BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi intermediasi keuangan perbankan memberikan pengaruh kepada stabilitas perekonomian secara global. Apabila bank mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya akan memberikan dampak pada likuiditas bank itu sendiri.
Likuiditas bank akan terganggu apabila bank tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Penyebab berkurangnya likuiditas bank dapat dipicu oleh faktor tingginya rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL).
Berlanjutnya masalah ini akan menimbulkan masalah insolvency yang akan merusak modal pemegang saham dan nasabah, karena secara alamiah bank
memiliki rasio utang yang cukup tinggi terhadap modal.
Selain rusaknya modal pemegang saham, rusaknya kepercayaan nasabah
juga akan ditimbulkan dari masalah likuiditas bank. Sejatinya kepercayaan nasabah menjadi hal yang harus dijaga oleh pihak bank jika dilihat dari fungsi bank menurut Undang-Undang No 10 Tahun 1998. Hal senada juga diungkapkan
Mantan Wakil Presiden RI Boediono, “ jika berkaca pada krisis tahun 1997-1998, ketidakpercayaan dari masyarakat menjadi penyebab beberapa bank bangkrut”
(infobanknews, 2015)
lemah menjadi faktor yang meruntuhkan sistem perbankan indonesia pada tahun 1998. Hal ini diawali dari deregulasi perbankan yang mengeluarkan Pakto 1988,
yang memberi kemudahan untuk pengusaha membuka bank dengan modal yang rendah. Akibatnya jumlah bank diindonesia meningkat dengan pesat. Sebelum
Pakto 88 jumlah bank hanya 70 unit dengan kantor cabang 1.863, namun setelah keluarnya Pakto88 jumlah bank di Indonesia meningkat menjadi 238 unit dengan 7.775 kantor cabang. Deregulasi Pakto88 menyebabkan bank tidak hati-hati dalam
menyalurkan kredit dan tidak memperhatikan batas maksimum pemberian kredit. Imbasnya timbul gejolak financial yang meruntuhkan perbankan indonesia.
Bank memerlukan manajemen modal yang baik agar terhindar dari kebankrutan. Jika perpatokan dari krisis 1988 kurangnya Capital menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hancurnya dunia perbankan. Rendahnya serta tidak
ada ketegasan regulasi tentang minimum Capital requirements yang ditetapkan untuk bank menjadi bahan evaluasi bagi regulator dalam memperbaiki dunia
perbankan. Capital Requirements merupakan persyaratan modal bank yang ditetapkan oleh regulator yang berfungsi sebagai menyerap kerugian yang timbul dari aktivitas perbankan.
Penetapan minimum Capital Requirements untuk perbankan dibutuhkan jika dilihat dari sisi balance sheet antara perusahaan perbankan dan perusahaan
umum dimana terdapat perbedaan antara keduanya. Perbedaan dasar dari balance sheet perusahaan bank terdapat pada Capital. Capital pada bank hanya mewakili sebagian kecil dari aset, sebaliknya bagian untuk kewajiban aset cukup besar, hal
luar yaitu para nasabah. Disisi lain aset bank terdapat pada kredit yang diberikan. Hal ini yang menyebabkan bank lebih rentan akan risiko dibanding dengan
perusahaan umum.
Minimum Capital Requirements untuk bank, telah mendapat perhatian
sejak tahun 1970. Pada tahun tersebut terjadinya penurunan yang signifikan pada kecukupan modal bank dan banyak bank yang mengalami kondisi failure serta adanya ganguan mata uang di pasar internasional. Hal ini menjadi perhatian
khusus bagi para regulator dan menjadi faktor yang mendorong regulator untuk meningkatkan standar modal pada bank.
Pada tahun 1988 negara yang tergabung dalam G-10 meluncurkan sebuah aturan tentang minimum Capital Requirements. Kesepakatan ini disebut dengan Basle Accord. Implikasi dari Basle Accord ini telah diterapkan di berbagai negara
didunia. Namun seiring dengan perkembangan dunia perbankan Basle Accord kerap mendapat kritikan karena Basle Accord hanya mencakup risiko kredit dan
keterkaitan antara risiko dan modal secara kasar atau kurang sensitif. Pada tahun 1999 Committee Basle menyempurnakan kerangka permodalan dan manajemen risiko sebagai kritik dari Basle Accord yang disebut dengan basel II. Hal ini
bertujuan untuk menjaga keamanan dan stabilitas sistem keuangan. Basel II memberikan standar minimum Capital Requirements yang berlandaskan pada
agar frame work Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi dalam perkembangan manajemen risiko.
Bank merupakan perusahaan yang identik dengan risiko. Menanggapi hal ini Basel II berupaya untuk merangkum semua risiko yang dimiliki oleh bank dalam satu kerangka Capital Requirements yang lebih luas. Hal ini bertujuan agar
lembaga perbankan dapat lebih memaksimalkan portofolio aset mereka. Risiko utama yang dekat dengan perbankan adalah risiko pasar yaitu risiko yang timbul
akibat menurunnya nilai suatu investasi karena adanya pergerakan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pasar. Risiko kredit merupakan risiko yang terjadi
akibat kegagalan dari pihak counterparty untuk memenuhi kewajibannya. Risiko operasional yang didefinisikan sebagai suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh kegagalan proses internal dan sistem perbankan, serta risiko lainnya.
