• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN INVOLUSI UTERUS SAPI RETENSI PLASENTA DITERAPI SULFADIAZINE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN INVOLUSI UTERUS SAPI RETENSI PLASENTA DITERAPI SULFADIAZINE"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN INVOLUSI UTERUS SAPI RETENSI PLASENTA

DITERAPI SULFADIAZINE 100 mg dan TRIMETHOPRIM 200 mg BERBENTUK BOLUS

USG Image of Cows Uterine Involution with Retained Fetal Placenta which is Treated using Sulfadiazine 100 mg dan Trimethoprim 200 mg in Bolus

Reni Novia¹⁾ Ligaya ITA Tumbelaka²⁾, Amrozi³⁾

ABSTRACT

The effect of retained fetal placenta on uterine involution was observed in 9 Holteins cows which were under dairy farm conditions, and divided into 3 groups (3 cows/group). Group 1 is cows with retained fetal placenta which was treated with bolus antibiotics (Sulfadiazine 100 mg dan Trimethoprim 200 mg), group 2 is cows with retained fetal placenta which was not treated antibiotics and group 3 is normal parturition cows which obtained same treatment with group 1. The current study was conducted to observe the USG image of uterus involution to record cervic and cornua uterus diameters by ultrasonography in cows in those three groups. In addition, the total number of leukocit was also observed in 9 Holteins cows. The result of this research showed that cervic and cornua uterus diameters significantly declined over time (p<0.05). Group 3 needs five weeks until the cows got estrus with the diameter of cervic 5.43±0.49 cm and cornua uterus reach diameters 5.19±0.61 cm whereas group 1 and group 2 need 8 weeks with the diameter of cervic 5.12±0.13 cm and cornua 4.23±0.34 cm, cervic 5.83±1.04 cm and cornua 5.50±0.62 cm respectively. This result indicated that bolus is effective for cows that had retained fetal placenta to declined cervic and cornua diameter.

Keywords: Retained fetal placenta, puerperium, uterus involution, reproductive disorders.

Pendahuluan

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala yang mengakibatkan rendahnya angka produktivitas. Salah satu kendala yang sering dihadapi peternak adalah munculnya gangguan reproduksi setelah melahirkan dan pada masa laktasi. Retensi plasenta merupakan salah satu gangguan reproduksi setelah melahirkan yang paling sering dikeluhkan oleh peternak. Menurut penelitian yang telah dilakukan, prevalensi kejadian retensi plasenta pada usaha peternakan dapat mencapai 4-18% dari jumlah kelahiran (Samad et al. 2006). Retensi plasenta adalah suatu kondisi terhambatnya pengeluaran plasenta lebih dari 12 jam setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal dan eksternal seperti uterus paresis, aborsi, stres, terlambat melahirkan atau prematur, distokia, kembar, status hormonal yang tidak seimbang, infeksi, faktor genetik, defisiensi vitamin dan mineral (Han Kyung 2008). Retensi plasenta dapat mengakibatkan penurunan reproduksi sehingga servis per conseption meningkat, days open dan calving interval menjadi lebih panjang. Oleh karenanya menyebabkan kerugian ekonomi pada peternak (Hwa Kim 2008).

(2)

Involusi uterus adalah pengembalian fungsi dan ukuran uterus ke fungsi dan ukuran normalnya saat tidak bunting. Pada sapi perah dengan kelahiran normal (eutokia) involusi uterus terjadi selama 35-40 hari post partus (Ahmed 2009). Involusi uterus sangat bergantung pada 3 hal yaitu kontraksi miometrium, eliminasi bakteri dan regenerasi dari endometrium (Arthur 1996). Setelah melahirkan sapi akan mengalami perubahan fisiologis yang dapat berdampak pada penurunan sistim pertahanan tubuh pada tingkat selular dan konsentrasi hormonal dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan resiko infeksi pada uterus. Involusi uterus harus terjadi secara aseptik akan tetapi beberapa kondisi di lapangan seperti retensi plasenta memungkinkan terjadinya kontaminasi patogen di uterus dan dapat menyebabkan kondisi imunosupresif (Cai 2000). Berdasarkan hasil penelitian Levkut (2002), sapi dengan masa involusi uterus melebihi normal yang disebabkan oleh gangguan reproduksi post partus seperti retensi plasenta memiliki jumlah leukosit yang lebih tinggi dibandingkan sapi dengan panjang involusi uterus yang normal, hal itu merupakan suatu reaksi untuk membendung adanya peradangan akibat infeksi bakteri. Penurunan sistim imun setelah melahirkan akan menyebabkan sapi mudah terinfeksi penyakit (Kimura 1999). Penggunaan antibiotika berbentuk bolus yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim umum digunakan mengikuti terapi retensi plasenta pada sapi perah (Gilbert et al. 2002), bolus tersebut digunakan secara intrauterus untuk mengeliminasi bakteri yang menginfeksi uterus seperti Escherichia coli,

Fusobacterium necrophorum, Corynebacterium pyogenese, Archanobacterium

pyogenes, Staphylococcus aureus (Green 1997).

