• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Perusahaan Air Minum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Perusahaan PT. Tirta Sibayakindo Berastagi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Perusahaan Air Minum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Perusahaan PT. Tirta Sibayakindo Berastagi)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari

kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat

keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen.

Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen

berada pada posisi yang lemah.24

“tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak

Apalagi jika produk yang dihasilkan oleh

produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat

menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut.

Perlindungan konsumen juga merupakan masalah kepentingan

manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia

untuk dapat mewujudkannya, yaitu dengan mewujudkan hubungan

berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling

ketergantungan antara konsumen, produsen dan pemerintah.

Sejalan dengan itu, salah satu anggota Tim Penyusunan Rancangan

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyampaikan bahwa :

24

(2)

langsung mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan rasa tanggung jawab.”25

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :26

1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.

5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.

Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan.

Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan

perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang

dirugikan,masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah

perlindungan konsumen perlu diperhatikan.27

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, seperti

juga yang dialami konsumen di Negara-Negara berkembang lainnya, tidak

hanya pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu

mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pengusaha, pemerintah,

maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.

Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak

25

Abdul Hakim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin : FH Unlam Press, 2008), hlm. 18.

26

Husni syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hlm. 7.

27

(3)

konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman

dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai

(reasonable).

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada

konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal

yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum,

istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia.28

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi

perlindungan-perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa,

yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan konsumen disebutkan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.”

Karena itu, berbicara tentang perlindungan konsumen berarti

mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak

konsumen.

28

(4)

hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Cakupan

perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai

berikut :29

a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah di sepakati atau melanggar ketentuan Undang-Undang.

b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Hal ini berkaitan dengan perilaku pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

2. Asas Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen menguraikan bahwa perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang

relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :30

a. Asas Manfaat

Untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan.

Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum

perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan

salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah

29

Ibid., hlm. 8

30

(5)

untuk memberikan kepada masing-masing pihak pelaku usaha dan

konsumen, apa yang menjadi haknya.31

b. Asas Keadilan

Dengan demikian,

diharapkan pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan

masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

Agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal

dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha

untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil.

Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan

hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha

dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara

seimbang. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur sejumlah

hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

c. Asas Keseimbangan

Untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,

pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

31

(6)

Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan

pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan

dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan

antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus

diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya

masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak

ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas

kepentingannya yang lebih besar dari pada pihak lain.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan

kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan

pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen

akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsinya, dan

sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman

dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

e. Asas Kepastian Hukum

Agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan

memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

(7)

Artinya, Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan

tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam

Undang-Undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari

sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena

itu, Negara bertugas dan menjami terlaksananya Undang-Undang

ini sesuai dengan bunyinya.32

3. Tujuan Perlindungan Konsumen

Telah disebutkan bahwa tujuan dari Undang-Undang Perlindungan

Konsumen adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi

menjadi cambuk bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen yaitu :33

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang

mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

32

Ibid,. hlm.27.

33

(8)

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini,

merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada

itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan

pembangunan di bidan hukum perlindungan konsumen.34

A. Prinsip-Prinsip dan Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat

penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus

pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis

siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab

dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.35

1. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen

Kata konsumen pertama kali masuk dalam substansi Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) pada 1983. Menurut GBHN harus

menguntungkan konsumen. 5 (Lima tahun) kemudian kata-kata itu

dirasakan tetap relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam GBHN

tahun 1988 dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus menjamin

34

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hlm. 34.

35

(9)

kepentingan konsumen, selanjutkan dalam GBHN tahun 1993 kembali

dinyatakan, pembangunan ekonomi itu harus melindungi kepentingan

konsumen.

Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen

secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan, yaitu :36

a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).

b. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam

hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori

yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen,

termasuk kelompok ini adalah:37

a. Let The Buyer Beware

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio

dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini

berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang

sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan

perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam

perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai

36

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hlm. 60.

37

(10)

untuk menentukan pilihan terhadap barang dan jasa yang

dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan

pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha

terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila

konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih

bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.

b. The Due Care Theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai

kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik

barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan

produknya, maka ia tidak dapat disalahkan. Pada prinsip ini

berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang

membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum

privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai

dengan Pasal 1865 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan

bahwa :

“barang siapa yang mengendalilkan mempunyai suatu hak atau

untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau

menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut”.

(11)

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika

diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku

usaha tidak disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan

demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata yang

menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah

antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.

d. Kontrak Bukan Syarat

Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan

lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu

hubungan hukum.

2. Prinsip- prinsip Tanggung Jawab

Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus

bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan

kepada pihak-pihak terkait.

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan

(12)

memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang

dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.38

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault

liability) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara

teguh.39

1) Adanya Perbuatan melanggar hukum

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim

dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,

mengharuskan terpenuhinya 4 (Empat) unsur pokok, yaitu :

Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.40 2) Adanya unsur kesalahan.

Kesalahan ini mempunyai 3 (Tiga) unsur :41 a) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan b) Perbuatan yang dapat diduga akibatnya c) Dapat dipertanggung jawabkan

3) Adanya kerugian yang diderita.

Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma oleh pihak lain. 42

38

Celina Tri Siwi Kridtiyanti, Op.Cit., hlm. 94

39

Shidarta, Op.Cit., hlm. 73.

40

Miru dan Yodo, Op. Cit., hlm.130.

41

(13)

4) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Prinsip ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban, Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima

karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk ganti kerugian bagi

pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah

harus mengganti kerugian yang diderita orang lain,

b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung

jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia

tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal

dengan istilah beban pembuktian terbalik.

Dalam prinsip pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah

sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu

bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim

dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan

tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk

membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.43

c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

42

Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Surabaya : Universitas Airlangga, 1985), hlm. 57.

