BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif, dimana derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya. Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan
hambatan utama didalam pengelolaan nyeri yang tepat paska pembedahan, dosis analgetik sering tidak tepat dan masih ditambah lagi dengan rasa ketakutan terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgetik opioid1,2.
Nyeri adalah suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif dimana melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau suatu potensial terjadi kerusakan pada jaringan1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak negatif pada penderita paska pembedahan seperti kegelisahan (gangguan tidur), perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas sehingga menyebabkan kemampuan batuk menurun yang akan mempermudah terjadinya atelektase, ketakutan untuk mobilisasi akan meningkatkan resiko komplikasi tromboemboli dan meningkatkan pelepasan katekolamin yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase katabolik, menurunkan aliran darah ke ekstremitas inferior dan menurunkan sirkulasi darah ke splachnicus. Keadaan-keadaan tersebut diatas akan mengakibatkan penyembuhan yang lambat, gangguan mobilisasi, faktor resiko untuk terjadinya nyeri kronik, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya pengobatan1,2,3.
Nyeri paska pembedahan seksio sesaria juga dapat mengganggu dan memperlambat mobilisasi ibu, sehingga mempengaruhi kualitas perawatan bayi oleh ibunya. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk penanggulangan
secara oral, parenteral atau rektal baik itu obat dari golongan opioid, AINS dan anestesi lokal.
Opioid merupakan pilihan utama untuk terapi nyeri pada pasien yang mengalami nyeri paska pembedahan tingkat sedang dan berat. Akan tetapi pemberian opioid dibatasi oleh efek sampingnya yang merugikan pasien seperti depresi pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus4,5. Sehingga sekarang ini banyak digunakan obat-obatan non-opioid seperti obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) sebagai pengganti opioid, karena AINS memiliki efek analgetik yang kuat dan mempunyai efek anti inflamasi. Ketorolak merupakan salah satu obat anti inflamasi nonsteroid yang sama efektifnya dengan morfin dan meperidine dimana dapat mencegah nyeri akut paska pembedahan dari tingkat sedang ke berat tanpa disertai efek samping seperti depresi pernafasan6,7,8.
Namun pemberian ketorolak (AINS) juga harus berhati-hati karena berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan daerah operasi yang disebabkan oleh waktu perdarahan yang meningkat, luka pada organ gastrointestinal, dispepsia dan menyebabkan gangguan ginjal. Ketorolak juga masih memiliki efek
samping seperti AINS lainnya seperti mual, nyeri kepala, somnolen, mengantuk, palpitasi dan pruritus9,10,11.
Karena pemberian ketorolak juga dapat menimbulkan resiko yang dapat merugikan pasien, maka makin banyak keinginan orang untuk menggunakan
obat-obatan analgetik non opioid dari golongan lain seperti parasetamol sebagai penggantinya. Parasetamol dapat merupakan suatu pilihan pengganti ketorolak karena selain aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan baik, juga memiliki kekuatan analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan tingkat ringan, sedang maupun berat12,13.
Dari beberapa penelitian dijumpai bahwa parasetamol memiliki sifat analgetik yang hampir sebanding dengan morfin yang kita ketahui sebagai opioid pilihan utama untuk penanganan nyeri paska pembedahan. Seperti dinyatakan oleh Van Aken pada tahun 2004 yang pada penelitiannya ditemukan bahwa pemberian propacetamol 2 gr intravena dan morfin 10 mg intramuskular tidak dijumpai perbedaan yang bermakna didalam penanganan nyeri paska pembedahan gigi molar tiga dan pada grup parasetamol dijumpai efek samping yang minimal dibandingkan dengan grup morfin (p < 0,027)15.
Penelitian diatas juga diperkuat pada tahun 2007 oleh M. Reza Khejavi dengan penelitiannya dimana penanganan nyeri paska pembedahan transplantasi ginjal dengan menggunakan propacetamol 2 gr intravena dan morfin 5 mg intravena adalah sama efektifnya16.
Selain itu parasetamol juga dari banyak penelitian dapat menggantikan posisi AINS karena memiliki efektifitas yang sama untuk penanganan nyeri paska pembedahan seperti McQuay HJ pada tahun 1986 menyatakan bahwa dari hasil penelitiannya didapatkan pemberian parasetamol oral sama efektifnya dengan
ketorolak oral untuk penanganan nyeri paska pembedahan ortopedi17.