Pengamatan organ reproduksi betina pada sapi perah seperti cerviks uterus, kornua uterus secara transrektal dengan ultrasonografi telah banyak digunakan pada beberapa penelitian sebelumnya (Okano dan Tomizuka 1987; Hwa-kim 2008). Namun demikian belum pernah dilaporkan bagaimana gambaran proses involusi uterus sapi yang diterapi bolus antibiotika tersebut menggunakan ultrasound. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran ultrasonografi proses involusi uterus sapi yang mengalami retensi plasenta diterapi sulfadiazine 100 mg dan trimethoprim 200 mg berbentuk bolus.

Materi dan Metode Penelitian

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan April 2010 sampai Juli 2010 di kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah Tapos Ciawi Kabupaten Bogor. Analisa total leukosit darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Hewan Percobaan

Sebanyak 9 ekor sapi betina Frisian Holstein (FH) post partus digunakan dalam penelitian ini. Sapi dengan kondisi sehat fisik, body condition score 2-3 dan partus periode pertama. Sapi dikandangkan yang sama dan diberikan pakan (hijauan dan konsentrat) dan air ad libitum dalam jumlah, jenis dan waktu yang sama pula.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah lubrican (KY jelli), bolus antibiotika yang berisi sulfadiazine 100 mg dan trimethoprim 200 mg. Alat yang digunakan adalah

(3)

USG (SIUI tipe CTS- 7700V, SIUI Co. Ltd. China) dengan linear probe 7 MHz dan printer (SONY, UP-895 MD), Video Graphic Printer, Japan), sarung tangan plastik (Europlek®, Divasa Farmativa, S. A.).

Prosedur Penelitian

Sapi dibagi kedalam 3 kelompok masing-masing 3 ekor sapi (n=3). Kelompok l (retensi+bolus) adalah sapi post partus dengan retensi plasenta dan diterapi secara intrauterus dengan 3 bolus antibiotika (sulfadiazine 100 mg dan trimethoprim 200 mg) pada hari pertama partus (H0). Kelompok 2 (retensi-bolus) adalah sapi post partus dengan retensi plasenta dan tidak diberikan terapi bolus antibiotika. Kelompok 3 (normal+bolus) adalah sapi post partus normal dan diberikan terapi 3 bolus antibiotika sebagai kelompok kontrol.

Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan terhadap perubahan diameter cerviks uterus dan kornua uterus. Diameter cerviks uterus diukur pada bagian tengah cerviks uterus dan diameter kornua uterus diukur pada bagian pangkal kornua uterus berdasarkan potongan melintang dari sumbu terpanjang (KimYungJun 2006). Perubahan diameter cerviks uterus dan kornua uterus diamati seminggu sekali dimulai pada H7 (minggu ke-1) (Dolezel et al 2008). Pengukuran terhadap diameter cerviks uterus dan kornua uterus dihentikan jika hewan percobaan kembali estrus dan di inseminasi buatan.

Analisis Statistika

Hasil pemeriksaan cerviks uterus, kornua uterus, leukosit darah dianalisis dengan rancangan acak lengkap in time (RAL in time) menggunakan software statistik SPSS versi 16.0 (Steel & Torrie 1999).

Hasil dan Pembahasan

Diameter Cerviks Uterus dan Kornua Uterus

Berdasarkan hasil penelitian, Pada gambar 1 terlihat bahwa kecepatan penurunan diameter cerviks uterus dan kornua uterus pada kelompok 1 dan kelompok 2 membutuhkan waktu 8 minggu, sedangkan pada kelompok 3 membutuhkan waktu 5 minggu. Berdasarkan analisis statistika menunjukan bahwa waktu involusi uterus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kecepatan penurunan diameter cerviks uterus dan kornua uterus. Dari hasil penelitian tampak bahwa sapi kelompok 3 menunjukan gejala estrus kembali disaat diameter cerviks uterus mencapai ukuran 5,43±0,49 cm dan kornua uterusnya 5,19±0,61 cm di minggu ke-5 pengamatan, sedangkan pada minggu pengamatan tersebut secara berturut-turut kelompok 1 diameter cerviks uterus dan koruna uterusnya baru mencapai 6,21±0,46 cm dan 5,35±0,33 cm, kelompok 2: 6,73±0,87 cm dan 6,30±0,53 cm dan belum menunjukkan gejala estrus. Gejala estrus pada kelompok 1 dan 2 baru terlihat pada minggu ke-8 pengamatan pada saat diameter cerviks uterus sebesar 5,12±0,13 cm dan kornua uterusnya 4,23±0,34 cm, cerviks uterus 5,83±1,04 cm dan kornua uterusnya 5,50±0,62 secara berurutan.

Berdasarkan hasil penelitian kelompok 3 memiliki ukuran diameter cerviks uterus dan kornua uterus lebih kecil dari kelompok 1 pada saat kembali estrus di minggu pengamatan ke-5, tetapi lebih besar dari ukuran cerviks uterus dan kornua uterus sapi dengan kelahiran normal dari beberapa penelitian

(4)

sebelumnya yaitu 3-4 cm pada 30-40 hari post partus. Berdasarkan penelitian Konyves (2009), hal ini dikarenakan kelompok 3 melahirkan secara normal dan diberikan bolus antibiotika sehingga dimungkinkan cairan lochia lebih cepat mengering dan luka peradangan lebih cepat sembuh dan estrus muncul kembali walaupun diameternya lebih besar dari ukuran diameter cerviks uterus dan kornua uterus normal sapi post partus. Penelitian Spigel (2001) dan Levkut (2002), mengaitkan kesuksesan terapi bolus antibiotika post partus dengan cairan lochia, pada sapi dengan kelahiran normal dan diterapi dengan bolus antibiotika cairan lochia akan mengering rata-rata 10 hari post partus dan diikuti dengan hancurnya bolus antibiotika di dalam uterus sehingga zat aktif bolus diserap sempurna karena lebih mudah menembus dinding endometrium untuk mengeliminasi infeksi bakteri di uterus. Sapi dengan kelahiran yang diikuti retensi plasenta, cairan lochia rata-rata mengering 20-25 hari post partus, sehingga jika diberikan bolus antibiotika, hancurnya bolus tidak diikuti dengan mengeringnya cairan lochia di dalam uterus sehingga zat aktif bolus hanya dalam jumlah sedikit yang dapat menembus dinding endometrium (Sheldon 2004).

Dari hasil penelitian diketahui juga, kelompok 1 memiliki rataan diameter cerviks uterus dan kornua uterus yang lebih kecil pada saat kembali estrus jika dibandingkan dengan kelompok 2, hal ini disebabkan adanya eleminasi bakteri di uterus yang diberikan bolus (Klp 1) sehingga membantu persembuhan luka. Pada penelitian Cai (2000) menyatakan bahwa karena sapi yang melahirkan dengan kejadian retensi plasenta mengalami perubahan fisiologis yang berdampak pada penurunan sistim pertahanan tubuh pada tingkat selular dan hormonal sehingga meningkatkan resiko infeksi pada uterus maka penggunaan terapi bolus antibiotika pada sapi yang mengalami retensi plasenta sangat diperlukan. Penelitian Han Kyung (2008), plasenta sapi yang menggantung di luar vulva lebih dari 24 jam pada kejadian retensi plasenta, akan membuat bakteri lingkungan mudah masuk kedalam uterus, sehingga apabila tidak diberikan bolus antibiotika maka persembuhan luka akan menjadi lebih lama dan dapat memperpanjang masa involusi uterus.

Menurut Kaczmarowski (2005) level progesteron pada kejadian retensi plasenta post partus lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang melahirkan normal, hal ini terjadi karena adanya gangguan pada plasenta untuk memproduksi enzim spesifik steroidal yang berfungsi untuk proses metabolisme progesteron dan mengubahnya menjadi estrogen, kejadian ini akan menginduksi akumulasi protein immunosupresif di lumen uterus sehingga uterus mudah terinfeksi bakteri sehingga kontraksi post partus untuk mengeluarkan cairan lochia akan terganggu. Selain itu menurut Kimura (1999) cairan lochia merupakan media yang memungkinkan kontaminasi patogen di uterus sehingga kondisi imunosupresif lebih jelas terlihat.

(5)

Gambar 1. Grafik pengukuran diameter uterus, A (cerviks) dan B (kornua) pada ketiga kelompok penelitian. Kelompok 1 dan 2 waktu involusi uterusnya membutuhkan waktu 8 minggu untuk kembali estrus sedangkan kelompok 3 membutuhkan waktu 5 minggu.

SIMPULAN

Pemberian bolus pada kelompok sapi perah betina yang mengalami retensi plasenta menunjukan pengaruh yang berarti terhadap pengembalian ukuran uterus ke ukuran normal betina siklus sepanjang waktu pengamatan.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pilihan obat yang paling berpengaruh terhadap penyembuhan retensi plasenta di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arthur HG. 1996. Veterinary Reproduction & Obstetrics. Saunders Company Ltd, London.