Di Indonesia minimum capital requirements tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) NOMOR 15/ 12 /PBI/2013, yang menyebutkan Bank
wajib menyediakan modal minimum sesuai dengan profil risiko. Dimana penyediaan modal minimum dihitung menggunakan rasio kewajiban penyediaan Modal Minimum (KPMM). Penyediaan modal minimum yang dimaksud
ditetapkan paling rendah adalah 8% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Hal ini disesuaikan dengan risiko yang dihadapi oleh bank.
manajemen risiko dengan mengeluarkan PBI No.11/25/PBI/2009 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
Pengaturan manajemen modal bank bukanlah hal yang mudah karena hal ini bersangkutan dengan keamanan dan kepercayaan para deposan. Deposan dan pengawas bank mengharapkan minimum capital requirements yang tinggi sebagai
perlindungan terhadap risiko bisnis bank. Tetapi dari sisi pemilik dan manajemen bank mengharapkan sedikitnya modal yang berasal dari pemegang saham yang
digunakan dalam operasi perbankan. Ini dimaksudkan agar bank memperoleh pendapatan leverage yang tinggi dari penggunaaan dana simpanan para nasabah.
Menurut Kim dan Santomero (1988) dan Koehn dan Santomero (1980) bahwa, Capital Requirements yang seragam merupakan cara yang kurang efektif untuk mengontrol probabilitas kebankrutan. Dengan alasan bahwa Capital
Requirements yang lebih ketat dapat menyebabkan peningkatan pengambilan aset
berisiko oleh bank. Hal ini dikarenakan oleh asumsi yang menyebutkan bahwa
Capital merupakan sumber daya yang relatif mahal dan capital requirements dianggap dapat mengurangi pengembalian yang diharapkan oleh bank. Dan untuk memaksimalkan profit, bank mencoba meningkatkan leverage keuangan atau
mengambil risiko bisnis yang tinggi. Hal ini justru berpotensi meningkatkan risiko kegagalan pada bank. Namun rasio modal dapat menjadi efektif untuk
Sejalan dengan pendapat Kim dan Santomero (1988) dan Koehn dan Santomero (1980). Rochet,JC (1992) mengungkapkan bahwa, peraturan modal
adalah instrumen yang lemah dalam mengendalikan risiko dan relatif tidak efisien dalam mengurangi kegagalan bank jika tujuan dari bank adalah untuk memaksimalkan profit dimasa depan. Hal ini terjadi karena Capital Requirements
memberikan insentif pada bank untuk memilih aset yang berisiko. Menurut Rochet,JC (1992), bahwa peraturan modal bisa efektif apabila bank memilih
perhitungan rasio modal yang sebanding dengan risiko sistematis dari aset.
Penetapan Minimum Capital requirements yang lebih tinggi oleh regulator
memiliki tujuan agar bank lebih hati-hati dalam memilih portofolio risiko untuk menghindari failure. Selain itu Capital Requirements diharapkan juga dapat mengurangi moral harzad pada perbankan. Hal ini disebabkan oleh asumsi yang
menyebutkan bahwa moral harzad pada perbankan merupakan salah satu faktor utama penyebab bank mengalami kebangkrutan. Menurut Furlog dan Keeley
(1989), bahwa capital requirements dapat mengurangi nilai asuransi simpanan pada bank, dengan demikian Pemilik saham bank akan menanggung beban risiko yang lebih banyak. Hal ini akan mengurangi insentif bagi bank untuk
meningkatkan tingkat risiko aset. Bank lebih cenderung memenuhi kebutuhan rasio modal yang lebih tinggi dengan meningkatkan tambahan modal daripada
Pembatasan risiko kegagalan dan pengurangan moral harzad adalah tujuan regulator menetapkan Capital Requirements untuk perbankan. Adanya perubahan
dalam sistem permodalan bank akan memberikan pengaruh dan perubahan dalam manajemen modal dan risiko perbankan. Sebelum adanya penetapan regulasi
modal tiap individu bank memiliki rasio modal dan manajemen aset berisiko yang beragam, hal ini akan menyebabkan reaksi yang berbeda pada prilaku bank dalam menanggapi penetapan Minimum Capital Requirements. Banyak penelitian
empiris yang mengkaji tentang hal ini dan memberikan hasil yang berbeda. Sebagian penelitian mengatakan adanya hubungan yang signifikan antara Capital
Requirements dan risiko.
Teori yang dikemukan Shrieves dan Dahl (1992) menunjukan bahwa adanya hubungan antara perubahan capital requirements dan risiko melalui faktor
endogenous dan exogenous. Dalam penelitiannya Shrieves dan Dahl menggunakan model persamaan simultan untuk menganalisis hubungan antara
capital requirements dan risiko pada bank komersial. Menurut Shrieves dan Dahl
(1992) bahwa, Bank dalam menyesuaikan Perubahan capital cenderung melakukan penyesuaian juga pada aset berisiko mereka, Artinya perubahan
Capital dan perubahan risiko memiliki hubungan yang positif. Hasil ini menunjukan bahwa tingkat capital dan risiko secara bersamaan terkait, mayoritas
bank menanggapi dampak kenaikan capital requirements dengan menaikan aset berisiko mereka.
