BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program Pendidikan Profesi Ners
Program pendidikan Ners menghasilkan perawat ilmuwan (Sarjana
Keperawatan) dan profesional (Ners = “First Profesional Degree”) dengan sikap,
tingkah laku, dan kemampuan profesional, serta akuntabel untuk melaksanakan
asuhan / praktik keperawatan dasar (sampai dengan tingkat kerumitan tertentu)
secara mandiri (Nursalam, 2008). Program Pendidikan Profesi Ners adakalanya
disebut juga sebagai proses pembelajaran klinik. Istilah ini muncul terkait dengan
pelaksanaan pendidikan profesi yang sepenuhnya dilaksanakan dilahan praktik
seperti rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, panti werda dan keluarga serta
masyarakat atau komunitas (Nurhidayah, 2011).
Melalui tahap pendidikan Ners diharapkan dapat menghasilkan lulusan
yang memilki sikap, pengetahuan, dan keterampilan profesional. Oleh karena itu
pada tahap profesi, pendidikan disusun berdasarkan pada :
1. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Pada tahap ini
mahasiswa dan perseptor harus memahami dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi keperawatan yang diperlukan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
keperawatan.
2. Menyelesaikan masalah secara ilmiah, maksudnya mahasiswa dituntut untuk
pasien/ klien dalam membantu memenuhi kebutuhannya melalui proses
keperawatan.
3. Sikap dan tingkah laku profesional yang dituntut dari seorang perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan dan kehidupan profesi meliputi
penumbuhan dan pembinaan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak
profesional melalui suatu lingkungan yang sarat dengan model peran (role
model).
4. Belajar aktif dan mandiri yang dapat dicapai selama pembelajaran klinik
antara lain dengan membuat laporan pendahuluan, presentasi kasus dan
seminar hasil dan kegiatan lainnya yang menuntut mahasiswa lebih mandiri.
5. Pendidikan berada pada masyarakat atau pengalaman belajar yang
dikembangkan di masyarakat (community based learning) yang dapat
menumbuhkan dan membina sikap dan keterampilan para mahasiswa
dimasyarakat.
Untuk mencapai kompetensi di atas, maka kurikulum tahap Program
Profesi (Ners) disusun berdasarkan Kurikulum Nasional dengan Surat Keputusan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Nomor: 129/U/1999 tanggal 11 juni tahun
1999 tentang kurikulum Inti Pendidikan Ners di Indonesia (KIPNI). Besar beban
studi kurikulum inti pada tahap program profesi (Ners) adalah minimal 20 SKS
(80% dari kurikulum lengkap program profesi Ners). Dengan komposisi 5 SKS
(25%) kelompok Keperawatan Medikal Bedah (KMB), 2 SKS (10%)
Keperawatan Maternitas, 2 SKS (10%) Keperawatan Anak, dan 2 SKS (10%)
semester kedua meliputi 2 SKS (10%) Manajemen Keperawatan, 2 SKS (10%)
Keperawatan Gerontik, 2 SKS (10%) Keperawatan Gawat Darurat, 2 SKS (10%)
Keperawatan Keluarga dan 3 SKS (15%) Keperawatan Komunitas.
Proporsi di atas telah mengalami perubahan menjadi 6 SKS kelompok
Keperawatan Medikal Bedah (KMB), 3 SKS Keperawatan Maternitas, 3 SKS
Keperawatan Anak, dan 3 SKS Keperawatan Jiwa yang ditempatkan di semester
pertama. Sedangkan pada semester kedua meliputi 3 SKS Manajemen
Keperawatan, 3 SKS Keperawatan Gerontik, 3 SKS Keperawatan Komunitas dan
Praktik Belajar Lapangan Komprehensip (PBLK) sebanyak 4 SKS, sehingga
totalnya 34 SKS.
2.2 Konsep Spiritualitas
2.2.1 Defenisi Spiritualitas
Spiritualitas merupakan konsep unik pada tiap individu, dan tergantung
pada budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan, agama dan ide-ide
kehidupan seseorang (Mauk dan Schmidt, 2004 dalam Potter dan Perry, 2010).
