• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN OBAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN OBAT"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN

AGRIBISNIS

TANAMAN OBAT

Edisi Kedua

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian

(2)
(3)

SAMBUTAN

MENTERI PERTANIAN

Atas perkenan dan ridho Allah subhanahuwata’ala, seri buku tentang prospek dan arah kebijakan pengembangan komoditas pertanian edisi kedua dapat diterbitkan. Buku-buku ini disusun sebagai tindak lanjut dan merupakan bagian dari upaya mengisi “Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden RI Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Penerbitan buku edisi kedua ini sebagai tindak lanjut atas saran, masukan, dan tanggapan yang positif dari masyarakat/pembaca terhadap edisi sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 2005. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih. Keseluruhan buku yang disusun ada 21 buah, 17 diantaranya menyajikan prospek dan arah pengembangan komoditas, dan empat lainnya membahas mengenai bidang masalah yaitu tentang investasi, lahan, pasca panen, dan mekanisasi pertanian. Sementara 17 komoditas yang disajikan meliputi: tanaman pangan (padi/beras, jagung, kedelai); hortikultura (pisang, jeruk, bawang merah, anggrek); tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, tebu/gula, kakao, tanaman obat, kelapa, dan cengkeh); dan peternakan (unggas, kambing/domba, dan sapi).

Sesuai dengan rancangan dalam RPPK, pengembangan produk pertanian dapat dikategorikan dan berfungsi dalam: (a) membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian; (b) sumber perolehan devisa, terutama terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional; (c) penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama terkait dengan peluang i

BHINEK

A TUNGGALIK

(4)

pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik; dan (d) pengembangan produk-produk baru, yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan perkembangan masa depan. Sebagai suatu arahan umum, kami harapkan seri buku tersebut dapat memberikan informasi mengenai arah dan prospek pengembangan agribisnis komoditas tersebut bagi instansi terkait lingkup pemerintah pusat, instansi pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, dan sektor swasta serta masyarakat agribisnis pada umumnya. Perlu kami ingatkan, buku ini adalah suatu dokumen yang menyajikan informasi umum, sehingga dalam menelaahnya perlu disertai dengan ketajaman analisis dan pendalaman lanjutan atas aspek-aspek bisnis yang sifatnya dinamis.

Semoga buku-buku tersebut bermanfaat bagi upaya kita mendorong peningkatan investasi pertanian, khususnya dalam pengembangan agribisnis komoditas pertanian.

Jakarta, Juli 2007 Menteri Pertanian

(5)

KATA PENGANTAR

Sasaran visi “Indonesia Sehat 2010”, adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Program yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut adalah meningkatkan cara pengobatan tradisional yang berkelanjutan dan bermanfaat baik, secara tersendiri maupun terpadu dalam jaringan pelayanan kesehatan paripurna. Peningkatan peran tanaman obat khususnya, dan obat bahan alam umumnya, memerlukan: 1) Dukungan dan kemauan politik yang cukup dari pemerintah untuk menjadikan tanaman obat sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat dan “prime mover” perekonomian nasional; 2) Adanya program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan tanaman obat; 3) Koordinasi dan sinkronisasi program dari instansi terkait serta keterlibatan swasta dan masyarakat; dan 4) Peraturan perundang-undangan yang cukup kondusif bagi pengembangan tanaman obat. Sejalan dengan itu, tulisan ini yang memuat prospek dan arah pengembangan agribisnis tanaman obat unggulan, memberikan arah dalam menggerakkan usaha pengembangannya yang berbentuk peluang investasi dalam usaha agribisnis tanaman obat.

Jakarta, Juli 2007 Kepala Badan Litbang Pertanian

Dr. Ir. Achmad Suryana

(6)

TIM PENYUSUN

Penanggung Jawab : Dr. Ir. Achmad Suryana

Kepala Badan Litbang Pertanian

Ketua : Dr. Bambang Prastowo

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Anggota : Dr. Ir. Moch Syakir, MS Dr. Syafril Kemala Dr. Otih Rostiana Dr. Molide Rizal

Drs. Mono Rahardjo, MS Dra. Sri Yulianti

Ir. Sugiharto, MS Badan Litbang Pertanian

Jl. Ragunan No. 29 Pasar Minggu Jakarta Selatan

Telp. : (021) 7806202 Faks. : (021) 7800644

Em@il : kabadan@litbang.deptan.go.id

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jl. Tentara Pelajar No.1, Bogor, 16111

Jawa Barat

Telp. : (0251) 313083 Faks. : (0251) 336194 Em@il : criec@indo.net.id

(7)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat dan bahan baku obat konvensional impor yang nilainya mencapai US$ 160 juta per tahun, sehingga perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri dalam negeri. Sementara itu, tren masyarakat konsumen dunia yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan ”back to nature” dan meninggalkan rokok, juga menunjukkan pertumbuhan pesat, termasuk di Indonesia sendiri.