Penenelitan lain juga dilakukan oleh Jacque dan Nigro (1997), dengan
capital dan risk. Hasil menunjukkan bahwa perubahan Capital dan Risk memiliki
hubungan yang negatif ketika tekanan peraturan didefinisikan relatif terhadap
rasio modal berbasis risiko. Hal ini terjadi karena pada saat memenuhi persyaratan modal berbasis risiko bank yang kekurangan modal dapat meningkatkan modal
atau menurunkan risiko atau keduanya. Sedangkan untuk bank yang memiliki Capital yang tinggi dapat memenuhi peraturan Capital requirements dengan menurunkan modal atau meningkatkan risiko mereka.
Banyak negara telah mengadopsi peraturan Capital requirements untuk diterapkan pada sistem perbankan dinegaranya dan memberikan hasil yang
berbeda pada prilaku masing-masingnya. Matejasak dan Teply (2007) menganalisis bagaimana prilaku bank yang terdapat di Amerika dan Eropa ketika mendekati peraturan Capital Requirements pada periode 2000-2005. Menurut
Matejasak dan Teply (2007) bahwa Capital Requirements memiliki dampak yang signifikan terhadap modal dan pengambilan risiko. Bank yang terdapat di
Amerika dan Eropa pada awal penetapan Minimum Capital Requirements cenderung meningkatkan modal mereka dan menurunkan aset berisiko serta menjaga modal mereka tetap pada skala yang aman. Hal ini menunjukkan bahwa
regulasi modal memiliki dampak yang signifikan terhadap modal dan pengambilan risiko untuk perbankan dikedua negara, serta menunjukan adanya
hubungan signifikan antara modal dan eksposur risiko untuk kedua bank (AS dan Uni Eropa bank).
Rime (2001) menggunakan model persamaan simultan untuk menganalisis
Dalam anailisnya Rime (2001) menggunakan rasio modal terhadap total aset (RCTA) dan rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR)
sebagai definisi dari modal. Sedangkan untuk risiko diukur dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) terhadap total aset. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa mayoritas bank yang ada di Swiss ketika menghadapi peningkatan minimum capital requirements cenderung meningkatkan rasio modal mereka ke aset tertimbang menurut risiko (ATMR). Hal ini menunjukkan bahwa
tekanan peraturan, memiliki dampak positif dan signifikan terhadap rasio modal tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengambilan risiko bank.
Menurut Rime (2001) bahwa, perubahan risiko dan perubahan rasio modal terhadap total aset memiliki hubungan positif dan signifikan. Namun perubahan risiko tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ratio modal terhadap
aktiva tertimbang menurut risiko. Hal terjadi karena bank dekat dengan Capital Requirements harus meningkatkan rasio modal mereka untuk total aset, kemudian
disusul oleh peningkatan risiko. Hal ini dilakukan karena bank harus menyesuaikan risiko mereka dengan rasio modal yang kostan.
Menurut Moussa (2015) bahwa modal dan risiko memiliki hubungan yang
negatif ketika Capital Requirements diterapkan pada sistem perbankan di negara Tunisia. Penelitian yang yang dilakukan Moussa (2015) ini menggunakan static
panel method. Sedangkan untuk negara Pakistan salah satu penelitian dilakukan
oleh Zahid, dkk (2015) pada periode tahun 2004-2009. Menurut Zahid, dkk (2015), bahwa rasio modal terhadap aset tertimbang menurut risiko dan peraturan
tidak langsung menunjukan bahwa bank yang terdapat di negara Pakistan ketika berada dibawah peraturan modal yang ditetapkan oleh Regulator cenderung lebih
memilih risiko yang lebih sedikit, hal ini diharapkan dapat mengurangi tingkat kegagalan pada lembaga perbankan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka ditemukan adanya kesenjangan dan perbedaan penelitian hubungan antara Capital Requirements dan Prilaku risiko bank. Maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana
hubungan antara Capital Requirements dan Prilaku risiko bank dengan mereplikasi penelitian yang dilakukan Rime (2001). Untuk itu penulis menyusun
penelitian yang berjudul :
“Model Persamaan Simultan Antara Capital Requirements Dan Perilaku
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas ditemukan adanya permasalan
kesenjangan penelitian maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan antara Capital Requirements dengan prilaku risiko
perbankan.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian yang ada, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis hubungan antara Capital Requirements dan prilaku risiko perbankan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi
semua pihak, yaitu: 1. Bagi Perbankan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi perbankan dalam menentukan portofolio aset berbasis risiko saat adanya penetapan capital requirements dan menyusun strategi berdasarkan kerangka
Basel II sehingga perusahaan perbankan dapat tetap menjalankan fungsinya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
2. Bagi Akademisi
pengembangan penelitian selanjutnya, khususnya penelitian yang berkaitan dengan capital requirements dalam industri perbankan di Indonesia.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi