20
BAB II
LANDASAN TEORETIK
A.
Pengertian Umum
1. Pidana Mati
Pidana mati atau hukuman mati menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan nyawa terhadap terpidana1. Kemudian dalam Wikipedia Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukuman mati adalah
suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.2 Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan
nyawa seseorang.3
1 kbbi.web.id diakses 24 Juni 2016
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses 24 Juni 2016
3 Sejarah, Pengertian, Dasar Dan Tujuan Pidana Mati Di Indonesia,
21
Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28A dengan tegas menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Lebih lanjut mengenai hak asasi manusia, diatur dalam Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.”
Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang
dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak
untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurangi (non-derogable rights)oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam situasi darurat.4
4
22
Dalam bukunya Sahetapy yang berjudul Ancaman Pidana Mati dalam pembunuhan berencana,masih banyak
peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan pidana mati dalam hukum positif Indonesia 5 antara lain:
1) Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3) KUHP;
2) Pembunuhan Berencana (Pasal 340) KUHP;
3) Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka
berat atau mati (Pasal 365 ayat (4))
4) Pembajakan dilaut, dipantai, dipesisir atau disungai dengan kekerasan (Pasal 444 ) KUHP;
5) Kejahatan penerbangan dan Kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan (Pasal 479k ayat (2) dan
Pasal 479o ayat (2) KUHP)
Sedangkan diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka kejahatan-kejahatan yang diancam dengan
pidana mati antara lain tercantum pada :
5 J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
23
1) Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951 tentang senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak
2) Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun dalam
perkembangannya Undang-undang ini telah dicabut dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No.11/PNPS/Tahun 1963.
3) Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
4) Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 41, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
5) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme 6) Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2),
Pasal 121 ayat (2), UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
7) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
8) Pasal 89 ayat (1), UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
24
Hingga saat ini tercatat 133 negara telah menghapus hukuman mati dalam sistem hukum pidana masing-masing.
Tetapi masih ada negara lainnya termasuk Indonesia yang masih mempertahankan hukuman mati. Penghapusan
hukuman mati sendiri sejak tahun 1985 trennya kian menguat.6 Secara formal keberadaan hukuman mati telah dilarang oleh instrumen hukum internasional, misalnya,
Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the The Death Penalty tahun 1990 dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa : “setiap negara pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapus
hukuman mati dalam yurisdiksinya”.7
Lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Internasional Covenant on Civil and Politic Rights (ICCPR) menyebutkan
bahwa; “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang
melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum
dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Bagi negara-negara
yang belum menghapus hukuman mati, Pasal 6 ayat (2) masih memperbolehkan diberlakukannya hukuman mati, namun
6 Hendarman Supandji., “ Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum
di Indonesia”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. IV , No.2 , 2008, hal 2.
7 Lihat ; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the
25
penerapannya dibatasi hanya untuk kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes).8
Secara faktual, keberadaan hukuman mati bertentangan dengan hak hidup. Keberadaannya tidak dengan
sendirinya membuat efek jera bagi pelaku kejahatan dan belum tentu menurunkan tingkat kejahatan. Uni Eropa (EU) merupakan pihak yang paling gencar melakukan kampanye
penghapusan hukuman mati bahkan EU mewajibkan anggotanya untuk menghapuskan hukuman mati. Sementara
Indonesia, penghapusan hukuman mati masih menjadi wacana karena masih tingginya kejahatan berat, seperti terorisme, korupsi dan narkoba.9
Perdebatan mengenai pidana mati tidak pernah surut. Dalam membahas mengenai eksistensi pidana mati terdapat
dua arus pemikiran utama yaitu kelompok yang menginginkan penghapusan pidana mati secara keseluruhan dan kelompok yang ingin tetap mempertahankan keberadaan
pidana mati berdasarkan ketentuan hukum positif yang
8
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, kompas,
Jakarta, 2009, hal 47
26
berlaku. Pendapat dari beberapa tokoh yang menentang pidana mati antara lain :
a) Hans von Hentig (Jerman), berpendapat bahwa sebenarnya pengaruh pidana mati sangat jelek, karena
tidak hanya berpengaruh terhadap keadaan fisik atas orang yang terpidana tetapi fisik pada pikiran berjuta-juta orang dengan perantaraan media massa dan seharusnya negara
wajib mempertahankan nyawa orang dalam keadaan yang bagaimanapun. 10
b) Roeslan Saleh, berpendapat bahwa dengan tindakan pidana mati itu, negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas
kejahatan, jika negara masih dapat mencapai tujuannya dengan melaksanakan penerapan pidana yang lain, maka
negara berkewajiban menghapuskan pidana mati. Alasan lain yang harus diperhatikan adalah jika vonis hakim, dan pidana mati itu telah dilaksanakan, maka kekeliruan itu
tidak dapat diperbaiki lagi.11
10
Ibid .Op. Cit, hal 6.