Pengembangan obat bahan alam khas Indonesia yang dikenal sebagai “jamu”, dimana tanaman obat menjadi komponen utamanya, memiliki arti strategis dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Dalam konteks demikian, pengembangan tanaman obat juga menjadi penting dalam program “Revitalisasi Pertanian” yang dicanangkan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi.

Dewasa ini peran tanaman obat khususnya, dan obat bahan alam umumnya, dalam pelayanan kesehatan formal di Indonesia sekaligus sebagai sumber devisa maupun PDB di Indonesia masih rendah. Hal itu disebabkan karena: (1) belum adanya dukungan dan kemauan politik yang cukup dari pemerintah untuk menjadikan tanaman obat sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat dan “prime mover” perekonomian nasional; (2) belum adanya program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan tanaman obat; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program dari instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; dan (4) peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup kondusif bagi pengembangan tanaman obat.

Berdasarkan klaim khasiat yang dimilikinya, jumlah serapan oleh industri obat tradisional (IOT), jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan tren investasi ke depan, lima komoditas tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan adalah temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng.

Temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah kelompok tanaman rimpang-rimpangan (Zingiberaceae), yang digunakan dalam hampir semua produk obat tradisional (jamu) karena paling banyak diklaim sebagai v

(8)

penyembuh berbagai penyakit yang menjadi tren masyarakat modern (degeneratif, penurunan imunitas, penurunan vitalitas). Sedangkan purwoceng sangat potensial untuk dikembangkan sebagai komplemen dan substitusi ginseng impor, sehingga dapat menghemat devisa negara.

Produk yang dapat dihasilkan dari tanaman temulawak, kunyit, kencur dan jahe adalah produk setengah jadi (simplisia, pati, minyak, ekstrak), produk industri (makanan/minuman, kosmetika, farmasi, Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan Industri Obat Tradisional (IOT), dan produk jadi (sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul). Sedangkan untuk purwoceng, produk setengah jadi berupa simplisia dan ekstrak, produk industri dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan (IKOT/IOT), dan pil atau tablet/kapsul (Farmasi).

Temulawak, kunyit, kencur dan jahe mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap PDB nasional, masyarakat petani dan industri. Setiap tahun, masing-masing komoditas ini mengalami peningkatan produktivitas untuk temulawak 11%, kunyit 28%, kencur 52% dan jahe 2,3%. Pengolahan dan diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia) mempunyai nilai tambah sebesar 7–15 kali, sedangkan pengolahan dari rimpang menjadi ekstrak memberikan nilai tambah sebesar 80–280 kali. Sementara itu, potensi purwoceng sebagai afrodisiak dapat tercermin dari begitu banyaknya ragam dan maraknya bisnis produk sejenis di pasaran dewasa ini.

Pasar yang menyerap produk agribisnis hulu dan hilir tanaman obat adalah 1.023 perusahaan industri obat tradisional (IOT) yang terdiri dari 118 IOT (aset > Rp. 600 juta) dan 905 IKOT (industri kecil obat tradisional, aset < Rp. 600 juta) yang bersama industri farmasi rata-rata menyerap sebesar 63%, ekspor 14%, dan untuk konsumsi rumah tangga 23%.

Kurang lebih 85% dari kebutuhan bahan baku untuk IOT dan IKOT masih diperoleh dari upaya penambangan hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya khusus. Pada saat ini, 97% IOT berada di Pulau Jawa (DKI Jaya, Jabar, Jateng dan Jatim), demikian pula 73% IKOT juga berada di Pulau Jawa, hanya 23% diluar Jawa. Laju pertumbuhan IOT (6,40% per tahun) lebih tinggi dari laju pertumbuhan IKOT (1,8% per tahun).

