• Tidak ada hasil yang ditemukan

ULASAN HASIL-HASIL PENELITIAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ULASAN HASIL-HASIL PENELITIAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ULASAN HASIL-HASIL PENELITIAN DI LOKA

PENELITIAN KAMBING POTONG

(Reviews of Research Activities at the Indonesian Goat Research Station)

SIMON P.GINTING

Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1, Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara

ABSTRACT

The research programmes at the Indonesian Goat Research station for the last ten years were focused on: 1) the evaluation of an alternative feed based on local resources, 2) the investigation of forage species appropriate for goat production; and 3) the development of new genotype by cross breeding between an exotic goat (Boer) and local does (Kacang). Some crop residues such as coccoa pod husk, coffee pulp, pineapple wastes, passion fruits shells (Passiflora edulis) and palm oil fronds have been ensilased and determined for the nutrition value for goat feeds. The optimum inclusion level of these crop residues in ration ranged between 20% and 30% (dry matter basis). The feed conversion ratio ranged between 0.08 and 0.16. Inclusion level of 45% in ration is remained ptoducing positif growth. As roughages, these products could substitute partly or totally forages in diets, These roughages are then regarded as an important feed component during dry season when forages are not available. Some legumes forages namely Mucuna bracteata, Arachis glabrata, Arachis pintoi and Indigofera sp and some graminae such as Stenotaphrum secundatum and Brachiaria humidicola have been investigated for its nutritive value for goat production. All species of legumes have high protein content and given positive weight gain when fed to goats. However, the palatability of M. bracteata is low, it is therefore recommended to be used it as leaf meal in the concentrate. Stenotaphrum secundatum is highly tolerant to shading. The Boerka crossbred goat (Boer x Kacang) has better growth rate and has body weight (26 kg) at one year old.

Key Words: Feed, Crop Residues, Silage, Goat, Crossbred, Forages

ABSTRAK

Program penelitian di Loka Penelitian Kambing Potong selama sepuluh tahun terakhir telah difokuskan kepada: 1) pengembangan pakan berbasis sumberdaya lokal, 2) penelitian tanaman pakan ternak yang sesuai untuk ternak kambing dan 3) pembentukan kambing unggul melalui persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil sisa pertanian seperti kulit buah kakao, kulit buah kopi, kulit buah markisa, kulit buah nenas dan serat perasan daging buah nenas serta pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai komponen ransum. Bahan tersebut merupakan roughage yang dapat dimanfaatkan untuk mensubstitusi hijauan pada musim kering saat mana ketersediaan hijauan terbatas. Taraf optimal penggunaan dalam ransum antara 20 – 30% dan menghasilkan pertambahan bobot tubuh antara sedang dan tinggi. Penggunaan sampai 45% masih menghasilkan pertumbuhan yang positif. Efisiensi penggunaan ransum berkisar antara 0,08 – 0,16. Mucuna bracteata merupakan jenis legum rambat sumber protein, namun palatabilitasnya relatif rendah. Oleh karena itu, penggunaan daun M. bracteata disarankan dalam bentuk tepung sebagai komponen konsentrat. Arachis glabrata dan Arachis pintoi merupakan hijauan yang sangat baik untuk kambing sebagai sumber protein, namun tingkat produktivitasnya relatif rendah. Stenotaphrum secundatum memiliki toleransi yang tinggi terhadap naungan dan merupakan salah satu alternatif hijauan yang potensial dikembangkan pada sistem integrasi ternak dengan perkebunan. Kambing Boerka yang merupakan hasil persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang memiliki tingkat performans yang baik sebagai kambing tipe pedaging.Tingkat pertambahan bobot tubuh kambing Boerka-1 (50B;50K) pada fase pra-sapih mencapai 120 g/hari dan pasca sapih antara 82 – 101 g/hari, sedangkan pada Boerka-2 (75B;25K) mencapai 160 g/hari selama pra-sapih dan antara 67 – 90 g/h selama pascasapih (3 – 12 bulan). Bobot pada umur satu tahun dapat mencapai 26 kg dan adaptif terhadap kondisi tropik-basah.

(2)

PENDAHULUAN

Tantangan dalam pengembangan ternak kambing di Indonesia adalah mempertahankan kemampuan memenuhi kebutuhan daging kambing di dalam negeri (swasembada), serta meningkatkan kapasitas produksi dalam memanfaatkan peluang pasar internasional dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak. Permintaan domestik cenderung akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sementara itu, ekspor kambing, terutama kenegara Malaysia telah berjalan, walaupun sifatnya sporadis. Upaya mendorong kegiatan ekspor kambing untuk mendapatkan devisa, berpotensi pula menyebabkan terjadinya migrasi ternak kambing yang berkualitas dari dalam negeri. Keadaan ini perlu diantisipasi, karena dapat menjadi ancaman bagi kemampuan untuk memenuhi kebututuhan domestik, apabila pertumbuhan populasi, ketersediaan bibit bermutu, serta efisiensi produksi tidak mengalami perbaikan secara signifikan.

Teknologi memiliki peran yang esensial didalam menghadapi dan mengelola tantangan tersebut diatas, terutama dalam penyediaan teknologi produksi yang strategis seperti bibit, pakan dan teknologi kesehatan hewan. Agar memiliki daya adopsi yang tinggi, maka teknologi seyogianya selalu mengacu kepada kebutuhan pengguna akhir yang dalam hal ini adalah peternak. Struktur pengusahaan kambing sampai saat ini dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti, karena sebagian besar masih dikelola oleh peternak rakyat dengan skala usaha kecil, sangat menyebar secara geografis serta dilakukan secara sambilan. Namun, sistem produksi seperti ini ternyata mampu menopang kebutuhan nasional akan daging kambing. Oleh karena itu, pola produksi skala kecil tersebut perlu diperkuat dengan dukungan teknologi agar efisiensi produksi dapat lebih meningkat.

Inovasi teknologi juga akan penting perannya dalam merangsang berkembangnya sistem usaha produksi kambing yang lebih intensif, berskala ekonomi dengan orientasi komersial yang kuat. Baik tipe usaha kecil yang dikelola oleh peternak dalam jumlah besar, maupun tipe usaha skala menengah dan skala besar secara bersama-sama diperlukan

untuk menjawab tantangan pengembangan komoditas kambing di Indonesia dimasa mendatang

Dalam tulisan ini dibahas beberapa hasil-hasil penelitian unggulan yang telah dihasil-hasilkan di Loka Penelitian Kambing Potong yang mencakup: 1) penelitian produk hasil samping atau sisa pertanian dan agroindustri sebagai pakan kambing, 2) penelitian kualitas nutrisi beberapa spesies hijauan pakan untuk ternak kambing dan 3) pembentukan kambing unggul melalui persilangan kambing Boer dengan kambing lokal (Kacang). Diharapkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat melengkapi hasil-hasil penelitian dari berbagai sumber lain, dan dapat menjadi acuan dalam merumuskan inovasi teknologi yang dapat mendukung peternakan kambing di Indonesia, baik pada peternakan rakyat maupun peternakan kambing secara komersial.

PENELITIAN HASIL SISA PERTANIAN DAN INDUSTRI AGRO SEBAGAI

BAHAN PAKAN KAMBING

Potensi kuantitatif biomasa berbagai jenis produk hasil sisa pertanian maupun industri-agro sebagai bahan pakan alternatif ternak ruminansia di Indonesia telah banyak dilaporkan (SYAMSU et al., 2003; MATHIUS et al., 2004). Secara kualitatif produk tersebut mengandung beberapa keterbatasan, antara lain kandungan unsur nutrisi yang tidak seimbang atau defisien, tingkat kecernaan ataupun palatabilitas yang rendah, ataupun sulit diakses oleh ensim mikroba rumen karena ikatan kimiawi tertentu ataupun sifat kelarutan yang rendah (EGAN, 1997). Semua ini dapat

berdampak kepada tingkat konsumsi dan asupan nutrisi serta efisiensi penggunaan pakan yang rendah pula. Berbagai teknologi yang mencoba mengatasi kendala tersebut telah dilakukan, antara lain dengan perlakuan fisik, kimiawi maupun biologik (BUTTERY et al., 2005). Dampak terhadap kualitas nutrisi yang dihasilkan umumnya beragam seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.

Perlakuan fisik seperti pencacahan, penepungan, peletisasi menyebabkan peningkatan konsumsi, namun sering disertai dengan penurunan tingkat kecernaan sehingga peningkatan asupan nutrisi maupun efisiensi

(3)

Tabel 1. Dampak beberapa perlakuan terhadap kualitas nutrisi hasil samping pertanian

Dampak Teknologi

Konsumsi Kecernaan Asupan nutrisi EPR

Perlakuan fisik +++ -/+ ++ ++

Perlakuan kimiawi + +++ ++ ++

Perlakuan biologik + ++ ++ ++

Suplementasi +++ +++ +++ +++

EPR = efisiensi penggunaan ransum

penggunaan ransum terkoreksi. Dampak perlakuan kimiawi, seperti amoniasi, perlakuan basa maupun asam kuat terutama kepada peningkatan kecernaan bahan.

Program penelitian pakan di Loka Penelitian Kambing Potong selama satu dekade terakhir telah diarahkan kepada pemanfaatan hasil sisa atau hasil samping pertanian dan agro industri sebagai bahan pakan alternatif. Intisari hasil-hasil penelitian tersebut ditampilkan pada Tabel 2. Fokus penelitian diarahkan kepada perlakuan ensilase sebagai upaya preservasi berbagai limbah basah (wet-byproducts) ataupun fermentasi untuk meningkatkan kualitas nutrisi bahan. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat potensi berbagai bahan alternatif yang berpeluang sebagai sumber energi mendukung produksi. Sebagian bahan tersebut dapat berfungsi sebagai roughage untuk mensubstitusi hijauan rumput, terutama untuk wilayah kering dengan musim kemarau yang panjang.

Silase dan ‘tape’ kulit buah kakao

Hasil penelitian menunjukan bahwa kulit buah kakao yang diproses menjadi silase dapat digunakan dalam ransum sebanyak 10 – 20% untuk menggantikan hijauan rumput (SIMANIHURUK et al., 2008). Penggunaan lebih

besar dari 20% dalam ransum masih mungkin dilakukan, terutama di daerah kering yang mengalami musim kemarau yang panjang yang mengakibatkan terbatasnya ketersediaan hijauan. Dalam penelitian ini digunakan konsentrat sebanyak 40% dari total ransum, dan menghasilkan pertambahan bobot badan yang relatif tinggi antara 52 – 78 g/hari.

Cara lain yang dapat digunakan untuk memproses kulit buah kakao sebagai pakan

adalah proses fermentasi menggunakan kapan Saccaromyces cerviciae. Teknologi ini menghasilkan produk ‘tape kulit buah kakao’ yang memiliki aroma yang baik dan mampu meningkatkan konsumsi. Taraf optimal penggunaan tape kulit buah kakao dalam ransum adalah 20%, dan menghasilkan pertambahan bobot badan yang tergolong tinggi (83 g/hari). Peningkatan penggunaan tape kulit buah kakao dalam ransum masih memberikan respon pertumbuhan yang baik. Penggunaan pada taraf 40 dan 60% dalam ransum menghasilkan pertumbuhan sebesar 58 dan 47 g/hari. Dalam penelitian proporsi konsentrat sebesar 30%. Hal ini mengindikasikan bahwa teknik fermentasi untuk mengolah kulit buah kakao sebagai bahan pakan kambing memiliki prospek yang sangat baik. Berdasarkan analisis parsial (partial budget analysis) diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan tape kulit buah kakao dalam ransum menggantikan rumput dapat menekan biaya pakan antara 12 – 40%. Produk tape kulit buah kakao memiliki masa simpan selama 5 – 7 hari.

Silase kulit dan daging buah kopi

Buah kopi secara anatomis terdiri dari komponen biji (endosperm), kulit buah (hull), lapisan mucilage (mesocarp) dan pulp (esocarp). Limbah kopi merupakan seluruh komponen buah selain biji. Diantara komponen penyusun limbah kopi, maka berdasarkan bahan keringnya pulp merupakan komponen terbesar (26 – 30%), diikuti kulit buah (10 – 12%) dan lapisan musilage (5 – 14%). Hasil penelitian menunjukan bahwa taraf optimal penggunaan silase kulit buah kopi dalam ransum adalah 20% dan menghasilkan

(4)

pertambahan bobot badan sebesar 81 g/hari. Penggunaan sampai taraf 30% masih menghasilkan pertambahan bobot badan walaupun dengan laju pertumbuhan yang menurun. Hasil analisis komposisi kimiawi menunjukan bahwa limbah kopi dapat berfungsi sebagai roughage. Dalam penelitian ini silase kulit buah kopi digunakan sebagai substitusi rumput (roughage) dengan rasio roughage/konsentrat sebesar 40/60. Laju pertumbuhan ini kemungkinan dapat meningkat bila rasio penggunaan konsentrat ditingkatkan. Namun, penggunaan konsentrat yang tinggi (rasio roughage/konsentrat yang rendah) pada peternakan kambing rakyat jarang dilakukan, karena keterbatasan modal. Oleh karena itu, taraf penggunaan kulit buah kopi didalam ransum dapat bervariasi tergantung kepada tipologi peternak kambing. Namun, hasil penelitian ini menunjukan adanya potensi penggunaan silase kulit kopi pada peternakan kambing yang dikelola secara komersial. Penelitian tersebut juga mengindikasikan potensi penggunaan kulit buah kopi di wilayah kering yang ketersediaan rumput terbatas, terlebih selama musim kemarau yang panjang.

Kulit buah markisa

Kulit buah markisa merupakan hasil sisa atau limbah pengolahan buah markisa menjadi sari (konsentrat) markisa. Proses pengolahan buah markisa dalam industri menghasilkan kulit buah sebanyak 45%, sari markisa (jus) sebanyak 40% dan biji 15%. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada ekosistem dataran tinggi-basah. Penelitian pemanfaatan kulit buah markisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: 1) pemanfaatan sebagai komponen dalam konsentrat dan 2) pemanfaatan sebagai substitusi hijauan rumput. Pemanfaatan sebagai komponen dalam konsentrat mengharuskan proses penepungan. Hasil penelitian SIMANIHURUK et al. (2006)

menunjukan bahwa taraf optimal penggunaan tepung kulit buah markisa dalam konsentrat adalah 15%. Penggunaan dalam taraf yang lebih tinggi (30 atau 45%) masih dapat direkomendasikan, karena hanya menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 5 – 6%, penurunan kecernaan BK sebesar 3 – 6%

ataupun penurunan kecernaan BO sebesar 3 – 5%. Potensi penggunaan sampai taraf 45% dalam konsentrat mengindikasikan bahwa kulit buah markisa merupakan pakan alternatif yang prospektif, terutama disentra produksi tanaman markisa.

Dalam penelitian silase kulit buah markisa tidak digunakan konsentrat, sehingga ransum hanya terdiri dari rumput saja atau campuran rumput dengan silase kulit buah markisa. Tingkat pertumbuhan yang dihasilkan dalam penelitian ini tergolong baik (48 – 64 g/hari) terlebih mengingat bahwa ransum tidak mengandung konsentrat. Penggunaan silase kulit buah markisa pada taraf 30 atau 45% cenderung menurunkan laju pertumbuhan PBB. Hasil penelitian merekomendasikan penggunaan silase kulit buah markisa sebagai roughage maupun sebagai substitusi hijauan pakan.

Silase pelepah kelapa sawit

Pelepah kelapa sawit tanpa diolah memiliki masa simpan yang relatif pendek yaitu sekitar 3 – 5 hari. Proses ensilase merupakan salah satu cara preservasi agar pelepah dapat disimpan lebih lama. Dalam penelitian ini silase pelepah digunakan sebanyak 40 – 60% dalam ransum. Penggunaan pelepah pada taraf ini mengakibatkan pertambahan bobot badan kambing yang relatif rendah (22 g/hari). Dapat diduga bahwa pertambahan bobot badan akan meningkat, jika menggunakan silase pelepah pada taraf dibawah 40% dalam ransum. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian menggunakan pelepah tanpa diolah pada taraf 10 – 20% yang menghasilkan PBB sebesar 48 – 58 g/hari. Namun, hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan kambing masih dapat diharapkan bila pelepah kelapa sawit dimanfataakan secara maksimal, terutama untuk mensubstitusi hijauan rumput pada saat ketersediaan hijauan terbatas.

Silase kulit dan perasan daging buah nenas

Kulit buah dan perasan daging buah nenas dihasilkan oleh produsen konsentrat sari buah nenas. Proses pengolahan buah nenas menjadi sari (jus) nenas menghasilkan limbah berupa kulit dan serat perasan daging buah sebanyak

(5)

85%. Produk ini mengandung air yang tinggi (46 – 52%), sehingga mudah rusak bila tidak diproses. Hasil penelitian GINTING et al. (2007)

menunjukan bahwa bahan tersebut sangat disukai kambing dan dapat digunakan sampai taraf 75% untuk menggantikan hijauan rumput. Pertambahan bobot badan kambing yang diberi bahan ini tergolong tinggi (75 – 82 g/hari) dengan efisiensi penggunaan ransum sebesar 0,11. Dalam penelitian ini digunakan konsentrat sebanyak 40% didalam ransum.

Proses pembuatan silase terhadap berbagai hasil sisa tanaman dalam penelitian tersebut diatas mengunakan bahan aditif molasses atau tepung tapioka sebagai sumber energi dengan dosis 3 – 5% serta urea sebagai sumber protein dengan dosis 1 – 3% untuk memacu perkembangan mikroba. Masa inkubasi bervariasi antara 2 – 4 minggu. Ransum disusun dengan kandungan energi antara 2400 – 2600 Kkal/kg BK (energi metabolis) dan protein pada taraf 16% BK.