27
c) Rolling (1983), berpendapat bahwa pidana mati itu mempunyai daya destruktif, yaitu apabila negara sudah
tidak meghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang,
maka ada kemungkinan besar akan berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia, dan perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu
penyusulan pula terhadapnya.12
Sedangkan pendapat beberapa tokoh yang mendukung
pidana mati, ialah:
a) Lambroso dan Gorofalo, berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat
untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.13
b) Oemar Seno Adjie, berpendapat bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib
masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir
12
Ibid.,
13
28
anasir yang tidak mengenal perikemanusiaa, ia masih memerlukan pidana mati.14
c) Bambang Poernomo, berpendapat bahwa untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras
seperti halnya dengan hukuman mati, terutama terhadap kejahatan yang bengis.15
J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana
mati, walaupun terbatas hanya mengenai pembunuhan berencana. Dalam disertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa bahwa:
a) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP pada
dewasa ini dalam praktik merupakan suatu ketentuan
abolisi de facto;
b) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP tidak akan
mengenai sasarannya selama ada beberapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi,
kebebasan hakim, dan “shame culture”;
14
Ibid, hal 8
15
29
c) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati.16
Saat ini Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2015 masih mencantumkan hukuman
mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Dalam RUU KUHP, hukuman mati masih termasuk pidana pokok namun bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Hukuman mati dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 66 ayat (1), menyatakan bahwa “Pidana mati merupakan pidana
pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif ”. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 66 RUU KUHP menyatakan bahwa :
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (tahun).
RUU KUHP menempatkan hukuman pokok dalam
rumusan sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dicantumkan dalam pasal
tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini
30
benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling
berat. Pidana mati ini harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam
tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati
tidak perlu dilaksanakan. 17
2.
Eksekusi Pidana Mati
Eksekusi pada dasarnya merupakan salah satu kewenangan jaksa yang diatur undang-undang untuk
melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang dapat dilakukan eksekusi hanyalah putusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.18 Menurut
teoretik dan praktik, suatu putusan pengadilan telah
17
http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/11/Monograf-icjr-fgd-29-Oktober-2015.pdf, diakses 25 Agustus 2016
18 RONI EFENDI, Kedudukan Masa Tunggu Eksekusi Bagi Terpidana Mati
31
berkekuatan hukum tetap apabila terdakwa dan penuntut umum telah menerima putusan sebagaimana dinyatakan
dalam “surat pernyataan menerima putusan”, jika upaya
hukum tidak dipergunakan sehingga tenggang waktunya
terlampaui, apabila diajukan permohonan banding dan kemudian dicabut kembali dan adanya permohonan grasi yang diajukan disertai permohonan penangguhan eksekusi.19
Lebih lanjut dalam Pasal 270 KUHAP juga
menyatakan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan
kepadanya”. Sehingga eksekusi putusan pengadilan baru
dapat dilakukan oleh jaksa setelah jaksa menerima salinan surat putusan panitera. Mengenai "dalam jangka waktu
beberapa lama" Panitera harus sudah mengirimkan salinan surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu tidak diatur dalam KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar
19
Lilik Mulyadi, Hukum Acara PidanaNormatif, Teoretis, Praktik dan
32
apabila jangka waktu pengiriman itu diberi batas, yakni eksekusi putusan oleh Jaksa dapat segera dilaksanakan..20
Dikaji dari perspektif sejarahnya, hukuman mati telah dikenal pada zaman Romawi yaitu dengan telah diterapkan
hukuman mati oleh Socrates tahun 399 SM dengan metode minum racun. Selain racun, eksekusi hukuman mati dilakukan dengan metode 21 :
Suntik mati dengan tiga kombinasi zat yang digunakan terdiri dari sodium thiopental (sejenis obat tidur, shingga si terhukum mati menjadi tidak sadar), pancuronium bromide (berfungsi untuk melumpuhkan otot perut dan paru-paru), dan potassium klorida (menyebabkan jantung berhenti).
Setrum, terpidana ditempatkan pada kursi khusus dan disetrum selama 4 (empat) menit menggunakan 2000V, 7 (tujuh) menit berikutnya 1000V dan 2 (dua) menit terakhir 208V.
Kamar Gas dengan diairi gas hydrocyanic yang berfungsi menghancurkan kemampuan memproses hermaglobin darah hingga meninggal
Digantung yang berdiri diatas lantai berlubang seperti jendela dengan leher dijerat tali, lalu jendela lantai dibuka, terpidana akan meluncur jatuh dan terjerat
Penggal/pancung, terpidana dipenggal lehernya. Metode ini biasa dilakukan eksekutor manusia dan juga dengan bantuan alat khusus seperti di Perancis disebut guillotine.
Metode ini banyak digunakan di Eropa dan negara-negara islam sebelum abad ke-17.
20
Lihat SEMA NO. 21 TAHUN 1983 ttg Batas Waktu Pengiriman Salinan
Putusan Pada Jaksa
33
Kemudian perkembangannya di Indonesia, dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka
pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang tidak dimuka umum (Pasal 271 KUHAP). Sebelumnya
ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi yang diatur dalam Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa; “ Hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan
menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan
menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”.
Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak tanggal 27 April 1964 sudah tidak berlaku lagi22 karena
ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka diganti dengan
Undang-undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yakni
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati.23 Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan
22
http://www.academia.edu/7612356/Eksekusi_pidana, diakses 3 Agustus 2016
34
oleh pengadilan di Lingkungan peradilan umum dan Militer, yang dalam Pasal 2 s.d Pasal 16 UU No. 2/Pnps/1964,
ditentukan bahwa tata cara proseduralnya 24 sebagai berikut : a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam saat
pidana mati dilaksanakan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut dan apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, keterangannya atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi atau Jaksa tersebut (Pasal 6 ayat (1), (2));
b. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7);
c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman yaitu di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat (1));
d. Kepala Kepolisian dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan Pasal 4); e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak
yang terdiri dari seorang Bintara, 10 orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya dari Brigade Mobile (Pasal 10 ayat (1));
f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) dan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab harus menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut (Pasal 4);
g. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat disertai rohaniawa (Pasal 11 ayat (1). Kemudian terpidana dapat menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau berlutut (Pasal 12 ayat(1)) dan pelaksanaan pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara
24 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoreti, Praktik dan
35
sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh Presiden (Pasal 9);
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan dapat menetukan lain (Pasal 15);
i. Kemudian setelah pelaksanaan pidana mati dilaksanakan, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan didalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) dan (2))
Pengaturan lebih lanjut mengenai eksekusi pidana mati juga diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.25 Dalam Pasal 4 Perkapolri No. 12 tahun 2010 ditentukan tata cara
pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. persiapan;
b. pengorganisasian; c. pelaksanaan; dan
d. pengakhiran.
Mengenai proses pelaksanaan pidana mati, lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri No. 12 Tahun 2010
sebagai berikut :
25 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati, diakses 15
36
a) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;
b) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan;
c) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati;
d) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;
e) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;
f) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya
kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;
g) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;
h) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan
Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian
Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan
”LAKSANAKAN”;
i) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor; j) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2
37
k) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan;
l) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak;
m) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;
n) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati;
o) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;
p) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;
q) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat;
r) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas; s) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat
bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana;
t) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;
u) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak; v) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana
menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;
38
kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;
x) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;
y) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan;
z) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana;
aa)Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan
bb)Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan
”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.
Eksekusi pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum surat
Keputusan Presiden yang menyatakan tentang penolakan grasi tersebut diterima oleh terpidana (pemohon grasi).
B.
Tujuan Pemidanaan
Negara (pemerintahan) dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut:
39
pun juga, sedangkan dilain pihak pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.26
Tujuan pemidanaan yang merupakan pembenaran atas
penggunaan atau penjatuhan pidana mempunyai banyak variasi dengan dasar-dasar pembenarannya (rechtvaardigingsgrond). Teori yang dikenal dengan pembenaran tersebut dikenal dalam 3 golongan
utama, yaitu :
1) Teori Pembalasan atau Teori Absolute (Retributive/Vergeldings Theorien)
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang
telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan
pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi
seorang penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang mengatakan : Darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa.27 2) Teori Tujuan atau Teori Relatif (Utilitarian/Doeltheorien)
26
Utrecht, hukum pidana 1, Bandung : universitas, 1967 , hal 158
27
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
40
Teori-teori yang yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung pada
tujuan pemidanaan yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan (ne peccetur). Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk teori tujuan, terletak pada caranya untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana,
dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk
menyingkirkan penjahat, atau prevensi umum. Teori tujuan lebih mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat. 28
3) Teori Gabungan (Verenegings Theorien)
Kemudian timbul golongan ketiga yang berdasarkan pemidanaan
kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori gabungan. Dasar pemikiran teori gabungan adalah pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk
masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat member kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun
41
kepada masyarakat.29 Gabungan kedua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata
tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.30
Selanjutnya secara umum, legitimasi bagi pengenaan pidana
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu legitimasi teleologis (teleological legitimacy) dan legitimasi deontologist
(deontological legitimacy). Legitimasi teleologis mencakup alasan-alasan yang difokuskan pada tujuan pemidanaan untuk kepentingan
masa depan, sedangkan legitimasi deontologis lebih dititikberatkan pada pemidanaan sebagai konsekuensi dari pelanggaran hukum pidana. Sekarang ini pembenaran terhadap pembinaan umumnya
disandarkan baik pada legitimasi teleologis maupun legitimasi deontologis, sebagaimana terlihat dari teori tentang pemidanaan yang
mencakup aspek pembalasan (retribution), pencegahan (deterrence), pelumpuhan (incapacitation), perbaikan diri pelaku (rehabilitation),
dan penegasan kesalahan (denunciation). 31
29
Erdianto Effendi, Suatu Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika aditama, Bandung, 2011
30 Leden Merpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
2005, hal.107
31 Arie Siswanto, Buku 1 : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL SEBUAH
42 1) Pembalasan (retribution)
Pembalasan barangkali merupakan legitimasi yang tertua bagi
pengenaan pidana. Menurut gagasan deontologis yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Immanuel Kant ini,
sudah merupakan hal yang layak apabila seseorang mendapatkan pembalasan setimpal atas pelanggaran hukum pidana yang sudah mereka lakukan. Pengenaan pidana
sekaligus dianggap sebagai pengakuan bahwa pelaku pelanggaran adalah pribadi yang memiliki kemanusiaan
secara utuh (full personhood) yang mampu menjadi moral agent, mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, mampu bertanggungjawab, serta pada akhirnya layak
mewujudkan tanggungjawabnya melalui pemidanaan. Terkait dengan hal tersebut, dalam wujudnya yang ekstrem, gagasan
ini beranggapan bahwa pengenaan pidana untuk tujuan lain, semisal tujuan untuk merehabilitasi pelaku, justru merupakan penyangkalan terhadap pelaku yang pada hakikatnya adalah
manusia utuh yang mampu bertanggungjawab serta menanggung konsekuensi hukum untuk apa yang
dilakukannya.
