• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Cuma-Cuma) yang diberikan rakyat kepada Negara, namun seiring dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. Cuma-Cuma) yang diberikan rakyat kepada Negara, namun seiring dengan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum tentang Pajak

Pada mulanya pajak hanyalah merupakan suatu upeti (pemberian Cuma-Cuma) yang diberikan rakyat kepada Negara, namun seiring dengan perkembangan upeti tersebut sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya, pemberian yang dilakukan rakyat kepada Negara digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun sarana sosial dan lain sebagainya.

Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, maka sifat upeti yang semula dilakukan secara cuma-cuma dan memaksa tersebut, kemudian dibuatlah suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tersebut tetap ada namun unsur keadilan lebih diperhatikan maka dibuatlah suatu ketentuan berupa Undang-Undang yang mengatur tentang tata cara perpajakan, siapa saja yang akan dikenakan pajak, objek apa saja yang akan dikenakan pajak dan berapa besarnya pajak yang harus dibayar.

2.1.1 Pengertian Pajak

Untuk memahami alasan mengapa Wajib Pajak perlu membayar pajak yang digunakan untuk membiayai keperluan Negara, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian pajak itu sendiri. Pajak merupakan sarana reformasi Negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan Negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu

(2)

sendiri. Dalam Undang- Undang RI Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ( Pasal 1) menyatakan bahwa :

Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan pengertian pajak menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam Waluyo (2011:2)

Pajak merupakan iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Sedangkan Smeets dalam buku karangan Ilyas dan Burton (2008:6) memaparkan definisi pajak sebagai :

“Prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual yang maksudnya untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”

(3)

Deifinisi lainnya yang dikemukakan oleh Seligman (2011:432), seorang guru ekonom, guru besar pendiri dan presidan pertama dari American Economic Association yang menyaakan bahwa:

“tax is compulsory contribution from the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred.”

Dari definisi pajak diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut :

1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang. Asas ini sesuai dengan pasal 1 (angka 1) UU No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. Pemungutan pajak bersifat memaksa. Apabila terdapat Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya maka akan dikenakan sanksi sesuai peraturan Perundang-Undangan.

3. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya : orang yang membayar pajak akan berjalan dijalan yang sama dengan orang yang tidak membayar pajak.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.1.2 Fungsi Pajak

Menurut Waluyo (2011 : 6) menyatakan bahwa Pajak dilihat dari pemungutannya memiliki dua fungsi :

(4)

1. Fungsi Budgetair (Penerimaan)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh : dimasukkannya pajak dalam APBN (Anggran Pendapatan Belanja Negara) sebagai penerimaan dalam Negeri.

2. Fungsi Regulerend (mengatur)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh : dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekankan. Demikian juga terhadap barang mewah.

2.1.3 Jenis - Jenis Pajak

Menurut Waluyo (2011 : 12) menyatakan jenis pajak dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :

A. Menurut Golongannya dibagi menjadi 2 golongan : a) Pajak Langsung

Yaitu pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan. Contohnya : Pajak Penghasilan (PPh).

b) Pajak Tidak Langsung

Yaitu pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain sehingga sering disebut dengan pajak tidak langsung. Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

B. Menurut sifatnya

(5)

a) Pajak Subjektif

Yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.

b) Pajak Objektif

Yaitu pajak yang bedasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

C. Menurut pemungutannya

Dapat dibagi menjadi 2 golongan : a) Pajak Pusat

Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan unutk membiayai rumah tangga. Contohnya : Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.

b) Pajak Daerah

Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya : Pajak Reklame dan Pajak Parkir.

2.1.4 Hukum Pajak

Kewenangan pemungutan pajak berada pada Pemerintah. Di Negara hukum segala sesuatu harus ditetapkan dalam Undang-Undang, seperti di Indonesia pemungutan pajak diatur dalam pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. Selanjutnya, keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan Pemerintah untuk

(6)

mengambil kekayaan seseorng dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas Negara termaksud ruang lingkup pengertian hukum pajak. (Waluyo 2011 : 7)

Dalam buku Waluyo edisi 10 (2011 : 11), memuat tentang hukum pajak mengatur hubungan antara Pemerintah (Fiskus) selaku pemungut pajak dengan Wajib Pajak. Apabila dilihat dari materinya, hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Hukum pajak materil

Yaitu hukum pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek-objek), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara Pemerintah dan Wajib Pajak.

