• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB I"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar belakang

Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup

manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan

ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum

mengenal adanya adagium “Ubi Societas Ibi Ius”. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan

antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam

bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat

manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah

makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (Zoon Politicon).1 Dalam sistem hukum sekarang ini dapat dilihat berbagai

macam sanksi yang ada dan sebagai alat untuk menimbulkan efek

jera bagi setiap orang yang melakukan tindak kejahatan atau

pencegahan setiap orang ingin melakukan kejahatan dan bentuk

sanksi yang paling berat yang bisa sebagai sarana pencegahan

kejahatan adalah hukuman mati. Namun hukuman mati tidak lepas

dari pro dan kontra karena menimbulkan problema di Indonesia yang

1

(2)

2

disebabkan oleh prepensi hukuman mati dipengaruhi oleh latar

belakang budaya, pandangan hidup bangsa, dan nilai-nilai budaya

yang ada di masyarakat itu.2 Pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Dengan

dijatuhkannya pidana mati dan dilakukan eksekusi nyawa manusia

maka berakhir pula hidupnya yang merupakan hak asasinya paling

fundamental. Sedangkan yang tidak setuju dengan pidana mati

menyatakan hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia.

Sejalan dengan itu masih banyak peraturan

perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum

positif diantaranya : UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU

No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No.15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No. No.35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Secara formal, keberadaan hukuman

mati itu sendiri telah dilarang oleh Instrumen Hukum Internasional

misalnya; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The

Abolition of The Death Penalty tahun 1990 dan juga International

2 J.E.Sahetapy,suatu study khusus mengenai ancaman pidana mati,Jakarta:Rajawali

(3)

3

Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) juga secara eksplisit

mengatur tentang hukuman mati.

Persoalan pidana mati sudah berlangsung begitu lama yang

pasang surutnya selalu bersama dengan perkembangan hukum di

Indonesia. Terutama mengenai waktu tunggu eksekusi pidana mati

yang begitu lama, bahkan ada yang menunggu sampai

bertahun-tahun. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum ada ketentuan

khusus yang mengatur tentang batas waktu pelaksanaan pidana mati

yang sudah berkekuatan tetap, sehingga nasib para terpidana mati

tersebut berada ditengah ketidakpastian hukum. Seperti dalam kasus

Raheem Agbaje Salami (Jamiu Owolabi Abashin) warga negara

Nigeria misalnya, ia ditangkap pada tanggal 2 September 1998 dan

dijatuhi hukuman mati atas perkara narkoba pada tahun 1999 oleh

MA dan dieksekusi mati pada tanggal 29 April 2015.3 Demikian pula

terhadap Serge Atlaoui, warga negara Prancis yang divonis mati di

Indonesia terkait kasus pabrik ekstasi, Ia ditangkap kepolisian

Indonesia pada tahun 2005 lalu divonis di Pengadilan Negeri

Tangerang pada 2006 dan Pengadilan Tinggi Banten 2007, yang

menyatakan Atlaoui harus menjalani hukuman penjara seumur hidup.

3

https://www.amnesty.org/download/.../ASA2124342015INDONESIAN.Pdf...

(4)

4

Namun diputus hukuman mati pada tahun 2007 oleh Mahkamah

Agung. Ia mengalami penundaan hampir 8 tahun. Lalu terpidana

mati kasus narkoba Namaona Denis (atau Solomon Chibuke Okafer)

berusia 48 tahun Ketika dia dieksekusi mati. Awalnya dia dihukum

dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri

Tangerang karena mengimpor heroin ke Indonesia. Dia kemudian

dipidana dan dijatuhi hukuman mati atas kasus perdagangan narkoba

pada tahun 2001. Dia dieksekusi mati pada 18 Januari 2015.4

Kasus serupa juga terjadi pada terpidana Kusni Kasdut,

dimana dia divonis mati pada tahun 1954 namun baru dieksekusi

tahun 1980. Dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus

menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui

keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5

Maret 1970. Namun hingga 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi

dan akhirnya meninggal dunia karena sakit. Ini sesuatu yang tidak

adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati,

hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis.5

Terpidana Robot Gedek alias siswanto divonis hukuman mati pada

tanggal 27 Mei 1997 tetapi meninggal sebelum dieksekusi pada

4

http://icjr.or.id/icjr-calon-tereksekusi-mati-telah-alami-trauma-akibat-penundaan-eksekusi-yang-berkepanjangan-death-row-phenomenon ( diakses 18 April 2016)

5 http://www.academia.edu/14745606/ Kontroversi_Hukuman_Mati_Di_Indonesia

(5)

5

tanggal 26 Maret 2007. Hal ini berbanding terbalik dengan kasus

eksekusi mati lainnya, seperti kasus Tibo Cs, Amrosi cs dan kasus

terpidana mati narkoba Tran thi bich hanh yang tergolong cepat.

