• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Umum tentang Penuntut Umum

a.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa yang mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai penuntut umum. Pasal 1 butir 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pengertian jaksa dan penuntut umum sebagai berikut:

1) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putasan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2) Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan penuntut umum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

b.

Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Apabila Pasal 1 butir 6a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka dapat disimpulkan tugas jaksa adalah:

1)

Sebagai penuntut umum yaitu melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan pengadilan;

(2)

2) Melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penuntut umum mempunyai wewenang:

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b) Mengadakan pra penuntutan apabila ada

kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 dengan memberi pentunjuk dalam rangkapenyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau merubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan kepada penyidik;

d) Membuat surat dakwaan;

e) Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g) Melakukan penuntutan;

h) Menutup perkara demi kepentingan umum;

i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab penuntut umum menurut ketentuan undang-udang ini;

j) Melaksanakan penetapan hakim. Kewenagan penuntut umum harusn sesuai dengan undang-undang:

(3)

Pengertian tindakan lain dalam penjelasan pasal tersebut adalah meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik,penuntut umum dan pengadilan.

2. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian

Pengertian pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian.Arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah terbukti (Yahya Harahap, 2006:273-274). Menurut Subekti pengertian membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (Subekti, 2007:1).

Menurut Adami Chazawi pembuktian ditujukan untuk memutuskan suatu perkara pidana dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan, yaitu terbukti terjadinya tindak pidana, terdakwa melakukannya dan keyakinan terdakwa bersalah. Sebaliknya, apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar atau alasan

(4)

yang meniadakan pidana baik di dalam undang maupun di luar undang-undang, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhi amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (Adami Chazawi, 2008:31).

b. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Alat-Alat Bukti

Mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat bukti tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan merupakan hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif yaitu terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya apabila alat-alat bukti itu ada ditambah keyakinan hakim sendiri. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185-189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Adami Chazawi,2008:36-37). Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) meliputi:

1) Keterangan Saksi

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan batasan pengertian keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Suatu fakta yang didapat dari keterangan seorang saksi tidaklah cukup, dalam arti tidak bernilai pembuktian apabila tidak didukung oleh fakta yang sama atau disebut bersesuaian yang didapat dari saksi lain atau alat bukt lainnya. Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa: ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Jadi nilai pembuktian keterangan saksi adalah bukan terletak dari banyaknya atau kuantitas saksi, tetapi dari kualitasnya. Artinya, isi atau fakta apa yang diterangkan satu saksi bernilai pembuktian apabila bersesuaian dengan isi dari keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain. Berapapun banyaknya saksi

(5)

tetapi isi keterangannya berdiri sendiri tidaklah berharga. Kecuali apabila isi keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tersebut adalah berupa fakta-fakta mengenai suatu kejadian atau keadaan yang ada hubungan yang sedemikian rupa, sehingga saling mendukung dan membenarkan, yang jika dirangkai dapat menunjukkan kebenaran atas suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dengan demikian, dapat dirangkai menjadi satu alat bukti yang disebut dengan alat bukti petunjuk. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Adami Chazawi, 2008:52 54).

2) Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)). Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Ketrangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan atau fakta. Diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli (Wirjono Prodjodikoro, 1985:128). Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti keterangan ahli (Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti surat (Pasal 187 butir c Kitab Undang-UndangHukumAcara Pidana (KUHAP)).

3) Alat Bukti Surat

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang alat bukti surat hanya dua pasal, yakni Pasal 184 dan secara khusus Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada empat surat yang dapat digunakan sebagai alat bukti. Tiga surat harus dibuat diatas

(6)

sumpah atau dikuatkan dengan sumpah (Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP)), sedangkan surat yang keempat adalah surat dibawah tangan (Pasal 187 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)). Tiga jenis surat yang dibuat diatas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah tersebut adalah:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat jaksa penuntut umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliann mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan (Adami Chazawi, 2008:70). 4) Alat Bukti Petunjuk

Alat bukti petunjuk bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari batasanya dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: ”petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Karena alat bukti petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan (Adami Chazawi, 2008:72-73). Alat bukti petunjuk hanya dapat

(7)

dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

5) Keterangan Terdakwa

hal yang sangat penting dalam pembuktian suatu perkara pidana, hal ini dikarenakan dari keterangan terdakwa dapat diketahui bagaimana suatu tindak pidana terjadi dan menjadi penentu putusan dari tindak pidana tersebut.

a) Sering kali keterangan terdakwa tidak bersesuaian dengan isi dari alat-alat bukti lain, misalnya keterangan saksi;

b) Pada diri terdakwa mwmiliki hak untuk bebas berbicara termasuk yang isinya tidak benar;

c) Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan terdakwa yang berisi penyangkalan terhadap dakwaan (Adami Chazawi,2008:87).

Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian. Dari ketentuan Pasal 189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didapatkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian,yaitu:

a) Keterangan terdakwa haruslah dinyatakan dimuka sidang pengadilan;

b) Isi keterangan terdakwa haruslah mengenai tiga hal yaitu perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang diketahuinya sendiri, dan kejadian yang dialaminya sendiri;

c) Nilai ketarangan terdakwa hanya berlaku sebagai bukti untuk dirinya sendiri; d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah melakukan tindak pidana, melainkan harus ditambah dengan alat bukti yang lain (Adami Chazawi, 2008:89).

Mengenai barang bukti tidak diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau di dalam pasal tersendiri di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai salah satu syarat dalam pembuktian, namun dalam praktik peradilan barang bukti tersebut dapat

(8)

memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian di persidangan.

Barang bukti adalah benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan (Simorangkir dkk, 2004:14). Barang bukti yang dimaksud diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang apa saja yang dapat dikenakan tindakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan, barang bukti tersebut dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti dan guna dilakukanya pengesahan terhadap barang bukti dilakukan dengan cara memperlihatkan langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan didalam persidangan guna terang dan ditemukannya fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidak salahan terdakwa sendiri (arisirawan.wordpress.com/.../peranan-barang-bukti dalam-pembuktian-perkara-pidana-menurut-pasal-183-k-u-h-ap/..peran barbuk ps 183> diakses pada tgl 17-11-2015 pukul 20.00).

Kekuatan alat bukti atau juga di sebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah psikososial (kode etik, kualitas sikap penegak hukum, dan hubungan dengan warga masyarakat)dan pertisipasi masyarakat. Salah bsatu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah.

Suatu sikap tindak atau perilaku hukumk dianggap efektif, apabila sikap dan perilaku pihak lain menuju kesatu tujuan yang dikehendaki artinya apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Tetapi kenyataannya tidak jarang orang tidak mengacu atau bahkan melanggar dengan terang-terangan, yang berarti orang itu tidak taat hukum.

Diformulasikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP adanya 5 (lima) alat bukti yang sah. Dibandingkan dengan hukum acara pidana terdahulu

(9)

yaitu HIR (Stb. 1981 Nomor 44), ketentuan mengenai alat-alat bukti yang diatur oleh KUHAP ini mempunyai perbedaan yang prinsip dengan HIR.

Susunan alat-alat bukti dalam HIR dilukiskan dalam HIR dilukiskan dalam Pasal 295 HIR. (Martimah prodjohamirdjojo, 2001 : 106-107) adalah:

a) Ketentuan saksi (kesaksian) b) Surat-surat

c) Pengakuan, dan

d) Tanda-tanda atau penunjukan.

c. Teori atau Sistem Pembuktian

Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau teori pembuktian sebagai berikut:

1) Sistem Positif menurut Undang-Undang (Positif Wettelijk) Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2003: 278).

Sistem ini berdasarkan Undang-Undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Keyakinan hakim dalam hal ini tidak boleh berperan (Leden Marpaung, 2011: 26).

Menurut D. Simons yang dikutip oleh Andi Hamzah (Andi Hamzah, 2008: 251): “Sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang secara positif (positif wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”.

Sistem ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.Sistem ini berpedoman pada prinsip dan pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditemukan Undang-Undang. Dengan demikan walaupun

(10)

hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa.

2) Sistem Negatif menurut Undang-Undang (Negatief Wettelijk) Sistem Negatief Wettelijk ini memadukan unsur subyektif dan obyektif dalam

menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur dari keduanya tidak ada maka tidak akan cukup untuk mendukung keterbuktian suatu kesalahan terdakwa

Pembuktian menerut sistem ini seorang hakim ditentukan/ dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan Undang-Undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai atau menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh Undang-Undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran”.

Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu:

(1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

(2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif’ dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 279).

Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu “Hakim tidak boleh menjatuhkan

(11)

pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”.

Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang (Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254).

3) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Berdasarkan Alasan yang Logis (Conviction Rasionee)

Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya,keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu( Andi Hamzah,2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini faktor kebebasan hakim lebih di batasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan –alasan yang logis dalam menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil suatu putusan.

4) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu (Conviction In time)

Teori pembuktian keyakinan hakim melulu suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan.Menurut Andi Hamzah Teori Conviction In Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-Undang. Teori berdasar keyakinan hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-Undang (Andi Hamzah, 2008: 252).

(12)

Menurut M. Yahya Harahap, conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2001: 277).

3. Tinjauan tentang Dakwaan a.Pengertian Dakwaan

Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan (Andi Hamzah,2008:167).

Pengertian tentang surat dakwaan telah dikemukakan oleh berbagai pakar di bidang ilmu hukum pidana atau hukum acara pidana. Pengertian-pengertian tersebut antara lain:

1) Harun M. Husein mengemukakan pengertian surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat yang mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan disidang pengadilan (Harun M. Husein, 1994:43).

2) Yahya Harahap menyatakan bahwa urat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang dari dakwaan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam

(13)

pemeriksaan dimuka sidang pengadilan (Yahya Harahap, 2000:375-376).

3) Soetomo merumuskan surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggung jawabkan untuk perbuatan tersebut (Soetomo, 1989:4).

Inti persamaan dari berbagai definisi di atas adalah:

a) Surat dakwaan merupakan suatu akte dan sebagai suatu akte surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatan dan tanda tangan pembuatnya; b) Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu

mengandung elemen yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana;

c) Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa harus dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan erundang-undangan;

(14)

d) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan (Harun M. Husein, 1994:45).

b. Syarat-syarat Surat Dakwaan

Berdasarkan Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil.

1) Syarat Formil Syarat formil diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam syarat ini hendaknya surat dakwaan diberi tanggal, menyebutkan dengan lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa kemudian surat itu harus ditandatangani oleh penuntut umum. 2) Syarat Materiil Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang dilakukan dengan menyebutkan waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Adapun pengertian dari cermat, jelas dan lengkap adalah sebagai berikut (Darwan Prinst, 1998:117-119): a) Cermat, yaitu ketelitian penuntut umum dalam membuat surat dakwaan yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku serta menghindari hal-hal yang akan berakibat bahwa dakwaan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan.

b) Jelas, yaitu bahwa penuntut umum harus merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus mengadukan dengan uraian perbuatan material atau fakta yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan.

c) Lengkap, yaitu surat dakwaan harus mencakupi semua unsur yang ditentukan oleh undang-undang dengan baik dan benar.

(15)

c. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan

Undang-undang tidak mengatur mengenai bentuk surat dakwaan. Bentuk surat dakwaan lahir dari ilmu pengetahuan hukum dan kemudian berkembang dalam praktek (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:24). Didalam praktek dan perkembangan dewasa ini dikenal 5 (lima) bentuk surat dakwaan, yaitu:

1) Surat Dakwaan Tunggal

Apabila jaksa penuntut umum berpendapat dan yakin benar bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya merupakan satu tindak pidana saja dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:24). Contoh dakwaan tunggal misalnya hanya didakwakan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP).

2) Surat Dakwaan Alternatif

Dibuat jaksa penuntut umum jika dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan tindak pidana tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Dalam hal ini jaksa penuntut umum belum mengetahui secara pasti apakah tindak pidana yang satu atau yang lain dapat dibuktikan dan ketentuan manakah yang akan diterapkan oleh hakim. Konsekuensi pembuktiannya adalah apabila dakwaan yang dimaksudkan telah terbukti, maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Jaksa penuntut umum dapat langsung membuktikan dakwaan yang dianggap terbukti, tanpa terikat oleh urutan dakwaan yang tercantum dalam surat dakwaan. Jadi disini ada faktor memilih, dakwaan yang mana yang dapat dibuktikan (Kejaksaan Agung Republik Indonesia,1985:26).

