• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS BIPLOT UNTUK PEMETAAN PROVINSI BERDASARKAN PEUBAH-PEUBAH PENDIDIKAN FUKA ANING LESTARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS BIPLOT UNTUK PEMETAAN PROVINSI BERDASARKAN PEUBAH-PEUBAH PENDIDIKAN FUKA ANING LESTARI"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

0

ANALISIS BIPLOT UNTUK PEMETAAN PROVINSI BERDASARKAN

PEUBAH-PEUBAH PENDIDIKAN

FUKA ANING LESTARI

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)

Pendidikan. Dibimbing oleh ENDAR H. NUGRAHANI dan NGAKAN KOMANG KUTHA ARDANA.

Karya ilmiah ini memberikan gambaran secara umum mengenai pendidikan di Indonesia dan pemetaan provinsi. Pemetaan provinsi tersebut diperoleh berdasarkan peubah-peubah pendidikan. Angka partisipasi kasar, angka partisipasi sekolah, angka buta huruf, angka mengulang, angka putus sekolah, dan rata-rata lama sekolah merupakan peubah-peubah pendidikan yang digunakan pada karya ilmiah ini. Pemetaan provinsi dilakukan dengan menggunakan analisis biplot. Analisis biplot memberikan hasil sebagai berikut. Berdasarkan kedekatan antar objek dan keterkaitan provinsi dengan peubah pendidikan, maka provinsi-provinsi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok pada tingkat SD, enam kelompok pada tingkat SMP, dan enam kelompok pada tingkat SMA. Provinsi Papua memiliki angka buta huruf paling tinggi pada tingkat SD, SMP, dan SMA. Sedangkan provinsi Sumatera Barat dan Papua Barat memiliki angka mengulang yang cukup tinggi. Sementara itu, provinsi Jambi dan Sulawesi Tengah memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah. Hasil pemetaan provinsi ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengidentifikasi keunggulan dan kekurangan dari setiap provinsi untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.

(3)

ABSTRACT

FUKA ANING LESTARI. Provincial mapping in Indonesia based on educational variables. Supervised by ENDAR H. NUGRAHANI and NGAKAN KOMANG KUTHA ARDANA.

This paper provides a general overview about education in Indonesia and mapping of the provinces. The analysis is based on some educational variables, i.e. rough participation rate, pure participation rate, school participation, illiteracy rate, repetition rate, drop-outs rate and the average school duration. Provincial mapping is conducted by biplot analysis, which gives the following results. Based on the proximity among province and the interrelationship of province with educational variables, the provinces can be grouped into seven groups for elementary school, six groups for junior high school, and six groups for senior high school. The province of Papua has the highest illiteracy rate at all education levels being considered, i.e. elementary, junior, as well as senior high schools. On the other hand, the provinces of West Sumatra and West Papua have relatively high repetition rate. Moreover, the provinces of Jambi and Central Sulawesi have average values on all variables. This provincial mapping is expected to provide input in identifying the advantages and disadvantages of each province in order to improve the quality of national educational.

(4)

FUKA ANING LESTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Matematika

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(5)

Judul Skripsi : Pemetaan Provinsi di Indonesia Berdasarkan Peubah-Peubah

Pendidikan

Nama

: Fuka Aning Lestari

NIM

: G54080046

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, MS.

Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc.

NIP. 19631228 198903 2 001

NIP. 19640823 198903 1 001

Diketahui

Ketua Departemen Matematika

Dr. Berlian Setiawaty, MS

NIP. 19650505 198903 2 004

(6)

ilmiah ini dapat diselesaikan. Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, MS. selaku dosen pembimbing I, terima kasih atas semua ilmu, kesabaran, motivasi, dan bantuannya selama penulisan karya ilmiah ini,

2. Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc. selaku dosen pembimbing II, terima kasih atas semua ilmu, motivasi, bantuan dan sarannya,

3. Dr. Ir. Hadi Sumarno, MS. selaku dosen penguji, terima kasih atas semua ilmu dan sarannya, 4. semua dosen dan staf Departemen Matematika, terima kasih atas semua yang sudah diberikan, 5. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa, motivasi, dan kasih sayang setiap harinya, 6. kakakku tersayang Fajar Reztosa Pratama yang sudah rela dijadikan tempat curhat, terima

kasih atas saran, motivasi, dan bantuannya,

7. keluargaku tercinta: nenek, om, tante, dan adik-adikku terima kasih atas dukungannya, 8. teman-teman OMDA KKB: Marisa, Hesty, Syafa, Riska, Zuhdan, Hanifah, Arini, Fatma,

teman-teman omda yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terima kasih sudah mau menjadi keluarga keduaku yang selalu memberikan semangat,

9. teman-teman Pondsur: Tya, Novi, Dwi, Norma, Lina, Dewi, Ninda, Riyah, serta teman-teman Pondsur lainya, terima kasih atas semangatnya,

10. temen-temen kosan 107B: Ika, Arum, Lala, Ita, Sasha, Tina, Tiwi, Widhi,

11. teman-teman satu bimbingan: Mega, Mya, Kak Cici, Putri, Kak Della terima kasih atas bantuannya,

12. sahabat-sahabat: Nova, Aci, Hendri, Herlan, Arbi, Kak Eny, Beni, Ridwan, Irwan, Hafidz, dan Haryanto,

13. teman-teman Matematika 45: Ana, Yunda, Tya, Fitri, Fina, Ade, Rischa, Fenny, Dono, Prama, Fikri, Tiwi, serta temen-temen Matematika 45 lainnya, terima kasih atas kenangan, bantuan dan dukungannya,

14. kakak-kakak Matematika 44 dan adik-adik Matematika 46 terima kasih atas dukungannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya Matematika dan menjadi inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, Februari 2013

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 4 Januari 1990 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Witono Budi Utomo dan Suciati.

Tahun 2002 penulis lulus dari SD Wilalung 1 Gajah Demak. Tahun 2005 penulis lulus dari SMP 1 Kudus. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA 1 Kudus dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan yaitu sebagai ketua biro kesekretariatan HIMPRO GUMATIKA periode 2010-2011, sebagai anggota biro kesekretariatan HIMPRO GUMATIKA periode 2010, sebagai sekretaris umum OMDA KKB periode 2009-2010, sebagai anggota divisi kekeluargaan OMDA KKB periode 2008-2009, sebagai sekretaris umum SAKURA periode 2008-2009. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan antara lain Matematika Ria 2010, Masa Perkenalan Departemen 2010 dan 2011, serta Seminar Dunia Kerja 2011.

(8)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

1.3 Sistematika Penulisan ……… .. 1

II LANDASAN ANALISIS ... 2

2.1 Nilai Eigen dan Vektor Eigen ... 2

2.2 Analisis Biplot ... 2

2.3 Ukuran Kesesuaian Biplot ... 3

2.4 Korelasi... 3

2.5 Model Logistik ... 4

2.6 Definisi Peubah Pendidikan ... 4

III METODE PENELITIAN ... 6

3.1 Sumber Data ... 6

3.2 Peubah dan Objek Penelitian ... 6

3.3 Analisis ... 6

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

4.1 Eksplorasi Data ... 7 4.2 Korelasi... 10 4.3 Analisis Biplot ... 10 SIMPULAN ... 16 DAFTAR PUSTAKA ... 17 LAMPIRAN ... 18

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kurva pertumbuhan logistik ... 4

2 Angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia ... 7

3 Angka partisipasi murni pendidikan di Indonesia ... 8

4 Angka buta huruf di Indonesia ... 8

5 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD ... 9

6 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang hanya tamat SD, SMP, dan SMA ... 9

7 Fitting model rata-rata lama sekolah ... 10

8 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SD ... 11

9 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMP ... 13

10 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMA ... 14

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Objek penelitian ... 6

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Persamaan logistik ... 19

2 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SD ... 21

3 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SMP ... 22

4 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SMA ... 23

5 Model logistik rata-rata lama sekolah ... 24

6 Matriks korelasi ... 25

7 Koordinat biplot SD ... 26

8 Koordinat biplot SMP ... 27

9 Koordinat biplot SMA ... 28

(10)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Analisis biplot merupakan salah satu analisis data peubah ganda yang dapat memberikan visualisasi secara grafik tentang kedekatan antar objek, keragaman peubah, korelasi antar peubah, dan keterkaitan antar peubah dengan objek. Selain itu, analisis biplot digunakan untuk menggambarkan hubungan antara peubah dengan objek yang berada pada ruang berdimensi tinggi ke dalam ruang berdimensi rendah (dua atau tiga).

Salah satu kegunaan biplot adalah untuk memperoleh pemetaan. Analisis biplot untuk pemetaan provinsi dalam kaitan prestasi akademik di IPB sudah dilakukan oleh Mariyam (2011). Akan tetapi pada karya ilmiah ini, pemetaan provinsi digunakan untuk memperoleh gambaran posisi mutu pendidikan nasional. Pemetaan ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam memperoleh gambaran keunggulan dan kekurangan setiap provinsi berdasarkan peubah-peubah pendidikan sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan mutu pendidikan nasional.

