• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

HIV/AIDS

2.1.1. Definisi

2.1.1.1.Definisi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus dari famili le ntivirus

dari retrovirus hewan. Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk

retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc

Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (

lymphadenopathy-associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya

menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III ) (Puraja, 2008).

Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2

yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara

global terutama disebabkan oleh HIV -1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas

penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang

mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.

2.1.1.2.Definisi AIDS

AIDS (

Acquired Immunodeficiency Syndrome

) adalah kumpulan gejala penyakit

akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh

infeksi HIV (

Human Immunodeficiency Virus

).

Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur,

parasit, dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan

limfoma primer di otak. Dengan ditegakkannya penyakit -penyakit tersebut, meskipun

hasil pemeriksaan laboratorium untuk infeksi HIV belum dilakukan atau tidak dapat

(2)

diambil kesimpulan, maka diagnosis AIDS telah dapat ditegakkan (Kapita Selekta

Kedokteran, 2000).

2.1.2. Diagnosis HIV/AIDS

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Cara langsung, yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dapat

menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus adalah dengan

Polymerase Chain Reaction (PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk:

Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi

sehingga menghambat pemeriksaan serologis.

Menetapkan status infeksi pada individu serokonversi

Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi

Tes konfirmasi untuk HIV 2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV

-2 rendah

2. Cara tidak langsung, yaitu dengan melihat respons zat anti spesifik. Tes,

misalnya:

ELISA, sensitivitasnya tinggi (98. 1-100%). Biasanya memberikan

hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Hasil positif harus

dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot.

Western blot, spesitifitas tinggi (99.6-100%). Namun, pemeriksaan

ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA

positif.

Immunofluorescent assay (IFA)

Radioimmunopraecipitation assay (RIPA)

Menurut WHO, HIV terbagi atas 4 derajat, yaitu:

Derajat I

(3)

2. Persistent generalized lymphadenopathy

3. Acute retroviral seroconvertion syndrome

Gejala : demam, radang tenggorokan, sakit kepala, ruam kulit, nyeri

otot, hasil belum menunjukkan HIV (+)

Derajat II

Gejala :

berat

badan

menurun

<10%,

minor

mucocutaneous

manisfestation, e.g.prurigo, fungal nail, oral ulceration, herpes zoster,

Infeksi Saluran Nafas Atas berulang

Derajat III

Gejala : bergejela tetapi aktivitas masih normal, berat badan menu run

>10%, kronik diare tidak jelas penyebabnya >1 bulan, oral candidiasis,

oral hair leukopenia, pulmonary TB, infeksi bakteri berat: pneumonia,

pyomyositis.

Derajat IV

Gejala : berkembang penyakit -penyakit seperti penyakit saraf, infeksi

oportunistik, keganasan/neoplasma: lymphoma dan

Kaposi’s

sarcoma,

HIV encephalopathy, extrapulmonary TB.

2.1.3. Struktur HIV

Partikel virus HIV-1 yang berdiameter sepesepuluhribu mm (0.1µm) diselubungi

oleh dwilapis fosfolipid seperti halnya membran sel pada umumnya. Kond isi ini

memberikan kemudahan terjadinya fusi antara kedua membran. Selubung virus tersebut

dilengkapi dengan tonjolan-tonjolan protein pada seluruh permukaan seperti jeruji.

Pada setiap ujung luar dilengkapi dengan struktur berbentuk bulat telur seperti to mbol

pintu dengan sebuah cekungan. Bagian protein yang menembus selubung virus sampai

ke bagian dalam berbentuk batang. Seluruh bangunan protein tersebut disebut gp160,

karena berat molekulnya 160, dan bagian yang berbentuk bulat telur disebut gp120 yang

melanjutkan struktur seperti batang dalam selubung menjadi gp41. Di sebelah dalam

selubung luar virus dilengkapi dengan selubung protein (kapsid). Di bagian tengah virus

terdapat “inti” yang terdiri atas substansi genetik berbentuk dua untaian RNA dengan

enzim

reverse transcriptase

(Subowo, 2010).

