BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari
kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat
keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen.
Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen
berada pada posisi yang lemah.24
“tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak
Apalagi jika produk yang dihasilkan oleh
produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat
menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut.
Perlindungan konsumen juga merupakan masalah kepentingan
manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia
untuk dapat mewujudkannya, yaitu dengan mewujudkan hubungan
berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan antara konsumen, produsen dan pemerintah.
Sejalan dengan itu, salah satu anggota Tim Penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyampaikan bahwa :
24
langsung mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan rasa tanggung jawab.”25
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :26
1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.
5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan.
Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan
perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang
dirugikan,masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah
perlindungan konsumen perlu diperhatikan.27
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, seperti
juga yang dialami konsumen di Negara-Negara berkembang lainnya, tidak
hanya pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu
mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pengusaha, pemerintah,
maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.
Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak
25
Abdul Hakim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin : FH Unlam Press, 2008), hlm. 18.
26
Husni syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hlm. 7.
27
konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman
dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai
(reasonable).
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal
yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum,
istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia.28
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi
perlindungan-perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa,
yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen disebutkan :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.”
Karena itu, berbicara tentang perlindungan konsumen berarti
mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak
konsumen.
28
hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Cakupan
perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai
berikut :29
a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah di sepakati atau melanggar ketentuan Undang-Undang.
b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Hal ini berkaitan dengan perilaku pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
2. Asas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen menguraikan bahwa perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :30
a. Asas Manfaat
Untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan
salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah
29
Ibid., hlm. 8
30
untuk memberikan kepada masing-masing pihak pelaku usaha dan
konsumen, apa yang menjadi haknya.31
b. Asas Keadilan
Dengan demikian,
diharapkan pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan
masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
Agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan
hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha
dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara
seimbang. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur sejumlah
hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
c. Asas Keseimbangan
Untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
31
Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan
dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan
antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus
diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya
masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak
ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas
kepentingannya yang lebih besar dari pada pihak lain.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen
akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsinya, dan
sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman
dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
e. Asas Kepastian Hukum
Agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
Artinya, Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan
tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam
Undang-Undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena
itu, Negara bertugas dan menjami terlaksananya Undang-Undang
ini sesuai dengan bunyinya.32
3. Tujuan Perlindungan Konsumen
Telah disebutkan bahwa tujuan dari Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi
menjadi cambuk bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen yaitu :33
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
32
Ibid,. hlm.27.
33
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini,
merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada
itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidan hukum perlindungan konsumen.34
A. Prinsip-Prinsip dan Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis
siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.35
1. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Kata konsumen pertama kali masuk dalam substansi Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) pada 1983. Menurut GBHN harus
menguntungkan konsumen. 5 (Lima tahun) kemudian kata-kata itu
dirasakan tetap relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam GBHN
tahun 1988 dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus menjamin
34
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hlm. 34.
35
kepentingan konsumen, selanjutkan dalam GBHN tahun 1993 kembali
dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus melindungi kepentingan
konsumen.
Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen
secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan, yaitu :36
a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).
b. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam
hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori
yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen,
termasuk kelompok ini adalah:37
a. Let The Buyer Beware
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio
dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini
berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang
sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan
perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam
perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai
36
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hlm. 60.
37
untuk menentukan pilihan terhadap barang dan jasa yang
dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha
terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila
konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih
bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.
b. The Due Care Theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan
produknya, maka ia tidak dapat disalahkan. Pada prinsip ini
berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang
membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum
privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai
dengan Pasal 1865 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan
bahwa :
“barang siapa yang mengendalilkan mempunyai suatu hak atau
untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau
menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku
usaha tidak disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan
demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata yang
menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah
antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.
d. Kontrak Bukan Syarat
Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan
lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu
hubungan hukum.
2. Prinsip- prinsip Tanggung Jawab
Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting
dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak
konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan
kepada pihak-pihak terkait.
Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan
memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang
dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.38
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault
liability) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum
pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara
teguh.39
1) Adanya Perbuatan melanggar hukum
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim
dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya 4 (Empat) unsur pokok, yaitu :
Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.40 2) Adanya unsur kesalahan.
Kesalahan ini mempunyai 3 (Tiga) unsur :41 a) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan b) Perbuatan yang dapat diduga akibatnya c) Dapat dipertanggung jawabkan
3) Adanya kerugian yang diderita.
Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma oleh pihak lain. 42
38
Celina Tri Siwi Kridtiyanti, Op.Cit., hlm. 94
39
Shidarta, Op.Cit., hlm. 73.
40
Miru dan Yodo, Op. Cit., hlm.130.
41
4) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Prinsip ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban, Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima
karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk ganti kerugian bagi
pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah
harus mengganti kerugian yang diderita orang lain,
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia
tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal
dengan istilah beban pembuktian terbalik.
Dalam prinsip pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah
sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim
dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan
tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.43
c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
42
Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Surabaya : Universitas Airlangga, 1985), hlm. 57.
43
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability
principle), hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang
sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common
sense dapat dibenarkan.44
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).
Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip
tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor
yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab.
Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa
kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Menurut R.C. Hoeber, biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini
diterapkan karena :45
1) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.
2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya.
3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.
44
Shidarta, Op.Cit.,hlm. 62.
45
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan
sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila
ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.46
3. Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dapat menjadi landasan bagi
konsumen dan lembaga perlindungan konsumen untuk
memberdayakan dan melindungi kepentingan konsumen, serta
membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab.47
46
Ibid., hlm. 98.
47
Hal ini dikarenakan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Konsumen manjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat
keuntungan sebesar-besarnya. Perlu upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembentukkan Undang-Undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara efektif.
a. Pengertian Pertanggung Jawaban
Dalam hukum perlindungan konsumen, pelaku usaha
harus dapat dimintakan pertanggung jawaban, yaitu jika
perbuatannya telah melanggar hak-hak dan kepentingan
konsumen, menimbulkan kerugian, atau kesehatan
konsumen terganggu.48
b. Bentuk-Bentuk Pertanggung Jawaban
Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam
bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility atau liability,
sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu vereentwoodelijkatau
aansparrkelijkeid.
Kata “Pertanggung jawaban” berasal dari kata “Tanggung
jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu
berupa penuntutan, diperkarakan atau dipersalahkan sebagai sikap
sendiri atau dari pihak lain.
1) Pertanggung jawaban Pidana
48
Suatu konsep yang terkait dengan teori kewajiban hukum
adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang
secara hukum dikatakan bertanggung jawab untuk suatu
perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu
sanksi dalam suatu perbuatan yang berlawanan. Normalnya
dalanm kasus sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri
yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab.
Menurut teori tradisional terdapat 2 (Dua) bentuk
pertanggung jawaban hukum, yaitu berdasarkan kesalahan
(based on faulth) dan pertanggung jawaban mutlak
(absolute responsibility).
2) Pertanggung jawaban Perdata
Apabila sesorang dirugikan karena perbuatan sesorang,
sedang diantara mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian,
maka berdasarkan Undang-Undang juga timbul atau terjadi
hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan
kerugian itu. 49
a) Bertentangan dengan hak orang lain.
Dengan meninjau perumusan luas dari perbuatan melawan
hukum (Onrechmatige daad), maka yang termasuk
perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :
b) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c) Bertentangan dengan kesusilaan baik.
49
d) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Menurut Abdul Kadir Muhammad ada beberapa unsur
kesalahan perdata, yaitu : 50
a) Pelanggaran hak
Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak pribadi maupun hal kebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya.
b) Unsur Kesalahan
Pertanggung jawaban dalam kesalahan perdata biasanya memerlukan unsur kesalahan atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran, walaupun tingkat kesengajaan yang diperlukan biasanya kecil.
c) Kerugian yang diderita
Unsur yang esensial dari kesalahan perdata pada umumnya adalah kerugian yang diderita akibat suatu perbuatan meskipun kesalahan dan kerugian perdata tidak selalu jalan berbarengan karena masih ada kesalahan perdata, dimana apabila perbuatan dari salah seorang digugat maka tergugat sendiri yang harus membuktikan kerugian yang dideritanya.
3) Pertanggung jawaban Administrasi
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara
adalah instrument hukum public yang penting dalam
perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara
perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak
disertai sanksi admininistratif.
Secara administratif ditujukan kepada pelaku usaha, baik
produsen (principal) maupun pelaku usaha lainnya yang
50
mendistribusikan produknya. Semula sanksi administrative
hanya dikonotasikan sebagai pencabutan sepihak ijin yang
diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha.
Dalam pasal 60 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
bentuk sanksi administrative telah diperluas, yaitu dapat
berbentuk penetapan ganti rugi.51
51
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hlm. 117.
Penerapan sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi tampaknya
cenderung menonjol dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, mengingat Pasal 60 adalah aturan tentang
kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), yang notaben bukan pemerintah yang menerbitkan