Dalam waktu 6 tahun (2005-2010), diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan bahan baku dari keempat komoditas tersebut, terutama jahe, sehingga terbuka peluang untuk intensifikasi dan/atau ekstensifikasi seluas 10–15% dari areal yang tersedia saat ini.

(9)

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman obat adalah rendahnya produktivitas dan mutu serta harga produk-produk primer, ketidakpastian pasar bagi produk tanaman obat yang dihasilkan petani, dan juga lemahnya modal dan daya tawar petani.

Berdasarkan permasalahan tersebut, pengembangan tanaman obat diarahkan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah komoditas temu-temuan dan purwoceng. Hal tersebut dapat dicapai melalui pemanfaatan varietas/ klon unggul, pengembangan di daerah yang sesuai, budidaya dengan penerapan praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices, GAP) yang didasarkan atas SOP (Standard Operational Procedures) untuk masing-masing komoditas, panen dan pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing Practices), sosialisasi dan pelatihan teknologi, serta bantuan investasi permodalan.

Areal pengembangan tanaman obat sampai tahun 2010 masih diarahkan ke lokasi di mana industri obat tradisional berkembang, yaitu di Pulau Jawa, dengan target luas areal 1.276 ha untuk temulawak, 1.527 ha kunyit, 3.270 ha kencur, 7.124 ha jahe dan 154 ha purwoceng. Dengan asumsi produktivitas per tahun rata-rata 7–8 ton/ha, maka target produksi temulawak sampai tahun 2010 diperkirakan mencapai 14.020 ton, kunyit 15.426 ton, kencur 26.290 ton, jahe 63.967 ton, dan purwoceng 850 ton. Kecuali ada permintaan khusus, setelah 2010 areal pengembangan temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat diperluas ke luar Pulau Jawa yang ketersediaan lahan lebih luas.

Teknologi budidaya dan pascapanen temulawak, kencur, kunyit, jahe dan purwoceng, telah tersedia. Namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses didalam pengalihan teknologi kepada petani memerlukan investasi yang cukup tinggi. Karena keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi teknologi tersebut.

Kebutuhan investasi usaha agribisnis mencakup usaha agribisnis hulu, pertanian primer, agribisnis hilir dan pemerintah tahun 2005-2010 untuk temulawak mencapai Rp. 1.652,470 miliar, kunyit Rp. 1.373,944 miliar, kencur Rp. 6.287,586 miliar, jahe Rp. 12.004,040 miliar, dan purwoceng Rp. 34,700 miliar. Total investasi gabungan dari usaha agribisnis dan pemerintah untuk lima komoditas tanaman obat beserta produk turunannya adalah Rp. 21.744,92 miliar.

(10)

Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia perlu disusun Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam, yang ditindaklanjuti oleh seluruh pihak terkait. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020.

Untuk mencapai target yang telah ditetapkan tersebut maka perlu disusun Grand Strategy Pengembangan Tanaman Obat Indonesia yang merupakan bagian dari Program Nasional tersebut, yang meliputi: 1) penetapan komoditas tanaman obat unggulan, 2) penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan, 3) peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan, 4) peningkatan kompetensi sumberdaya manusia, 5) pengembangan infrastruktur dan kelembagaan, 6) peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran, dan 7) penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat.

Program yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman obat unggulan tersebut adalah: 1) penetapan wilayah pengembangan tanaman obat unggulan berdasarkan potensi, kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan potensi serapan pasar; 2) peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tanaman obat unggulan; 3) peningkatan produksi produk turunan dari tanaman obat unggulan serta bentuk industri pengolahannya yang dapat memacu ekonomi rakyat dan pedesaan; 4) peningkatan kompetensi sumberdaya manusia; 5) pengembangan infrastruktur dan kelembagaan; 6) peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran; 7) penyusunan kebijakan perpajakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat; dan 8) pembentukan data base tanaman obat yang valid, meliputi jenis tanaman, luas areal, produksi, jumlah petani yang terlibat, serapan, jumlah industri yang terlibat, ekspor, impor, yang akan digunakan sebagai acuan di dalam perencanaan program nasional pengembangan tanaman obat.