Dakwaan alternatif ini digunakan penuntut umum dalam hal kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak atau ciri yang sama atau hampir bersamaan dan biasanya menggunakan kata sambung atau (http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/.../doc.pdf >) Contoh dakwaan alternatif misalnya adalah pencurian atau penadahan. Bentuk dakwaannya, yaitu: Pertama : pencurian (Pasal 362 KUHP)

(16)

Kedua : penadahan (Pasal 480 KUHP)

3) Surat Dakwaan Subsidair

Bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum bilamana jaksa penuntut umum berpendapat bahwa terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana akan tetapi ia ragu-ragu tentang tindak pidana apa yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam dakwaan ini dirumuskan beberapa perumusan tindak pidana yang disusun sedemikian rupa dari yang paling berat sampai yang ringan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari pemidanaan. Konsekuensi pembuktiannya adalah pertama-tama harus diperiksa terlebih dahulu dakwaan primair dan apabila tidak terbukti baru beralih ke dakwaan sibsidair, dan demikian seterusnya. Tetapi sebaliknya apabila dakwaan primair telah terbukti, maka dakwaan subsidairnya tidak perlu dibuktikan lagi dan seterusnya (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:25 26). Contoh dakwaan subsidair misalnya:

Primair : pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Subsidair : pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

Lebih Subsider : penganiayaan berat yang mengakibatkan mati (Pasal 355 KUHP).

4) Surat Dakwaan Kumulatif

Dibuat oleh jaksa penuntut umum bila ia berpendapat bahwa terdakwa melakukan dua atau lebih tindak pidana. Dalam surat dakwaan ini beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu terhadap yang lain dan didakwakan secara serempak. Yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku tindak pidana adalah terdakwa yang sama. Konsekuensi pembuktiannya adalah masing-masing dakwaan harus dibuktikan sedangkan yang tidak terbukti secara tegas harus dituntut bebas atau lepas dari tuntutan hukum (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:25). Jaksa penuntut umum menerapkan dua pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung “dan” (http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/.../doc.pdf >

(17)

diakses pada tanggal 12-09-2015 pukul 19.15) Contoh dakwaan kumulatif misalnya: Kesatu : pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

Kedua : pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP).

5) Surat Dakwaan Kombinasi

Surat dakwaan kombinasi merupakan bentuk surat dakwaan yang didalamnya mengandung bentuk dakwaan kumulatif, yang masing-masing dapat terdiri pula dari dakwaan subsidair dan atau alternatif atau dapat juga antara bentuk subsidair dengan kumulatif (Kejaksaan Agung Republik Indonesia,1985:27).

Contoh dakwaan kombinasi misalnya:

Kesatu Primair : pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Subsidair : pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).

Kedua Primair : sengaja membakar (Pasal 187 KUHP).

Subsidair : karena kesalahannya yang mengakibatkan kebakaran (Pasal 188 KUHP).

Ketiga Primair : pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP).

Subsidair : pencurian pada waktu malam hari yang dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih (Pasal 363 KUHP).

4. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim a. Kajian Umum tentang Hakim

Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ( Bambang Poernomo,1988:30).

Menurut ketentuan KUHAP Pasal 1 butir (8) yang dimaksud dengan pengertian hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang yang mengadili. Sedangkan menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hakim pada Mahkamah

(18)

Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam linkungan peradilan umum ,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer , lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan tersebut.

Menurut Pasal 19 hakim adalah pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela ,jujur,adil,profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Kebebasan peradilan dan kebebasan hakim merupakan syarat mutlak bagi suatu Negara hukum. Peradilan yang bebas dapat memberikan suatu keadilan tanpa dipengarui oleh kekuatan dan kekuaaan dari pihak manapun dalam bentuk apapun. Kebebasan hakim juga mutlak diperlukan terutama untuk menjamin keobyektifan hukum dalam putusannya, kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan adanya suatu hak-hak istimewa dari para hakim untuk daapat berbuat sebebas-bebasnya terhadap suatu perkara yang diperiksa karena hakim harus terikat dan tunduk pada hakim.

b.Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Putusan yang dijatuhkan hakim terhdap suatu perkara, harus benar-benar menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi , 2007:193).

1) Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan oada fakta – fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan ( Rusli Muhammad,2007 212-220)

(19)

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan

yang bersifat yuridis ini diantaranya

yaitu(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf): a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

b) Tuntutan Pidana

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.

c) Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Keterangan saksi merupakan

(20)

keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sabagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan.

d) Keterangan Terdakwa

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e, keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.

e) Barang-barang Bukti

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.

2) Pertimbangan Non Yuridis

Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.

(21)

Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku.

3) Pertimbangan Sosiologi

Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang rumusannya: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Sebagai upaya pemenuhan yang menjadi kehendak rakyat ini maka di keluarkan berbagai peraturan Perundang-Undangan yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tujuan agar penegakan hukum di Indonesia dapat dipenuhi. Salah satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berkaitan dengan masalah ini adalah :

“Hakim sebagai penegak hukum ,menurut Pasal 5 ayat ( 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Hakim wajib menggali , mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jadi ,hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat sehingga dia harus turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan,dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian ,hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut

(22)

,dikalangan praktisi hukum terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata pradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka yang penuh dengan muatan normatif dan diikuti dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif. Dengan demikian penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cederung dibebani tanggungjawab yang sangat berat dan tidak terwujud.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan adalah:

(1) Memperhatikan sumber hukum tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;

(2) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa;

(3) Memperhatikan ada atua tidaknya perdamaian ,kesalahan, peran korban;

(4) Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

(5) Faktor kebdayaan,yaitu sebagi hasil karya cipta dn rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Penjatuhan putusan apapun bentuknya akan berpengaruh besar baik pelaku ,masyarakat dan hukum itu sendiri. Oleh karna itu,semakin besar dan banyak pertimbangan haakim aka akan seakin mendekati keputusan yang rasional dan dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu, juga harus diperhatikan sistem pembuktian yang dipakai di Indonessia yakni hakim harus berusaha untuk menetapkan hukuman yang dirasa oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil.

Penyusunan surat putusan pengadilan harus didasarkan pada Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,serta surat putusan pemidanaan harus memuat persyaratan sebagai mana diatur dalam Pasal 197 KUHAP.

(23)

4) Pertimbangan yang Memberatkan dan Meringankan

Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Lalu hakim juga harus mempertimbangkan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya.

Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan.

(1) Pertimbangan yang Memberatkan

(a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

“bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya”

Kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem

Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop

(adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana).

(b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan Dalam hal ini yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana yaitu meresahkan masyarakat.

(24)

(2) Hal-hal yang Meringankan

Menurut KUHP alasan-alasan yang dapat meringankan pidana adalah: (a) Percobaan (Pasal 53 ayat (2 dan 3));

(b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1 dan 2));

(c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut:

(1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan;

(2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik;

(3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyealan atas perbuatannya.

c. Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana

Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, yang dimaksud dengan Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Mengenai jenis putusan hakim, ada 2 (dua) jenis putusan hakim dalam hukum pidana yang dikenal selama ini, yaitu putusan sela dan putusan akhir.

a) Putusan Sela

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan Penuntut Umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa di suatu persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut:

(25)

Apabila keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi mana yang diterima oleh hakim. Jika eksepsi terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dilimpahkan kembali ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya.

(2) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Tidak Dapat Diterima Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau pensihat hukum terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan Penuntut Umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

b) Putusan Akhir

Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112).

Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

(1) Putusan Bebas (vrijspraak)

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap terdakwa di persidangan.

Putusan bebas ini dijelaskan dalam Pasal 191 ayat

(1) KUHAP, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena:

(26)

(a) Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain;

(b) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi Hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa;

(c) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

(2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (onslaag van allerecht vervolging)

Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) (Ahmad Rifai, 2010: 113).

Putusan Pengadilan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat Pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dasar hukum jenis putusan ini terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan.

(3) Putusan Pemidanaan

Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

(27)

pidana yang didakwakan maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

Terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum, maka terhadap terdakwa harus dipatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas :

(1) Pidana Pokok : Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, dan Denda;

(2) Pidana Tambahan : Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman Putusan Pengadilan.

5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan Tindak Pidana Penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP

”Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Sebagaimana dirumuskan Pasal 378 KUHP, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau kekayaannya.