Giustino Varrassi pada tahun 1999 dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian parasetamol intravena merupakan analgetik yang efektif untuk penanganan nyeri paska pembedahan ginekologi (histerektomi) yang dapat
menggantikan posisi ketorolak dengan derajat nyeri sedang sampai berat (70,2% berbanding 68,2%). Dan parasetamol intravena sama efektifnya dengan ketorolak sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (10,6 + 4,8 mg berbanding 10,2 + 4,4 mg)12.
Lynn M. Rusy pada tahun 1995 dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemberian ketorolak intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan pemberian parasetamol rektal untuk penanganan nyeri paska pembedahan tonsilektomi pada anak dengan nilai p 30 menit = 0,604, jam ke 1 = 0,363 dan jam ke 3 = 0,33719.
J. E. Montgomery pada tahun 1996 juga dari hasil penelitiannnya pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan ginekologi menyimpulkan bahwa pemberian parasetamol supositoria hampir sama manfaatnya dengan pemberian AINS supositoria (diklofenak) untuk penanganan nyeri paska pembedahan (0,2-9,2 berbanding 0,0-7,2), serta sama-sama menurunkan kebutuhan morfin untuk PCA (11,7-20,1 berbanding 10,7-17,3)20.
T. F. Cobby pada tahun 1999 juga mengemukakan hasil penelitiannya bahwa pemberian parasetamol rektal sebanding dengan AINS (diklofenak) sebagai tambahan analgetik opioid didalam penanganan nyeri paska pembedahan ginekologi (histerektomi). Parasetamol rektal dapat diberikan secara rutin pada semua pasien dengan resiko nyeri sedang sampai berat tanpa menimbulkan efek
samping [25 (1-96) berbanding 25 (0-69] dan [35 (20,4) berbanding 32,7 (27,4)] untuk kebutuhan morfin paska pembedahan21.
B. Munishankar pada tahun 2007, dari hasil penelitiannya menunjukkan penggunaan parasetamol intravena dibandingkan dengan obat golongan AINS
(diklofenak) sama efektifnya didalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan nilai p VAS istirahat 0,72 dan VAS bergerak 0,13 dan kebutuhan morfin (68,7 + 35,6 mg berbanding 63,7 + 31,8 mg) 13.
S. K. Aghamir pada tahun 2009 didalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian parasetamol intravena dapat digunakan sebagai pengganti tramadol untuk penanganan nyeri paska pembedahan urologi (2,70 + 1,30 berbanding 2,30 + 1,34 dengan nilai p 0,345) serta aman karena tidak menimbulkan efek samping, walaupun pada tingkat nyeri yang berat pemberian parasetamol intravena masih membutuhkan analgetik tambahan22.
pada pasien anak-anak dengan tindakan pembedahan miringotomi bilateral dijumpai bahwa pemberian ketorolak oral ternyata lebih baik untuk penanganan nyeri paska pembedahan dibandingkan dengan parasetamol oral (30% berbanding 55%) dengan nilai p < 0,0123.
D. Fletcher pada tahun 1997 juga menyatakan pemberian parasetamol intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan pemberian ketoprofen intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan tulang belakang dengan nilai p 0,04 dan menurunkan kebutuhan morfin (6,8 + 1,3 mg berbanding 6,8 + 1,2 mg) dengan nilai p 0,0324.
Sahar Siddik pada tahun 2001 juga menyatakan hal yang sama berdasarkan hasil penelitiannya, yaitu efek analgesia dari pemberian parasetamol intravena tidak sebanding dengan AINS (diklofenak) sebagai obat tambahan opioid (morfin) untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria (46% berbanding 8,2%) dengan nilai p < 0,0525.