Saat ini Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup besar seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki. Pengembangan sumberdaya manusia dengan investasi pendidikan akan berdampak pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia itu sendiri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan jumlah persentase angka putus sekolah atau mengulang sekitar 16.5% pada anak usia 13 hingga 15 tahun. Hal ini mengindikasikan angka putus sekolah di SD tahun 2004 hingga 2005 cukup tinggi, mendekati angka satu juta. Sedangkan angka buta aksara penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun berkisar pada angka 9.55% (Mulyasana

2011). Hal ini menunjukkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Mutu pendidikan pada dasarnya terdiri atas berbagai indikator dan komponen yang saling berkaitan. Mutu pendidikan adalah konsep yang kompleks karena mutu pendidikan memiliki banyak dimensi, menyangkut serangkaian proses, dan menunjukkan berbagai indikator yang harus dijelaskan secara rinci (Amtu 2011).

Wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan luas menyebabkan pemerintah Indonesia kesulitan dalam mengamati perkembangan mutu pendidikan di semua daerah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu melakukan pemetaan provinsi terhadap pendidikan.

Pada karya ilmiah ini, pemetaan provinsi dari peubah-peubah pendidikan perlu dilakukan untuk mengetahui penyebaran pendidikan di Indonesia.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan utama penulisan karya ilmiah ini adalah

1. Memperoleh gambaran umum mengenai pendidikan di Indonesia.

2. Menerapkan analisis biplot dalam pemetaan provinsi berdasarkan peubah-peubah pendidikan.

1.3 Sistematika Penulisan

Pada bab pertama dijelaskan latar belakang dan tujuan penulisan karya ilmiah ini. Bab dua berisi landasan teori yang menjadi konsep dasar dalam penyusunan pembahasan. Penerapan analisis biplot dalam pemetaan provinsi berdasarkan peubah pendidikan dan gambaran umum mengenai pendidikan akan dibahas pada bab tiga. Pada bab empat akan dipaparkan simpulan serta saran dari karya ilmiah ini.

(11)

2

II LANDASAN TEORI

2.1 Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Misalkan A adalah suatu matriks n×n. Skalar λ disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik dari A jika terdapat suatu vektor taknol x sehingga Ax = λx. Vektor x disebut vektor eigen atau vektor karakteristik matriks A yang berpadanan dengan nilai eigen λ (Leon 2001).

Nilai eigen λ dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan det(𝐀 − 𝜆𝐈) = 0. 2.2 Analisis Biplot

Analisis biplot diperkenalkan oleh Gabriel pada tahun 1971. Analisis biplot merupakan suatu tampilan grafik dengan menumpangtindihkan vektor-vektor dalam ruang berdimensi rendah (dua atau tiga) yang merepresentasikan vektor-vektor baris sebagai gambaran objek dengan vektor-vektor kolom sebagai gambaran peubah.

Biplot dan geometrinya berlaku untuk ruang-ruang dimensi manapun, tetapi akan perlu mengurangi dimensi ketika matriks data memiliki dimensi tinggi sedangkan representasi memerlukan dimensi rendah, biasanya dua atau tiga (Greenacre 2010).

Informasi yang dapat diperoleh dari analisis biplot antara lain ialah:

1. Kedekatan antarobjek.

Dua objek dengan karakteristik yang sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan.

2. Keragaman peubah.

Peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek. Begitu pula sebaliknya, peubah dengan keragaman besar digambarkan sebagai vektor yang panjang.

3. Korelasi antarpeubah.

Peubah digambarkan sebagai vektor. Jika sudut dua peubah lancip (< 90o) maka korelasinya

bernilai positif. Apabila sudut dua peubah tumpul (> 90o) maka

korelasinya bernilai negatif. Sedangkan jika sudut dua peubah siku-siku maka tidak saling berkorelasi.

4. Keterkaitan peubah dengan objek. Karakteristik suatu objek bisa disimpulkan dari posisi relatifnya terhadap suatu peubah. Jika posisi objek searah dengan arah vektor

peubah maka objek tersebut bernilai di atas rata-rata, jika berlawanan maka nilainya di bawah rata-rata, dan jika hampir di tengah-tengah maka nilainya mendekati rata-rata. Analisis biplot dikembangkan berdasarkan Dekomposisi Nilai Singular (DNS) atau Singular Value Decomposition

(SVD). Misalkan nY*p merupakan matriks

data dengan n objek dan p peubah. Kemudian Y* dikoreksi terhadap nilai

rata-rata kolomnya sehingga didapat matriks Y, 𝐘 = 𝐘∗1

𝑛(𝟏𝟏

T𝐘) (1)

dengan 1 adalah vektor berdimensi n×1 yang semua elemennya bernilai 1. Matriks koragam (S) peubah ganda tersebut ialah

𝐒 = 1 𝑛−1𝐘

T𝐘 (2)

dengan matriks korelasi (R = [rij]) dari

matriks Y adalah R = D−1/2S D−1/2 (3) dengan 𝐃−𝟏 𝟐⁄ = diag ( 1 √𝑆11, 1 √𝑆22, … , 1 √𝑆pp)

adalah matriks diagonal.

Misalkan matriks nYp = [y1, y2, …, yn]T

maka jarak Euclid antara objek ke-i dan objek ke-j didefinisikan sebagai 𝑑𝐸(𝒚𝑖, 𝒚𝑗) =

√(𝒚𝑖− 𝒚𝑗) 𝑻

(𝒚𝑖− 𝒚𝑗) dan jarak Mahalanobis

antara objek ke-i dan ke-j sebagai 𝑑𝑀(𝒚𝑖, 𝒚𝑗) = √(𝒚𝑖− 𝒚𝑗)

T

𝑺−1(𝒚 𝑖− 𝒚𝑗).

Matriks Y yang berdimensi n×p dan berpangkat r dengan r ≤ min{n,p} dinyatakan sebagai dekomposisi nilai singular berikut:

nYp = nUrLr𝐖𝑃 T , 𝛼 ∈ [0,1] (4) (Aitchison & Greenacre, 2002) di mana U

dan W merupakan matriks dengan kolom ortonormal, 𝐔T𝐔 = 𝐖T𝐖 = 𝐈𝑟. Matriks W

adalah matriks yang kolom-kolomnya terdiri dari vektor eigen wi yang berpadanan

dengan nilai eigen λi dari matriks YTY.

Matriks U adalah matriks yang kolom-kolomnya merupakan vektor eigen yang berpadanan dengan nilai eigen dari matriks

YYT dengan hubungan: rLr= diag (√𝜆1, √𝜆2, … , √𝜆𝑟) (5) pWr = (𝑤1, 𝑤2, … , 𝑤𝑟) (6) nUr = ( 𝟏 √𝛌𝟏𝐘𝐰𝟏, 𝟏 √𝛌𝟐𝐘𝐰𝟐, … , 𝟏 √𝛌𝒓𝐘𝐰𝒓) (7) dengan λ1 ≥ λ2 ≥ … ≥ λr > 0 dan λi

merupakan nilai eigen dari matriks YTY atau

(12)

Dalam Jollife (2002) persamaan (4) dapat diuraikan menjadi

𝐘 = 𝐔𝐋α𝐋1−α𝐖T . (8) Dengan mendefinisikan : 𝐆 = 𝐔𝐋α= [𝐠 𝟏, 𝐠𝟐, … , 𝐠𝒏]T dan 𝐇 = 𝐖𝐋1−α= [𝐡 𝟏, 𝐡𝟐, … , 𝐡𝒑]T maka persamaan (8) menjadi 𝐘 = 𝐆𝐇T (9)

dengan demikian setiap elemen ke- (i, j) unsur matriks Y dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝑦𝑖𝑗= 𝒈𝑖T𝒉𝑗. Vektor 𝒈𝑖 menerangkan objek ke-i matriks Y dan vektor 𝒉𝑗menerangkan peubah ke- j matriks

Y.

Jika Y berpangkat dua, maka vektor baris 𝒈𝑖T dan vektor kolom 𝒉𝑗 dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua. Sedangkan bagi matriks Y yang berpangkat lebih dari dua dapat didekati dengan matriks berpangkat dua, sehingga persamaan (9) dapat ditulis menjadi

𝑦𝑖𝑗 = 𝒈𝑖∗T𝒉𝑗∗

nYp = nGr𝐇T𝑃 ≈ nG2𝐇𝑃 T = 𝐀𝐁T dengan masing-masing 𝒈𝑖∗ dan 𝒉𝑗∗ mengandung dua unsur pertama vektor 𝒈𝑖 dan 𝒉𝑗, A dan BT berturut-turut berisi unsur-unsur dua kolom pertama matriks G dan HT.

Dengan pendekatan tersebut matriks Y dapat disajikan dalam ruang dimensi dua.

Nilai α yang digunakan dapat merupakan nilai sebarang 𝛼 ∈ [0,1] tetapi pengambilan nilai-nilai ekstrem yaitu α = 0 dan α = 1 berimplikasi pada intepretasi biplot.

1. Jika α = 0, maka 𝐆 = 𝐔 dan 𝐇 = 𝐖𝐋 akibatnya : 𝐘T𝐘 = (𝐆𝐇T)T(𝐆𝐇T) = 𝐇𝐆T𝐆𝐇T = 𝐇𝐔T𝐔𝐇T = 𝐇𝐇T (10) diperoleh :  𝐡iT𝐡j= (𝑛 − 1)𝑠𝑖𝑗, dengan 𝑠𝑖𝑗 adalah koragam peubah ke-i dan ke-j.