PENELITIAN TANAMAN PAKAN TERNAK SEBAGAI PAKAN KAMBING

Penelitian tanaman pakan ternak telah dilakukan pada beberapa spesies hijauan baik jenis kacangan (Mucuna bracteata, Arachis

glabrata, Arachis pintoi, Indigofera sp.),

maupun rumputan (Stenotaphrum secundatum, Brachiaria humidicola). Diantara ketiga jenis leguminosa rambat terlihat bahwa M. bracteata memiliki produktivitas paling tinggi (16,8 t BK/ha/tahun), jauh di atas produktifitas A.

glabrata (4,1 t BK/ha/tahun) maupun A. pintoi (3,2 t BK/ha/tahun) (Tabel 3). Namun, M.

bracteta memiliki palatabilitas dan tingkat

kecernaan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan A. glabrata maupun A. pintoi. Kandungan protein kasar ketiga jenis leguminosa tersebut relatif sama yaitu berkisar antara 18,0 – 19,1%. Walaupun tingkat kecernaan bahan kering M. bracteata (56%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan A. glabrata (65%), namun terlihat bahwa persentase N ditahan pada kambing yang diberi M. Bracteata (59%) lebih tinggi dibandingkan A. glabrata (36%). Hal ini kemungkinan mengindikasikan bahwa proporsi senyawa N bukan protein pada A. glabrata lebih tinggi, sehingga lebih banyak yang ditranformasikan menjadi N mikroba dalam rumen dan diekresikan bersama feses. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab fenomena tersebut. Misalnya, informasi ini diperlukan bagi upaya pemanfaatannya secara maksimal sebagai sumber protein dalam kaitannya dengan penggunaan karbohidrat mudah larut sebagai sumber energy bagi pembentukan protein mikroba didalam rumen. Dalam penelitian ini pemotongan M. bracteata dilakukan pada interval 8 minggu. Oleh karena tingkat palatabilitasnya tergolong rendah, maka potensi kandungan protein yang tinggi pada M. bracteata dapat dimanfaatkan secara maksimal bila penggunaannya dalam bentuk tepung penyusunan konsentrat. Tepung M. bracteata dapat digunakan sampai 30% dalam konsentrat.

Tabel 2. Kualitas nutrisi beberapa hasil samping pertanian sebagai pakan kambing

Produk olahan Taraf penggunaan (%) Konsumsi bahan (g/hari) Konsumsi ransum (g/hari) Kecernaan BK ransum (%) PBB (g/hari) EPR

Silase kulit buah kakoa 10 – 20 65 – 100 400 – 580 57 – 79 52 – 78 0,11

Kulit buah kakao fermentasia 20 - 517 67 83 0,16

Silase kulit buah kopia 20 86 445 69 81 0,12

Silase kulit buah markisab 15 – 45 60 – 360 430 – 480 - 48 – 64 0,12 Tepung kulit buah markisac 15 – 45 - 762 – 811 67 – 71 76 0,094

Pelepah kelapa sawitd 10 – 30 - 452 – 470 - 48 – 58 0,12

Silase pelepah kelapa sawitd 40 97 324 39 22 0,08

Silase kulit dan perasan buah nenase 25 – 75 290 – 437 600 – 780 68 – 81 75 – 82 0,11

Sumber: aSIMANIHURUKet al. (2008); bGINTINGet al. (2005); cSIMANIHURUKet al. (2006); dSIMANIHURUKet al. (2007); eGINTINGet al. (2007)

(6)

Tabel 3. Kualitas nutrisi dan produktivitas beberapa spesies tanaman pakan ternak yang digunakan sebagai

hijauan pakan kambing

Spesies Bahan kering (BK); % Protei n kasar (%) Konsumsi BK (g/hari) Kecernaan BK (%) N-ditahan (%) Produktivitas (t BK /ha/tahun) Mucuna bracteataa 18,1 18,0 150 56 59 16,8 Indigofera spa 21,9 24,1 221 60 60 45,6 Arachis glabratab,c 23,7 15,2 453 71,9 65,6 4,1 Arachispintoib,c 24,7 16,9 466 81,3 75,8 3,2 Stenotaphrum secundatumd 12,9 8,1 588 65,3 63,7 8,9 Brachiaria humidicolad 15,4 8,7 577 68,5 59,0 10,9

Sumber: aSIMANIHURUKet al. (2008); bGINTING dan TARIGAN (2005); cSIRAITet al. (2005); dGINTING dan

TARIGAN (2006)

Indigofera sp. merupakan jenis leguminosa pohon yang produktivitasnya tergolong tinggi (45,6 t/ha/tahun) dengan interval pemotongan 12 minggu. Taraf konsumsi sebagai pakan tunggal pada kambing mencapai 1,96% bobot tubuh. Angka ini relatif sebanding dengan konsumsi Caliandra callothyrsus (2,17%), maupun Leucaena leucocephla (2,05%). Seperti pada umumnya jenis leguminosa pohon, kandungan protein kasar Indigofera sp. tergolong tinggi (24%) sementara kandungan serat rendah.

