BAB IV
“MEWARISKAN IMAN DENGAN TELADAN”
SUATU REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP TRADISI “PIRING NAZAR”
Keluarga adalah salah satu konteks atau setting Pendidikan Agama Kristen yang perlu
diperhatikan dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-harinya, anak-anak lebih banyak
menghabiskan waktu dirumah bersama dengan anggota keluarga lainnya yang dalam hal ini
adalah orang tua. Hal ini tampak dalam alokasi waktu yang dihabiskan anak-anak pada
kenyataan yang terjadi dalam kehdiupanm sehari-hari anak dalam seminggu. Dalam satu minggu
anak memiliki waktu sebanyak 168 jam (tujuh hari x 24jam). Alokasi waktu di sekolah
dihabiskan selama 42 jam dalam seminggu (enam hari x tujuh jam pelajaran) dan waktu di gereja
dihabiskan selama dua jam dalam seminggu (pada saat anak mengikuti sekolah minggu atau
ibadah). Dengan demikian dari total 168 jam selama seminggu, anak menghabiskan banyak
waktu di rumah yakni 124 jam. Bila coba dibandingkan dengan setting pendidikan lainnya baik
itu di sekolah maupun di gereja, anak-anak lebih banyak memiliki waktu di rumah. Waktu yang
dihabiskan oleh anak-anak untuk berada di gereja dan menerima Pendidikan Agama Kristen pada
umumnya didapat hanya pada saat anak-anak mengikuti sekolah minggu dalam durasi
pendidikan agama yang mereka terima di sekolah minggu adalah kurang dari dua jam, dan dapat
dikatakan bahwa pendidikan yang diterima di gereja (sekolah minggu) sering tidak tepat sasaran
karena pada kebaktian dan pengajaran yang diberikan kadang-kadang tidak sesuai dengan
kebutuhan anak-anak. Di hari-hari lainnya pada umumnya gereja tidak menyediakan waktu atau
sarana serta tenaga pengajar untuk memberikan Pendidikan Agama Kristen kepada anak-anak
Kristen selama dua sampai tiga jam pelajaran dalam seminggu dari total waktu 42 jam anak
berada di sekolah.
Setelah melihat kenyataan seperti ini maka, keluarga Kristen harus sadar bahwa waktu
bermakna yang dihabiskan oleh anak-anak adalah bersama-sama dengan orang tuanya di rumah,
dengan demikian jumlah interaksi paling banyak yang dilakukan oleh anak terjadi dilingkungan
yang disebut dengan keluarga. Menurut Thompson keluarga merupakan pusat pembentukan
rohani secara primer1 atau sebagai dasar dari terbentuknya masyarakat2 oleh sebab itu pendidikan
agama dalam keluarga sangatlah penting dan perlu menjadi perhatian orang tua.
Dalam kehidupan berkeluarga ada banyak hal yang bisa dibagikan orang tua kepada
anak-anaknya baik melalui ucapan maupun tindakan. Seringkali hal-hal yang dibagikan atau
yang diturunkan orang tua kepada adalah berupa bakat atau keahlian. Orang mengatakan bakat
yang dimiliki berasal dari ayahnya ataupun kemampuan yang dimiliki adalah turunan dari ibu.
Selain menurunkan atau mewariskan segala bakat atau kemampuan dari orang tua kepada
anak-anak, orang tua juga harus mengerti bahwa ada beberapa hal lain yang perlu diturunkan dan jauh
lebih penting menurut penelitian ini yaitu menurunkan warisan iman. Sebagai keluarga dan
orang tua Kristen, kiranya perlu dikembangkan kesadaran dalam membimbing anak-anak dalam
memahami apa arti dari memiliki Iman Kristen atau apa arti dari menjadi seorang Kristen.
Contoh kehidupan berkeluarga yang menurunkan warisan iman diantara anggota keluarga
dapat dipelajari dari dua tokoh dalam Perjanjian Lama dan juga dalam Perjanjian Baru. Contoh
kehidupan Kristen dalam Perjanjian Lama adalah melihat kisah hidup dari Mikha dan Ibunya
dalam teks Hakim-Hakim 17: 1-6. Berdasarkan pembagian kitab Hakim-Hakim, maka kitab ini
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pasal 1-16 adalah bagian yang menceritakan
1
Thompson, Keluarga Sebgai Pusat Pembentukan, 12. 2
suatu kehidupan yang baik, hidup yang tenang dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Bagian yang
kedua dari pasal 17-21 adalah contoh kehidupan Israel yang tidak berkenan dihadapan Tuhan.