 ‖𝐡i‖ = √𝑛 − 1 𝑠𝑖, dengan 𝑠𝑖= √𝑠𝑖𝑗 menggambarkan keragaman peubah ke-i.

 Korelasi antara peubah ke-i dan

ke-j dijelaskan oleh cosinus sudut antara hi dan hj (misal: θ), yaitu : cos(𝜃) = 𝐡i T𝐡 j ‖𝐡i‖‖𝐡j‖ = 𝒔𝑖𝑗 √𝒔𝑖𝑖√𝒔𝑗𝑗 = 𝑟𝑖𝑗

 Jika Y berpangkat p maka (𝒚𝑖− 𝒚𝑗)

T 𝐒−𝟏(𝒚

𝑖− 𝒚𝑗) = (𝑛 −

1)(𝒈𝑖− 𝒈𝑗)T(𝒈𝑖− 𝒈𝑗) artinya kuadrat jarak Mahalanobis antara 𝒚𝑖dan 𝒚𝑗 sebanding dengan kuadrat jarak Euclid antara 𝒈𝑖 dan 𝒈𝑗 serta S adalah matriks koragam dari Y.

2. Jika 𝛼 = 1, maka 𝐆 = 𝐔𝐋 dan 𝐇 = 𝐖 akibatnya : 𝐘T𝐘 = (𝐆𝐇T)(𝐆𝐇T)T = 𝐆𝐇T𝐇𝐆T = 𝐆𝐖T𝐖𝐆T = 𝐆𝐆T (11) (11) (10) artinya (𝒚𝑖− 𝒚𝑗)T(𝒚𝑖− 𝒚𝑗) = (𝒈𝑖− 𝒈𝑗) T (𝒈𝑖− 𝒈𝑗) atau kuadrat jarak Euclid antara 𝒚𝑖 dan 𝒚𝑗 akan sama dengan kuadrat jarak Euclid antara𝒈𝑖dan𝒈𝑗.

2.3 Ukuran Kesesuian Biplot

Pereduksian dimensi pada analisis biplot mengakibatkan terjadinya kehilangan beberapa informasi. Hal ini dapat diukur dengan ukuran kesesuaian biplot.

Untuk biplot pada ruang dimensi dua, dengan memilih α = 0 dapat ditunjukkan oleh Gabriel (1971) bahwa ukuran kesesuaian data adalah

GF(𝐘, 𝐀𝐁T) =∑2𝑖=1λ𝑖 ∑𝑟𝑗=1λ𝑗

.

2.4 Korelasi

Korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linear antara dua peubah acak. Nilai korelasi antara peubah x dan y dapat diperoleh dengan rumus (Walpole 2005)

𝑟𝑥𝑦=

𝑛 ∑ 𝑥𝑖𝑦𝑖− (∑ 𝑥𝑖)(∑ 𝑦𝑖)

√[𝑛 ∑ 𝑥𝑖2− (∑ 𝑥𝑖)2][𝑛 ∑ 𝑦𝑖2− (∑ 𝑦𝑖)2]

dengan i = 1, 2, 3, . . ., n.

Nilai korelasi positif menunjukkan bahwa nilai dua peubah tersebut memiliki hubungan linear positif dan begitu juga sebaliknya. Semakin dekat nilai korelasi dengan -1 atau +1, semakin kuat korelasi antara kedua peubah tersebut, sebaliknya jika nilai korelasinya mendekati 0 maka semakin lemah korelasi antara kedua peubah tersebut (Juanda 2009).

(13)

4

2.5 Model Logistik

Persamaan logistik sering digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan populasi dalam suatu lingkungan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang terbatas.

Persamaan umum model logistik : 𝑑𝑁

𝑑𝑡 = 𝑟𝑁 (1 − 𝑁

𝐾) (12) dengan

r adalah laju pertumbuhan intrinsik dan mewakili laju pertumbuhan per kapita

K adalah daya dukung lingkungan. Persamaan (12) mempunyai solusi:

𝑁(𝑡) =

𝐾𝑁0

(𝐾−𝑁0)𝑒−𝑟𝑡+𝑁0

, (13) dengan 𝑁0 adalah ukuran populasi pada saat

t = 0. Salah satu sifat fungsi logistik adalah lim

𝑡→∞𝑁(𝑡) = 𝐾

yang menyatakan bahwa ukuran populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan dalam waktu jangka panjang (Tsoularis & Wallace 2002). Bukti solusi persamaan (13) dan salah satu sifat fungsi logistik diberikan pada Lampiran 1.

Gambar 1 Kurva pertumbuhan logistik. Persamaan logistik menghasilkan suatu kurva berbentuk S, yaitu bahwa pada awal adalah serupa dengan eksponensial, proses dapat dilihat terus meningkat sampai akhirnya konvergen ke titik tertentu (Florio & Colautti 2005).

2.6 Definisi Peubah Pendidikan

Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berkembang dan diterima oleh masyarakat (Meirawan 2010). Indikator pendidikan dapat dihitung berdasarkan Angka Melek Huruf (AMH),

Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Angka Putus Sekolah (APtS), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) (BPS 2010).

Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan persentase proporsi para peserta didik pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut (BPS 2010).

𝐴𝑃𝐾 = 𝑤

𝑦× 100% dengan

𝑤 banyaknya murid (SD SMP SMA⁄ ⁄ ) 𝑦 banyaknya penduduk kelompok usia (7 − 12 tahun, 13 − 15 tahun, 16 − 18 tahun).

Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan persentase proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu pada kelompok umurnya (BPS 2010).

𝐴𝑃𝑀 = 𝑥

𝑦× 100% dengan

x banyaknya murid (SD / SMP / SMA) dalam kelompok usia tertentu

Tingkat SD: kelompok usia 7-12 tahun Tingkat SMP: kelompok usia 13-15 tahun Tingkat SMA: kelompok usia 16-18 tahun

y banyaknya penduduk kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun).

Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara jumlah murid kelompok tertentu yang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai (BPS 2010).

𝐴𝑃𝑆 = 𝑧

𝑦× 100% dengan

z banyaknya murid sekolah kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun)

y banyaknya penduduk kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun).

Angka Buta Huruf (ABH) merupakan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya (BPS 2010).

𝐴𝐵𝐻 =𝑝 𝑞× 100 dengan

p banyaknya penduduk kelompok usia (10 tahun ke atas untuk SD, 15 – 44 tahun untuk

(14)

SMP dan SMA) yang tidak bisa membaca dan menulis

q banyaknya seluruh penduduk kelompok usia (10 tahun ke atas, 15 – 44 tahun).

Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan lamanya waktu (tahun) yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Rata-rata lama sekolah dihitung dari peubah pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki. Rata-rata lama sekolah mempunyai batas maksimum 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun (BPS 2010).

Pendidikan yang ditamatkan (PdT) digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan penduduk dengan menggunakan SD, SMP, SMA sebagai batasan minimal. Semakin besar presentase penduduk tamat SD, SMP, atau SMA, semakin tinggi kualitas pendidikan penduduk (Mulyasana 2011).

Angka Putus Sekolah (APtS) merupakan persentase anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak tamat suatu jenjang pendidikan tertentu. APtS sering digunakan sebagai ukuran tingkat pendidikan dan dapat menunjukkan tingkat kegagalan sistem pendidikan menurut jenjangnya (BPS 2010).

Angka Mengulang (AM) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara jumlah murid mengulang pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SMP, SMA) dengan murid pada jenjang pendidikan tertentu (Mulyasana 2011).

𝐴𝑀 =𝑠

𝑦× 100% dengan

s banyaknya murid mengulang (SD / SMP / SMA) dalam kelompok usia tertentu

Tingkat SD: kelompok usia 7-12 tahun Tingkat SMP: kelompok usia 13-15 tahun Tingkat SMA: kelompok usia 16-18 tahun

y banyaknya penduduk kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun.

(15)

6

III METODE PENELITIAN

Pada bagian ini akan dijelaskan objek dan peubah yang akan digunakan dalam penelitian serta tahapan analisis yang dilakukan pada pembahasan.

3.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Statistik Pendidikan tahun 1994 s.d. tahun 2010. Data lengkap tahun 2010 diberikan pada Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4.

3.2 Peubah dan Objek Penelitian

Peubah pendidikan yang digunakan pada penelitian ini :

1. Angka partisipasi sekolah (APS) 2. Angka partisispasi kasar (APK) 3. Angka mengulang (AM) 4. Angka putus sekolah (APtS) 5. Angka buta huruf (ABH) 6. Rata-rata lama sekolah (RLS)

Objek penelitian ini terdiri dari seluruh provinsi di Indonesia yang diberikan pada Tabel 1.

3.3 Analisis

Eksplorasi data dilakukan dengan menggunakan grafik Microsoft Excel dan

fitting model menggunakan software Mathematica 8.

Pemetaan provinsi berdasarkan peubah-peubah pendidikan dilakukan dengan analisis biplot menggunakan paket Biplot versi 4.1.0 dengan software Mathematica 8 (Ardana 2011).