Contohnya : UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

UU No. 12 Tahnu 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. b. Hukum pajak formal

Yaitu hukum pajak yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan.

Contohnya : Tata Cara Penghapusan utang pajak

Yang termaksud dalam Subjek Pajak adalah semua Warga Negara Indonesia yang bahkan sejak ia dilahirkan di Indonesia dan menetap di Indonesia atau Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari. Sedangkan yang termaksud dalam Objek Pajak adalah adanya harta, warisan yang belum terbagi, adanya penghasilan

(7)

maupun adanya melakukan transaksi. Yang berhak dikatakan sebagai Wajib Pajak apabila Orang Pribadi tersebut telah memenuhi Syarat Subjektif dan Syarat Objektif seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan yaitu setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan Subjektif dan Objektif sesuai dengan Ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan (tempat usaha) Wajib Pajak yang kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan NPWP, maka wajib mengisi Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan, apabila tidak maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Untuk batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sesuai dengan Pasal 3 (3) UU KUP adalah :

1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak.

2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Tahun Pajak.

(8)

3. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah berakhirnya Tahun Pajak.

Berdasarkan Undang-Undang yang mengatur tentang perpajakan, ada beberapa jenis pajak yang dibebankan kepada Wajib Pajak, yaitu :

a. Pajak Penghasilan (PPh) dalam UU RI No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU RI No. 36 Tahun 2008.

b. Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) dalam UU RI No. 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU RI No. 42 Tahun 2009. c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam UU RI No. 12 Tahun 1985

sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU RI No. 12 Tahun 1994.

2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak

Sedangkan untuk sistem pemungutan pajak menurut Waluyo (2011 : 17 ) dibagi atas 3 (empat), yaitu :

a. Official Assessment System

Yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Dengan berlakunya sistem ini, Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu pihak Fiskus untuk mengeluarkan SKP ( Surat Ketetapan Pajak) guna untuk mengetahui besarnya pajak yang terutang.

b. Self Assessment System

Yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak sendiri untuk menghitung, meyetor dan melaporkan besarnya

(9)

pajak terutang. Dengan sistem ini, maka Wajib Pajak berperan secara aktif dan pihak Fiskus hanya melakukan pengawasan guna Wajib Pajak agar tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Contohnya : PPh. c. Withholding System

Yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong dan memungut pajak, yang selanjutnya pihak ketiga ini akan meyetorkannya kepada Fiskus. Contoh : PPN, PPh pasal 22, pasal4(2), pasal 23, pasal 15, pasal 26.

2.1.6 Pajak Pertambahan Nilai

Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai menurut Untung Sukardji (2012 : 1), yaitu :

1. PPN adalah Pajak Tidak Langsung

PPN dapat dialihkan ke pihak lain apabila pembeli sudah membeli barang dan membayarkan PPN, maka penjual wajib menyetorkan kepada Negara.

2. PPN adalah Pajak Objektif

PPN dikenakan apabila memiliki objek pajak. 3. PPN Bersifat Multi Stage Levy

PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

4. Perhitungan PPN Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Menggunakan Indirect Subtraction Method

Indirect Subtraction Method adalah metode perhitungan PPN yang akan disetor ke kas negaraa dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau jasa.

(10)

5. PPN Bersifat Non Kumulatif

PPN yang Multi Stage Levy naum bersifat non kumulatif yaitu tidak menimbulkan pajak berganda.

6. PPN di Indonesia Menganut Tarif Tunggal (Single Rate)

PPN di indonesua menggunakan tarif tunggal yang dalam UU PPN 1984 ditetapkan sebesar 10%.

Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak) wajib untuk membuat Faktur Pajak apabila terjadinya penjualan. Dalam UU PPN No. 42 Tahun 2009, PKP wajib membuat faktur pajak apabila adanya terjadinya pembayaran atau terjadinya penyerahan barang/jasa kena pajak, faktur pajak harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya dan dapat dikreditkan dalam jangka waktu 3 bulan. Akan tetapi dalam UU perpajakan sebelum tahun 2008 tidak mengharuskan PKP untuk membuat faktur pajak pada akhir bulan berikutnya.