Dukungan kebijakan yang dibutuhkan untuk pengembangan obat bahan alami antara lain: 1) keputusan politik pemerintah untuk menetapkan penggunaan obat bahan alami yang bahan bakunya antara lain tanaman obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan formal; 2) amandemen

(11)

serta revisi undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang belum sejalan dengan keputusan politik sebagaimana tersebut pada butir 1; 3) penyusunan program nasional pengembangan obat bahan alam berbasis tanaman obat asli Indonesia (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) secara terpadu, yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai hilir; 4) mendirikan badan atau institusi khusus yang memiliki otoritas memadai yang akan merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan program nasional sebagaimana tersebut pada butir 3; 5) membangun dan melengkapi sarana dan prasarana pendukung : a) universitas yang akan mendidik tenaga medis untuk pelayanan kesehatan dengan obat bahan alami, b) rumah sakit dan apotek yang melayani masyarakat dengan obat bahan alami, c) jalan, transportasi dan telekomunikasi ke daerah-daerah sentra produksi tanaman obat, d) bantuan modal untuk petani dan pengusaha yang akan berusaha dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat (temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng) baik di hulu maupun di hilir; dan 6) fasilitasi munculnya iklim usaha dan kemitraan yang sinergis dengan prinsip win-win diantara para pelaku agribisnis dan agroindustri berbasis obat bahan alam di Indonesia.

(12)

Sambutan Menteri Pertanian ... Kata Pengantar ... Tim Penyusun ... Ringkasan Eksekutif ... Daftar Isi ... I. PENDAHULUAN... II. KONDISI SAAT INI ... A. Usaha Pertanian Primer ... B. Usaha Agribisnis Hulu ... C. Usaha Agribisnis Hilir ... D. Pasar dan Harga ... E. Infrastruktur dan Kelembagaan ... F. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi ... III. PROSPEK, POTENSI, DAN ARAH PENGEMBANGAN ... A. Prospek Pasar dan Pesaing ... B. Potensi Lahan ... C. Arah Pengembangan Tanaman Obat... IV. TUJUAN DAN SASARAN ... A. Tujuan ... B. Sasaran ... V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM ... A. Kebijakan ... B. Strategi ... C. Program ...

DAFTAR ISI

Halaman i iii iv v x 1 3 4 5 6 7 10 11 12 12 12 15 24 24 24 25 25 25 26

(13)

VI. KEBUTUHAN INVESTASI ... A. Usaha Pertanian Primer ... B. Usaha Agribisnis Hulu ... C. Usaha Agribisnis Hilir ... D. Investasi Pemerintah ... E. Infrastruktur ... VII. DUKUNGAN KEBIJAKAN ...

xi 28 28 31 31 33 36 39

(14)
(15)

1

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan visi “Indonesia Sehat 2010” sebagai inspirasi dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan dimana misi dan sasarannya antara lain mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat impor, dan perlu dicarikan substitusinya dengan produk industri di dalam negeri. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut adalah meningkatkan penggunaan cara pengobatan tradisional yang aman dan bermanfaat, baik secara tersendiri maupun terpadu dalam jaringan pelayanan kesehatan paripurna. Pada pembukaan Seminar Obat Alami Cina-Indonesia tanggal 8 Desember 2003, secara eksplisit Presiden RI menekankan perlunya perhatian khusus yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan obat alami di Indonesia yang sangat penting dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan. Diharapkan “jamu”, yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari tanaman obat, bisa “menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di negara lain”.

Revitalisasi Pertanian juga telah ditetapkan sebagai prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2005-2010 di Bidang Ekonomi. Revitalisasi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Pada akhir tahun 2025 diharapkan sektor pertanian telah menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian nasional menuju tinggal landas. Tanpa usaha agribisnis atau investasi yang memadai dalam agroindustri, tidak mungkin revitalisasi pertanian dapat dilaksanakan.

Dalam kerangka demikian, pengembangan tanaman obat memiliki arti penting dan strategis. Tren global masyarakat konsumen dunia yang menuntut pangan dan produk kesehatan yang aman dengan slogan ”back to nature” dan meninggalkan rokok, menunjukkan pertumbuhan yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia sendiri. Nilai pasar tanaman obat, termasuk rimpang-rimpangan, di dalam negeri relatif tinggi dan menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal ini dimungkinkan karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi obat berbasis bahan baku alami, termasuk semakin maraknya penggalian potensi bahan obat dari tanaman baru, seperti purwoceng. Sebuah perusahaan distributor

(16)

”food suplement” eks impor di Indonesia telah membuktikan meningkatnya penjualan produk yang mereka pasarkan sebesar 100% per tahun dengan omset miliaran rupiah sejak tahun 2001.