Hasil penelitian tentang toleransi terhadap naungan menunjukan bahwa Stenotaphrum secundatum memiliki toleransi yang baik pada tingkat naungan sampai 75%. Dalam penelitian digunakan naungan buatan menggunakan paranet di dua ekosistem (dataran rendah basah dan dataran tinggi kering). Produktivitas S. secundatum pada ekosistem datarn rendah-basah mencapai 8,9 t/ha/tahun dan produksi menurun tajam pada ekosistem dataran tinggi-kering. Konsumsi pakan tergolong baik yaitu rata-rata 3,1% bobot badan (SIRAIT dan SIMANIHURUK, 200) dengan tingkat cerna BK tergolong sedang (59%). Kandungan protein tergolong rendah (8,8%), namun cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal mikroba rumen, bila diberikan sebagai pakan tunggal. Menurut HOGAN (1996) hijauan dengan tingkat cerna

50% dan kandungan protein kasar 7,1% tidak mampu memenuhi kebutuhan mikroba rumen. Oleh karena S. secundatum toleran terhadap naungan, maka jenis rumput ini dapat direkomendasikan sebagai salah satu pilihan

dalam pengembangan tanaman pakan pada sistem integrasi ternak dengan tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet.

PERSILANGAN KAMBING BOER DENGAN KAMBING KACANG

Program persilangan antara kambing Boer x kambing Kacang bertujuan untuk menghasilkan genotipa baru (Kambing Boerka) yang memiliki kapasitas tumbuh dan bobot tubuh yang lebih besar dibandingkan kambing Kacang, namun relatif adaptif dengan kondisi tropis-basah. Pemilihan kambing Boer didasarkan kepada fakta bahwa bangsa kambing ini memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas yang tinggi dengan komposisi kimiawi yang baik, dan tingkat fertilitas yang baik pula (GREYLING, 2000). Selain memiliki kapasitas bobot tubuh besar, kambing Boer memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi klimat, sistem produksi dan tipe pastura (ERASMUS, 2000).

Performans pertumbuhan hasil persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang (Boerka) yaitu Boerka-1 (50B;50K) dan Boerka-2 (75B;25K) ditampilkan berturut-turut pada Gambar 1 dan Gambar 2 (MAHMILIA et al., 2008). Terlihat bahwa masih terdapat keragaman yang relatif besar dalam hal tampilan PBB. Diduga keragaman ini terutama disebabkan oleh keragaman induk, seperti bobot tubuh, kemampuan memproduksi susu,

(7)

sifat keibuan yang semuanya mempengaruhi bobot lahir dan boot pra-sapih maupun pasca sapih. Oleh karena itu, dalam ilustrasi tersebut tingkat pertumbuhan kambing Boerka dikelompokan menjadi tingkat pertumbuhan rendah, sedang dan tinggi.

Bobot lahir kambing Boerka-1 (50B;50K) berkisar antara 1,5 - 2,98 kg, sementara bobot sapih (umur 3 bulan) antara 5,0 - 12,0 kg, dan bobot umur satu tahun antara 14,1 – 26,4 kg. Dari populasi kambing Boerka-1 (50B;50K) terdapat potensi laju pertumbuhan sebesar 120 g/hari selama periode pra-sapih (0 – 3 bulan)

Gambar 1. Laju pertambahan bobot badan kambing Boerka-1 (50B;50K) pada umur lahir sampai umur

setahun

Gambar 2. Laju pertambahan bobot badan kambing Boerka-2 (75B;25K) pada umur lahir sampai umur

setahun 1,5 5,02 7,94 9,66 14,11 2,24 7,81 11,41 13,68 19,81 2,98 11,91 16,58 18,8 26,43 0 5 10 15 20 25 30 0 3 6 9 12 rendah sedang tinggi Bobot hidup (kg ) Umur (bulan) 1,64 7,3 11,25 11,6 16,5 2,22 11,32 15,23 16,65 22,7 3 16,6 19,8 20,8 26,83 0 5 10 15 20 25 30 0 3 6 9 12 rendah sedang tinggi Bobot hidup (kg ) Umur (bulan)

(8)

dan 82 – 101 g/hari periode pasca sapih (> 3 – 12 bulan). Pada populasi kambing Boerka-2 (75B;25K) potensi laju pertumbuhan pra-sapih mencapai 160g/hari. Laju pertumbuhan pasca sapih pada Boerka-2 (75%B;25K) mencapai 67 – 90 g/hari, cenderung lebih rendah dibandingkan pada Boerka-1 (50B;50K). Kecenderungan laju pertumbuhan ini tidak seperti diharapakan, namun faktor nutrisi kemungkinan memberi pengaruh yang dominan terhadap capaian tersebut. Dalam penelitian ini status nutrisi antara Boerka-1 dan Boerka-2 pada dasarnya tidak berbeda, sementara lebih tingginya proporsi Boer pada genotipa Boerka-2 diduga menyebabkan kebutuhan nutrisi juga meningkat untuk mengekspresikan potensi genetiknya. Oleh karena itu, pada status nutrisi yang belum optimal performans Boerka-2 terlihat lebih rendah dibandingkan Boerka-1.