Spiritualitas seseorang membuat seseorang dapat mencintai, memiliki
kepercayaan dan harapan, mencari arti dan makna hidup dan memilihara
hubungannya dengan orang lain. Spiritualitas memberikan individu energi yang
dibutuhkan untuk menemukan diri mereka, untuk beradaptasi dengan situasi yang
sulit dan untuk memelihara kesehatan. Energi yang berasal dari spiritualitas
membantu klien merasa sehat dan membantu membuat pilihan sepanjang
Spiritualitas menawarkan pengertian keterhubungan
(connectedness) secara intrapersonal (keterhubungan dengan diri sendiri), secara
interpersonal (keterhubungan dengan orang lain dan lingkungan), dan
transpersonal (keterhubungan dengan yang tidak terlihat, Tuhan , atau kekuatan
tertinggi) (Miner Williams, 2006 dalam Potter dan Perry, 2010). Setelah
dihubungkan, klien dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan sehari-hari dan
menemukan kenyamanan, kepercayaan, harapan, kedamaian, dan kekuasaan
(Chiu et al., 2004; Delago, 2005; Tanyi, 2002; Villagomeza, 2005 dalam Potter
dan Perry, 2010). Spiritualitas melibatkan realitas eksistensial yang menyediakan
pengalaman yang unik dan subjektif bagi semua individu. Perjalanan hidup
seseorang membuat individu menemukan rasa arti dan tujuan hidup. Pencarian
tujuan biasanya dihubungkan dengan pekerjaan atau panggilan hidup (Delgado,
2005 dalam Patricia A Potter dan Anne G Perry, 2010). Realitas eksistensial
membantu individu bekerja sama dengan yang tidak terduga dan memperbolehkan
individu untuk mencintai, menghibur, memaafkan orang lain (Chiu et al, 2005
dalam Potter dan Perry, 2010).
Spiritualitas memberikan individu kemampuan untuk menemukan
pengertian kekuatan batiniah yang dinamis dan kreatif yang diperlukan saat
membuat keputusan yang sulit (Banks Wallace dan Park, 2004 dalam Potter dan
Perry, 2010). Kekuatan batiniah merupakan suatu sumber energi yang
menanamkan harapan, memberikan motivasi, dan mempromosikan harapan yang
positif pada kehidupan (Chiu et al,2004; Villagomeza, 2005 dalam Potter dan
dan penuh kedamaian meskipun pengalaman hidup kacau balau, penuh ketakutan,
dan tidak pasti. Semua Perasaan ini membantu individu merasa nyaman walaupun
disaat sedang sangat tertekan (Banks Wallace dan Park, 2004; Villagomeza, 2005
dalam Potter dan Perry, 2010).
2.2.2 Karakteristik Spiritual
Terdapat beberapa karakteristik spiritualitas yang meliputi hubungan
dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan orang lain dan
hubungan dengan Tuhan (Hamid, 2008).
1. Hubungan dengan diri sendiri
Maksudnya adalah kekuatan dalam diri atau self reliance yang meliputi
pengetahuan diri tentang siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya, dan
sikap percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/ masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/ keselarasan dengan diri sendiri.
2. Hubungan dengan alam
Harmoni yang mengambarkan hubungan seseorang dengan alam yang
meliputi minat dan ketertarikan tentang pohon, tanaman, margasatwa dan
iklim, serta kesenangan dan keinginan untuk bertanam dan berjalan kaki
menikmati keindahan alam, mengabadikan, dan melindungi alam.
3. Hubungan dengan orang lain
Meliputi cinta kasih, harapan dan motivasi, keadaan yang harmonis
dan keadaan yang tidak harmonis. Keadaan harmonis/ suportif dengan orang
balik, mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit kemudian menyakini
kehidupan dan kematian dengan cara mengunjungi, melayat dan lain-lain.
Sedangkan keadaan tidak harmonis meliputi konflik dengan orang lain dan
resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam waktu lama dengan
friksi dan keterbatasan asosiasi.
4. Hubungan dengan ketuhanan
Meliputi agamis atau tidak agamis yang terdiri dari sembahyang,
berdoa, meditasi perlengkapan keagamaan, menyatu dengan alam dan
partisipasi dalam kegiatan agama.
Dyson dalam young (2007) mengartikan bahwa lingkungan/alam adalah
segala sesuatu yang berada disekitar diri seseorang. Dyson dalam young dan
Koopsen (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan
spiritualitas, yaitu :
a. Diri sendiri
Kekuatan jiwa seseorang merupakan hal yang fundamental dalam
eksplorasi atau penyelidikan spiritualitas.
b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.
Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling ketergantungan
telah lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi.
c. Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
dewasa ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan
dipahami sebagai daya yang menyatukan prinsip hidup atau hakikat hidup.
Kodrat Tuhan mungkin dirasakan berbagai macam bentuk dan mempunyai
makna yang berbeda bagi satu orang dengan yang lain. Manusia
merasakan ada Tuhan dalam banyak cara seperti dalam suatu hubungan,
alam, musik, seni, dan hewan peliharaan.