Berdasarkan klaim khasiat yang dimilikinya, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan tren investasi ke depan, telah dipilih lima komoditas tanaman obat potensial yaitu temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk menunjang program revitalisasi pembangunan pertanian, melalui peningkatan nilai tambah komoditas tanaman obat. Temulawak, kunyit, kencur dan jahe mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional, masyarakat petani dan industri. Adapun purwoceng merupakan tanaman obat potensial yang dapat dikembangkan untuk komplemen dan substitusi impor ginseng, sehingga dapat menghemat devisa.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

(17)

II. KONDISI SAAT INI

Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber dayanya jauh lebih kecil. Tren Back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, yang juga telah memanfaatkan pasar Indonesia. Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan, nutraceutical dan sebagainya di dunia pada tahun 2000 mencapai US$ 40 miliar. Pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 60 miliar, dan tahun 2050 diperkirakan menjadi US$ 5 triliun dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern yang hanya 3% per tahun.

Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal, memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai US$ 6 miliar dengan pangsa pasar mencapai 33% dari total pasar obat dunia. Di India, 60-70% penduduk menggunakan sistem pengobatan alami, dengan nilai penjualan mencapai US$ 3 miliar (2002). Di Korea, output dari obat herbal mencapai US$ 500 juta atau 12% dari total penjualan obat dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai US$ 1,2 miliar, dengan tren pasar meningkat 13% per tahun. Di Indonesia sendiri, volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai US$ 150 juta, padahal kurang lebih 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat tradisional yang dikenal sebagai jamu. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan bahan baku untuk 1.023 buah perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp. 600 juta), justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya.

Ekspor bahan baku dan simplisia tanaman obat Indonesia menunjukkan peningkatan yang berarti. Pada tahun 2000 mencapai US$ 26,06 juta dan meningkat tajam menjadi US$ 890,24 juta pada tahun 2001. Negara pengimpor tanaman obat asal Indonesia antara lain Singapura, Cina Taipei, Hongkong dan Jepang. Tren penjualan tanaman obat yang diekspor cukup fluktuatif. Neraca perdagangan internasional tanaman obat Indonesia adalah positif pada kurun waktu 1996-2001, dengan nilai surplus eskpor 3

(18)

tertinggi terjadi pada tahun 1997 sebesar US$ 400,48 juta.

Komoditas jahe, temulawak, kunyit, kencur dan purwoceng hingga saat ini kontribusinya terhadap ekspor simplisia masih kecil, mengingat kebutuhan dalam negeri atas komoditas tersebut masih cukup tinggi. Sebagian IOT bahkan masih mengimpor bahan baku dari luar negeri, terutama temulawak, kunyit, kencur dan jahe. Padahal, potensi lahan dan sumberdaya manusia yang ada di dalam negeri cukup memadai untuk membangun industri hulu sampai hilir (pengembangan produk) bagi keempat komoditas tersebut. Hal ini terjadi karena nilai jual bahan baku tanpa olah di tingkat petani sangat rendah, sehingga kurang menarik minat untuk mengusahakan komoditas tersebut secara intensif. Pada saat ini, harga rimpang temulawak yang wajar di tingkat petani adalah Rp. 1.500,- per kg, kunyit Rp. 1.000,- per kg, kencur Rp. 5.000,- per kg dan jahe Rp. 2.500,-. Investasi di sektor hulu akan menarik minat apabila nilai jual hasil produk pertanian tanaman obat bisa ditingkatkan, dengan mengoptimalkan industri hilir melalui diversifikasi produk.