Tabel 1 Objek Penelitian Kode Provinsi 1 Aceh 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 R i a u 5 Kepulauan Riau 6 Jambi 7 Sumatera Selatan 8 Kep Bangka Belitung 9 Bengkulu 10 Lampung 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 13 Banten 14 Jawa Tengah 15 Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 B a l i

18 Nusa Tenggara Barat 19 Nusa Tenggara Timur 20 Kalimantan Barat 21 Kalimantan Tengah 22 Kalimantan Selatan 23 Kalimantan Timur 24 Sulawesi Utara 25 Gorontalo 26 Sulawesi Tengah 27 Sulawesi Selatan 28 Sulawesi Barat 29 Sulawesi Tenggara 30 Maluku 31 Maluku Utara 32 Papua 33 Papua Barat

(16)

IV PEMBAHASAN

4.1 Eksplorasi Data

Indonesia menetapkan program pendidikan dasar sembilan tahun: enam tahun di sekolah dasar (anak usia 7–12 tahun) dan tiga tahun di SMP (anak usia 13– 15 tahun). Dengan demikian, sasaran untuk Indonesia lebih tinggi dari pada standar

internasional untuk pendidikan dasar. Angka partisipasi kasar dapat menjadi indikator keberhasilan pencapaian target wajib belajar sembilan tahun yang dilakukan pemerintah. Gambar 2 menyajikan eksplorasi umum data angka partisipasi kasar secara nasional.

Sumber: BPS 2011

Gambar 2 Angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia. Gambar 2 juga menunjukkan angka

partisipasi kasar (APK) SD bernilai lebih dari 100% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan begitu banyak anak di bawah usia 7 tahun yang sudah mengikuti pendidikan di SD/MI. Di sisi lain, anak di atas 12 tahun ada juga yang masih di SD/MI. Hal ini karena ada dua kemungkinan. Pertama, anak-anak yang masuk SD berusia lebih dari 7 tahun. Kedua, adanya anak-anak yang mengulang kelas sehingga baru dapat menyelesaikan SD pada usia di atas 12 tahun.

Tren APK SMA mengalami kenaikan setiap tahunnya. APK SMA mencapai 62.53% pada tahun 2010. Nilai tersebut masih tergolong rendah dibandingkan dengan APK SD sebesar 111.63% dan APK SMP sebesar 80.35%. APK SD cenderung lebih tinggi daripada yang lain karena SD merupakan pendidikan dasar formal pertama yang harus dilalui oleh anak sekolah.

Selain angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni juga dapat menjadi indikator keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun. Pada Gambar 3 telah disajikan angka partisipasi murni pada setiap jenjang pendidikan.

Data BPS menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) SD/MI meningkat setiap tahunnya. Tren APM SD mendekati 100%. Pada Gambar 3 juga terlihat bahwa APM SMP mengalami peningkatan menjadi 67.02% pada tahun 2010. APM SD dan APM SMP mengalami peningkatan setiap tahunnya karena adanya program wajib belajar sembilan tahun yang telah dicanangkan pemerintah sejak 1994 oleh pemerintah. Pemerintah mendukung program tersebut dengan memberikan bantuan operasional sekolah (BOS) berupa biaya sekolah gratis dan buku gratis. Begitu juga dengan APM SMA yang menunjukkan tren naik meskipun masih tergolong rendah. 0 20 40 60 80 100 120 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun SD/MI SMP/MTs SM/MA

(17)

8

Sumber: BPS 2011

Gambar 3 Angka partisipasi murni pendidikan di Indonesia. Target penuntasan wajib belajar

sembilan tahun yang pada awalnya sampai tahun 2004 harus mundur sampai tahun 2009 karena krisis moneter. Selain krisis moneter, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat sulit dijangkau oleh layanan pendidikan juga menjadi penyebab pencapaian target program belajar menjadi tertunda. Hal ini yang menyebabkan masih tingginya angka buta huruf di Indonesia (BPPN 2007).

Pada awal program wajib belajar sembilan tahun angka buta huruf mencapai

12.74% untuk usia 10 tahun ke atas dan 36.06% untuk usia di atas 45 tahun. Pada tahun 2010, angka buta huruf mengalami penurunan sebesar 0.25% untuk usia di atas 10 tahun menjadi 6.34%. Angka buta huruf untuk usia 45 tahun ke atas turun hingga 18.25% pada tahun 2010. Penurunan angka buta huruf lebih jelas disajikan pada Gambar 4. Angka penurunan tersebut menunjukkan bahwa program wajib belajar sembilan tahun berhasil meskipun angka buta huruf untuk usia di atas 45 tahun masih relatif tinggi.

Sumber: BPS 2011

Gambar 4 Angka buta huruf di Indonesia. Pencapaian target wajib belajar

sembilan tahun juga dapat dilihat dari banyaknya penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tamat di setiap jenjang pendidikan. Dapat dilihat juga bahwa masih ada beberapa persen penduduk yang tidak sekolah.

Gambar 5 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang tidak/belum

sekolah mengalami penurunan. Tren penurunan juga terjadi pada penduduk yang tidak tamat SD. Penurunan persentase penduduk yang tidak/belum sekolah dan penduduk yang tidak tamat SD setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 5. 0 20 40 60 80 100 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun SD/MI SMP/MTs SM/MA 0 10 20 30 40 50 60 70 80 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun usia 45 th + usia 15-44 th usia 15 th + usia 10 th +

(18)

Sumber: BPS 2011

Gambar 5 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD. Persentase penduduk yang hanya tamat

SMP dan SMA mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan ini disebabkan pada tahun 2007 pemerintah mencanangkan program pendidikan nonformal berupa paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA) untuk penduduk yang ingin sekolah meskipun usianya sudah melebihi usia yang sesuai dengan jenjang

pendidikan tersebut. Akan tetapi, penduduk yang hanya tamat pendidikan SD/sederajat mengalami penurunan meskipun tidak terlalu signifikan. Untuk lebih jelasnya mengenai eksplorasi setiap jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk yang berusia di atas 15 tahun dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: BPS 2011

Gambar 6 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang hanya tamat SD, SMP dan SMA. Berdasarkan data lama waktu sekolah

rata-rata seluruh provinsi dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2010 diperoleh fitting model logistik berikut (Lampiran 5)

𝑦 = 15𝑒0.02972𝑡 1.46305+𝑒0.02972𝑡 .

Plot data beserta fitting model tersebut diberikan pada Gambar 7. Rata-rata lama

sekolah menunjukkan bahwa pada tahun tertentu peserta didik mampu menyelesaikan pendidikannya. Rata-rata lama sekolah memiliki model berupa fungsi logistik dengan koefisien determinasi R2 sebesar

98.5%. Hasil ini menunjukkan bahwa model logistik dapat menjelaskan keragaman dinamika rata-rata lama sekolah.

0 5 10 15 20 25 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun Tidak/belum sekolah Tidak tamat SD 0 5 10 15 20 25 30 35 40 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun hanya tamat SD/sederajat hanya tamat SMP/sederajat hanya tamat SM +/sederajat

(19)

10

Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa laju peningkatan rata-rata lama sekolah dapat

mencapai maksimum setelah 100 tahun kemudian.

Gambar 7 Fitting model rata-rata lama sekolah.

4.2 Korelasi

Korelasi antar peubah pendidikan pada tingkat SD, SMP, dan SMA diberikan pada Lampiran 6. Pada tingkat SD, korelasi terbesar ditunjukkan antara peubah APK dan APS. Sedangkan korelasi terkecil ditunjukkan oleh peubah ABH dan APS. Korelasi terbesar pada tingkat SMP ditunjukkan oleh peubah APK dan APS sedangkan korelasi terkecil ditunjukkan oleh peubah ABH dan APS. Korelasi antara peubah APS dan APK menunjukkan korelasi terbesar sedangkan korelasi antara peubah ABH dan RLS menunjukkan korelasi terkecil pada tingkat SMA.

4.3 Analisis Biplot

Analisis biplot yang diperkenalkan oleh Gabriel tahun 1971 dapat memberikan informasi berupa kedekatan antar objek, keragaman peubah, korelasi antar peubah, dan kedekatan peubah dengan objek. Pada karya ilmiah ini, informasi yang diberikan dapat menggambarkan kondisi pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Analisis biplot juga dapat digunakan untuk menerangkan keragaman data pada setiap jenjang pendidikan.

Pada biplot, kedekatan provinsi dengan peubah ditunjukkan oleh letak provinsi tersebut terhadap vektor peubah. Jika posisi provinsi sepihak dengan arah vektor peubah maka provinsi tersebut bernilai di atas rata-rata. Jika posisi provinsi berlawanan arah dengan arah vektor peubah maka provinsi tersebut bernilai di bawah rata-rata dan nilai akan mendekati rata-rata jika posisi provinsi berada hampir di tengah-tengah.

Dengan menggunakan peubah yang sama pada setiap jenjang pendidikan, biplot mendapatkan hasil yang berbeda pada hubungan antara peubah dengan objek yaitu provinsi. Dilihat dari grafiknya menunjukkan bahwa beberapa provinsi mempunyai karakteristik yang sama terhadap suatu peubah jika posisi antar provinsi searah dengan posisi peubah serta posisi antar provinsi saling berdekatan.

Kondisi Pendidikan Tingkat SD

Berdasarkan dekomposisi nilai singular dengan 𝛼 = 0 akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 7. Gambar 8 menyajikan biplot kondisi pendidikan pada tingkat SD.

y =

1.4630515 0.029720.02972t t 20 40 60 80 100 120 Tahun 8 10 12 14 Rata2_lama _sekolah

(20)

Gambar 8 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SD. Gambar 8 menunjukkan peubah ABH,

APK, APtS, dan AM memiliki panjang vektor yang relatif sama panjang. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data pada peubah-peubah tersebut relatif sama besar. Peubah RLS dan APS digambarkan dengan vektor yang lebih pendek dari peubah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peubah tersebut memiliki keragaman yang relatif kecil.

Peubah APS membentuk sudut lancip terhadap peubah RLS dan APK. Dengan kata lain, semakin tinggi angka partisipasi sekolah maka rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi kasar semakin meningkat. Peubah APS berkorelasi negatif dengan peubah ABH. Peubah APS hampir membentuk sudut siku-siku terhadap peubah AM dan peubah APtS, artinya angka partisipasi sekolah tidak berkorelasi dengan angka mengulang dan angka putus sekolah. Dapat dikatakan bahwa pada tingkat SD, besarnya angka partisipasi sekolah tidak dapat digunakan sebagai indikator menentukan tingginya angka mengulang dan angka putus sekolah.

Ukuran kesesuaian data analisis biplot sebesar 75.45%. Hal ini menunjukkan bahwa analisis biplot mampu menerangkan 75.45% keragaman data. Pereduksian

dimensi mengakibatkan hilangnya informasi sebesar 24.55%. Terjadinya pereduksian dimensi inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan antara hasil eksplorasi data awal dengan analisis biplot. Pada hasil analisis biplot terlihat bahwa vektor AM dan APtS berimpit sehingga dapat dikatakan bahwa memiliki nilai korelasi mendekati 1. Akan tetapi, pada hasil perhitungan diperoleh korelasi sebesar 0.543 (Lampiran 6).

Gambar 8 juga memberikan gambaran posisi provinsi dan vektor peubah dalam biplot. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :

 Kelompok 1 : Papua (32). Provinsi ini memiliki angka buta huruf paling tinggi.  Kelompok 2 : Nusa Tenggara Barat (18) dan Sulawesi Barat (28). Kedua provinsi ini memiliki angka buta huruf cukup tinggi.

 Kelompok 3 : Sumatera Barat (3), Kalimantan Barat (20), Gorontalo (25), Papua Barat (33). Provinsi-provinsi tersebut memiliki angka putus sekolah dan angka mengulang yang cukup tinggi.

 Kelompok 4 : Kep. Bangka Belitung (8) dan Nusa Tenggara Timur (19). Kedua 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1312 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 AM APtS APK APS RLS ABH 0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 Dim 1 50.76 D im 2 24 .6 9

GH Biplot GF

75.45

(21)

12

provinsi ini memiliki angka mengulang dan angka putus sekolah yang cukup tinggi tetapi memliki angka buta huruf yang relatif rendah.

 Kelompok 5 : DI Aceh (1), Riau (4), Sumatera Selatan (7), Bengkulu (9), Kalimantan Tengah (21), Kalimantan Selatan (22), Kalimantan Timur (23), Sulawesi Tengah (26), dan Maluku Utara (31). Kelompok ini memliki nilai angka partisipasi kasar dan angka partisipasi sekolah mendekati rata-rata.  Kelompok 6 : DKI Jakarta (11), Jawa

Barat (12), Banten (13), Yogyakarta (15), Jawa Timur (16), Bali (17), Sulawesi Selatan (27). Kelompok ini memiliki rata-rata lama sekolah dan angka buta huruf mendekati nilai rata-rata.

Kelompok 7 : Sumatera Utara (2), Kep. Riau (5), Jambi (6), Lampung (10), Jawa Tengah (14), Sulawesi Utara (24), Sulawesi Tenggara (29) dan Maluku (30),. Kelompok ini memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah

.

Kondisi Pendidikan Tingkat SMP

Berdasarkan dekomposisi nilai singular dengan 𝛼 = 0 akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 8. Gambar 9 menyajikan biplot kondisi pendidikan pada tingkat SMP.

Gambar 9 menunjukkan bahwa panjang vektor peubah-peubah pendidikan pada tingkat SMP relatif sama panjang sehingga

menunjukkan bahwa keragaman peubah-peubah tersebut relatif sama besar. Akan tetapi peubah APtS dan AM digambarkan dengan vektor yang lebih panjang. Hal ini menunjukkan bahwa angka putus sekolah dan angka mengulang memiliki keragaman yang lebih tinggi dibandingkan peubah lainnya.

Peubah APS membentuk sudut terkecil terhadap peubah RLS dan APK. Dengan kata lain, semakin tinggi angka partsisipasi sekolah maka semakin meningkat pula rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi kasar. Peubah APS memiliki korelasi negatif dengan peubah ABH dan APtS. Peubah APS dan peubah AM hampir membentuk sudut siku-siku, artinya angka partisipasi sekolah tidak memengaruhi angka mengulang. Sehingga angka partisipasi sekolah tidak dapat dijadikan indikator angka mengulang.

Analisis biplot menghasilkan ukuran kesesuaian data sebesar 71.16%. Hal ini menunjukkan bahwa analisis biplot hanya mampu menjelaskan informasi sebesar 71.16% dari keseluruhan informasi data. Pereduksian dimensi mengakibatkan hilangnya informasi sebesar 28.84%. Pereduksian dimensi inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan hasil antara eksplorasi data awal dan analisis biplot. Gambar 9 menunjukkan bahwa peubah AM dan APS membentuk sudut lancip (berkorelasi positif) akan tetapi pada hasil perhitungan korelasi diperoleh korelasi bernilai negatif (Lampiran 6).

(22)

Gambar 9 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMP. Gambaran posisi provinsi dan vektor

peubah diberikan pada Gambar 9. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.

 Kelompok 1: Kep. Bangka Belitung (8), Nusa Tenggara Timur (19), Kalimantan Barat (20), dan Sulawesi Barat (28). Keempat Provinsi tersebut memiliki angka buta huruf cukup tinggi.

 Kelompok 2: Papua (32). Provinsi ini memiliki angka buta huruf paling tinggi.  Kelompok 3: Riau (4), Lampung (10), Jawa Barat (12), Banten (13), Gorontalo (25). Provinsi tersebut memiliki angka putus sekolah cukup tinggi.

 Kelompok 4: DI Aceh (1), Sumatera Barat (3), Bengkulu (9), Sulawesi Tenggara (29), Maluku Utara (31), Papua Barat (33). Provinsi tersebut memiliki angka partsipasi sekolah yang cukup rendah.

 Kelompok 5: Sumatera Utara (2), Kep. Riau (5), DKI Jakarta (11), Yogyakarta (15), Kalimantan Timur (23), Sulawesi Utara (24), Maluku (30). Kelompok ini memiliki angka parstisipasi kasar, angka partisipasi sekolah, dan rata-rata lama sekolah relatif tinggi.

 Kelompok 6: Jambi (6), Sumatera Selatan (7), Jawa Tengah (14), Jawa Timur (16), Bali (17), Nusa Tenggara Barat (18), Kalimantan Tengah (21), Kalimantan Selatan (22), Sulawesi Tengah (26), dan Sulawesi Selatan (27), Provinsi-provinsi tersebut berada di tengah-tengah. Hal ini berarti nilai semua peubah mendekati rata-rata.

Kondisi Pendidikan Tingkat SMA

Berdasarkan dekomposisi nilai singular dengan 𝛼 = 0 akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 9 dan biplot kondisi pendidikan tingkat SMA disajikan pada Gambar 10.

Ukuran kesesuaian data pada analisis biplot diperoleh sebesar 72%. Hal ini menunjukkan bahwa analisis biplot mampu menjelaskan sebesar 72% dari keseluruhan informasi data.

Pereduksian dimensi mengakibatkan adanya perbedaan hasil antara eksplorasi data awal dengan analisis biplot. Seperti pada hasil analisis biplot untuk tingkat SD, pada tingkat SMA juga terlihat bahwa peubah AM dan APtS berimpit sehingga dapat dikatakan bahwa kedua peubah tersebut hampir berkorelasi sempurna (r = 1). Akan tetapi dalam perhitungan diperoleh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 APtS AM APK APS ABH RLS 0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 Dim 1 51.75 D im 2 19 .4 1

GH Biplot GF

71.16

(23)

14

korelasi hanya sebesar 0.369 (Lampiran 6). Terjadinya perbedaan hasil yang cukup besar ini diakibatkan hilangnya informasi sebesar 28% dari hasil pereduksian dimensi.

Pada Gambar 10 terlihat bahwa semua peubah memiliki vektor yang relatif sama panjang. Hal ini menunjukkan keragaman yang dimiliki semua peubah tersebut relatif

sama besar. Akan tetapi peubah AM mempunyai panjang vektor yang cenderung relatif panjang dibandingkan dengan peubah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa AM memiliki tingkat keragaman lebih tinggi daripada peubah lainnya. Vektor AM dan APtS berhimpit sehingga dapat dikatakan bahwa memiliki karakteristik yang sama.

Gambar 10 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMA. Sudut lancip dibentuk oleh peubah APS

terhadap peubah APK dan RLS. Dengan kata lain semakin tinggi angka partisipasi sekolah maka semakin tinggi pula rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi kasar. Peubah APS dan peubah APtS, AM, ABH hampir membentuk sudut siku-siku. Jadi dapat dikatakan bahwa perubahan angka partisipasi sekolah tidak memengaruhi tinggi atau rendahnya angka putus sekolah, angka mengulang dan angka buta huruf.