Unsur Subjektif Penipuan:

a. Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain b. Dengan melawan hukum

Unsur Objektif Penipuan:

a. Pebuatan menggerakkan (bewegen). Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan memperbaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain. Dalam penipuan, menggerakkan

(28)

diartikan dengan cara-cara yang di dalamnya mengandung ketidak benaran palsu dan bersifat membohongi atau menipu

b. Yang digerakkan adalah orang c. Tujuan perbuatan

Tujuan perbuatan dalam penipuan dibagi menjadi 2 unsur, yakni: 1) Menyerahkan benda

Pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

2) Memberi hutang dan menghapuskan piutang

Dalam hal ini penipuan bertujuan menghilangkan kewajiban hukum untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.

3) Upaya-upaya penipuan

a) Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam)

Dibagi menjadi 2 unsur, yakni:

Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain.

Kedua, diartikan sebagai suatu nama yangt tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau pasti ada tidaknya orang tersebut.

b) Menggunakan martabat atau kedudukan palsu (valsche hoedanigheid).

Yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut atau digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan atau memiliki hak tertentu, padahal sesungguhnya tidak dimilikinya. Seperti contoh seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dan

boedel waris

c) Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan rangkaian kebohongan (zamenweenfsel van verdichtsels)

Dalam hal ini keduanya memiliki cara menggerakan orang lain dan menimbulkan kesan bahwa semua itu seolah-olah bener adanya dengan merangkai kebohongan sedemikian rupa (Cepi Heru Purnama,”jurnal”,2013:4)

(29)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penipuan

Pembuktian

Alat Bukti Yang Sah Pasal 184 (KUHAP) Keterangan saksi Keterangan Ahli Surat Keterangan Terdakwa Petunjuk Pertimbangan Hakim - Pasal 183 KUHAP (2 alat bukti + keyakinan hakim)

- Pasal 193 ayat (1) KUHAP

Putusan Pengadilan Negeri Surakarta

NO.84/PID.B/2015/PN.SKT Surat Dakwaan - Kesatu Pasal 378 KUHP - Kedua Pasal 372 KUHP

(30)

Keterangan :

Delik penipuan yang di lakukan oleh seseorang atau berbarengan (korporasi), baik dalam penuntutan oleh Penuntut Umum atau dalam persidangan di pengadilan harus disertai alat bukti sesuai dengan KUHAP antara lain Keterangan Saksi,Keterangan Ahli,Surat, Petunjuk,Keterangan Terdakwa. Setelah alat bukti terkumpul dan sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP dibuat Berita Acara oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam persidangan di pengadilan Hakim mempertimbangan alat alat bukti yang diajukan oleh Jaksa. Pada permasalahan ini hakim dalam putusannya lebih mempertimbangan alat bukti alternatif.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penipuan

Referensi

Dokumen terkait

• 29 April 2002 : Majelis Hakim memberikan keputusannya, yang isinya antara lain menyatakan bahwa benar atas dasar Jonedi telah melakukan pelanggaran disiplin berat

atau melakukan usaha tertentu dengan harapan mendapat imbalan di jalan, trotoar, jalur hijau, taman atau tempat umum kecuali diizinkan Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 tentang Pelanggaran Berat dan Pelanggaran Hukum dan Kebiasaan Perang dari Konven- si Jenewa 1949 yang menyatakan bahwa:.

Nilai ini didapat dari komposisi campuran AC-WC yang terdiri dari 4 fraksi yaitu agregat kasar, medium, abu batu dan filler.Persen pemakaian agregat tersebut

Tako je zaključak brojnih studija koje su analizirale utjecaj kombiniranih suplemenata (kalcij + vitamin D) kako takvi pripravci imaju pozitivan učinak na očuvanje

Penelitian ini menunjukkan bahwa re- spek merupakan alasan yang paling berper- an dalam menciptakan kedekatan, jika tidak ada respek dalam hubungan antara remaja dengan ibu

Peningkatan pemakain air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) khususnya bagi pelanggan dari golongan rumah tangga yang merupakan pelanggan terbesar Perusahaan Daerah

Islam yang bebas bunga, akan tetapi juga dapat dimaknai sebagai lembaga yang menjunjung tinggi ajaran Islam sebagai cara memelihara nilai spiritual, suatu pusat