Dari beberapa penelitian diatas, tampak bahwa sudah lama menjadi bahan pemikiran para peneliti untuk mencari pengganti AINS sebagai analgetik didalam
penanganan nyeri paska pembedahan karena adanya efek samping dari penggunaan AINS yang dapat merugikan pasien. Beberapa penelitian diatas telah menemukan bahwa pengganti AINS (ketorolak) dengan parasetamol cukup memberikan hasil yang baik karena memberikan tingkat efektifitas yang sama
didalam penanggulangan nyeri paska pembedahan, akan tetapi ada juga penelitian yang menyatakan bahwa AINS (ketorolak) masih tetap lebih baik dibandingkan dengan penggunaan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas, peneliti berkeinginan untuk menilai efek pemberian parasetamol 1 gr/6 jam intravena dibandingkan dengan pemberian ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan alasan :
1. Mencari alternatif pengganti obat analgetik AINS (ketorolak) yang memiliki efek yang sama untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria tanpa memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien.
baik, juga memiliki kekuatan analgesia yang hampir sebanding dengan ketorolak dan morfin (pilihan utama pada penanganan nyeri paska pembedahan), hal ini ditunjukkan dari hasil beberapa penelitian diluar negeri yang membandingkan penggunaan ketorolak dan morfin dengan parasetamol. 3. Keinginan peneliti untuk membandingkan efek pemberian parasetamol dengan
ketorolak pada pasien yang menjalani pembedahan seksio sesaria, karena dari referensi penelitian belum pernah dilakukan penelitian pada pembedahan seksio sesaria, yang pernah dibandingkan adalah pada operasi ginekologi dan ortopedi.
4. Keinginan untuk membandingkan efek penggunaan parasetamol dan ketorolak, karena hasil-hasil penelitian diluar negeri yang membandingkan kedua obat tersebut ada dua perbedaan pendapat yang menyatakan ketorolak sebanding dengan parasetamol, ada juga yang menyatakan ketorolak lebih baik dibandingkan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah pemberian parasetamol 1 gr/6 jam intravena setara efek analgetiknya dengan ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria.
1.3 HIPOTESIS
Parasetamol intravena 1 gr/6 jam dan ketorolak 30 mg/6 jam intravena memiliki efek analgetik yang setara didalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria.
1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek parasetamol 1 gr intravena dalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria
2. Untuk mengetahui efek ketorolak 30 mg intravena dalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria
3. Untuk mengetahui perbandingan efek kedua obat, sehingga diketahui apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menyamai efek analgetik ketorolak intravena 30 mg dalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria
4. Untuk mengetahui apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menggantikan ketorolak intravena 30 mg untuk penangan nyeri paska pembedahan seksio sesaria pada pasien dengan kontraindikasi pemberian AINS.
1.5 MANFAAT PENELITIAN Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan
tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria
Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam penanganan nyeri paska pembedahan terutama pada pembedahan seksio sesaria pada keadaan berikut :
a. Pasien-pasien yang ada kontraindikasi dengan pemberian analgetik golongan AINS untuk penanganan nyeri paska pembedahan
b. Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri setelah pembedahan c. Untuk menghindari efek samping pemakaian obat AINS yang merugikan
pasien
d. Mempercepat mobilisasi pasien sehingga menurunkan angka lamanya perawatan di rumah sakit dan biaya pengobatan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena
setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri
bersifat subjektif, dimana derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu
rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya.
Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan
hambatan utama didalam pengelolaan nyeri yang tepat paska pembedahan, dosis
analgetik sering tidak tepat dan masih ditambah lagi dengan rasa ketakutan
terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgetik opioid1,2.
Nyeri adalah suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif
dimana melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak
menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau suatu potensial
terjadi kerusakan pada jaringan1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak
negatif pada penderita paska pembedahan seperti kegelisahan (gangguan tidur),
perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas
sehingga menyebabkan kemampuan batuk menurun yang akan mempermudah
terjadinya atelektase, ketakutan untuk mobilisasi akan meningkatkan resiko
komplikasi tromboemboli dan meningkatkan pelepasan katekolamin yang
menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase katabolik,
menurunkan aliran darah ke ekstremitas inferior dan menurunkan sirkulasi darah
ke splachnicus. Keadaan-keadaan tersebut diatas akan mengakibatkan
penyembuhan yang lambat, gangguan mobilisasi, faktor resiko untuk terjadinya
nyeri kronik, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya
akan meningkatkan biaya pengobatan1,2,3.