Padahal peraturan hukum mengenai pidana mati sama namun dalam

pelaksanaaan pidana mati tersebut ada yang tergolong cepat dan

adapula ada yang tergolong lama, sampai-sampai ada yang

menunggu lebih dari sepuluh tahun.

Dari kasus diatas dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan

eksekusi yang menunggu waktu begitu lama ini disebabkan karena

tidak adanya aturan hukum yang mengatur secara jelas tentang waktu

menyangkut upaya hukum grasi yang diajukan oleh terpidana

tersebut apakah diterima atau ditolak oleh Presiden dan juga

mengenai upaya hukum peninjauan kembali. Sebelumnya batasan

pengajuan mengenai Grasi tidak diatur secara jelas, tetapi sejak

berlakunya UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi sudah terdapat

aturan tersebut yaitu dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi :

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap 6 tetapi pasal tersebut sudah dibatalkan melalui Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015,

(6)

6

dikatakan bahwa pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan

grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No 5 Tahun

2010 ternyata potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana

khususnya terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi.

Pembatasan demikian juga menghilangkan hak Pemohon jika hendak

mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang

persyaratannya salah satunya ada novum, sedangkan ditemukannya

novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya 7. Namun demikian yang menjadi masalah dalam pembahasan penulisan ini

adalah mengenai tenggang waktu pengajuan peninjauan kembali. Hal

ini karena putusan upaya hukum peninjauan kembli sebagai upaya

hukum luar biasa dicabut terlebih dahulu dengan Putusan PK No

34/PUU-XI/2013 sebelum Grasi. Peninjauan Kembali sebagai upaya

hukum luar biasa tidak ada batas waktu yang mengatur secara jelas

dalam KUHAP dan juga belum adanya ketentuan tentang batas waktu

eksekusi setelah jaksa menerima salinan putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap .

Untuk diketahui pula aturan mengenai peninjaun kembali

yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP menyatakan :

7

(7)

7

“permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya

dapat diajukan satu kali saja”. Namun dalam perkembangannya,

pengajuan peninjauan kembali yang hanya dapat diajukan satu kali

dalam pasal tersebut telah diajukan pengujian materil di Mahkamah

Konstitusi yang diajukan oleh Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, serta

Ajeng Oktarifka Antasariputri, dimana Mahkamah Konstitusi

memberikan putusan mengabulkan permohonan tersebut

sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013

sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan Para pemohon :

1) Pasal 268 ayat (3) Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945);

2) Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.8

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan membuka

kemungkinan PK diajukan lebih dari 1 (satu) kali. Terpidana yang

(8)

8

pernah ditolak PK-nya tentu dapat lagi mengajukan PK,

kemungkinan PK yang dapat diajukan lebih dari satu kali ini malah

memperpanjang waktu tunggu eksekusinya serta bertentangan juga

dengan asas kepastian hukum. Sistem hukuman mati di Indonesia

akan dilaksanakan jika segala upaya hukum telah ditolak, namun hal

ini berbanding terbalik karena banyak terpidana yang sudah dijatuhi

hukuman mati dan segala upaya hukum telah ditolak tetapi belum

juga dieksekusi bahkan ada yang menunggu sampai bertahun-tahun

walaupun pengajuan PK seharusnya tidak menunda eksekusi.

Kemudian dalam masa tunggu tersebut ada terpidana yang

telah menunjukkan perubahan yang signifikan namun tetap

dieksekusi. Misalnya dalam kasus bali nine yaitu dua terpidana mati

asal Australia yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Dalam

mengajukan permohonan PK, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan

menitikberatkan pada perubahan sikap yang signifikan telah berubah

dalam kurun waktu 10 tahun, selain tidak pernah mengulangi

kejahatannya, mereka juga membantu petugas Lapas Krobokan

dalam menjalankan tugasnya dengan cara melakukan berbagai

kegiatan dan pelatihan kepada sesama terpidana atas inisiatif mereka

sendiri, namun Mahkmah Agung secara resmi menolak permohonan

(9)

9

Sukumaran dan Andrew Chan pada tanggal 4 Februari 2015.9 Maka upaya hukum yang dimiliki kedua terpidana kelompok Bali Nine ini

sudah tidak ada sehingga tetap harus dilakukan eksekusi mati.