43
Legitimasi penjatuhan pidana sebagai sarana untuk melakukan pencegahan kejahatan banyak dipengaruhi oleh
gagasan utilitarianistik dari Jeremy Bentham. Berbeda dari alasan retribusi yang lebih bersifat ontologis, alasan
pencegahan kejahatan lebih bernuansa teleologis. Menurut alasan ini, penjatuhan pidana difokuskan pada manfaat pemidanaan dalam upaya untuk mewujudkan kondisi yang
lebih baik di masa mendatang, yakni pencegahan kejahatan. Melalui penjatuhan pidana diharapkan bahwa masyarakat
akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk melakukan kejahatan seperti kejahatan yang dijatuhi pidana. Dalam kalimat sederhana, penjatuhan pidana kepada seorang pelaku
kejahatan dilakukan supaya orang lain takut meniru perbuatan salah yang dilakukan pelaku kejahatan itu.
3) Pelumpuhan (incapacitation)
Melucuti kemampuan pelaku kejahatan melalui pemidanaan merupakan rationale yang ada dibalik tujuan incapacitation
ini. Ketika seorang pelaku kejahatan dijatuhi pidana, khususnya berupa pidana pembatasan kebebasan fisik
44
4) Perbaikan diri pelaku (rehabilitation)
Dalam teori tentang pemidanaan (sentencing theory),tujuan rehabilitasi mewakili pandangan yang kontemporer. Berdasarkan sudut pandang ini, seorang pelaku kejahatan
dijatuhi pidana sebagai bagian dari sebuah proses yang secara teleologis diharapkan bermuara pada perubahan pada diri pelaku kejahatan sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi
warga masyarakat yang baik. Oleh karena itu, dari perspektif ini pembinaan terhadap seorang terpidana menjadi factor yang
amat penting. Secara implisit, sudut pandang ini juga tidak kompatibel dengan eksistensi pidana mati (capital punishment), karena secara hakiki pidana mati menghilangkan peluang bagi terpidana untuk direhabilitasi.
5) Penegasan kesalahan (denunciation)
Perspektif pemidanaan ini termasuk sebagai perspektif yang relative baru didalam member dasar pembenaran bagi pengenaan pidana. Pemidanaan sebagai bentuk penegasan
kesalahan juga diadopsi didalam hukum pidana internasional. Berdasarkan sisi pandang ini, keseluruhan sistem hukum
45
kepada pelaku, korban dan masyarakat luas perihal sifat salah dari perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan demikian,
dapat pula dikatakan bahwa pemidanaan memiliki aspek didaktik bagi masyarakat luas. Selain menegaskan
norma-norma yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, pemidanaan juga dianggap sebagai penghormatan terhadap
prinsip rule of law yang harus ditaati.
Dalam Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III
dengan judul : Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Rancangan KUHP Tahun 2015 dalam Pasal 54 ayat (1) menetapkan ada 4 (empat)
tujuan pemidanaan 32, antara lain :
a. Pemidanaan bertujuan :
i. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
ii. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
46
iii. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan iv. Membebaskan rasa bermasalah pada terpidana.
Menurut Barda Nawawi Arief, perumusan tujuan pemidanaan
didalam Konsep Rancangan KUHP Nasional bertolak dari
pokok-pokok pemikiran antara lain :
a) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system) sehingga dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam
undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan.33
b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.
Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka
diperlukan perumusan tujuan pemidanaan.34
33
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2007, hal. 127
47
c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai
„fungsi pengendali/control‟ dan sekaligus memberikan
dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.35
Pernyataan ini juga terlihat dalam pendapat Romli Atmasasmita, yang menegaskan bahwa perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional tersimpul pandangan
social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual
berlandaskan pancasila.36 Tujuan pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkannya pada Pasal 54 ayat (2) RUU KUHP yang menyebutkan bahwa: “pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
C.
Hambatan-Hambatan Dalam Eksekusi Pidana Mati
Dalam eksekusi pidana mati tidak selalu berjalan sesuai
aturan. Hal ini juga disebabkan karena masih adanya hak-hak terpidana berupa pengajuan upaya hukum luar biasa berupa
Peninjauan kembali dan Grasi. Namun dalam penggunaan upaya hukum ini juga tidak selalu berjalan konsisten karena terdapat juga
48
hambatan-hanbatan didalamnya. Adapun hambatan yang terkait dengan eksekusi pidana mati diantaranya :
a) Grasi
Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat
dilakukan atas sesuatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung.37 Dasar hukum pemberian grasi oleh presiden dapat dilihat dalam
Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 bahwa: “Presiden memberikan grasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung”. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 22
Tahun 2002 Jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, dikatakan bahwa ; Grasi adalah “Pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden”.38
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada
tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, maka panitera yang mendampingi hakim
37 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, ed, Panduan Bantuan Hukum
Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2014, hal.246
49
ketua sidang dalam memutus perkara pada tingkat pertama harus memberitahukan secara tertulis kepada terpidana.39 Permohonan
grasi terhadap terpidana yang dijatuhi hukum pidana mati sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2010
tentang Grasi, yang berhak mengajukan grasi adalah : 1) Terpidana atau kuasa hukumnya;
2) Keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana;
3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan terpidana.40
Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2), Pemberian grasi
oleh Presiden dapat berupa:
a) Peringanan atau perubahan jenis pidana; b) Pengurangan jumlah pidana; atau
c) Penghapusan pelaksanaan pidana.
Sebelumnya pengaturan tentang batas waktu permohonan grasi tidak diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan sampai dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Dimana dalam Pasal 2 ayat (3)
50
menyebutkan : “Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1
(satu) kali”. Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan
bahwa: “Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
rendah 2 (dua) tahun”.
Kemudian mengenai batas waktu maksimal pengajuan
Grasi sebelumnya diatur dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa:
“Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”, namun dalam
perkembangannya pasal tersebut sudah dihapus dengan
putusan MK No 107/PUU-XIII/2015. Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang Penolakan Pemohonan grasi diterima oleh terpidana.41
b) Peninjaun Kembali
Peninjauan Kembali (PK) yang dalam Bahasa Belanda
dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar
51
biasa dalam hukum pidana, terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde).42 Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu tugas dari Mahkamah Agung yang tertuang dalam Pasal 28 ayat
(1) huruf c UU No. 14 Tahun 1985 Jo UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”ketentuan diatas juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2)
UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa: “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana
atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Mengenai alasan mengajukan peninjauan kembali
sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dilakukan atas dasar:
42Referensi Hukum dan Politik;
52
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Terkait upaya hukum luar biasa, pengajuan peninjauan kembali, Pasal 268 ayat (3) membatasi bahwa “Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja”. Dalam hal ini, telah dilakukan
53
bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.43
Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana Antasari Azhar, yang didakwa turut serta menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu. Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Februari 2010, No perkara
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, Antasari Azhar merasa tidak pernah melakukan pembunuhan berencana terhadap
Nasruddin Zulkarnaen dan mengajukan Banding, Kasasi hingga PK pada tanggal 13 Februari 2011 dengan Putusan Nomor 117 PK/PID/2011 namun ditolak. Antasari Azhar
merasa hak konstitusionalnya dibatasi karena tidak bisa mengajukan upaya hukum lain sebagaimana Pasal 268 ayat
(3) KUHAP yang menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali
saja”. Oleh karena itu Antasari dan keluarga mengajukan uji
materiil ke MK dengan Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan44.
43 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 245
54
Adapun yang menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP) 45
antara lain yaitu :
1. Dengan dalih keadilan, MK membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu
kali;
2. MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara
historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana;
3. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang
membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya PK
dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan; 4. Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah
sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait
45
55
kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP;
5. Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang
demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. MK menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya
pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian
hukum.
Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 34/PUU-XI/2013, dalam Pasal 268 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah tentu
menimbulkan dampak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yakni khususnya pada upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengikat dan
56
dilakukan berkali-kali.46 Dalam perkembangannya di penghujung Tahun 2014, Mahkamah Agung (MA) membuat
terobosan baru terkait dengan Permohonon Pengajuan Kembali dalam Perkara Pidana. Terobosan tersebut dibuat
dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014.47
Diterbitkannya SEMA ini, telah menegaskan sikap
dan pendirian Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan (pidana) dibawahnya, yaitu bahwa permohonan peninjauan
kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali saja. Nampaknya Mahkamah Agung berpegangan pada asas kepastian hukum (rechtzakerheid) dan asas bahwa setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet). Lahirnya SEMA No. 7 Tahun 2014 ini kemudian menuai pro dan
kontra baik didalam (sebagian) internal MA maupun dari kalangan di luar MA. Diluar MA, beberapa ahli hukum tata Negara berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 34/PUU-XI/2013, yang telah menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tentang aturan PK atas perkara pidana
46 Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana normatif, teoritis, praktik dan
permasalahannya, Bandung:Alumni, 2007, hal. 277
47
57
hanya satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.48 Selain itu permasalahan mengenai pihak yang
berhak mengajukan Peninjaun kembali juga menjadi permasalahan. Seperti yang sudah tertuang dalam Pasal 263
ayat (1) disebutkan baha pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Namun dalam perkembangannya Jaksa pun dapat mengajukan
Peninjauan kembali.
Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa dan
kemudian diterima oleh Mahkamah Agung, diyakini telah merusak tatanan hukum Indonesia hingga kini. Rumusan dan latar belakang historis KUHAP sudah jelas bahwa Peninjauan
Kembali mestinya merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima
PK oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan dan beberapa perkara sesudahnya. Mantan Hakim Agung Laica Marzuki berpendapat bahwa putusan PK dalam kasus Muchtar
termasuk kasus lain seperti Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin dimana PK diajukan oleh jaksa, bisa saja merupakan
kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling). Langkah jaksa
48 Albert Aries,Menguji Efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014 ,
58
semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP. Menurut dia, langkah jaksa itu merupakan
kesewenang-wenangan hukum.49 Sehingga jika Mahkamah Agung mengabulkan PK oleh jaksa, maka terpidana atau ahli
warisnya pun berhak untuk mengajukan PK. Alhasil, muncullah PK di atas PK atau PK kedua. Solusinya adalah PK atas PK.50
D.