Nyeri paska pembedahan seksio sesaria juga dapat mengganggu dan
memperlambat mobilisasi ibu, sehingga mempengaruhi kualitas perawatan bayi
oleh ibunya. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk penanggulangan
secara oral, parenteral atau rektal baik itu obat dari golongan opioid, AINS dan
anestesi lokal.
Opioid merupakan pilihan utama untuk terapi nyeri pada pasien yang
mengalami nyeri paska pembedahan tingkat sedang dan berat. Akan tetapi
pemberian opioid dibatasi oleh efek sampingnya yang merugikan pasien seperti
depresi pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus4,5. Sehingga sekarang ini
banyak digunakan obat-obatan non-opioid seperti obat anti inflamasi nonsteroid
(AINS) sebagai pengganti opioid, karena AINS memiliki efek analgetik yang kuat
dan mempunyai efek anti inflamasi. Ketorolak merupakan salah satu obat anti
inflamasi nonsteroid yang sama efektifnya dengan morfin dan meperidine dimana
dapat mencegah nyeri akut paska pembedahan dari tingkat sedang ke berat tanpa
disertai efek samping seperti depresi pernafasan6,7,8.
Namun pemberian ketorolak (AINS) juga harus berhati-hati karena
berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan daerah operasi yang disebabkan
oleh waktu perdarahan yang meningkat, luka pada organ gastrointestinal,
dispepsia dan menyebabkan gangguan ginjal. Ketorolak juga masih memiliki efek
samping seperti AINS lainnya seperti mual, nyeri kepala, somnolen, mengantuk,
palpitasi dan pruritus9,10,11.
Karena pemberian ketorolak juga dapat menimbulkan resiko yang dapat
merugikan pasien, maka makin banyak keinginan orang untuk menggunakan
obat-obatan analgetik non opioid dari golongan lain seperti parasetamol sebagai
penggantinya. Parasetamol dapat merupakan suatu pilihan pengganti ketorolak
karena selain aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan baik,
juga memiliki kekuatan analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan
tingkat ringan, sedang maupun berat12,13.
Parasetamol dengan dosis normal bertindak sebagai analgetik yang sangat
baik ditoleransi oleh tubuh untuk penanganan nyeri akut paska pembedahan
tingkat ringan dan sedang, bahkan nyeri akut ditingkat yang berat. Hal ini seperti
dinyatakan oleh Philip Lange Moller didalam penelitiannya pada tahun 2005
bahwa pemberian parasetamol intravena efektif untuk penanganan nyeri sedang
Dari beberapa penelitian dijumpai bahwa parasetamol memiliki sifat
analgetik yang hampir sebanding dengan morfin yang kita ketahui sebagai opioid
pilihan utama untuk penanganan nyeri paska pembedahan. Seperti dinyatakan
oleh Van Aken pada tahun 2004 yang pada penelitiannya ditemukan bahwa
pemberian propacetamol 2 gr intravena dan morfin 10 mg intramuskular tidak
dijumpai perbedaan yang bermakna didalam penanganan nyeri paska pembedahan
gigi molar tiga dan pada grup parasetamol dijumpai efek samping yang minimal
dibandingkan dengan grup morfin (p < 0,027)15.
Penelitian diatas juga diperkuat pada tahun 2007 oleh M. Reza Khejavi
dengan penelitiannya dimana penanganan nyeri paska pembedahan transplantasi
ginjal dengan menggunakan propacetamol 2 gr intravena dan morfin 5 mg
intravena adalah sama efektifnya16.
Selain itu parasetamol juga dari banyak penelitian dapat menggantikan
posisi AINS karena memiliki efektifitas yang sama untuk penanganan nyeri paska
pembedahan seperti McQuay HJ pada tahun 1986 menyatakan bahwa dari hasil
penelitiannya didapatkan pemberian parasetamol oral sama efektifnya dengan
ketorolak oral untuk penanganan nyeri paska pembedahan ortopedi17.
Giustino Varrassi pada tahun 1999 dari hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa pemberian parasetamol intravena merupakan analgetik yang efektif untuk
penanganan nyeri paska pembedahan ginekologi (histerektomi) yang dapat
menggantikan posisi ketorolak dengan derajat nyeri sedang sampai berat (70,2%
berbanding 68,2%). Dan parasetamol intravena sama efektifnya dengan ketorolak
sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (10,6 + 4,8 mg berbanding
10,2 + 4,4 mg)12.