43

(14)

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga

untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability

principle), hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang

sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common

sense dapat dibenarkan.44

d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan

dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).

Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip

tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor

yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab.

Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa

kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut R.C. Hoeber, biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini

diterapkan karena :45

1) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.

2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya.

3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

44

Shidarta, Op.Cit.,hlm. 62.

45

(15)

e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan

sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang

dibuatnya.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila

ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru, seharusnya pelaku

usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang

merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung

jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku.46

3. Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dapat menjadi landasan bagi

konsumen dan lembaga perlindungan konsumen untuk

memberdayakan dan melindungi kepentingan konsumen, serta

membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab.47

46

Ibid., hlm. 98.

47

(16)

Hal ini dikarenakan konsumen berada pada posisi yang

lemah. Konsumen manjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat

keuntungan sebesar-besarnya. Perlu upaya pemberdayaan

konsumen melalui pembentukkan Undang-Undang yang dapat

melindungi kepentingan konsumen secara efektif.

a. Pengertian Pertanggung Jawaban

Dalam hukum perlindungan konsumen, pelaku usaha

harus dapat dimintakan pertanggung jawaban, yaitu jika

perbuatannya telah melanggar hak-hak dan kepentingan

konsumen, menimbulkan kerugian, atau kesehatan

konsumen terganggu.48

b. Bentuk-Bentuk Pertanggung Jawaban

Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam

bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility atau liability,

sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu vereentwoodelijkatau

aansparrkelijkeid.

Kata “Pertanggung jawaban” berasal dari kata “Tanggung

jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu

berupa penuntutan, diperkarakan atau dipersalahkan sebagai sikap

sendiri atau dari pihak lain.

1) Pertanggung jawaban Pidana

48

(17)

Suatu konsep yang terkait dengan teori kewajiban hukum

adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang

secara hukum dikatakan bertanggung jawab untuk suatu

perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu

sanksi dalam suatu perbuatan yang berlawanan. Normalnya

dalanm kasus sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri

yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab.

Menurut teori tradisional terdapat 2 (Dua) bentuk

pertanggung jawaban hukum, yaitu berdasarkan kesalahan

(based on faulth) dan pertanggung jawaban mutlak

(absolute responsibility).

2) Pertanggung jawaban Perdata

Apabila sesorang dirugikan karena perbuatan sesorang,

sedang diantara mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian,

maka berdasarkan Undang-Undang juga timbul atau terjadi

hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan

kerugian itu. 49

a) Bertentangan dengan hak orang lain.

Dengan meninjau perumusan luas dari perbuatan melawan

hukum (Onrechmatige daad), maka yang termasuk

perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :

b) Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c) Bertentangan dengan kesusilaan baik.

49

(18)

d) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Menurut Abdul Kadir Muhammad ada beberapa unsur

kesalahan perdata, yaitu : 50

a) Pelanggaran hak

Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak pribadi maupun hal kebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yang melanggar untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya.

b) Unsur Kesalahan

Pertanggung jawaban dalam kesalahan perdata biasanya memerlukan unsur kesalahan atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran, walaupun tingkat kesengajaan yang diperlukan biasanya kecil.

c) Kerugian yang diderita

Unsur yang esensial dari kesalahan perdata pada umumnya adalah kerugian yang diderita akibat suatu perbuatan meskipun kesalahan dan kerugian perdata tidak selalu jalan berbarengan karena masih ada kesalahan perdata, dimana apabila perbuatan dari salah seorang digugat maka tergugat sendiri yang harus membuktikan kerugian yang dideritanya.

3) Pertanggung jawaban Administrasi

Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara

adalah instrument hukum public yang penting dalam

perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara

perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak

disertai sanksi admininistratif.

Secara administratif ditujukan kepada pelaku usaha, baik

produsen (principal) maupun pelaku usaha lainnya yang

50

(19)

mendistribusikan produknya. Semula sanksi administrative

hanya dikonotasikan sebagai pencabutan sepihak ijin yang

diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha.

Dalam pasal 60 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

bentuk sanksi administrative telah diperluas, yaitu dapat

berbentuk penetapan ganti rugi.51

51

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hlm. 117.

Penerapan sanksi

administratif berupa penetapan ganti rugi tampaknya

cenderung menonjol dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, mengingat Pasal 60 adalah aturan tentang

kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK), yang notaben bukan pemerintah yang menerbitkan

Referensi

Dokumen terkait

“Proses perencanaan, implementasi dan pengendalian aliran barang masuk (inbound flow) secara efektif dan efisien serta penyimpanan barang bekas (secondary goods) dan

a) Kemampuan guru dalam prosedur desain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang tepat dengan memanfaatkan model Pembelajaran Berbasis Projek pada siswa kelas

merupakan Sistem operasi berbasis Debian yang dapat bebas dioptimalkan untuk perangkat keras Raspberry Pi , yang dirilis pada bulan Juli 2012.. Gambar 2.2 Diagram blok arsitektur

Tugas Akhir Mahasiswa ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Ahli Madya Program Studi Diploma Tiga Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Kabupaten

A vizsgált mutatók alapján a telepeket rangsoroltuk az SRD (Sum of Ranking Difference) módszerrel.. Az SRD módszert Héberger (2010) fejlesztette ki, és a módszer

tanpa tanda tangan sedangkan pemungutan suara mengenai hal-hal lain dilakukan secara lisan. i) Apabila jumlah suara setuju dan tidak setuju sama berimbang, maka usul

Mikrostruktur kamaboko tanpa penambahan karaginan komersil (K(-)) (Gambar 6) terlihat matriks gel protein yang terbentuk seperti serabut yang kasar, hal ini disebabkan