Sama halnya dalam kasus yang menimpa Sumiarsih dan

Sugeng yang telah menjalani 20 tahun kehidupan penjara untuk

menanti waktu eksekusi. Selama proses penantian panjang itu mereka

menunjukkan kelakuan baik namun tidak satupun upaya negara untuk

mengurangi vonis mati mereka. Secara psikologis mereka juga telah

mengalami penderitaan yang luar biasa mengingat kemungkinan

setiap waktu mereka akan di eksekusi. Akan tetapi negara pada

akhirnya merampas nyawa mereka.10

Jika memang kendala utama penetapan waktu eksekusi pidana

mati adalah menunggu peninjauan kembali mulai dari banding,

kasasi, dan permintaan grasi, tetapi tidak perlu menunggu waktu yang

ditempuh selama ini, karena penundaan ini melanggar hak asasi

manusia. Pelanggaran hak asasi yang dimaksud adalah hak kebebasan

yaitu bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang

9

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d233ff6ffe0/pk-kedua-terpidana-kasus-bali-nine-kandas diunduh tgl 17 April 2016

10

(10)

10

kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat

kemanusiaannya.11

Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksaanaan pidana mati

diatur juga dalam Pasal 90 RUU KUHP tahun 2015 menyatakan

bahwa :

“Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati

tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena

terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah

menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan Presiden”

Sedangkan dalam Pasal 89 ayat (1) RUU KUHP juga

menyatakan bahwa Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan

masa percobaan selama 10 tahun, Jika:

a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;

b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan

untuk diperbaiki;

c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana

tidak terlalu penting; dan,

d) ada alasan yang meringankan.

11 Pasal 33 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 ttg HAM

(11)

11

Kemudian dalam Pasal 89 ayat (3) menegaskan bahwa “ Jika

terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksudkan pada

ayat (1) tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji serta

tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat

dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung”.12 Pada prinsipnya Negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam hal memberikan

perlindungan terhadap warga negaranya, apabila negara tidak

melakukan hal tersebut maka negara dapat dikatakan telah melakukan

pelanggaran hak asasi warganya. Ada beberapa kemajuan dalam

RUU ini, seperti adanya pertimbangan akhir lewat evaluasi yang

cukup lama untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana.

Namun yang menjadi pertanyaan apakah penundaan eksekusi yang

berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang

narapidana sesuai dengan hukum kontemporer.

Berkaitan dengan itu maka menurut ahli hukum pidana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satrio Mukantardjo,

bahwa :

Dalam praktek meskipun semua upaya hukum sudah ditempuh dan berkekuatan hukum tetap, aparat tidak langsung mengeksekusi. Yang menjadi masalah adalah terlampau lamanya seseorang terpidana menunggu eksekusi mati tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh birokrasi hukum yang berbelit-belit. Meskipun Mahkamah agung sudah menjatuhkan vonis mati di tingkat kasasi, pelaksanaannya

(12)

12

selalu memakan waktu lama. Masih ada upaya hukum peninjauan kembali (PK) dan grasi. Bahkan ada yang dua kali mengajukan grasi ke Presiden. Grasi ditolak bukan menjadi jaminan eksekusi segera dilaksanakan. Sehingga perlunya pembatasan masa penantian eksekusi bagi seorang terpidana mati.13

Di negara-negara bagian Amerika Serikat, penundaan pidana

mati atau moratorium dimaksudkan sebagai penundaan/penghentian

sementara waktu penjatuhan pidana mati sambil menunggu kajian

yang lebih mendalam dan tuntas mengenai pembaharuan sistem

pidana mati yang ada.14 Penundaan pidana mati ini ada yang

berdasarkan putusan Mahkamah Agung, ada yang dengan “executive

order” dari gubernur dan ada yang melalui badan legislatif. Berbeda

dengan di Amerika, penundaan pidana mati di Cina lebih merupakan

bentuk modifikasi pelaksanaan pidana (strafmodus/mode of sanction)

yang ditunda bukan penjatuhan atau penerapan pidana matinya,

melainkan pelaksanaannya sehingga lebih tepat disebut “penundaan

pelaksanaan pidana mati” atau “pidana mati tertunda” (suspended

death sentence/penalty).15

Sehingga penundaan pidana mati di Amerika dan China ini

mempunyai perbedaan. Di china lebih mempermasalahkan

pelaksanaan atau yang berhubungan dengan waktu dilakukannya

13

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10913/masa-penantian-eksekusi-mati-perlu-dibatasi , diakses tgl 3 Mei 2016.