(4)

Gambar 2.1. Struktur HIV

Sumber: Castillo, 2005

2.1.4. Patofisiologi HIV

Sel limfosit CD4

+

merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini

berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat

mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV

akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4

+

, terganggunya

homeostasis dan fungsi sel -sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini

akan menimbulkan berbagai gejala pen yakit dengan spektrum yang luas. Gejala

penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas

seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel T helper (Th) untuk

mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan penyakit melalui beber apa

mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi

(5)

oportunistik,

terjadinya

reaksi

autoimun,

reaksi

hipersensitivitas

dan

kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut.

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui

mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan

transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor

dan reseptor utama untuk HIV adalah mo lekul CD4

+

pada permukaan sel pejamu.

Namun reseptor CD4

+

saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak

mempunyai reseptor CD4

+

, tapi dapat diinfeksi oleh HIV yaitu Fc reseptor untuk virion

yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkiraka n merupakan koreseptor untuk

terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga

koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya

HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4 (Nasronudin, 2007).

Gambar 2.2. Patofisiologi HIV

Sumber: Castillo, 2005

(6)

2.1.5. Daur hidup HIV

Menurut Subowo pada tahun 2010, daur hidup HIV -1 dapat dibedakan dalam 4

tahap :

1. Tahap masuknya virus dalam sel.

2. Tahap transkripsi mundur dan integrasi genom.

3. Tahap replikasi (memperbanyak diri di dalam sel inang).

4. Tahap perakitan dan pendewasaan virus.

2.1.6. Faktor Risiko HIV

Menurut WHO pada tahun 2011, ada beberapa per ilaku hidup yang

menghasilkan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi HIV, antara lain :

1. Hubungan seksual tanpa pelindung secara vaginal maupun anal.

2. Infeksi menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia, gonorrhoea,

dan vaginosis bakterial.

3. Menggunakan jarum bekas dan peralatan medis lain yang mengandung HIV.

4. Menerima injeksi yang tidak ama n, transfusi darah, prosedur medis yang tidak

steril.

5. Tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja pada tenaga medis.

2.1.7. Cara Penularan HIV

Awal infeksi biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh yang berasal

dari orang yang terinfeksi HIV. Virus HIV ditemukan sebagai partikel virus yang bebas

dan terdapat dalam sel yang terinfeksi, dalam semen, cairan vagina dan air susu ibu

(ASI). Jalan penularan yang paling diketahui di seluruh dunia adalah melalui

persetubuhan. Penggunaan jarum suntik bekas ya ng tercemar oleh HIV pada orang

-orang yang menggunakan obat-obatan intravena, dan penggunaan darah atau

produknya untuk tujuan pengobatan, juga merupakan cara infeksi yang biasa terjadi.

Rute lain yang penting dalam penularan HIV yaitu berasal dari ibu yan g terinfeksi HIV

kepada anaknya. Ibu-ibu tersebut dapat menularkan HIV kepada anaknya ketika mereka

(7)

melahirkan atau melalui pemberian ASI (Subowo, 2010). HIV juga dapat menular pada

janin melalui ari-ari (plasenta) (Depkes, 2008).

HIV tidak dapat menular melalui kegiatan seperti gigitan serangga, bersalaman,

bersentuhan, berpelukan bahkan beciuman, menggunakan peralatan makan bersama,

menggunakan jamban bersama, bahkan tinggal serumah dengan orang yang terpapar

HIV (Depkes, 2008).

Berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkan penularan HIV antara lain :

1.

Berhubungan seks baik secara anal maupun vaginal tanpa menggunakan

pengaman dengan pasangan terinfeksi HIV.

2.

Transmisi ibu terinfeksi HIV ke anak pada masa kehamilan, melahirkan dan

menyusui.

3.

Transmisi melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV.

4.

