangan beban ditujukan kepada penduduk

(39)

dalam penyediaan modal usaha, penyediaan prasarana dasar (terutama untuk

penduduk miskin yang menghadapi masalah aksesibilitas terhadap prasarana fisik

lingkungan) seperti program bedah rumah bagi masyarakat miskin, dan

penyediaan subsidi untuk mengatasi situasi krisis (temporary subsidi) seperti

subsidi energi (BBM) dan subsidi pangan (beras).

1.6 Penelitian Terdahulu

1. Ruli Khusnu Rizka dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Program Perbaikan

Rumah Tidak Layak Huni Di Kota Surakarta (2010). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tujuan program belum sepenuhnya tercapai atau

dengan kata lain belumbanyak membantu masyarakat untuk meningkatkan

kualitas hidup/derajatkesehatan masyarakat miskin, dilihat dari belum

meningkatnya setiapkondisi rumah dan penyediaan sarana-prasarananya.

Hal ini dikarenakantidak seluruh lokasi mendapatkan perbaikan yang

sama.Namun, program ini telah berperan mengurangi jumlah rumah tidak

layakhuni sebesar 63% dari total pendataan rumah tidak layak huni tahun

2006.

2 Anita Mustika Dewi dan Indah Prabawati dengan judul Implementasi

Program Rumah Tidak Layak Huni di Kelurahan Kejuron Kecamatan

Taman Kota Madiun (2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

implementasi program rehabilitasi rumah tidak layak huni di Kelurahan

(40)

ditemukan masalah-masalah, seperti kurangnya sosialisasi terhadap

masyarakat, kurangnya sumber daya sehingga hasil fisik pembangunan tidak

sesuai dengan rencana.

3 Mudji Sulistiyo, D.B. Paranoan dan Burhanudin denganjudulI mplementasi

Peraturan BupatiKutai Kartanegara Nomor 46 Tahun 2011 Tentang

Pelayanan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni Di Kabupaten Kutai

Kartanegara (2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi

program rehabilitasi rumah tidak layak huni di Kabupaten Kutai

Kartanegara telah berjalan dengan baik, namun dalam implementasi

program masih ditemukan hambatan, yaitu berkaitan dengan bahan atau

material bangunan yang cukup mahal harganya apabila rehabilitasi rumah

tersebut diluar dari Kecamatan yang berada dalam wilayah Kecamatan

Tenggarong, karena aksibilitas yang sulit, kadang kadang hanya dapat

dilalui melalui sungai atau udara saja, sehingga penyelesaian tidak sesuai

dengan waktu yang ditentukan.

4 Sri Puji Astuti dengan judul Implementasi Kebijakan Program Bedah

Rumah Kota Bandar Lampung (2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

implementasi program bedah rumah di Kota Bandar Lampung sudah

berjalan dengan baik,sosialisasi kebijakan sudah ditransformasikan dengan

baikpada level pelaksana program dan kualitas sumber daya yang tersedia

(41)

masalah, seperti sosialisasi kepada masyarakat yang belum berjalan dengan

baik, jumlah staf yang ada tidak sebanding dengan wilayah yang ditangani.

1.7 Defenisi Konsep

Singarimbun menyatakan bahwa kerangka konsep merupakan defenisi

untuk menggambarkan secara abstrak fenomena sosial ataupun alami

(Singarimbun, 1999:2004). Oleh sebab itu berdasarkan kerangka teori yang

telah dipaparkan, maka dapat diuraikan defenisi konsep dalam penelitian ini

sebagai berikut

1. Implementasi kebijakan adalah penerapan dari keputusan yang telah dibuat

oleh pemerintah, yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya dengan masyarakat

sebagai objeknya. Implementasi kebijakan dapat diamati dengan

menggunakan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi

b. Tipe-tipe manfaat

c. Derajat perubahan yang diharapkan

d. Letak pengambilan keputusan

e. Pelaksanaan program

f. Sumber daya yang dilibatkan

(42)

i. Kepatuhan dan daya tanggap

2. Kemiskinan adalah keadaan yang serba kekurangan dalam mendapatkan

sumber pendapatan untuk hidup minimum dan kekurangan dalam

memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar.

3. Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni merupakan

tindakan yang diambil pemerintah untuk mencapai tujuan dalam

mengurangi angka kemiskinan di daerah serta meningkatkan kualitas

hidup masyarakat miskin melalui perbaikan rumah-rumah yang tidak layak

huni.

1.8 Sistematika Penulisan

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, fokus penelitian,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitiaan,

kerangka teori, definisi konsep dan sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian,

informan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik

analisis data.

(43)

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang objek atau

lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Bab ini menyajikan data yang diperoleh selama penelitian

di lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisi tentang uraian analisis data-data yang akan

diperoleh setelah melaksanakan penelitian.

BAB VI: PENUTUP

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian pada bab metodologi penelitian di atas bahwa efektivitas pelaksanaan tugas LPM dalam perencanaan pembangunan desa

The focus of this study was observed students’ postings on their blog to promote the postings. The study also required to shed light the blogging activities which lead the students

Kemampuan analisis dalam menyelesaikan soal geometri diperoleh bahwa siswa mengenal sifat-sifat pada bangun geometri namun belum bisa membedakan bangun geometri dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Upaya guru dalam pembentukan sikap karakter terhadap siswa, (2) peranan guru dan pendidikan karakter dalam pembentukan

Objek penelitian ini adalah keseluruhan proses dan hasil pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dalam rangka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan yang disajikan pada upacara perkawinan adat Jawa Tengah di desa sungai jambu, ada tiga macam yaitu makanan yang disajikan

METI ARAINI, Potensi Destinasi Wisata Pantai Tongaci (Studi Pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Tongaci sebagai Pusat Konservasi dan LIterasi) Dibimbing

Metode : Sebuah evaluasi dengan menggunakan sistem skoring SRS30, dengan pendekatan penelitian observasi cross-sectional pada pasien paska