14

Barda nawawi, kapita selekta hukum pidana cetakan ke-3, Bandung: PT citra aditya bakti, 2013, hal.227

(13)

13

eksekusi mati bukan sanksi atau hukuman matinya. Sedangkan di

Amerika lebih mempermasalahkan kearah pemberian sanksi berupa

hukuman matinya. Adanya ketentuan “pembekuan pelaksanaan

pidana mati” ini, terlihat juga dalam Resolusi Komisi HAM PBB

1999/61 yang menghimbau negara-negara yang masih

mempertahankan pidana mati untuk menetapkan “pembekuan

eksekusi pidana mati” atau a moratorium on executions, with a

view to completely abolishing the death penalty.

Dalam kasus Soering melibatkan ancaman ekstradisi dari

Inggris ke Amerika dimana individu tersebut akan dieksekusi, bukan

hukuman matinya yang dipermasalahkan oleh European Court Of

Human Right sebagai pelanggaran atas European Convention on

Human Right tetapi “death row phenomenon” yang menjadi pelanggaran, dimana terpidana harus menunggu datangnya

kematiannya selama bertahun-tahun dalam kondisi yang tersiksa,

baik secara fisik maupun psikologi.16

Eksekusi pidana mati yang terlalu lama, apalagi tidak jelas

kapan akan dilaksanakan eksekusi, pada dasarnya merupakan suatu

kekejaman tersendiri. Dimana yang bersangkutan sudah dinyatakan

oleh pengadilan bahwa ia akan dipidana mati dan semua perjuangan

16 http://repository.usu.ac.id/bitstream/.../Chapter%20III-V.pdf, diunduh 17 April

(14)

14

melalui upaya hukum yaitu banding dan kasasi serta grasi sudah

ditempuh tanpa hasil. Akan tetapi kapan akan dieksekusi atau

dijalankan pidana mati? Entahlah.17

Sebab jika terpidana mati dibiarkan tanpa kepastian dalam

tenggang waktu yang lama sekali berkaitan dengan dilaksanakan atau

tidak dieksekusi pidana mati, sesungguhnya telah direkayasa

semacam penganiayaan rohani dan penyiksaan psikis serta

penggebukan mental.18 Sehingga bukan saja yang berkaitan dengan pidana mati berpolemik dalam arti pro dan kontra sampai masa kini,

melainkan juga berkaitan dengan kapan waktunya yang tepat pidana

mati harus dilaksanakan tetap merupakan suatu problematika yang

belum dapat dipecahkan dengan memuaskan para pihak yang

berpolemik.

Suatu eksekusi pidana mati meskipun tidak diatur secara

khusus kapan dilaksanakan, berdasarkan pertimbangan bukan saja

ada kemungkinan terjadi suatu kekeliruan yuridis, melainkan perlu

waktu yang tepat dengan segala persiapan yang diperlukan dalam

rangka menjalankan eksekusi pidana mati. Pelaksanaan hukuman

mati memerlukan kehati-hatian, tetapi dalam kehati-hatian itu harus

17

J.E.Sahetapy, Pidana mati dalam negara pancasila, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007

(15)

15

tetap dibatasi waktunya sehingga tidak terlalu lama, tidak

berlarut-larut dan ada kepastian hukum.

A.

Rumusan

Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi

isu hukum dalam penulisan ini yaitu :

1. Apakah lamanya waktu tunggu pelaksanaan pidana mati dapat

digolongkan sebagai pelanggaran HAM?

2. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali potensial

memperpanjang waktu tunggu eksekusi pidana mati?

B.

Tujuan

Penelitian

Yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui waktu tunggu eksekusi pidana mati dapat

digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia

2. Untuk mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi

No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali potensial

memperpanjang waktu tunggu eksekusi pidana mati.

C.

Manfaat

Penelitian

Secara teoritis, dalam penulisan karya ilmiah ini diharapkan

(16)

16

akademika mengenai Pelanggaran HAM khususnya yang

berkaitan dengan waktu tunggu eksekusi pidana mati.