2.1.7 Pajak Penghasilan

Dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008, menyatakan:

“Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.”

Dan dalam buku Waluyo (2011:99) berisi bahwa pengertian Subjek Pajak meliputi Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), sebagai berikut :

(11)

Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan.

Warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan Subjek Pajak pengganti menggantikan yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.

c. Badan

Pengertian Badan mengacu pada Undang-Undang KUP, bahwa Badan merupakan Orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan Lainnta, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama atau bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa dan Bentuk Badan lainnya termaksud Kontrak Investasi Kolektif dan Badan Usaha Tetap.

d. Badan Usaha tetap

Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

(12)

2.2 Tinjauan Umum tentang Sengketa Pajak.

2.2.1 Pengertian Sengketa Pajak

Pengertian Sengketa Pajak dalam pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak :

“Sengketa Pajak merupakan sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara pihak Wajib Pajak dengan pihak Fiskus, akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding/gugatan ke pengadilan pajak berdasarkan peraturan Perundang-Undangan perpajakan, termaksud gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang penagihan pajak dengan surat paksa (Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.”

2.2.2 Kategori Sengketa Pajak

Dalam praktiknya, produk hukum dari ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh Fiskus tidak selalu dapat diterima atau disetujui oleh Wajib Pajak. Pada umumnya Wajib Pajak dan atau juga Fiskus menganggap bahwa terdapat kesalahan atau pelanggaran pada produk ketetapan sehingga perlu direvisi. Berdasarkan kelaziman, kesalahan atau pelanggaran yang berujung pada masalah sengketa pajak dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Sengketa formal

Sengketa formal timbul apabila Wajib Pajak dan atau Fiskus tidak mematuhi prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Perundang-Undangan Perpajakan. Bagi Fiskus, kesalahan atau pelanggaran formal mencakup segala penyimpangan terhadap prosedur dan tata cara pemeriksaan, penerbitam ketetapan sampai dengan keputusan keberatan.

(13)

Sedangkan bagi Wajib Pajak, kesalahan atau pelanggaran formal tersebut berupa tidak dipatuhi atau dilaksanakannya prosedur dan tata cara yang ditetapkan oleh Perundang-Undangan perpajakan.

Contohnya : masalah jangka waktu penyampaian surat dan syarat formal sahnya suatu permohonan.

b. Sengketa material

Sengketa material atau biasa yang dikenal dengan materi sengketa, terjadi apabila tedapat perbedaan jumlah pajak yang lebih dibayar (dalam kasus restitusi) menurut Fiskus dengan jumlah perhitungan menurut Wajib Pajak. Perbedaan ini bisa timbul karena adanya beda pendapat mengenai dasar hukum yang seharusnya digunakan, beda persepsi atas perpajakan, perselisihan atas suatu transaksi, atau bisa juga disebabkan oleh hal-hal lainnya.

2.2.3 Penagihan Pajak

Pengertian Penagihan Pajak dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Tujuan dengan adanya penagihan pajak agar Wajib Pajak atau penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.

(14)

Saat jatuh tempo pembayaran pajak merupakan awal dari proses penagihan pajak. Prosedur dalam penagihan pajak dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), yaitu :

1. Surat Teguran

Surat teguran merupakan langkah awal dari proses penagihan pajak. Surat Teguran diterbitkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pembayaran utang pajak.

2. Surat Paksa

Surat Paksa diterbitkan dan disampaikan setelah 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat teguran

3. Penyitaan

Apabila setelah diberikan Surat Paksa, akan tetapi penanggung pajak masih belum melunasi utang pajaknya, maka dalam jangka waktu 2x24 jam akan dilakukan penyitaan terhadap barang-barang penanggung pajak.

4. Pengumuman Lelang

Setelah tindakan penyitaan harta penanggung pajak dilakukan dan Penanggung Pajak masih belum melunasi seluruh utang pajak dan biaya penagihan pajak, maka dilanjutkan dengan penjualan barang sita tersebut atau dilakukan secara lelang. Apabila barang yang akan dilelang merupakan barang yang tidak berwujud maka diperlukan pengumuman lelang setelah jangka waktu 14 hari setelah tanggal penyitaan dan dilakukan pengumuman kedua dalam jangka waktu setelah 10 hari kemudian.