Keragaman performans tersebut menunjukan bahwa dengan seleksi yang ketat, maka kelompok kambing Boerka dengan potensi tumbuh dan bobot tubuh yang tinggi dapat dihasilkan sebagai foundation stock untuk membangun populasi kambing Boerka unggul. Kelompok ini sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor yang menunut bobot tubuh yang relatif tinggi.

PENUTUP

Penelitian yang telah dilakukan di Loka Penelitian Kambing Potong sejauh ini telah menghasilkan berbagai informasi ilmiah yang dapat digunakan dalam merumuskan komponen ataupun paket teknologi produksi kambing khususnya menyangkut pakan dan bibit. Dalam kaitannya dengan penelitian pemanfaatan hasil sisa atau limbah pertanian maupun industri-agro masih terdapat beberapa aspek atau parameter kualitas pakan yang belum dielaborasi padahal memiliki peran yang sangat penting dalam memprediksi respons ternak bila menggunakan bahan yang tergolong sebagai roughage. Beberapa parameter penting tersebut antara lain adalah derajat kelarutan (solubility), derajat fermentabilitas dan laju degradasi yang dapat menggambarkan potensi pakan. Parameter ini sangat terkait dengan tingkat konsumsi pakan, sehingga dapat

digunakan untuk mengestimasi potensi konsumsi suatu jenis bahan pakan, terlebih jenis roughage yang umumnya memiliki palatabilitas yang rendah. Disamping itu, adopsi teknologi prosesing pakan dinilai masih rendah. Hal ini kemungkinan mengindikasikan bahwa teknologi yang telah dihasilkan lebih sesuai untuk tipologi usaha komersial dengan modal yang kuat ataupun pada usaha peternakan rakyat yang dihimpin dalam suatu kelompok untuk mengakumulasi modal. Adopsi teknologi pakan komplit menggunakan markisa sebagai pakan alternatif oleh salah satu pengusaha feedlot mengindikasikan hal tersebut.

Pembentukan kambing Boerka dari program penelitian persilangan kambing Boer dengan kambing Kacang merupakan capaian penting Loka Penelitian Kambing Potong. Kambing Boerka diharapkan dapat menjadi salah satu simpul dalam penyediaan bibit unggul kambing yang sampai saat ini belum dilakukan secara intensif di Indonesia. Akselerasi perakitan kambing Boerka membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak terutama dalam membangun penangkar diberbagai wilayah pengembangan. Skema pengembangan berbasis inti (nucleus-based breeding schemes) (KOSGEY et al., 2006) dapat menjadi pilihan.

Untuk itu dapat dikembangkan dan diadopsi berbagai sistem atau pola pengembangan yang melibatkan berbagai kelembagaan seperti institusi penelitian, kelompok peternak, pengusaha dan pemerintah daerah (GINTING

dan MAHMILIA, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

BUTTERY,P.,R.MAX,A.KIMAMBO,J.KU-VERA and A.AKBAR. 2005. Animal response to nutrient

supply. In: Livestock and Wealth Creation. OWEN,E.,A.KITALYI,N.JAYASURIYA and T.

SMITH (Eds.) Departemen for International Development (DFID). Nottingham University Press. pp. 167 – 190.

EGAN, R.A. 1997. Technological constraints and

opportunities in relation to class of livestock and productive objectives. In: RENARD, C.

(Ed.) Crop Residues in Sustainable Mixed Crop/Livestock Farming System. CAB International. pp. 7 – 25.

(9)

ERASMUS, J.A. 2000. Adaptation to various

environments and resistance to disease of improved Boer goat. Small Rumin. Res. 36: 179 – 187.

GINTING,S.P.,R.KRISNAN dan A.TARIGAN. 2005.

Substitusi Hijauan Dengan Limbah Nenas Dalam Pakan Komplit Untuk Kambing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 604 – 610.

GINTING, S.P. dan A. TARIGAN. 2005. Kualitas

nutrisi beberapa legume herba pada kambing: konsumsi, kecernaan dan neraca N. JITV 10(4): 268 – 273.

GINTING, S.P. dan A. TARIGAN. 2006. Kualitas

nutrisi Stenotaphrum secundatum dan Brachiaria humidicola pada kambing. JITV 11(4): 273 – 279.

GINTING, S.P., R. KRISNAN dan K. SIMANIHURUK.