Gambar 10 juga memberikan gambaran posisi provinsi dan vektor peubah dalam biplot. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut.

 Kelompok 1: Papua (32). Provinsi ini memiliki angka buta huruf paling tinggi.

 Kelompok 2: Nusa Tenggara Timur (19), Kalimantan Barat (20). Provinsi ini memiliki angka buta huruf cukup tinggi.

 Kelompok 3: Sumatera Utara (2), Riau (4), Bengkulu (9), DKI Jakarta (11), Yogyakarta (15), Bali (17), Sulawesi Utara (24), dan Sulawesi Tenggara (29). Kelompok ini memiliki rata-rata lama sekolah cukup tinggi.

 Kelompok 4: Jambi (6), Sumatera Selatan (7), Kep. Bangka Belitung (8), Jawa Timur (16), Nusa Tenggara Barat (18), Kalimantan Selatan (22), Gorontalo (25), Sulawesi Tengah (26), Sulawesi Selatan (27), Sulawesi Barat (28). Kelompok ini memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah.  Kelompok 5: DI Aceh (1), Sumatera Barat (3), Kep. Riau (5), Kalimantan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 AM APtS APK APS ABH RLS 0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 Dim 1 48.13 D im 2 23 .8 6

GH Biplot GF

72.00

(24)

Timur (23), Maluku (30), Maluku Utara (31), dan Papua Barat (33). Provinsi tersebut memiliki nilai angka putus sekolah, angka mengulang, dan angka partisipasi kasar dan angka partisipasi sekolah mendekati rata-rata.

 Kelompok 6: Lampung (10), Jawa Barat (12), Banten (13), Jawa Tengah (14), dan Kalimantan Tengah (21).

Provinsi-provinsi tersebut berada paling jauh dari semua vektor peubah artinya kelompok ini memiliki nilai keragaman angka buta huruf, angka mengulang, dan angka putus sekolah yang paling rendah. Akan tetapi masih diperlukan peningkatan angka patisipasi sekolah, angka partisipasi kasar, dan rata-rata lama sekolah.

(25)

16

V SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan:

1. Pemetaan provinsi berdasarkan

peubah-peubah pendidikan dapat

direpresentasikan menggunakan analisis biplot.

2. Berdasarkan analisis biplot, didapatkan ukuran kesesuaian data maksimum sebesar 75.45%. Hal ini mengakibatkan dapat terjadinya perbedaan hasil eksplorasi data awal dengan analisis biplot.

3. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi terbagi menjadi tujuh kelompok pada tingkat SD, lima kelompok pada tingkat SMP, dan lima kelompok pada tingkat SMA.

4. Berdasarkan analisis biplot pada setiap jenjang pendidikan, peubah AM dan APtS memiliki karakteristik yang sama pada jenjang SD dan SMA.

5. Berdasarkan representasi vektor peubah dalam analisis biplot pada setiap jenjang pendidikan, peubah APK, APS, dan RLS memiliki korelasi positif satu sama lain terutama pada jenjang pendidikan SMP dan SMA.

6. Berdasarkan analisis biplot pada tingkat SD, SMP, dan SMA menunjukkan bahwa provinsi Papua memiliki angka buta huruf paling tinggi sedangkan provinsi Sumatera Barat dan Papua Barat memiliki angka mengulang cukup tinggi. Sementara itu, provinsi Jambi dan Sulawesi Tengah memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Aitchison J, Greenacre M. 2002. Biplots for

compositional data. Applied Statistics

51 (part 4): 375-392.

Amtu O. 2011. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta.

Ardana NKK. 2011. Biplot Versi 4.1.0 A Mathematica Package for Multivariate Data Visualization. Bogor: Departemen Matematika FMIPA IPB.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Indikator Pendidikan Indonesia 2009

(Kajian Indikator). Jakarta: BPS. [BPPN] Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: BPPN. Florio M, Colauti S. 2005. A Logistic

Growth theory of Public Expenditure: A Study of Five Countries Over 100 years. Public Choice 122: 355-393. Gabriel KR. 1971. The Biplot-graphic

display of matrices with application to principal component analysis.

Biometrika 58: 453-467.

Greenacre MJ. 2010. Biplots in Practice. Madrid: Foundation BBVA.

Juanda B. 2009. Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.

Jolliffe IT. 2002. Principal Component Analysis. 2nd Ed. Berlin:

Springer-Verlag.

Leon SJ. 2001. Aljabar Linear dan Aplikasinya. Ed ke-5. Bondan A, penerjemah; Hardani HW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:

Linear Algebra with Applications, 5th Ed.

Mariyam. 2011. Ukuran Kesesuaian dalam Analisis Biplot Biasa dan Analisis Biplot Imbuhan [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Meirawan D. 2010. Kepemimpinan dan Manajemen Pendidikan Masa Depan. Bogor : IPB Press.

Mulyasana D. 2011. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: Rosdakarya.

Tsoularis A, Wallace J. 2002. Analysis of Logistic Growth Models.

Mathematical Biosciences 179: 21-55.

Walpole RE. 2005. Pengantar Statistika. Ed ke-3. Jakarta: Gramedia.

(27)

18

(28)

Lampiran 1 Persamaan logistik

i) Solusi umum persamaan logistik Akan dibuktikan 𝑑𝑁

𝑑𝑡 = 𝑟𝑁 (1 − 𝑁

𝐾) mempunyai solusi umum 𝑁(𝑡) =

𝐾𝑁0 (𝐾−𝑁0)𝑒𝑟𝑡+𝑁0. Bukti: 𝑑𝑁 𝑑𝑡 = 𝑟𝑁 (1 − 𝑁 𝐾) 𝑑𝑁 𝑑𝑡 = 𝑟 𝐾(𝐾𝑁 − 𝑁 2) 1 𝐾𝑁 − 𝑁2𝑑𝑁 = 𝑟 𝐾𝑑𝑡 ∫ 1 𝐾𝑁 − 𝑁2𝑑𝑁 = ∫ 𝑟 𝐾𝑑𝑡 1 𝐾𝑁 − 𝑁2= 𝐴 𝑁+ 𝐵 𝐾 − 𝑁 𝑁 = 𝑂 maka 1 = 𝐴𝐾 sehingga 𝐴 =1 𝐾 𝑁 = 𝐾 maka 1 = 𝐵𝐾 sehingga 𝐵 =1 𝐾 diperoleh: ∫ 1 𝐾𝑁 − 𝑁2𝑑𝑁 = ∫ 1 𝐾𝑁𝑑𝑁 + ∫ 1 𝐾(𝐾 − 𝑁)𝑑𝑁 = ∫ 𝑟 𝐾𝑑𝑡 1 𝐾ln|𝑁| − 1 𝐾ln|𝐾 − 𝑁| = 𝑟𝑡 𝐾 + 𝐶1 1 𝐾(ln|𝑁| − ln|𝐾 − 𝑁|) = 𝑟𝑡 𝐾+ 𝐶1 ln|𝑁| − ln|𝐾 − 𝑁| = 𝑟𝑡 + 𝐶1 𝑒ln|𝑁|−ln|𝐾−𝑁|= 𝐶𝑒𝑟𝑡 𝑒ln|𝑁| 𝑒ln|𝐾−𝑁|= 𝐶𝑒 𝑟𝑡 𝑁 𝐾 − 𝑁= 𝐶𝑒 𝑟𝑡 𝑁 = (𝐾 − 𝑁)𝐶𝑒𝑟𝑡 𝑁 = 𝐾𝐶𝑒𝑟𝑡− 𝑁𝐶𝑒𝑟𝑡 𝑁(1 + 𝐶𝑒𝑟𝑡) = 𝐾𝐶𝑒𝑟𝑡

(29)

20

𝑁(𝑡) = 𝐾𝐶𝑒 𝑟𝑡 1 + 𝐶𝑒𝑟𝑡 Ketika 𝑡 = 0 maka 𝑁 = 𝐾𝐶 1+𝐶 𝑁(1 + 𝐶) = 𝐾𝐶 𝑁 + 𝑁𝐶 = 𝐾𝐶 𝑁 = 𝐶(𝐾 − 𝑁) 𝐶 = 𝑁0 𝐾 − 𝑁0 Jika

𝐶 =

𝑁0 𝐾−𝑁0 maka

𝑁 =

𝐾( 𝑁0 𝐾−𝑁0)𝑒 𝑟𝑡 1+( 𝑁0 𝐾−𝑁0)𝑒𝑟𝑡

𝑁 =

𝐾( 𝑁0 𝐾−𝑁0)𝑒 𝑟𝑡 (𝐾−𝑁0) (𝐾−𝑁0)+( 𝑁0 𝐾−𝑁0)𝑒𝑟𝑡 𝑁 = 𝐾𝑁0𝑒 𝑟𝑡 (𝐾 − 𝑁0) + 𝑁0𝑒𝑟𝑡

𝑁(𝑡) =

𝐾𝑁0 (𝐾−𝑁0)𝑒−𝑟𝑡+𝑁0 ▀

ii) Sifat-sifat Logistik Akan dibuktikan: lim 𝑡→∞𝑁(𝑡) = 𝐾 Bukti: lim 𝑡→∞𝑁(𝑡) = lim𝑡→∞ 𝐾𝑁0 (𝐾 − 𝑁0)𝑒−𝑟𝑡+ 𝑁0 = 𝐾𝑁0 (𝐾 − 𝑁0) 0 + 𝑁0 =𝐾𝑁0 𝑁0