Penggunaan jarum suntik secara bersama -sama, tattooing, peralatan skin

piercing, dan peralatan-peralatan operasi (WHO, 2011).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), cara penularan

terbanyak adalah melalui hubungan heteroseksual (51.3%),

Injection Drug User

atau

pengguna Narkoba suntik/Penasun (39.6%), Lelaki Seks Lelaki (3.1%), dan perinatal atau

dari ibu pengidap kepada bayinya (2.6%).

2.1.8. Imunopatogenesis Penyakit AIDS

Menurut Subowo (2010), mekanisme merosotnya jumlah sel -sel CD4

+

misalnya

dapat disebabkan karena :

1. HIV dapat menyerang, membunuh ataupun melumpuhkan sel -sel CD4

+

yang

sangat dibutuhkan untuk pemekaran cadangan limfoid CD4

+

.

(8)

2. Merosotnya jumlah sel -sel CD4

+

dapat pula disebabkan oleh adanya sekresi

substansi toksik terhadap sel TCD4

+

, yang diinduksi oleh HIV terhadap sel

CD4

+

tertentu.

3. Telah dibuktikan pula bahwa pro tein selubung virus (gp120) yang berada pada

permukaan sel inang yang telah diinfeksi HIV akan berikatan dengan molekul

CD4

+

pada sel-sel tubuh yang tidak diinfeksi. Reaksi antara 2 molekul tersebut

akan mengakibatkan berfusinya membran sel inang yang tidak terinfeksi

sehingga terbentuklah sinsitium atau sel datia multinuclear yang mengandung

HIV. Terbentuknya sel datia tersebu t diikuti oleh sitolisis yang mengakibatkan

kematian sel dalam waktu yang sangat pendek.

4. Fenomena autoimunitas dengan maksud melenyapkan sel -sel CD4

+

yang

mengikat molekul gp120 bebas.

2.1.9. Penatalaksanaan HIV/AIDS

Tujuan pengobatan penderita dengan pen yakit defisiensi imun umumnya adalah

untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengn penyakit

menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik/antiviral yang

benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem

imun yang detektif dengan transfer pasif atau transplantasi (Baratawidjaja, 2009).

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat efektif.

Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga d apat dicegah obat

antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan

AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas

reverse transcriptase

seperti timidine-AZT,

dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma.

Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres penyakit oleh karena

timbulnya bentuk mutasi

reverse transcriptase

yang resisten terhadap obat. Inhibitor

protease virus sekarang digunakan untuk mencegah protein prekursor m enjadi kapsid

virus matan dan protein

core

(Baratawidjaja, 2009).

(9)

2.2.

CD4

2.2.1. Definisi CD4

CD4

adalah bagian dari populasi limfosit T yang disebut sebagai sel T helper

(penolong). CD4

dalam sistem imun ditulis dengan penanda permukaan CD4

. Fungsi

utama CD4

dalam imun, meregulasi sistem imun agar bekerja dengan baik. Prosesnya

dengan merangsang sistem imun nonspesifik berupa fagosit untuk khemotaksis dan

proses fagositosis benda asing, untuk sistem imun spesifik humoral : merangsang sel B

(Limfosit B) menghasilkan antibodi dan mengatur produksi antibodi (Ripani, 2010).

Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4

+

dan mulai

menggandakan dirinya (replikasi virus). CD4

+

merupakan target utama HIV untuk

menghancurkan sistem imun tubu h. Apabila telah bereplikasi virus dan meninggalkan

CD4

+

yang telah mati, maka partikel virus baru akan mencari dan menginfeksi CD4

+

baru,

sehingga dengan demikian maka akan semakin rendah jumlah CD4

+

dalam tubuh.

Setelah melewati beberapa waktu, banyak se l-sel CD4

+

dihancurkan sehingga sistem

kekebalan tidak lagi dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit yang lain. Oleh

sebab itu pemantauan CD4

+

pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk

melihat perjalanan penyakit beserta prognosisn ya (Ripani, 2010).