Fenomena Deret Kematian (
Death Row Phenomenon
)
Penundaan eksekusi yang berlarut-larut oleh Negara terhadap para narapindana mati sering disebut sebagai Fenomena Deret
Kematian. Fenomena ini seringkali terjadi di negara yang masih mempraktekkan hukuman mati dan dipandang sebagai pelanggaran
konstitusi di berbagai Negara.51 Dalam praktiknya kemudian setiap kasus dimana eksekusi dilaksanakan setelah 5 (lima) tahun penjatuhan pidana dan belum dilakukan eksekusi, dimungkinkan
adanya dasar yang kuat dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan
49
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22482/pk-oleh-jaksa-rusak-tatanan-hukum-indonesia, diaskes 3 Agustus 2016
50 ibid
51
59
martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman or degrading punishment or other treatment).52
Fenomena penungguan eksekusi pidana mati dalam literatur Barat ditulis sebagai wujud penderitaan para terpidana mati yang
disebabkan masa penantian yang panjang serta praktik isolasi yang dikenakan terhadap mereka sejak hakim menjatuhkan hukuman mati hingga hari eksekusi. Kalangan yang anti hukuman mati menganggap
fenomena tersebut sebagai penzaliman ganda oleh negara. Pasalnya, setelah hakim memutuskan terdakwa diganjar hukuman mati,
penghukuman terhadap terpidana justru sudah berlangsung akibat kepastian nasib bahwa dia akan dimatikan, namun tanpa kepastian kapan eksekusi dilaksanakan. Prosesi kematian seakan bukan lagi
misteri dan masa tunggu menjelang prosesi itu diselenggarakan bisa mencapai bilangan puluhan tahun.53
Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon) merupakan kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat terpidana menunggu eksekusi mati yang menghasilkan trauma mental
yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Fenomena ini didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan
kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan
52
ibid
60
lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan terisolasi dari orang lain.54 Dalam konteks itu, korban eksekusi
pidana mati sesungguhnya tidak hanya mengalami satu bentuk hukuman berupa hukuman mati, tetapi juga menjalani hukuman lain
berupa hukuman penjara. Disini, para korban sesungguhnya mendapatkan hukuman ganda dan berlipat, yakni hukuman mati plus hukuman penjara. Tak hanya itu, para terpidana mati juga mengalami
penyiksaan sebagai akibat dari fenomena deret kematian. Persoalan ini memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi mereka. Setiap
waktu mereka dihadapkan pada penantian kematian yang tidak pasti. Setiap pagi dan setiap malam para terpidana mati membayangkan peristiwa kematian dan hal itu tentunya jadi bentuk penyiksaan
tersendiri. Kondisi ini mereka alami bertahun-tahun. Meski sejumlah terpidana mati telah menyesali kesalahannya pada masa lalu dan
menunjukkan perbaikan diri, hal itu tidak dijadikan dasar pertimbangan untuk mengubah hukumannya.55
Dalam kasus Soering v. United Kingdom, European Court of Human Rights juga menemukan fakta bahwa applicant akan menghadapi praktik apa yang disebut sebagai fenomena deret
54http://icjr.or.id/hukuman-mati-dalam-r-kuhp-jalan-tengah-yang-meragukan,
diakses 18 april 2016
55Todung Mulya Lubis, Rumah Opini : Deret Kematian, Kompas, 21 Juni 2013
61
kematian (death row phenomenon). Di Negara Bagian Virginia para terpidana kasus hukuman mati harus menunggu tujuh hingga delapan
tahun setelah jatuhnya putusan pengadilan untuk kemudian dieksekusi. Berangkat dari hal itu, European Court of Human Rights
kemudian mempertimbangkan pula soal keadaan penjara (prison condition), usia (age) dan keadaan mental (mental status) dari
applicant. Sehingga hal itu melanggar Pasal 3 Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (Konvensi bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Fundamental) yang berbunyi: “Tidak seorang pun boleh dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi atau hukuman yang merendahkan martabat”.
E.
Pandangan Hukum Tentang Waktu Tunggu Eksekusi
Pidana Mati.
Berbicara mengenai waktu tunggu eksekusi pidana mati tentu tidak
terlepas dari pandangan-pandangan hukum di dunia, khususnya di Indonesia dan beberapa negara Eropa, antara lain :
1. Indonesia
Problematika di Indonesia saat ini mengenai eksekusi pidana mati yang berlarut-larut sedang mendapat perhatian
62
menentukan mengenai kapan waktu eksekusi pidana mati setelah adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan
hukum tetap, menurut Heri Aryanto, dalam artikel Apakah Polisi Bisa Menembak Mati Orang yang Diduga Perampok/Teroris 56 antara lain;
a) Bahwa dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila
belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut belum bisa dilaksanakan;
b) Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi
(pengampunan) kepada presiden berupa permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur
dalam UU No. 22 Tahun 2002 Jo UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi. Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati,
pelaksanaan pidana mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda
56
63
sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan
grasi dari terpidana tersebut.
Serupa dengan penjelasan Heri Aryanto, Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko dalam artikel Penundaan Eksekusi Hukuman Mati Diduga Disengaja yang mengakui adanya kendala untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut. Menurut Agung, hal itu berhubungan dengan kesempatan yang diberikan
terkait upaya-upaya hukum lanjutan dari para terpidana. Seorang terpidana mati yang menjelang eksekusinya tiba-tiba mengajukan
PK (Peninjauan Kembali) itu mau tidak mau harus diakomodir sehingga mengakibatkan mundurnya proses eksekusi.57 Bagi beberapa pihak, penundaan eksekusi mati sampai waktu yang
tidak dapat ditentukan akibat tidak jelasnya dasar hukum mengenai waktu eksekusi mati justru dipandang sebagai
pelanggaran HAM.