(15)

5. Lelang.

Lelang dilakukan dalam jangka waktu 14 hari sejak pengumuman lelang.

2.2.4 Hapusnya Utang Pajak

Dalam buku Waluyo ( 2011:19), adapun utang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Pembayaran

Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan dihapus karena pembayaran pajak yang dilakukan ke kas Negara.

2. Kompensasi

Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang yang diluar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima Wajib Pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang.

3. Daluarsa

Daluarsa diartikan sebagai daluarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak, daluarsa telah lampau waktu lima tahun terhitung sejak diterbitkannya ketetaan pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluarsa penagihan pajak tertangguhkan, antara lain dapat terjadi apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.

(16)

4. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya, tetapi karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, teapi terhadap sanksi administrasi.

5. Penghapusan

Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan Wajib Pajak, misalnya : keadaan keuangan Wajib Pajak.

2.2.5 Pengadilan Pajak

Pengertian Pengadilan Pajak dalam Undang-Undang Perpajakan Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak karena Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal Banding, Pengadilan Pajak hanya memeriksa dan memutus sengketa atas Keputusan Keberatan, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sengketa Pajak yang menjadi objek pemeriksaan adalah sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam permohonan keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan diputuskan dalam keputusan keberatan. Selain itu Pengadilan Pajak dapat juga memeriksa dan memutuskan Banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

(17)

Sedangkan dalam hal Gugatan, Pengadilan Pajak memeriksa dan memutuskan sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya yang dimaksud dalam pasal 23 ayat 2 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku.

2.2.6 Timbulnya Sengketa Pajak

2.2.6.1 Pemeriksaan

Pengertian pemeriksaan dalam Pasal 1 (25) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 :

“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan progessional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.

Landasan hukum pemeriksaan pajak terdapat dalam pasal 29 ayat (1) UU No. 6 tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan UU No. 28 Tahun tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan :

“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak

(18)

dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan”

Pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat dilakukan apabila Wajib Pajak :

a. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termaksud yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

b. Menyatakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi.

c. Tidak menyampaikam atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran. d. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,

pembubaran atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. e. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi

berdasarkan hasil analisis risk (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.

Sedangkan dalam pasal 30 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007, pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan dapat dilakukan dalam hal :

a. Pemberian NPWP secara jabatan. b. Penghapusan NPWP.

c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. d. Wajib pajak mengajukan keberatan.

(19)

e. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan netto.

f. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.

g. Penentuan satu (pemusatan) atau lebih tempat terutang pajak pertambahan nilai.

h. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.

Setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dan dari hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, maka pihak Fiskus berwenang untuk menerbitkan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berfungsi sebagai Surat Tagihan Pajak (STP). Sebelum diterbitkannya produk hukum tersebut, bagian tim pemeriksa pajak akan memberitahukan secara tertulis mengenai hasil dari pemeriksaan yang biasa dikenal dengan nama Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, Tim Pemeriksa, Kantor Pelayanan Pajak. Dalam kondisi ini, sering sekali Wajib Pajak merasa keberatan atas penetapan jumlah pajak yang ditetapkan oleh Fiskus dalam SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), maka dari sini mulailah terjadi sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak. Pengawasan kepatuhan Wajib Pajak dimulai dari penelitian atas SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang disampaikan Wajib Pajak ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) sedangkan untuk penegakkan hukum dilakukan dengan cara pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. Adapun produk hukum yang diterbitkan oleh fiskus atas hasil pemeriksaan “Waluyo (2011 : 53)” adalah :

(20)

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan dalam hal :

1. Apabila dalam hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terhutang tidak atau kurang dibayar.

2. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%.

4. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Penerbitan SKPKB akan disertai dengan sanksi administrasi berupa bunga atau denda. Sanksi administrasi dikenakan sebesar 2% per bulan maksimal 24 bulan berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah pajak yang terutang.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

Adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPKBT. Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru dan/atau

(21)

data yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang terutang.