Kehidupan yang menggambarkan penyembahan berhala, pengkhianatan, dosa seksual, perang
saudara dan kekerasan, hal ini menunjukkan suatu situasi yang sangat buruk. Manusia seringkali
bertindak sesuai dengan apa yang menjadi kehendak mereka bukan kehendak Allah lagi.
Perbuatan Mikha juga turut mencerminkan perbuatan Israel yang jahat dan tidak taat
dihadapan Allah. Hal ini dapat terlihat dari penjelasan pada ayat yang pertama bahawa Mikha
adalah seorang yang berasal dari Pegunungan Efrayim. Pegunungan Efrayim terletak diantara
Arimatea dan Yeriko yang menandakan bahwa Efrayim ada di wilayah Israel. Keterpurukan ini
semakin diperparah dengan hilangnya seorang pemimpin yang telah berhasil membawa mereka
masuk ke dalam tanah perjanjian. Dibawah pimpinan Yosua bangsa Israel berhasil memasuki
tanah Kanaan yang adalah tanah perjanjian, namun setelah Yosua meninggal tidak ada lagi
pemimpin yang menggantikannya dan secara otomatis tidak ada lagi orang yang mengatur
kehidupan Israel.
Pemimpin yang dapat dikaitkan dengan tujuan dari tulisan ini adalah bukan saja
pemimpin negara atau suatu pemerintahan namun, tidak adanya pemimpin dalam keluarga yang
bisa mengajarakan tujuan, nilai-nilai dan norma yang baik. Nilai-nilai baik dalam keluarga, yang
dimaksudkan adalah adalah nilai-nilai Kristiani. Dalam bacaan terlihat bahwa Mikha dan Ibunya
dalah keluarga. Pada suatu hari Mikha datang kepada ibunya kemudian mengungkapkan bahwa
ia telah melakukan pencurian dengan mengambil uang milik ibunya. Reaksi yang dilakukan oleh
ibu Mikha adalah memberi perintah kepada Mikha untuk membuat patung penyembahan dari
uang tersebut. Lewat reaksi tersebut, terlihatlah bahwa Mikha dan ibunya bukanlah contoh
Ibunya justru mengajarkan hal yang bertentangan dengan 10 perintah Allah yang diterima oleh
Musa.
Contoh lain yang memberikan pelajaran positif berkaitan dengan pengajaran agama
adalah dari kisah kehidupan Maria dan Yusuf dalam Lukas 2:41-42; 51-52. Ayat ini merupakan
ayat yang sederhana tetapi perlu untuk dimengerti dengan baik. Boland3 dan Leks4 sama-sama
melihat ayat yang 41 sebagai suatu penjelasan bahwa sudah merupakan suatu ketetapan atau
suatu hukum Yahudi bahwa laki-laki yang dewasa harus pergi tiga kali setahun ke Yerusalem
untuk ikut serta dalam tiga perayaan besar. Kaum perempuan dan anak-anak tidak diwajibkan
untuk ikut dalam perayaan tersebut. Hari raya Paskah pada saat itu diperingati sebagai hari
keluarnya Israel dari Mesir, sebagai suatu aspek penting dalam agama Israel.