Sel limfosit CD4

merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi

sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV,

namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu, HIV akan menimbulkan penurunan

jumlah sel limfosit CD4

.

Berkurangnya sel-sel TCD4

yang secara nyata terjadi di jaringan usus selama

infeksi primer, dan kemudian bergerak lambat dalam jangka bertahun -tahun dalam

bentuk laten menuju kerusakan dari sistem imun, sehingga penderita cenderung

terserang oleh infeksi patogen oportunistik . Kebanyakan pasien terlambat datang untuk

berobat, yang menyebabkan CD4

sudah sangat menurun sehingga rentan terkena

infeksi oportunistik, salah satunya adalah Tuberkulosis, ketika mereka menderita

penyakit AIDS (Subowo, 2010).

(10)

2.3.

Tuberkulosis (TB)

2.3.1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular, disebabkan oleh bakteri yang nama

ilmiahnya adalah

Mycobacterium tuberculosis

.

Mycobacterium tuberculosis

pertama kali

diisolasi pada tahun 1882 oleh seorang dokter Jerman bernama Robert Koch yang

menerima hadiah Nobel untuk penemuan ini. TB paling sering mempengaruhi paru -paru,

tetapi juga dapat melibatkan hampir semua organ tubuh (George, 2010).

Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada orang

yang menderita HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia. Infeksi HIV memudahkan terjadinya

infeksi

Mycobacterium tuberculosis.

Penderita HIV mempunyai risiko lebih besar

menderita TB dibandingkan non -HIV. Risiko ODHA untuk menderita TB adalah 10% per

tahun, sedangkan pada non-ODHA risiko menderita TB hanya 10% seumur hidup. Di

Amerika Serikat dilaporkan angka kejadi an TB dengan infeksi menurun, 4. 4 kasus baru

per 100.000 populasi (total 13.299 kasus) pada tahun 2007. Di RSU Dr. Soetomo,

dilaporkan sebanyak 25-83%. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan bahwa

TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. Dimana

World Health

Organization

(WHO) memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita

AIDS (Dian, 2009).

2.3.2. Diagnosis TB

Menurut Oxford Immunotec (2000), diagnosis TB dibagi atas :

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat)

3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang

diagnosis TB, yaitu:

Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus

bawah.

(11)

Adanya kavitas, tunggal atau ganda.

Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.

Adanya kalsifikasi.

Bayangan menetap pada foto ulang beb erapa minggu kemudian.

Bayangan milier.

4. Pemeriksaan sputum BTA

Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB Paru, namun

pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30 -70% pasien TB yang

dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.

5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen

imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik

terhadap basil TB.

6. Tes Mantoux/Tuberkulin

7. Teknik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik mel alui amplifikasi dalam

berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1

mikroorganisme dalam specimen. Juga dapat mendeteksi adanya

resistensi.

8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)

Deteksi

growth index

berdasarkan CO

2

yang dihasilkan dari

metabolisme asam lemak oleh M. Tuberculosis.

9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay

Deteksi respon humoral, berupa proses antigen -antibodi yang terjadi.

Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama

sehingga menimbulkan m asalah.

10.

MYCODOT

Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan

pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan

dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah

(12)

2.3.3. Faktor Risiko TB

Beberapa faktor risiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien

dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan

pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat

difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti HIV / AIDS, diabetes atau silikosis, serta

kekurangan gizi dan merokok. Selain itu, hasil yang merugikan secara langsung

atau secara tidak langsung berhubungan dengan alkoholisme dan penggunaan obat

intravena serta kemiskinan (WHO, 2005).