Industri obat tradisional kelompok menengah/besar (IOT), 97% berada di Pulau Jawa (DKI Jaya, Jabar, Jateng dan Jatim). Demikian pula kelompok industri kecil (IKOT) 73% berada di Pulau Jawa dan hanya 23% di luar Jawa. Laju pertumbuhan IOT (6,40% per tahun) lebih tinggi dari laju pertumbuhan IKOT (1,8% per tahun) menunjukkan bahwa animo investor terhadap industri berbasis tanaman obat untuk perusahaan menengah dan besar lebih tinggi. Hal itu juga terlihat dari produksi obat tradisional. Ternyata, industri besar seperti Air Mancur, Martina Berto, Sido Muncul, Nyonya Meneer, Borobudur, Mustika Ratu, lebih berkembang maju dibandingkan dengan industri kecil sejenis.

A. Usaha Pertanian Primer

Luas lahan pertanian tanaman obat di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 14.333 ha, dan luas tanam temulawak, kunyit, kencur serta jahe mencapai 48,35% dari luas total areal tersebut. Lokasinya menyebar di seluruh propinsi Indonesia, dengan sentra produksi utama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk temulawak, kunyit dan kencur. Sedangkan areal pengembangan jahe selain di ketiga propinsi tersebut, adalah Sumatera Utara. Luas areal dan produksi temulawak, kunyit, kencur dan jahe tahun 2002-2004 seperti tercantum pada Tabel 1.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

(19)

5 Tabel 1. Luas areal, produksi dan serapan temulawak, kunyit, kencur dan jahe

tahun 2002-2004

Sumber: Ditjen BP Hortikultura (2004); Balittro (2003), Statistik Pertanian (2005)

Untuk keempat komoditas tersebut, terjadi peningkatan produktivitas per tahun, masing-masing, temulawak 11%, kunyit 28%, kencur 52% dan jahe 2,3%. Sedangkan serapan yang terdiri atas IOT/IKOT dan farmasi mencapai rata-rata 63%, ekspor 14%, serta untuk konsumsi rumah tangga 23%.

B. Usaha Agribisnis Hulu

Nilai tambah tanaman obat di sektor usaha industri hulu, ditentukan oleh faktor produksi di dalam pembudidayaannya antara lain, cara budidaya sesuai GAP (Good Agricultural Practices) dengan menerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul. Rendahnya produktivitas tanaman obat di sebagian besar sentra produksi disebabkan petani belum mengikuti teknik budidaya anjuran berdasarkan SOP yang dibakukan, serta belum menggunakan bibit unggul. Meskipun penyebaran benih beberapa tanaman obat dari satu ke lain daerah terus berlangsung, hingga saat ini belum ada standar benih bermutu yang berasal dari varietas yang sudah dilepas. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (dahulu Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat / Balittro) telah melepas satu varietas unggul Jahe Putih Besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 20-40 ton per ha, dan tiga varietas unggul kencur (Galesia-1, Galesia-2 dan Galesia-3) dengan potensi produksi 10-16 ton per ha. Varietas-varietas tersebut sangat potensial untuk mendukung pengembangan industri benih guna meningkatkan nilai tambah agribisnis tanaman obat di sektor hulu, sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri obat tradisional.

Areal (ha) Produksi (ton)

Komoditas Temulawak Kunyit Kencur Jahe 2002 673,32 881,64 1290,26 2.220,00 2003 684,49 1.894,21 1.811,60 2.540,00 2004 -2.457,71 2.112,33 6.175,23 2002 7.173,57 23.993,02 12.848,18 110.700,00 2003 11.761,98 30.707,45 19.527,11 112.300,00 2004 -40.467,23 22.609,06 104.788,64

(20)

C. Usaha Agribisnis Hilir

Peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak) oleh usaha agroindustri primer (pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi) merupakan salah satu aspek usaha berdaya saing tinggi dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri disamping untuk peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mempunyai nilai tambah sebesar 7–15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 80–280 kali (Tabel 2). Namun hingga kini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpang-rimpangan masih terbatas jumlahnya. Padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan di sentra-sentra produksi tanaman obat dan daerah industri jamu/farmasi.

Tabel 2. Nilai tambah usaha diversifikasi temulawak, kunyit, kencur dan jahe untuk IOT/IKOT dan industri farmasi

*Berdasarkan harga jual yang wajar di tingkat petani.