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diakibatkan oleh jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diterbitkan apabila ada permohonan tertulis dari Wajib Pajak. KPP (Kantor Pelayanan Pajak) sudah harus menerbitkan SKPLB paling lama 12 (Dua Belas) bulan sejak permohonan diterima kecuali untuk kegiatan tertentu. Apabila melebihi jangka waktu tersebut belum ada keputusan dari KPP, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Wajib Pajak berhak untuk memperoleh pengembalian atas kelebihan pajaknya. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang dibayar melebihi pembayaran pajak yang ditetapkan, maka SKPLB ini masih dapat diterbitkan lagi.

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

Adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak yang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

e. Surat Tagihan Pajak (STP)

Adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa denda dan bunga. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan dalam hal :

(22)

2. Apabila dari hasil penelitian Surat pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung.

3. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi berupa bunga dan atau denda.

4. Apabila Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN tidak melaporkan kegiatannya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

5. Apabila pengusaha yang tidak/belum dikukuhkan sebagai PKP, tetapi membuat Faktur Pajak.

6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, atau tidak mengisi Faktur Pajak dengan lengkap.

Penerbitan STP (Surat Tagihan Pajak) ini juga akan disertai dengan sanksi berupa sanksi administrasi dan/atau sanksi bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak sampai dengan saat diterbitkannya STP (Surat Tagihan Pajak).

2.2.7 Penyelesaian Sengketa Pajak

Dalam buku Diaz Priantara (2011:224) Atas hasil pemeriksaan yang dikeluarkannya SKP (Surat Ketetapan Pajak) maupun STP (Surat Tagihan Pajak) oleh pihak Fiskus, tentunya tidak semuanya disetujui Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat mengajukan perlawanan :

(23)

a. berdasarkan Pasal 16 UU KUP Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus member keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak. Apabila jangka waktu yang dimaksud telah lewat, tetapi DJP tidak memberikan keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Apabila diminta oleh Wajib Pajak, DJP wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak ingin menggunakan Pasal 16 UU KUP, ia harus yakin bahwa penerbitan SKPKB atau SKPKBT atau STP oleh DJP terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Keberatan

Keberatan merupakan proses awal yang harus ditempuh bila terjadi persengkataan atau perselisihan dibidang pajak. Apabila Wajib Pajak

(24)

berpendapat bahwa jumlah pajak yang ditetapkan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan hanya kepada DJP (Direktorat Jendral Pajak) sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan yang menyatakan bahwa :

“Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ; Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) ; Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) ; Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) ; Pemotongan atau Pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.”

Keberatan harus diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan yang harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya atau dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak didaerah tertentu, menjadi tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak Surat

(25)

Keberatan tersebut diterima, maka DJP sudah harus memberikan keputusan atas keberatan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian dan menolak. Namun apabila dalam jangka waktu 12 bulan, DJP belum/tidak memberikan keputusan kepada Wajib Pajak, maka dalam hal ini akan dianggap bahwa pengajuan keberatan yang dilakukan Wajib Pajak diterima. Apabila keputusan tersebut berupa ditolak maupun dikabulkan sebagian, maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi adminstrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

c. Banding.

Dalam pasal 27 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah beberapa kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa “ Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan banding, yaitu keputusan atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak yaitu surat keputusan keberatan.”

Banding diajukan oleh Wajib Pajak hanya kepada Badan Peradilan Pajak atau Pengadilan Pajak hanya atas Surat Keputusan Keberatan dalam arti lain, Banding tidak dapat diajukan Wajib Pajak apabila sebelumnya Wajib Pajak tidak mengajukan Keberatan. Permohonan Banding ini harus diajukan paling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan banding, maka denda administrasi sebesar 50%

(26)

akibat keberatan ditolak atau diterima sebagian tidak dikenakan. Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sudah harus memberikan keputusan apakah banding diterima seluruhnya maupun sebagian atau ditolak. Apabila dalam hal keputusan Banding ditolak maupun diterima sebagian, maka Wajib Pajak dikenakan denda sebesar 100% (seratus persen).

d. Gugatan

Dalam pasal 40 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diuraikan bahwa :

“Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku.

Apabila Wajib Pajak mendapati penerbitan surat ketetapan pajak atau STP tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peratutan perundang-undangan perpajakan, maka sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) huruf d, Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan kepada Badan Peradilan Pajak. Seperti yang terdapat dalam pasal 23 Undang-Undang KUP, menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat melakukan gugatan atas :

a. Pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang.

b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak.

c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal 26.