= 𝐾 (terbukti bahwa lim

(30)

Lampiran 2 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SD Provinsi Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Partisipasi Kasar Angka Partisipasi Sekolah Rata-rata Lama Sekolah Angka Buta Huruf Aceh 4.18 2.17 115.06 99.19 8.81 2.74 Sumatera Utara 2.42 1.44 114.2 98.9 8.85 2.4 Sumatera Barat 7.32 2.52 110.63 98.24 8.48 2.6 R i a u 4.23 2.56 114.73 98.75 8.58 1.49 Kepulauan Riau 4.82 1.17 111.61 99.35 9.16 2.51 Jambi 4.22 1.24 113.02 98.27 7.84 3.67 Sumatera Selatan 4.37 1.66 113.75 98 7.82 2.34 Kep Bangka Belitung 9.52 2.66 116.19 97.1 7.45 4.12 Bengkulu 3.69 2.58 112.83 98.67 8.25 4.15 Lampung 2.51 2.36 111.18 98.71 7.75 4.75 DKI Jakarta 2.29 1.64 110.45 99.16 10.93 0.81 Jawa Barat 1.41 1.44 110.31 98.29 8.02 3.38 Banten 2.1 1.1 111.28 98.01 8.32 3.4 Jawa Tengah 4.81 1.05 113.19 98.95 7.24 8.98 Dista Yogyakarta 3.56 1.05 108.16 99.69 9.07 8.38 Jawa Timur 2.89 1.09 110.2 98.74 7.24 10.53 B a l i 1.81 1.95 111.56 98.69 8.21 10.51 Nusa Tenggara Barat 3.93 1.94 109.47 98.26 6.77 16.51 Nusa Tenggara Timur 8.78 3.36 115.59 96.49 6.99 9.84 Kalimantan Barat 7.31 2.56 115.61 97.04 6.82 8.57 Kalimantan Tengah 4.2 1.83 117.7 98.7 8.03 2.22 Kalimantan Selatan 4.53 2.25 112.77 97.9 7.65 3.66 Kalimantan Timur 3.4 3.28 113.85 98.68 8.87 2.64 Sulawesi Utara 2.73 1.52 115.61 98.3 8.89 0.65 Gorontalo 9 2.06 109.16 96.86 7.38 3.61 Sulawesi Tengah 4.81 2.13 112.08 97.52 8 3.5 Sulawesi Selatan 4 1.49 108.57 97 7.84 10.84 Sulawesi Barat 4.7 2.21 110.88 95.93 7.11 10.09 Sulawesi Tenggara 2.36 1.45 114.77 97.81 8.11 7.1 Maluku 2.71 1.01 118.13 98.27 8.76 2.21 Maluku Utara 2.75 2.1 116.74 97.23 8.63 3.48 Papua 6.19 2.81 93.27 76.22 6.66 29.59 Papua Barat 6.05 2.81 115 94.04 8.21 4.41

(31)

22

Lampiran 3 Data Objek dan Peubah jenjang pendidikan SMP

Provinsi Angka Mengulang Angka Putus Sekolah Angka Partisipasi Kasar Angka Partsipasi Sekolah Angka Buta Huruf Rata-rata Lama Sekolah Aceh 0.66 0.35 87.99 94.99 0.74 8.81 Sumatera Utara 0.32 0.02 89.83 92.26 0.51 8.85 Sumatera Barat 0.98 0.04 80.34 89.51 0.55 8.48 R i a u 0.57 5.96 85.43 92.09 0.3 8.58 Kepulauan Riau 0.55 0.87 89.68 92.16 0.65 9.16 Jambi 0.37 0.91 79.29 85.56 0.68 7.84 Sumatera Selatan 0.3 2.34 82.12 85.41 0.37 7.82 Kep Bangka Belitung 1.03 2.51 68.75 80.59 0.65 7.45 Bengkulu 1.17 2.65 81.34 88.25 0.82 8.25 Lampung 0.18 3.59 82.05 86.62 0.63 7.75 DKI Jakarta 0.62 1.47 91.42 91.45 0.19 10.93 Jawa Barat 0.09 5.29 79.27 82.73 0.42 8.02 Banten 0.2 5.04 74.19 81.7 0.67 8.32 Jawa Tengah 0.25 0.63 80.6 85.33 1.32 7.24 Dista Yogyakarta 0.33 0.24 93.47 94.02 0.62 9.07 Jawa Timur 0.16 1.39 83.1 88.82 2.39 7.24 B a l i 0.07 0.31 76.69 89.26 2.63 8.21 Nusa Tenggara Barat 0.48 2.27 85.07 86.52 6.48 6.77 Nusa Tenggara Timur 1.05 0.84 68.52 81.24 3.95 6.99 Kalimantan Barat 0.75 0.99 69.65 84.48 3.29 6.82 Kalimantan Tengah 0.28 0.27 74.6 86.83 0.45 8.03 Kalimantan Selatan 0.32 2.21 75.59 80.59 0.78 7.65 Kalimantan Timur 0.33 1.48 90.86 92.49 0.78 8.87 Sulawesi Utara 0.22 0.05 82.92 89.06 0.29 8.89 Gorontalo 0.4 4.27 73.5 81.78 1.3 7.38 Sulawesi Tengah 0.73 2.9 74.46 84.17 1.14 8 Sulawesi Selatan 0.41 0.7 75.05 82.63 4.04 7.84 Sulawesi Barat 0.63 0.11 65.09 77.92 4.94 7.11 Sulawesi Tenggara 1.06 1.71 77.28 88.17 1.96 8.11 Maluku 0.38 1.66 86.76 92.85 0.8 8.76 Maluku Utara 0.64 0.03 80.52 90.76 0.59 8.63 Papua 1.3 2.73 60.05 74.35 30.73 6.66 Papua Barat 0.75 0.43 66.68 89.95 3.55 821

(32)

Lampiran 4 Data Objek dan Peubah jenjang pendidikan SMA

Provinsi Mengulang Angka

Angka Putus Sekolah Angka Partsipasi Kasar Angka Partisispasi Sekolah Angka Buta Huruf Rata-rata Lama Sekolah Aceh 1.18 3.79 80.96 73.53 0.74 8.81 Sumatera Utara 0.21 3.13 72.69 66.94 0.51 8.85 Sumatera Barat 0.71 5.43 72.82 65.65 0.55 8.48 R i a u 0.48 3.49 67.94 64.54 0.3 8.58 Kepulauan Riau 0.3 6.9 79.63 66.56 0.65 9.16 Jambi 0.43 5.64 63.21 56.11 0.68 7.84 Sumatera Selatan 0.23 5.43 60.87 54.79 0.37 7.82 Kep Bangka Belitung 0.72 4.22 60.59 47.51 0.65 7.45 Bengkulu 0.35 3.63 68.83 59.63 0.82 8.25 Lampung 0.33 1.77 57.81 51.34 0.63 7.75 DKI Jakarta 0.57 2.25 63.14 61.99 0.19 10.93 Jawa Barat 0.18 2.87 51.37 47.82 0.42 8.02 Banten 0.13 3.1 58.35 50.9 0.67 8.32 Jawa Tengah 0.3 0.95 61.61 53.72 1.32 7.24 Dista Yogyakarta 0.39 1.4 79.29 73.06 0.62 9.07 Jawa Timur 0.27 1.82 67.06 59.39 2.39 7.24 B a l i 0.07 1.57 82.36 65.22 2.63 8.21 Nusa Tenggara Barat 0.57 4.51 62.89 57.71 6.48 6.77 Nusa Tenggara Timur 1.17 7.74 58.95 49.22 3.95 6.99 Kalimantan Barat 1.09 7.51 57.55 50.35 3.29 6.82 Kalimantan Tengah 0.32 1.24 57.61 54.5 0.45 8.03 Kalimantan Selatan 0.71 5.14 55.75 50.23 0.78 7.65 Kalimantan Timur 0.53 6.59 72.39 64.76 0.78 8.87 Sulawesi Utara 0.29 5.48 71.31 56.75 0.29 8.89 Gorontalo 0.34 4.76 61.93 49.61 1.3 7.38 Sulawesi Tengah 1.01 2.97 60.32 50.06 1.14 8 Sulawesi Selatan 0.55 2.81 67.71 53 4.04 7.84 Sulawesi Barat 0.21 6.4 52.17 44.54 4.94 7.11 Sulawesi Tenggara 0.43 3.44 73.02 59.93 1.96 8.11 Maluku 0.49 5.91 86.92 72.4 0.8 8.76 Maluku Utara 0.93 3.29 74.96 64.12 0.59 8.63 Papua 1.77 5.66 48.2 48.28 30.73 6.66 Papua Barat 1 4.46 72.07 58.98 355 8.21

(33)

24

Lampiran 5 Model logistik rata-rata lama sekolah

data

Import "

D:\\karil\\Excel\\ratarata.xlsx

"

1

0., 6.09 , 1., 6.02 , 2., 6.24 , 3., 6.51 , 4., 6.57 , 5., 6.71 , 6., 6.79 , 7., 6.74 ,