Usaha agribisnis hilir tanaman obat yang telah berkembang adalah industri jamu, sedangkan industri farmasi (fitofarmaka) dalam tahap rintisan. Industri jamu yang diawali dengan jamu gendong, cukup pesat perkembangannya. Pemakaian tanaman obat untuk industri jamu (IOT/IKOT) dan farmasi pada tahun 2002 dan 2003 disajikan pada Tabel 3. Porsi serapan untuk temulawak mencapai 51,09%, kunyit 13,11%, kencur 13,83%, jahe 24,78% dan purwoceng 0,002%. Sedangkan pada tahun 2003 untuk temulawak 10,74%, kunyit 14,14%, kencur 21,85%, jahe 53,25% dan purwoceng 0,1%. Selain IKOT dan IOT, industri obat tradisional juga mencakup industri jamu racikan dan jamu gendong yang setiap tahun terus berkembang. Perkembangan IKOT/IOT sepuluh tahun terakhir (1993-2003) seperti terlihat pada Gambar 1.

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

AGRO INOVASI Komoditas Te m u l a w a k Kunyit Kencur Jahe Harga jual Rimpang Segar (Rp. /kg)* 1.500 1.000 5.000 2.500 Harga Simplisia Kering (Rp. /kg) 15.000 15.000 40.000 17.500 Harga Ekstrak (Rp. /kg) 174.000 280.000 800.000 202.000 Simplisia 10 15 8 7 Ekstrak 116 280 90 80,8 Nilai Tambah (x 100%)

(21)

7 Gambar 1. Perkembangan IKOT/IOT di Indonesia tahun 1993-2003. Tabel 3. Serapan simplisia temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk

IKOT/IOT dan farmasi tahun 2002

Sumber: BPOM (2003)

D. Pasar dan Harga 1. Penggunaan domestik

Temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng sebagian besar (+ 90%) digunakan untuk keperluan domestik. Hampir semua komoditas, sebagian besar pasokan digunakan untuk IKOT dan IOT, sedangkan penggunaan dalam industri farmasi masih terbatas. Hal ini disebabkan masih sedikit produk industri obat yang sudah melalui uji pra-klinik atau uji klinik. IOT IKOT TOTAL 1200 1000 800 600 400 200 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Jumlah Komoditas Temulawak Kunyit Kencur Jahe Purwoceng Jumlah Serapan (ton) 324.832,00 83.371,00 87.959,00 157.599,00 15,47 653.776,47 (%) 46,69 12,75 13,45 24,11 0,002 100,00

(22)

Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk kebutuhan konsumsi, IOT dan IKOT serta industri farmasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk konsumsi, IKOT dan IOT serta industri farmasi tahun 2002

Sumber: Balittro (2003).

2. Ekspor dan impor

Kebutuhan ekspor serta pasokan impor temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng dapat dilihat pada Tabel 5. Kebutuhan ekspor jahe, kunyit dan kencur, cukup berarti, namun impor jahe juga cukup besar (127 ton). Pada tahun 2004 dan awal tahun 2005, harga jahe putih besar melonjak sampai Rp. 20.000 per kg, karena terjadi kelangkaan pasokan di dalam negeri. Hal tersebut, antara lain, disebabkan oleh kegagalan panen di berbagai daerah akibat serangan penyakit layu bakteri (Ralstonia

solanacearum), yang sampai saat ini belum ditemukan teknik

pengendaliannya.

Tabel 5. Ekspor dan impor komoditas temulawak, kunyit, kencur, jahe, dan purwoceng tahun 2002 Sumber: Balittro (2003). Komoditas Temulawak Kunyit Kencur Jahe Purwoceng Konsumsi 2.033,70 (17,18%) 4.187,46 (40,93%) 5.987,71 (38,28%) 21.641,16 (69,15%) -IOT 3.244,01 (27,41%) 2.408,84 (23,55%) 2.340,31 (14,96%) 4.197,01 (13,41%) 6,90 IKOT 4.217,21 (35,63%) 3.131,49 (30,61%) 3.042,40 (19,45%) 5.456,11 (17,44%) 8,97 Farmasi 2.341,10 (19,78%) 502,00 (4,91%) 2.815,00 (27,31%) -3.928,00 Total 11.836,02 10.229,79 15.640,83 31.294,28 3.943,87 Penggunaan (ton) Komoditas Temulawak Kunyit Kencur Jahe Purwoceng Ekspor (ton) -2.791,64 7.983,62 15.854,88 -Impor (ton) -126,00

-Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

(23)

9 3. Perkembangan harga

Perkembangan harga domestik dan ekspor komoditas tanaman obat hanya tersedia untuk jahe, seperti terlihat pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Perkembangan harga komoditi jahe di dalam negeri tahun 1993-2002.