Tian J. Zhou pada tahun 2001 juga dari hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa parasetamol intravena tidak berbeda dengan ketorolak dalam hal analgesia
untuk penanganan nyeri paska pembedahan penggantian tulang panggul dan lutut
(VAS istirahat 63,9 + 18,2 berbanding 63,3 + 20,3 dan VAS bergerak 83,4 + 15,5
berbanding 78,7 + 21,9) . Dan juga parasetamol intravena dapat sebagai pengganti
ketorolak sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (36,8 + 25,1 mg
Lynn M. Rusy pada tahun 1995 dari hasil penelitiannya menyatakan
bahwa pemberian ketorolak intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan
pemberian parasetamol rektal untuk penanganan nyeri paska pembedahan
tonsilektomi pada anak dengan nilai p 30 menit = 0,604, jam ke 1 = 0,363 dan
jam ke 3 = 0,33719.
J. E. Montgomery pada tahun 1996 juga dari hasil penelitiannnya pada
pasien yang menjalani prosedur pembedahan ginekologi menyimpulkan bahwa
pemberian parasetamol supositoria hampir sama manfaatnya dengan pemberian
AINS supositoria (diklofenak) untuk penanganan nyeri paska pembedahan
(0,2-9,2 berbanding 0,0-7,2), serta sama-sama menurunkan kebutuhan morfin untuk
PCA (11,7-20,1 berbanding 10,7-17,3)20.
T. F. Cobby pada tahun 1999 juga mengemukakan hasil penelitiannya
bahwa pemberian parasetamol rektal sebanding dengan AINS (diklofenak)
sebagai tambahan analgetik opioid didalam penanganan nyeri paska pembedahan
ginekologi (histerektomi). Parasetamol rektal dapat diberikan secara rutin pada
semua pasien dengan resiko nyeri sedang sampai berat tanpa menimbulkan efek
samping [25 (1-96) berbanding 25 (0-69] dan [35 (20,4) berbanding 32,7 (27,4)]
untuk kebutuhan morfin paska pembedahan21.
B. Munishankar pada tahun 2007, dari hasil penelitiannya menunjukkan
penggunaan parasetamol intravena dibandingkan dengan obat golongan AINS
(diklofenak) sama efektifnya didalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio
sesaria dengan nilai p VAS istirahat 0,72 dan VAS bergerak 0,13 dan kebutuhan
morfin (68,7 + 35,6 mg berbanding 63,7 + 31,8 mg) 13.
S. K. Aghamir pada tahun 2009 didalam penelitiannya menyatakan bahwa
pemberian parasetamol intravena dapat digunakan sebagai pengganti tramadol
untuk penanganan nyeri paska pembedahan urologi (2,70 + 1,30 berbanding 2,30
+ 1,34 dengan nilai p 0,345) serta aman karena tidak menimbulkan efek samping,
walaupun pada tingkat nyeri yang berat pemberian parasetamol intravena masih
membutuhkan analgetik tambahan22.
Namun ada juga beberapa penelitian yang menyatakan sebaliknya bahwa
AINS tetap lebih baik dan lebih efektif daripada parasetamol seperti dikemukakan
pada pasien anak-anak dengan tindakan pembedahan miringotomi bilateral
dijumpai bahwa pemberian ketorolak oral ternyata lebih baik untuk penanganan
nyeri paska pembedahan dibandingkan dengan parasetamol oral (30% berbanding
55%) dengan nilai p < 0,0123.
D. Fletcher pada tahun 1997 juga menyatakan pemberian parasetamol
intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan pemberian ketoprofen intravena
untuk penanganan nyeri paska pembedahan tulang belakang dengan nilai p 0,04
dan menurunkan kebutuhan morfin (6,8 + 1,3 mg berbanding 6,8 + 1,2 mg)
dengan nilai p 0,0324.