Ada satu hal yang menarik dari ayat yang ke -42. Dalam bagian ini ditemukan bagaimana
cara Yusuf mendidik anaknya yakni Tuhan Yesus untuk taat pada aturan keagamaan. Boland
menjelaskan lebih dalam lagi bahwa ada suatu kesengajaan yang dilakukan oleh Yusuf dengan
mengajak serta Tuhan Yesus ke acara paskah tersebut. Pada saat seorang anak berumur 12 tahun,
belum bisa dikatakan sebagai seorang dewasa. Pada saat itu anak-anak perlu untuk mencapai
umur 13 tahun agar bisa dianggap dewasa. Pada saat berumur 13 tahun anak tersebut akan
disebut sebagai “anak taurat5”. Ada alasan yang membuat Yusuf membawa Tuhan Yesus beserta
dengannya, yakni Yusuf ingin mendidik dan menunjukkan langsung kepada Tuhan Yesus
bagaimana cara seorang Yahudi menjalankan atau melakukan perayaan Paskah, sehingga ketika
nanti Ia berusia 13 tahun, Ia sudah mengerti bagaimana melakukan perayaan tersebut karena
didikan yang diterima dari Ayahnya. Ada warisan iman yang diterima Tuhan Yesus dari Yusuf
3
B.J Boland. Tafsir Alkitab Injil Lukas (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), 73. 4
Stefan Leks. Tafsir Injil Lukas (Jogjakarta : Kansisius, 2002), 101. 5
yaitu dengan pemahaman yang baik tentang perayaan Paskah menurut aturan dan
ketetapan-ketetapan orang Yahudi.
Ayat 51 dan 52 menjelaskan tentang asuhan yang diberikan oleh Yusuf dan Maria kepada
Tuhan Yesus sebagai “anak jasmani” mereka, dan hasil dari didikan serta asuhan yang diberikan
Maria dan Yusuf. Pada ayat ke -51 dijelaskan bahwa Tuhan Yesus pulang dan tetap hidup dalam
asuhan mereka (Yusuf dan Maria). Pada ayat ini Leks ingin menunjukkan bahwa sebagai putra
Bapa, Tuhan Yesus selalu melakukan hal-hal yang baik, namun sebagai anak Yosef dan Maria
Tuhan Yesus adalah anak yang taat6 sementara itu Boland melihat ayat ini bahwa Tuhan Yesus
menghormati Maria dan Yusuf dengan rendah hati sebagai orang tuanya, sesuai dengan hukum
taurat yang kelima7. Pada akhirnya di ayat 52 dikisahkan bahwa Tuhan Yesus tumbuh menjadi
seseorang yang berhikmat dan makin dikasihi oleh Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa hasil dari
teladan serta asuhan yang diberikan oleh Yusuf dan Maria, menjadikan Tuhan Yesus tumbuh
sebagai anak yang baik.
Dalam kehidupan yang majemuk di Indonesia ini pada saat ini, dengan berbagai bentuk
keanekaragaman budaya, maka dengan kreatifitas yang miliki, para pendidik PAK dapat
memanfaatkan kebudayaan tersebut sebagai cara untuk memberikan contoh ataupun teladan yang
baik seperti apa yang dilakukan oleh Yusuf.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh keluarga sebagai kelompok atau organisasi
terkecil dalam masyarakat, sekaligus juga sebagai salah satu setting dalam pelaksanaan
Pendidikan Agama Kristen. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan
kekayaan budaya di Ambon, yakni “Piring Nazar”. Melalui tradisi “Piring Nazar” anak dan
orang tua dapat berkumpul bersama dan bersama-sama saling memperhatikan, peduli dan
6
Leks, Tafsir Injil Lukas, 105. 7
mendoakan berbagai pergumulan hidup masing-masing anggota keluarga. Hubungan antara anak
dan orang tua menjadi lebih terjaga dengan berdoa bersama. Lebih dari pada kebersamaan ada
juga warisan iman yang dapat diturunkan dari orang tua kepada anak-anak lewat sikap dan
tindakan orang tua yang bisa diteladani. Warisan iman lewat keteladanan dalam ritual “Piring
Nazar” yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya adalah suatu pengertian tentang hal
berdoa, hal mempersembahkan dan juga tentang penyerahan diri kepada Tuhan.
Jelas dalam keluarga kita, ternyata anak tidak hanya belajar dari apa yang diucapkan atau
yang diperintah oleh kedua orangtuanya. Tetapi anak lebih banyak belajar dari apa yang
dilakukan dan kebiasaan kedua orangtuanya setiap hari. Kita tidak bisa mengharapkan anak-anak
menjadi seorang seniman apabila ia besar dalam sebuah bengkel mobil. Besarkanlah seorang
anak yang ingin menjadi seniman dalam ruangan yang penuh dengan kanvas dan cat, karena