Menurut Sahetapy, Pelaksanaan pidana mati yang ditunda-tunda tanpa alasan jelas batas waktu yang tegas
sesungguhnya suatu bentuk pemidanaan pula meskipun tidak dalam arti yuridis. Dalam jargon dewasa ini, hal tersebut
merupakan semacam pelanggaran hak asasi manusia, yaitu
64
membiarkan yang bersangkutan menderita tanpa mengetahui batas akhir waktu penderitaan. 58 Hal serupa juga dikatakan oleh
Al Araf mewakili Koalisi Hapuskan Hukuman Mati (HATI) yang mengatakan bahwa Penundaan eksekusi tersebut
mengakibatkan terpidana menerima 3 (tiga) hukuman sekaligus yaitu hukuman penjara, penyiksaan psikis lantaran ketidakpastian kapan akan dieksekusi dan eksekusi mati itu sendiri dimana
proses eksekusi mati ini merupakan tindakan yang jauh dari rasa keadilan dan rasa kemanusiaan. Al Araf juga mendesak agar
mereka yang sudah menjalani tahanan lebih dari 5 (lima) tahun tidak usah dieksekusi dan diubah menjadi seumur hidup.59 Menunda adalah menghukum orang dua kali setelah divonis,
diberi harapan tetapi tetap dihukum mati, itu lebih kejam.
2. Beberapa Negara Eropa
Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon)telah menjadi salah satu dari isu yang mengkhawatirkan bagi badan-badan adjudikatif hak asasi manusia internasional. Dalam hal ini,
European Court of Human Right telah mengambil sikap yang cepat untuk mengkritiknya. Tetapi disisi lain, UN Human Right
58
J.E.Sahetapy, Op. Cit., hal. 77
65
Committee mengambil sikap yang berbeda. Terhadap hukuman mati sendri, Committee memegang pandangan yang sama dengan
European Court bahwa hukuman mati tidak dapat disebut
“kejam” dan melanggar Pasal 7 dari ICCPR, tepatnya karena itu
diperbolehkan sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berbunyi : “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini
wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”.
Sedangkan mengenai death row phenomenon, menurut
UN Human right committee, penundaan dalam pelaksanaan hukuman mati tidak dapat dianggap sebagai hukuman yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Sebab itu lebih baik bagi terpidana hukuman mati untuk sebisa
mungkin memperoleh lebih banyak waktu sebelum dieksekusi. Pendapat serupa juga dapat dilihat dari sikap special Rapporteur
yang selalu ragu untuk menyatakan bahwa “death row phenomenon” bertentangan dengan norma internasional, karena
ini dapat mendorong pemerintah untuk melaksanakan eksekusi
lebih cepat.60
66
Dalam kasus Pratt v. Attorney General for Jamaica, the Lordships of Privy Council yang merupakan pengadilan tertinggi bagi negara- negara Persemakmuran Inggris, menginterpretasikan
section 17 (1) dari Konstitusi Jamaika. The Lordships
menemukan bahwa penundaan selama 14 tahun dalam deret kematian merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Didalam keputusan tersebut, the Lordships juga menyatakan bahwa setiap kasus dimana eksekusi dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah penjatuhan hukuman, dimungkinkan adanya dasar yang kuat
(strong grounds) dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman or degrading punishment or other treatment). Terlebih, dalam kasus Catholic Commission for Justice and Peace in Zimbabwe v. Attorney General, Mahkamah Agung Zimbabwe mengiterpretasikan section 15 (1) dari Zimbabwe Constitution
perihal penundaan yang lama (prolonged delay) selama 72 bulan
dan hidup dalam kondisi buruk (harsh conditions). Oleh karena itu, Mahkamah Agung Zimbabwe menjatuhkan putusan bahwa
67
manusiawi sebagaimana diatur dalam section 15 (1) Konstitusi Zimbabwe. 61
Hukuman mati narapidana di AS biasanya akan menghabiskan setidaknya 10 tahun menunggu eksekusi, dengan
beberapa terpidana menunggu lebih dari 20 tahun. sementara itu dikatakan membuat mereka sendiri mengalami banyak penundaan yang disebabkan oleh upaya banding yang melelahkan
mereka sendiri. Mahkamah Agung California menyatakan bahwa: Kekejaman hukuman mati tidak hanya terletak pada eksekusi dan rasa sakit dari insiden tersebut, tetapi juga dalam efek manusiawi dari lamanya hukuman penjara sebelum eksekusi selama prosedur peradilan dan administrasi penting untuk proses hukum dilakukan. Penologists dan ahli medis setuju bahwa proses melaksanakan vonis kematian sering begitu merendahkan dan brutal terhadap jiwa manusia yang membentuk penyiksaan psikologis.62
Sebuah doktrin hukum baru yang muncul untuk orang yang menentang legitimasi model hukuman. Alih-alih serangan langsung, yang sebagian besar tidak berhasil dinegara-negara
yang mempertahankan hukuman mati, tahanan menggunakan serangan argumen berdasarkan doktrin fenomena hukuman mati.
Argumen dasarnya adalah bahwa eksekusi setelah penundaan
61
www .elsam.or.id/downloads/710098 Analisis_Dokumentasi _Hak _ASASI_Manusia_ Edisi_Nov-Des_2014.pdf diakses 2 Juni 2016
62
death row phenomenon, death Row syndrome and their affect on Capital
68
yang panjang dibawah kondisi hukuman mati yang keras merupakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Ini bukan
hukuman mati yang sedang ditantang, tetapi pelaksanaan hukuman mati setelah menyiksa dalam jangka waktu penundaan
yang begitu lama yang dipermasalahkan63.