Secara praktis, memberikan masukan kepada para penegak

hukum dalam hal ini lembaga legislatif dan eksekutif agar bisa

dilakukan pembaharuan hukum terhadap peraturan mengenai

eksekusi pidana mati sehingga bisa terjaminnya asas kepastian

hukum.

D.

Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian Hukum yang dilakukan adalah Penelitian Hukum

Normatif karena penulis ingin menganalisis tentang Konsep

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam hal ini yang berkaitan

dengan waktu tunggu eksekusi pidana mati dan Putusan

Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang

permohonan pembatalan Peninjauan Kembali. Penelitian

hukum ini menggunakan pendekatan statue approach, dengan

mengkaji permasalahan dari segi hukum dan sumbernya

berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,

teori-teori hukum maupun doktrin-doktrin hukum untuk

(17)

17 2. Sumber bahan penelitian

a. Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang

terdiri dari aturan-aturan hukum di Indonesia dan

ketentuan hukum internasional, Seperti; UUD 1945, UU

No. 39 Tahun 2009 tentang HAM, UU No. 5 Tahun 2010

tentang Grasi, KUHAP, RUU KUHP, DUHAM, ICCPR

(International Covenant on Civil and Political Rights),

Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The

Abolition of The Death Penalty tahun 1990 serta Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang

permohonan pembatalan Peninjaun Kembali.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

diperoleh melalui study kepustakaan seperti buku-buku

hukum, artikel-artikel hukum dan tesis yang relevan

dengan judul tersebut.

3. Unit Pengamatan

Dalam penelitian ini unit pengamatan yang diamati yaitu

bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan

(18)

18

bahan hukum sekunder berupa jurnal hukum, buku-buku

hukum mengenai pelaksanaan pidana mati.

4. Analisis Bahan Hukum

Unit Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini adalah mendeskripsikan, interpretasi, evaluasi dan

argumentasi. Teknik deskripsi, yaitu suatu teknik analisis

dalam penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran

secara mendalam mengenai perumusan tentang waktu tunggu

pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Berkaitan dengan jenis

penelitian yang akan dilakukan maka analisa bahan hukum

yang akan dilakukan adalah menganalisis waktu tunggu

pelaksanaan pidana mati berdasarkan Putusan MK No.

34/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Upaya Hukum

Peninjauan Kembali dan juga lamanya waktu tunggu eksekusi

pidana mati terhadap pelanggaran HAM. Kemudian

dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam

penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan.

5. Keaslian Penelitian

Dalam penulisan tesis ini ditulis sendiri oleh penulis dengan

(19)

literatur-19

literatur yang dihimpun dari berbagai buku-buku hukum,

jurnal hukum, peraturan perundang-undangan serta melalui

media elektronik (internet) yang berkaitan dengan judul tesis

ini. Sebelumnya topik mengenai Eksekusi Mati juga ditulis

oleh Mahasiswa Sarjana Hukum atas nama Abraham

Jomangatas, SH, dengan judul Problematika Eksekusi Pidana

Mati dalam Hukum Acara Pidana, dimana pembahasannya

mengarah pada pengaturan eksekusi pidana mati dalam

peraturan perundang-undangan. Sedangkan penulis dalam

pembahasannya lebih mengarah pada waktu tunggu

pelaksanaan pidana mati yang dikaitkan dengan pelanggaran

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkenalkan merek clothingIndonesia. Salah satu cara

Tugas dan upaya penanggulangan politik uang ( Money politic ) oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Lampung dalam menanggulangi politik uang ( Money politic ) Pada

Echols dan Hassan Shadily adalah hak atau ijin masuk bagi pasien yang berfungsi sebagai koordinator untuk penerimaan pasien dirawat inap, baik yang berasal dari rawat

The results of this experiment using real decision makers showed that the knowledgeable group tended to use the unique information given to them to measure performance and

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana menyiarkan lagu tanpa izin pemegang hak cipta dalam Putusan Nomor:

Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa pada 20 tahun terakhir resiko kardiovaskuler meningkat dikarenakan penurunan gaya hidup pada.. sekelompok orang yang

cukup.Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan fungsi sebagaimana

Eventually, the results of the study conclude that efforts to maintain the consistency of planning and budgeting interpreted by TAPD of Probolinggo as guidance in realizing the