Pada Gambar 2, terlihat bahwa harga domestik jahe sampai tahun 1999 mengalami kenaikan yang tajam, dengan rata-rata kenaikan 60% per tahun. Namun setelah krisis ekonomi, terjadi penurunan dari Rp. 3.845,14 per kg pada tahun 1999 menjadi Rp. 2.525,75 per kg pada tahun 2002. Sedangkan ekspor jahe segar Indonesia tahun 2001 (Gambar 3) mencapai 8.150 ton dengan nilai US$ 3.623.000 atau US$ 444,54 per ton. Pada tahun 2002 terjadi penurunan volume menjadi 7.471 ton tetapi harganya mengalami kenaikan US$ 539,29 per ton.

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun Harga/Kg (Rp.)

(24)

E. Infrastruktur dan Kelembagaan

Sentra produksi tanaman obat, terutama yang dibudidayakan, sebagian besar terdapat di pedesaan Pulau Jawa, dimana infrastrukturnya kurang baik, sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi. Selain itu belum adanya pola perdagangan tanaman obat yang jelas menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dalam pembentukan harga (price taker). Kondisi ini menyebabkan kelembagaan penunjang cenderung tidak berperan, seperti kelembagaan pemasaran yang cenderung oligopsoni, sistem ijon dan tebas, yang cenderung merugikan petani. Peranan kelembagaan koperasi dalam memperbaiki ekonomi petani sampai saat ini belum dapat berjalan sesuai dengan harapan. Demikian pula asosiasi petani tanaman obat belum banyak berfungsi. Sementara itu akses petani terhadap pasar dan teknologi perlu dipermudah dan dipercepat.

Kebijakan yang ditempuh saat ini masih bersifat umum, seperti pengembangan dan perbaikan jalan bersamaan dengan pembangunan desa dan kewilayahan, maupun pengembangan kelompok tani dan lembaga penyuluhan lainnya. Bahkan di beberapa desa di Kabupaten Boyolali, sebagai salah satu sentra produksi tanaman obat rimpang-rimpangan di Jawa Tengah, usaha perbaikan jalan desa dilakukan petani tanaman obat secara swadaya. 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Nilai ekspor (USD) Nilai impor (USD)

Tahun

Nilai impor (USD) Volume impor (ton)

Nilai ekspor (USD) Volume ekspor (ton)

Gambar 3. Perkembangan volume dan nilai ekspor-impor jahe Indonesia di pasar dunia tahun 1993-2002

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

Gambar

Tabel 2. Nilai tambah usaha diversifikasi temulawak, kunyit, kencur dan jahe untuk IOT/IKOT dan industri farmasi
Tabel 4. Penggunaan domestik temulawak, kunyit, kencur, jahe dan purwoceng untuk konsumsi, IKOT dan IOT serta industri farmasi tahun 2002
Gambar 2.  Perkembangan harga komoditi jahe di dalam negeri  tahun 1993-2002.
Gambar 3. Perkembangan volume dan nilai ekspor-impor jahe Indonesia di pasar dunia tahun 1993-2002 Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat

Referensi

Dokumen terkait

Adopting Zeijlstra’s ver- sion of the NPI Approach to NC (where n-words are taken to be semantically nonnegative, and carry an uninterpretable negative feature [uNEG] that needs to

Kedua , meskipun UU PPLH menerapkan sanksi pidana secara premium remedium , akan tetapi penerapan sanksi administrasi lebih efektif dan lebih memberikan

Seluruh staf pengajar Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan,

You can open up or go to the web link download that we offered to obtain this Environmental Law By Kathryn L Schroeder By in this manner, you can obtain the on-line

Sehubungan dengan pelelangan yang dilakukan oleh Pokja V Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2017 untuk kegiatan :.. PEMBANGUNAN 1 (SATU)

educational radio and television programs are being used to supplement formal classroom

Saat ini belum ada sistem jaringan untuk kebutuhan air bersih oleh PDAM di kelurahan Gurabunga, disebabkan karena wilayah tersebut berada pada daerah ketinggian

As another example computational problem, suppose that you needed to write a program that displays a calendar month for any given month and year, as shown in Figure 1-4..