Secara perlahan para tahanan meyakinkan diberbagai pengadilan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan tanpa
penderitaan yang tidak semestinya dan penundaan yang berkepanjangan. Fenomena hukuman mati telah secara eksplisit
telah diakui sebagai pelanggaran manusia hak di beberapa pengadilan internasional dan domestik. Pengadilan yang menolak untuk mengadopsi doktrin, khususnya Amerika Serikat,
menunjukkan fakta bahwa tahanan sendiri biasanya menjalani penundaan dengan mengejar banding 64.
F.
Konsep Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran HAM
1. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat
didalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara
63 Does the death row phenomenon violate a prisoner‟s human right under
international law http://www.ejil.org/pdfs/11/4/556.pdf diakses 8 Juni 2016
69
merdeka dalam komunitas masyarakat.65 Sifat hakiki dan kodrati HAM yang melekat pada diri setiap orang tidak dapat dicabut
atau dihapuskan oleh siapapun termasuk negara. Menghapus dan mencabut HAM sama artinya menghilangkan eksistensi manusia
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.66
Secara umum HAM adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia.67 Dalam UU No.39 Tahun 1999
Pasal 1 angka 1 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 68
Secara spesifik, dalam pasal-pasal DUHAM termuat beberapa kategori hak: pertama, hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi
individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni hak pribadi dan individu. Hak yang dimaksud antara lain:
Pengakuan atas martabat (Pasal 1); perlindungan dari tindakan
65 Ruslan Renggong, HukumAcara PIDANA; Memahami perlindungan HAM dalam
proses penahanan di Indonesia, cet.ke-1, Edisi Revisi, Kencana,Jakarta, 2014, hal.1
66
ibid
70
diskriminasi, atas dasar apapun (Pasal 2); jaminan atas kebutuhan (Pasal 3); terhindar dari perbudakan (Pasal 4); perlindungan atas
tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan (Pasal 5); kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga negara
(Pasal 15). Hak-hak ini bersifat sangat umum tentang apa yang seharusnya diperoleh manusia. Kedua, hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari system hukum yang ada.
Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan sistem hukum pada manusia. Hak yang dimaksud antara lain :
persamaan di hadapan hukum (Pasal 6); tidak diperlakukan secara sewenang-wenang (Pasal 9); memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10), dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal
11); tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh negara (Pasal 12). Ketiga, Hak yang memungkinkan individu untuk turut
ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain : hak kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18); hak menyatakan
71
dimaksud antara lain : mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat social lainnya (Pasal 22-25);
hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan (Pasal 26-29).69
Menurut Darji Darmodiharjo, dalam buku A. Masyur Effendi menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya menurut
Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya,
adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut
eksistensinya sebagai manusia akan hilang.70 Senada dengan pengertian diatas adalah pernyataan awal Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikemukakan oleh John Locke, bahwa :
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersikap kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun didunia yang dapat mencabut hak asasi
69 M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia,
Jatim:UNISDAL, 2005, hal.,34-35
70 A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
72
setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.71
Oleh karena itu, menelaah HAM, menurut Todung Mulya Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh
mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan72. Siapapun manusianya berhak memiliki hak
tersebut. Artinya, disamping keabsahannya terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami, dan bertanggung
jawab untuk memeliharanya. Adanya hak pada seseorang berarti
bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka
kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan
“keistimewaan” yang dimilikinya. Juga, adanya suatu kewajiban
pada seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap
yang sesuai dengan “keistimewaan” yang ada pada orang lain.73
Lebih lanjut Howard juga mengatakan bahwa : “Hak asasi
manusia mutlak diperlukan dunia modern, dimana pun orang tinggal, dan apa pun nilai-nilai pribadinya. Hak asasi manusia, pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi individu terhadap
71 Ibid.,hal 148 72
Majda El-Muhtai, HAM dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2002
73
Negara dan semua kekuatan kursifnya yang menyelinap
kemana-mana, yang biasa dilakukan banyak Negara modern”. 74
Membicarakan HAM berarti berpatokan pada konteksnya, dalam arti objek pembicaraan harus diletakkan pada
kerangka filosofis dan historis kemunculan HAM itu sendiri. Secara Filosofis, HAM dimaksudkan untuk melindungi individu sebagai manusia dari tindakan sewenang-wenang pihak
penguasa. Kemudian, secara historis kemunculan HAM merupakan akibat dari tindakan sewenang-wenang dari pihak
yang berkuasa terhadap individu. Dua factor tersebut dapat
dikatakan sebagai “benang merah” HAM dan tanpa
memperhatikan kedua faktor tersebut maka tidak akan ditemukan
hakikat yang sebenarnya dari HAM. 75
Dalam perkembangannya, konsepsi HAM dipengaruhi
oleh beberapa factor lainnya yang kemudian terbukti “mewarnai”
HAM. Namun demikan, secara substansial ide HAM lahir dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dari penguasa, sehingga hakikat HAM dapat dikatakan sebagai perlindungan terhadap harkat dan
74 Titon Slamet Kurnia, Reparasi terhadap korban pelanggaran HAM di Indonesia,
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005, hal 8
75