(27)

d. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.

Syarat pengajuan gugatan dalam Pasal 40 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak :

a. Diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Pajak dalam Bahasa Indonesia dengan dicantumkan tanggal diterima pelaksanaan penagihan atau keputusan yang digugat.

b. Dalam hal gugatan dilakukan atas pelaksanaan penagihan pajak, diajukan dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.

c. Dalam hal gugatan dilakukam terhadap suatu keputusan, diajukan dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat.

d. Satu gugatan adalah untuk satu keputusan atau satu pelaksanaan penagihan.

Wajib Pajak yang mengajukan gugatan harus membayar semua jumlah yang tertera dalam SKP (Surat Ketetapan Pajak) yang dikenal dengan istilah tidak menunda kewajiban perpajakan dan tidak menghalangi pelaksanaan penagihan pajak. Akan tetapi Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penyicilan atau penundaan pembayaran pajak yang terutang termaksud kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam SPT meskipun telah ditentukan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak. Kelonggaran ini diberikan dalam jangka waktu 12 bulan

(28)

dan hanya diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami kesulitan likuiditas. Gugatan yang telah masuk dalam Pengadilan Pajak, masih dapat dicabut oleh penggugat dengan cara mengajukan surat pernyataan pencabutan gugatan kepada Pengadilan Pajak. Gugatan yang dicabut akan dihapuskan dari daftar sengketa dengan cara :

a. Penetapan ketua pengadilan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang (belum dilakukan oleh Majelis Hakim).

b. Putusan Majelis Hakim melalui pemeriksaan dalam hal surat penyataan pencabutan diajukan setelah sidang (saat sidang gugatan sudah dimulai/berjalan dan sedang dilakukan pemeriksaan) atas persetujuan tergugat.

e. Pengajuan dan Penghapusan Sanksi Administrasi

berdasarkan Pasal 36 UU KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan maksimal 2 kali untuk pengurangan, penghapusan atau pembatalan sanksi administrasi san STP atau SKP:

1. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi adminitrasi berupa bunga, denda dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

2. Mengurangn atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

3. Mengurangkan atau membatalakna Surat Tagihan Pajak; atau 4. Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak

(29)

1) Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau 2) Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dalam Jangka Waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberikan keputusan atas permohonan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan. Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolaj atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak.

Sanksi adminstrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan meliputi sanksi administrasi yang tercantum dalam :

a. STP (Surat Tagihan Pajak).

b. SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar).

c. SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan).

Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT, hanya dapat dilakukan dalam hal surat ketetapan :

a. Tidak diajukan keberatan.

b. Diajukan keberatan, tetapi telah dicabut oleh WP.

c. Diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat 4 UU KUP.

(30)

Akan tetapi dalam pengajuan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi, terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh WP yaitu :

a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP, SKPKB atau SKPKBT.

b. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang mendukung permohonannya.

c. Permohonan harus disampaikan ke KPP tempat WP terdaftar. d. WP telah melunasi pajak yang terutang.

e. Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP, maka surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.

Ini merupakan persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh WP sebelum mengajukan permohonan atau pengurangan sanksi administrasi, jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka permohonan WP tidaklah dapat diproses.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan berat dalam pembuatan pupuk kalium silika dari batu trass dan untuk mengetahui komposisi

(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

Suhu yang dikondisikan pada praktikum ini adalah 20 0 C, yang bertujuan agar tidak seluruhnya kristal asam maleat akan mengendap, karena filtratnya akan digunakan untuk dibuat

perlu diperhatikan metode pembelajaran yang digunakan oleh guru terhadap murid yang berada dalam kelas. Metode pembelajaran merupakan bagian dari komunikasi

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, berkah, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi ini sebagai karya akhir

Tujuan dari penerapan sistem mutu adalah memberikan keyakinan bahwa peoduk atau jasa yang dihasilkan perusahaan (dapat juga disebut sebagai keluaran) memenuhi persyaratan

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan variabel Ketersediaan bahan baku (X1), Kesiapan mesin (X2) dan Skill operator (X3) memiliki pengaruh terhadap variabel kinerja operasional

Apabila pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 kali 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan surat paksa diterima wajib pajak, Kepala Dinas