Sahar Siddik pada tahun 2001 juga menyatakan hal yang sama
berdasarkan hasil penelitiannya, yaitu efek analgesia dari pemberian parasetamol
intravena tidak sebanding dengan AINS (diklofenak) sebagai obat tambahan
opioid (morfin) untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria (46%
berbanding 8,2%) dengan nilai p < 0,0525.
Dari beberapa penelitian diatas, tampak bahwa sudah lama menjadi bahan
pemikiran para peneliti untuk mencari pengganti AINS sebagai analgetik didalam
penanganan nyeri paska pembedahan karena adanya efek samping dari
penggunaan AINS yang dapat merugikan pasien. Beberapa penelitian diatas telah
menemukan bahwa pengganti AINS (ketorolak) dengan parasetamol cukup
memberikan hasil yang baik karena memberikan tingkat efektifitas yang sama
didalam penanggulangan nyeri paska pembedahan, akan tetapi ada juga penelitian
yang menyatakan bahwa AINS (ketorolak) masih tetap lebih baik dibandingkan
dengan penggunaan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas,
peneliti berkeinginan untuk menilai efek pemberian parasetamol 1 gr/6 jam
intravena dibandingkan dengan pemberian ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk
penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan alasan :
1. Mencari alternatif pengganti obat analgetik AINS (ketorolak) yang memiliki
efek yang sama untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria
tanpa memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien.
2. Menggunakan parasetamol intravena sebagai analgetik paska pembedahan
baik, juga memiliki kekuatan analgesia yang hampir sebanding dengan
ketorolak dan morfin (pilihan utama pada penanganan nyeri paska
pembedahan), hal ini ditunjukkan dari hasil beberapa penelitian diluar negeri
yang membandingkan penggunaan ketorolak dan morfin dengan parasetamol.
3. Keinginan peneliti untuk membandingkan efek pemberian parasetamol dengan
ketorolak pada pasien yang menjalani pembedahan seksio sesaria, karena dari
referensi penelitian belum pernah dilakukan penelitian pada pembedahan
seksio sesaria, yang pernah dibandingkan adalah pada operasi ginekologi dan
ortopedi.
4. Keinginan untuk membandingkan efek penggunaan parasetamol dan
ketorolak, karena hasil-hasil penelitian diluar negeri yang membandingkan
kedua obat tersebut ada dua perbedaan pendapat yang menyatakan ketorolak
sebanding dengan parasetamol, ada juga yang menyatakan ketorolak lebih
baik dibandingkan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah pemberian parasetamol 1 gr/6 jam intravena setara efek
analgetiknya dengan ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk penanganan nyeri
paska pembedahan seksio sesaria.
1.3 HIPOTESIS
Parasetamol intravena 1 gr/6 jam dan ketorolak 30 mg/6 jam intravena
memiliki efek analgetik yang setara didalam penanganan nyeri paska pembedahan
seksio sesaria.
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Untuk memperoleh obat yang efektif didalam penanganan nyeri paska
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek parasetamol 1 gr intravena dalam penanganan
nyeri paska pembedahan seksio sesaria
2. Untuk mengetahui efek ketorolak 30 mg intravena dalam penanganan
nyeri paska pembedahan seksio sesaria
3. Untuk mengetahui perbandingan efek kedua obat, sehingga diketahui
apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menyamai efek analgetik
ketorolak intravena 30 mg dalam penanganan nyeri paska pembedahan
seksio sesaria
4. Untuk mengetahui apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menggantikan
ketorolak intravena 30 mg untuk penangan nyeri paska pembedahan seksio
sesaria pada pasien dengan kontraindikasi pemberian AINS.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan
tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha penanganan nyeri paska
pembedahan seksio sesaria
Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan
dalam penanganan nyeri paska pembedahan terutama pada pembedahan seksio
sesaria pada keadaan berikut :
a. Pasien-pasien yang ada kontraindikasi dengan pemberian analgetik golongan
AINS untuk penanganan nyeri paska pembedahan
b. Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri setelah pembedahan
c. Untuk menghindari efek samping pemakaian obat AINS yang merugikan
pasien
d. Mempercepat mobilisasi pasien sehingga menurunkan angka lamanya
perawatan di rumah sakit dan biaya pengobatan.
e. Mempercepat mobilisasi ibu, sehingga mempercepat dan meningkatkan