2.3.4. Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis

, organisme penyebab Tuberkulosis menyebar

hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif

menularkannya melalui batuk atau bersin. Ketika seorang individu rentan menghirup

partikel berukur <10 mikron, ia akan mencapai alveoli (kantung udara kecil) di paru

-paru, dan menetapkan infeksi TB. Dengan sistem kekebalan yang kuat, pasien tidak akan

mengembangkan penyakit TB. Orang dengan infeksi TB laten adalah asimtomatik dan

tidak menyebarkan TB ke orang lain. Satu -satunya bukti bahwa mereka telah memiliki

infeksi TB adalah hasil tes ku lit tuberkulin positif. Karena depresi sistem imunitas pada

pasien dengan penyakit HIV, sistem kekebalan tubuh tidak dapat melawan organisme

yang menyerang tubuh. Multiplikasi yang cepat terjadi pada pelbagai lokasi organ secara

bersamaan. Pasien dengan penyakit HIV mungkin tidak dapat membatasi multiplikasi

Mycobacterium tuberculosis

dan dengan demikian orang yang terinfeksi HIV mungkin

memiliki kerusakan multiorgan (Verma, 2008).

Secara klinis, Tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca primer.

Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman Tuberkulosis untuk pertama

kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung

paru) terjadi peradangan. Hal in i disebabkan oleh kuman Tuberkulosis yang berkembang

biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan

komplek primer adalah sekitar 4 -6 minggu. Kelanjutan infeksi primer tergantung dari

(13)

banyaknya kuman yang masuk dan re spon daya tahan tubuh dapat menghentikan

perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat.

Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister” atau “

dormant

”, sehingga daya

tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang

bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi

primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya

batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang -orang dengan sistem imun lemah dapat

timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular (Verma,

2008).

2.3.5. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Menurut Wikipedia (2013), gejala utama pasien Tuberkulosis paru adalah batuk

berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan

yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan

demam meriang lebih dari satu bulan. Menginga t prevalensi Tuberkulosis di Indonesia

saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut diatas,

dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien Tuberkulosis dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.3.6. Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi diagnosis TB (Oxford Immunotec, 2000) adalah:

1. TB paru

a. BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks

menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB.

b. BTA mikroskopis langsung atau biakan ( -), tetapi kelainan rontgen dan

klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti

TB (initial therapy).

(14)

Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan

BTA didapat (paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis

langsung (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum

lengkap, tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan

dengan anti TB sudah dapat dimulai.

3. Bekas TB (tidak sakit)

Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan

atau gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial

dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati.

2.3.7. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Menurut Jawetz et al., (2002) penatalaksanaan TB adalah dengan

memberikan Obat anti TB (OAT). OAT harus diberikan dalam kombinasi

sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan

pemberian OAT, antara lain:

Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat

mungkin melalui kegiatan bakterisid.

Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah

pengobatan dengan kegiatan sterilisasi.

Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui

perbaikan daya tahan imunologis.

Maka pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:

a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan

populasi kuman yang membelah dengan cepat.

b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan

jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan

konvensional.

(15)

OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid

(Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambutol (E) yang bersifat

bakteriostatik.

Gambar

Gambar 2.1. Struktur HIV Sumber: Castillo, 2005
Gambar 2.2. Patofisiologi HIV Sumber: Castillo, 2005

Referensi

Dokumen terkait

Future model experiencing transformation model in processing information which allow the process of collaboration between user (community), government application

1) Hasil analisis efisiensi penggunaan modal kerja pada Usaha Roti Fryda Pati diperoleh hasil rata-rata kas berputar sebanyak 10 kali selama tiga tahun terakhir sehingga

Oleh karena itu dalam penulisan ilmiah ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana cara pembuatan aplikasi kegiatan penyewaan dan pembayaran kamar dengan menggunakan visual basic 6.0

Dengan adanya website ini akan mempermudahkan dalam menginformasikan apotik hidup berupa tanaman-tanaman yang berkhasiat serta informasi yang menyangkut tentang

Karena pengaruh gereja yang begitu kuat, pada masa tersebut jika ada sesuatu yang bertentangan dengan aturan gereja akan dihukum yang tidak jarang

Sedangkan menurut Nana Sudjana (2010: 35) menyatakan “Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999 adalah sistem politik Indonesia yang kembali kepada

Terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada materi Virus kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model Numbered Heads Together (NHT) berbantuan Flipbook dan