Ahmed. 2009. Strategy Trials For Prevention of Retained Fetal Membranes In Frisien Herd In Egypt. J. Global Veterinaria 3(1): 63-68.

Cai TQ. 2000. Association between neutrophil functions and periparturient disorders in cows. J. Vet Res 55:934-943.

A

(6)

Dolezel R, Vecera M, Palenik T, Cech S dan Vyskocyl M. 2008. Systematic clinical examination of early postpartum cows and treatment of puerperal endometritis did not have any beneficial effect on subsequent reproductives performance. J. Ved Med 53(2):59-69.

Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. Wallingford, UK: CAB International.

Green. 1997. Biochemical Blood Indices in Cow with Retained Fetal Placenta. J. Dairy Sci 77:330-340.

Gilbert, Ekman T dan Esteras O. 2002. Retained Fetal Placenta and Dry Cow Therapy. J. Vet Med (10-11):277-282.

Han Kyung. 2005. Risk Factor for retained Placenta and the effect of retained performance in dairy cows. J. Vet Sci 6(1):53-59.

Hwa Kim. 2008. Comparative Study of the Three Different Times for Manual Removal of Retained Fetal Membrane in The cow. J. Animal and Vet advances 7(2): 203-206.

Jhonson M. 2009. Histological and Ultrasonographic Monitoring of Folliculogenesis in Dairy Cow. J. Vet Sci 6(9):56-59.

Kimura K. 1999. Phenotipe analysis of peripheral blood mononuclear cells in periparturient dairy cows. J. Dairy Sci 82:315-319.

Kaczmarowski. 2005. Some Hormonal and Biochemical Blood Indices in Cow with Retained Fetal Placenta and Puerperal Metritis. J. Bull Vet Inst Pulawy 50: 89-92.

Kim YungJun. 2006. Ultrasound Guided Follicle Aspiration and IVF in Dairy Cows Treated with FSH after Removal of Estrus cycle. J. Vet Med Sci 59(5):371-376.

Konyves L. 2009. Risk Assessment and Consequences of Retained Placenta for Uterine Health, Reproduction and Milk Yield in Dairy Cows. J. ACTAVET 78:163-172.

Lewis GS. 1997. Uterine health and disorders. J. dairy Sci 80:984-994.

Levkut M. 2002. Comparition of Imune Parameters in Cows with Normal and Prolonged involution time of uterus. J. Vet Med (10-11):277-282. Okano A dan Tomizuka T. 1987. Monitoring and Comparing Follicular

Ultrasonography. J. Veterinary and Animal Sciences 20(2000):141-147.

Samad M, Rahman H dan Islam TS. 1991. Factors Associated with Placental retention in Dairy Cattle. J. Arabian AnimalBreeding and Infertility. 59.

Steel RGD dan Torrie JH. 1999. Prinsip dan Prosedur Statistika. B Sumantri, Penerjemah: Jakarta. Gramedia.

Spigel. 2001. Clinical and Teraupeutic Aspect of Retained Fetal Placenta in Dairy Cows Under Intensive management. J. The Faculty of Veterinary Medicine for Public Criticism 20(2001):121-156.

Sheldon IM. 2004. The postpartum uterus. Vet. Clin. Nort Am. Food. Anim. Pract 20(3):569-591.

Widmer. 1997. Monitoring and Comparing Follicular and Luteal Fuction Between Genetically High and Low Producing Dairy Cows by Ultrasonography. J. Veterinary and Animal Sciences 23(1999):141-147.

(7)

Gambar

Gambar  1.  Grafik  pengukuran  diameter  uterus,  A  (cerviks)  dan  B  (kornua)  pada  ketiga  kelompok  penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Moreover, to fully comprehend the character, the writer limits the indicator and theory uses to analyze Malala Yousafzai, the writer uses Circle of Courage to guide her

Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui kualitas proses pembelajaran yang meliputi tingkat partisipasi siswa dalam diskusi kelas,

[r]

Di dalam penyusunan proposal Tugas akhir ini akan di desain sebuah Pusat pelatihan manajerial yang menjawab kebutuhan perusahaan dan instansi untuk

Salah satu Produk De Nature adalah Ambejoss yang terbuat dari ekstrak daun ungu, mahkota dewa, kunyit putih Sedangkan Salep salwa dibuat dengan campuran propolis murni,

1) Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan dasar. 2) Memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia

Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu

Kegiatan perdagangan tidak terbatas di lembah sungai Indus saja. Masyarakat Mohenjo Daro kemungkinan besar telah berhubungan dagang dan pelayaran dengan bangsa- bangsa lain