Young dan Koopsen (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan
adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan
spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang
mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman
yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor, Lilis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996,
dalam Hamid, 2008), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas
seseorang adalah:
1. Tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama
yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan
dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama dan
kepribadian anak. Tema yang diuraikan anak tersebut meiputi gambaran
tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling
keterikatan dengan kehidupan. Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam
tetap segar, penuh kehidupan dan berarti. Meyakini Tuhan mempunyai
kekuatan dan selanjutnya merasa takut menghadapi kekuasaan Tuhan. Serta
Tuhan digambaran seperti cahaya/sinar.
2. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan
spiritualitas anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orangtua
kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai
Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh
karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman
pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan dunia, pandangan anak
pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan
dengan orang tua dan saudaranya.
3. Latar belakang etnik dan budaya
Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk
nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau sistem
kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual unik bagi
tiap individu.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif
oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau
pengalaman tersebut.
5. Krisis dan Perubahan
(Tooth, 1992) dan Craven & Hirnle (1996, dalam Hamid, 2008)
mengatakan bahwa krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi
penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian,
khususnya pada klien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang
buruk. Bila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual &
keinginan untuk sembahyang atau berdoa lebih meningkat dibanding dengan
pasien yang berpenyakit tidak terminal.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat
individu terpisah atau kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan
sosial. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah antara lain tidak dapat
menghadiri acara sosial, mengikuti kegiatan agama dan tidak dapat
berkumpul dengan keluarga atau teman yang biasa memberikan dukungan
setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual beresiko
terjadinya perubahan fungsi spiritual.
7. Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai
cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya walaupun ada juga agama
yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medis seringkali dapat
sterilisasi, dll. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering
dialami oleh klien dan tenaga kesehatan.
8. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberikan asuahan keperawatan kepada klien, perawat
diharapkan peka terhadap kebutuhan spiritual pasien, tetapi dengan berbagai
alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberikan
asuhan spiritual. Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang
nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting
kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual
dalam keperawatan, atau merasa pemenuhan kebutuhan spiritual klien bukan
menjadi tugasnya, tetapi tanggung jawab pemuka agama.
2.2.4 Tahap Perkembangan Spiritual
`Tahap perkembangan spiritual dimulai dari masa bayi dan todler, pra
sekolah, usia sekolah, dewasa, usia pertengahan dan lansia (Hamid, 2008) :
1. Bayi dan Todler (0 – 2 tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada
yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam
hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal
dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua.
Bayi dan todler belum memiliki rasa salah dan benar, serta keyakinan
spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti
kegiatan tersebut serta ikut ke tempat ibadah yang mempengaruhi citra
2. Prasekolah
Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada
anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah meniru
apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan
akan timbul apabila tidak ada kesesuaian atau bertolak belakang antara
apa yang dilihat dan yang dikatakan kepada mereka. Anak prasekolah
sering bertanya tentang moralitas dan agama, seperti perkataan atau
tindakan tertentu dianggap salah. Menurut kozier, Erb, blais dan
Wilkinson (1995 dalam hamid, 2008), pada usia ini metode pendidikan
spiritual yang paling efektif adalah memberi indoktrinasi dan memberi
kesempatan kepada mereka untuk memilih caranya.
3. Usia Sekolah
Anak usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang
salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa
prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai
menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka
dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu saja.
Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka
dengan orang tua lain dan menetapkan standar apa yang akan
diintegrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan
pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba untuk
berbeda agama, akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya
atau tidak memilih satupun dari kedua agama orang tuanya.
4. Dewasa
Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan
bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah
diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima
pada masa dewasa dari pada waktu remaja, dan masukan orang tua
dipakai untuk mendidik anaknya.
5. Usia pertengahan
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak
waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama
yang diyakini oleh generasi muda. Perkembangan filosofi agama yang
lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi
kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga, serta
lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak
atau dihindarkan.
2.2.5 Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang berkembang
Tischler (2002) mengemukakan terdapat 4 kompetensi yang didapat dari
spiritualitas yang berkembang, yaitu :
1. Kesadaran pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang
mengatur dirinya sendiri, self-awareness, emotional self awareness,
penilaian diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi
2. Keterampilan pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri,
fleksibel, mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik.
3. Kesadaran sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang
positif, empati , altruism.
4. Keterampilan sosial (social skills), yaitu memiliki hubungan yang baik
dengan teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang
lain (menerima orang baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik
terhadap nilai positif, baik dalam menanggapi kritikan seseorang dengan
spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen komponen diatas.
Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, orang –orang yang spiritualnya
baik memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan
menunjukkan altruisme yang besar. Mereka juga cenderung untuk merasa lebih