8., 7.05 , 9., 7.08 , 10., 7.24 , 11., 7.3 , 12., 7.44 , 13., 7.47 , 14., 7.52 , 15., 7.72 , 16., 7.92

sol DSolve x' t r x t 1 x t 15 ,x 0 6.09 ,x t ,t x t 15. r t 1.46305 r t ax sol 1, 1, 2 15. r t 1.46305 r t nlm NonlinearModelFit data,ax,r,t FittedModel 15. 0.0297179 t 1.46305 21 t

Show ListPlot

data, PlotStyle Red, Thick , AxesLabel

Tahun, Rata2_lama _sekolah , Plot

nlm

t

,

t, 0, 120

y =

15 0.0297179 t 1.46305 0.0297179t 20 40 60 80 100 120 Tahun 8 10 12 14 Rata2_lama _sekolah

(34)

Lampiran 6 Matriks korelasi

Tingkat Pendidikan SD

Peubah AM APtS APK APS RLS

APtS 0.543 APK -0.053 -0.030 APS -0.288 -0.345 0.731 RLS -0.469 -0.264 0.248 0.401 ABH 0.171 0.163 -0.754 -0.757 -0.614 Tingkat Pendidikan SMP

Peubah AM APtS APK APS RLS

APtS -0.061 APK -0.421 -0.087 APS -0.227 -0.306 0.825 ABH 0.443 0.046 -0.519 -0.522 RLS -0.164 -0.142 0.693 0.721 -0.445

Tingkat Pendidikan SMA

Peubah AM APtS APK APS ABH

APtS 0.369 APK -0.160 -0.075 APS -0.099 -0.146 0.902 ABH 0.599 0.208 -0.369 -0.283 RLS -0.240 -0.218 0.565 0.661 -0.445

(35)

26

Lampiran 7 Koordinat Biplot SD

Koordinat Objek Dim-1 Dim-2 1 -0.10745 0.06655 2 -0.15311 -0.10961 3 0.02012 0.18158 4 -0.0831 0.12558 5 -0.12413 -0.09006 6 -0.05761 -0.05479 7 -0.054 0.02207 8 0.07701 0.3902 9 -0.03007 0.07027 10 -0.0102 -0.01699 11 -0.22453 -0.20379 12 -0.07263 -0.19076 13 -0.09645 -0.2015 14 0.00905 -0.0632 15 -0.05835 -0.24293 16 0.03091 -0.19372 17 -0.00844 -0.14576 18 0.16871 -0.0842 19 0.18194 0.41 20 0.11925 0.26833 21 -0.10897 0.09166 22 0.00252 0.08306 23 -0.05949 0.14867 24 -0.16989 -0.05892 25 0.11808 0.19582 26 -0.00439 0.05689 27 0.07541 -0.15453 28 0.13137 0.02097 29 -0.06778 -0.11545 30 -0.19474 -0.09175 31 -0.1063 0.01348 32 0.80371 -0.32952 33 0.05357 0.20237 Koordinat Peubah Dim-1 Dim-2 V1 0.26688 0.39168 V2 0.24225 0.36744 V3 -0.39982 0.28674 V4 -0.47113 0.09893 V5 -0.37599 -0.13262 V6 0.47598 -0.1726 Nilai Eigen KU Nilai

Eigen Proporsi Kumulatif

1 3.0459 50.8% 50.8% 2 1.4813 24.7% 75.5% 3 0.7369 12.3% 87.7% 4 0.4140 6.9% 94.6% 5 0.2007 3.3% 98.0% 6 0.1212 2.0% 100.0%

(36)

Koordinat Objek Dim 1 Dim 2 1 0.19115 -0.19977 2 0.20970 -0.10217 3 0.04621 -0.26492 4 0.10017 0.25642 5 0.19719 -0.11868 6 0.00837 0.02228 7 0.02067 0.15063 8 -0.19740 -0.01058 9 -0.01113 -0.11823 10 0.02723 0.26470 11 0.28802 -0.14392 12 -0.01994 0.43220 13 -0.05573 0.37483 14 -0.01040 0.05426 15 0.25897 -0.10837 16 0.03448 0.10024 17 0.06445 0.00698 18 -0.06732 0.07192 19 -0.23094 -0.15219 20 -0.17043 -0.06842 21 0.01639 -0.01521 22 -0.08281 0.17013 23 0.20526 -0.00517 24 0.14538 -0.05138 25 -0.12494 0.28722 26 -0.07711 0.05800 27 -0.07624 -0.01240 28 -0.24697 -0.07224 29 -0.03721 -0.16070 30 0.17157 -0.00933 31 0.09648 -0.18263 32 -0.61655 -0.25252 33 -0.05657 -0.20097 Koordinat Peubah Dim 1 Dim 2 V1 -0.27612 -0.35501 V2 -0.12685 0.43287 V3 0.51236 0.02405 V4 0.50851 -0.14403 V5 -0.41074 -0.16306 V6 0.45984 -0.10693 Nilai Eigen KU Nilai

Eigen Proporsi Kumulatif

1 3.1049 51.7% 51.7% 2 1.1649 19.4% 71.1% 3 0.8026 13.4% 84.5% 4 0.5031 8.4% 92.9% 5 0.3011 5.0% 97.9% 6 0.1235 2.1% 100.0%

(37)

28

Lampiran 9 Koordinat Biplot SMA

Koordinat Objek Dim 1 Dim 2 1 0.18679 -0.33089 2 0.19160 0.01630 3 0.09492 -0.16658 4 0.11115 -0.00916 5 0.19076 -0.17949 6 -0.03400 0.02558 7 -0.03482 0.10624 8 -0.13139 0.09093 9 0.07074 0.04856 10 -0.04395 0.25046 11 0.21116 0.01082 12 -0.08441 0.30506 13 -0.01125 0.23969 14 -0.03085 0.25135 15 0.28308 -0.05199 16 0.01802 0.14630 17 0.20895 0.05418 18 -0.12967 -0.01626 19 -0.25932 -0.16641 20 -0.25486 -0.12962 21 -0.00051 0.24580 22 -0.13953 0.06282 23 0.10827 -0.16590 24 0.08915 -0.00209 25 -0.09544 0.13434 26 -0.09798 0.03266 27 -0.03243 0.05867 28 -0.23219 0.16591 29 0.07381 0.00211 30 0.23903 -0.26552 31 0.11217 -0.14832 32 -0.57460 -0.44072 33 -0.00241 -0.17487 Koordinat Peubah Dim 1 Dim 2 V1 -0.28477 -0.41135 V2 -0.20567 -0.30076 V3 0.47008 -0.24063 V4 0.47310 -0.26551 V5 -0.38374 -0.25210 V6 0.45685 -0.08101 Nilai Eigen KU Nilai Eigen Proporsi Kumulatif 1 2.8880 48.1% 48.1% 2 1.4318 23.9% 72.0% 3 0.8144 13.6% 85.6% 4 0.4646 7.7% 93.3% 5 0.3267 5.4% 98.8% 6 0.0744 1.2% 100.0%

Gambar

Gambar 1 Kurva pertumbuhan logistik.  Persamaan  logistik  menghasilkan  suatu  kurva  berbentuk  S,  yaitu  bahwa  pada  awal  adalah  serupa  dengan  eksponensial,  proses  dapat  dilihat  terus  meningkat  sampai  akhirnya  konvergen  ke  titik  tertent
Tabel 1 Objek Penelitian  Kode  Provinsi  1  Aceh  2  Sumatera Utara  3  Sumatera Barat  4  R i a u  5  Kepulauan Riau  6  Jambi  7  Sumatera Selatan  8  Kep Bangka Belitung  9  Bengkulu  10  Lampung  11  DKI Jakarta  12  Jawa Barat  13  Banten  14  Jawa Tengah  15   Yogyakarta  16  Jawa Timur  17  B a l i
Gambar 2 Angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia.  Gambar  2  juga  menunjukkan  angka
Gambar 3 Angka partisipasi murni pendidikan di Indonesia.  Target  penuntasan  wajib  belajar
+6

Referensi

Dokumen terkait

Selain dikembangkan di klub-klub Wushu, dikembangkan juga senam Taiji di klub-klub khusus Taiji yang tidak menekankan pada kompetisi Wushu, misalnya di klub PORPI

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan kuat lentur dan beban batas yang terjadi pada panel sirip bambu dengan takikan pada permukaan panel

Nahhhh hati2 pada langkah kali ini, ingat registry bkn sembarang edit/hapus, jika anda mengikuti langkah2 yg akan saya berikan nanti mohon utk membackup file registry yg

Ketentraman jiwa yang lelah dan membersihkan hati Kami mohon ampunan untuk segala salah dan khilaf kami Semoga tahun depan Engkau mempertemukan kami kembali Dengan Bulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Dampak negatif aktivitas industri batu bata terhadap keadaan lingkungan, (2) Usaha konservasi tanah bekas galian bahan baku

Menyadari hal tersebut seharusnya sistem pelayanan rumah sakit disamping mengutamakan aspek fisik, juga memperhatikan aspek lain khususnya aspek psikologis-religius.

Pengobatan tradisional merupakan suatu upaya penyembuhan dengan cara yang tradisional, diluar dari ilmu kedokteran, berakar menjadi tradisi yang berasal dari suku itu sendiri

Jumlah Saham yang ditawarkan 827.873.032 Saham Biasa Atas Nama Seri B dengan Nilai Nominal Rp.. HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU (HMETD) PT AMSTELCO