2007. Silase kulit nenas sebagai pakan dasar pada kambing persilangan Boer x Kacang sedang tumbuh. JITV 12(3): 195 – 201. GINTING, S.P. dan F. MAHMILIA. 2008. Kambing

‘Boerka’: Kambing tipe pedaging hasil persilanganBoer x Kacang. Wartazoa 18: 115 – 126.

GREYLING, J.P.C. 2000. Reproduction traits in the

Boer goat does. Small Rumin.Res. 36: 171 – 177.

HOGAN, J. 1996. Method of studying ruminant

nutrition. In: Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics. BAKRIE, B., J. HOGAN, J.B. LIANG, A.M.M. TAREQUE and R.C.UPADHYAY (Eds.) ACIAR.

Canbera. pp. 5 – 16.

KOSGEY,I.S.,R.L.BAKER,H.M.J.UDO and J.A.M.

VAN ARENDONK. 2006. Successes and failures of small ruminant breeding programmes in the tropics: a review. Small Rumin. Res. 61: 13 – 28.

MAHMILIA,F.,S.P.GINTING,M.DOLOKSARIBU,F.A.

PAMUNGKAS dan S. NASUTION. 2008. Pembentukan Kambing Unggul melalui Persilangan Kambing Boer dengan Kambing Kacang. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian. Loka Penelitian Kambing Potong. 27 hlm. MATHIUS,I.W.,D.SITOMPUL,B.P.MARPAUNG dan

AZMI. 2004. Produk samping tanaman dan

pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuksapi. Pros. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9 – 10 September 2003. Badan Litbang Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu, PT Agricinal. hlm. 120 – 128.

SIMANIHURUK, K., K.G. WIRYAWAN dan S.P. Ginting. 2006. Pengaruh taraf Kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f. edulis Deg) sebagai campuran pakan kambing Kacang: I. Konsumsi, Kecernaan dan Retensi Nitrogen. JITV 11(2): 97 – 105.

SIMANIHURUK, K.,J. SIANIPAR, S.P.GINTING, L.P. BATUBARA dan A. TARIGAN. 2007.

Pemanfaatan Silase Pelepah Kelap Sawit sebagai Pakan Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan. Lapoan Akhir Kegiatan Penelitian. Loka Penelitian Kambing Potong. SIMANIHURUK, K., J. SIANIPAR, J. SIRAIT, R.

HUTASOIT dan L.P. BATUBARA. 2008.

Penelitian Pemanfaatan Leguminosa Dan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Kambing. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian. Loka Penelitian Kambing Potong. 48 hlm.

SIRAIT, J., S.P. GINTING dan A. TARIGAN. 2005.

Karakteristik morfologik dan produksi legum pada tiga taraf naungan di dua agro-ekosistem. Pros. Loka Karya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan,. Bogor, 16 September 2005. hlm. 87 – 94.

SYAMSU,J.A.,L.A.SOFYAN,K.MUDIKDJO dan E.G.

SAI’D. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1): 30 – 37.

Gambar

Tabel 1.  Dampak beberapa perlakuan terhadap kualitas nutrisi hasil samping pertanian  Dampak
Tabel 3.  Kualitas nutrisi dan produktivitas beberapa spesies tanaman pakan ternak yang digunakan sebagai  hijauan pakan kambing
Gambar 1.  Laju pertambahan bobot badan kambing Boerka-1 (50B;50K) pada umur lahir sampai umur  setahun

Referensi

Dokumen terkait

Dari Tabel 6 dan 7 dapat diketahui bahwa waktu yang diperlukan untuk seluruh sistem rotary pendulum (untuk.. menstabilkan sudut

Ia juga boleh ditakrifkan sebagai satu sistem politik yang memberi peluang kepada rakyat membentuk dan mengawal pemerintahan negara (Hairol Anuar 2012). Dalam hal

Adalah sebuah fakta bahwa jumlah perempuan di dunia ini lebih banyak dari

(BOS) based on instruction and technical in aspects of application, distribution, and stakeholders engagement in planning, forming, and reporting of BOS in SMA Negeri 37

Kelompok Kerja Jasa Konsultansi Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Lamandau mengumumkan pemenang seleksi sederhana untuk Pekerjaan Pengawasan Rehabilitasi /

Saudara dianjurkan untuk membawa Berkas Dokumen Asli yang berkenaan dengan data isian sebagaimana yang telah saudara sampaikan pada Dokumen Penawaran Admnistrasi,

Menurut Syed Ahmad Hussein (1996) terdapat beberapa rumusan dan hipotisis utama yang timbul dari kajian-kajian ini yang dijadikan panduan am kepada mereka yang berminat untuk

Setiap blok penyimpanan di gudang ini hanya menampung satu jenis produk dan satu tanggal kadaluarsa, sehingga penempatan barang harus di blok yang kosong dan tidak