• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi mempunyai makna sebagai suatu bagian dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi mempunyai makna sebagai suatu bagian dari"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi mempunyai makna sebagai suatu bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mendorong dan menggairahkan dunia usaha, pemerintah telah memberi dukungan dengan menyediakan berbagai fasilitas dan bermacam-macam sarana termasuk didalamnya upaya dalam menunjang permodalan yaitu dengan menyediakan fasilitas kredit. Memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha sekarang ini para pengusaha dalam upaya menambah kebutuhan akan modal yang akan mendorong kelancaran usahanya, biasanya memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh pemerintah dan disalurkan melalui lembaga-lembaga keuangan dengan mengadakan perjanjian kredit.1

Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat secara perorangan ataupun badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar2. Maka untuk memperlancar pengerahan dana, memperluas pemberian kredit kepada masyarakat hendaknya diusahakan

1

Kartono,Hak-Hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta , 1977, hal .98

2Husni Hasbullah, Frieda,Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Jaminan, Jilid 2, Ind Hill-Co, Jakarta, 2009, hal. 136.

(2)

agar dana-dana yang disalurkan lewat bank-bank, tidak hanya berasal dari bank sentral dan APBN saja melainkan juga menyerap dana-dana yang berasal dari masyarakat sendiri.

Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan sudah seharusnya apabila pemberi dan penerima kredit serta pihak-pihak lain yang terkait memperoleh perlindungan melalui lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada pasal 58 dinyatakan tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, pasal 33 dan pasal 39 diatur denganUndang-Undang”. Dengan demikian telah disediakan Lembaga jaminan yang dapat dibebankan kepada hak-hak atas tanah, yakni Hak Tanggungan yang menjadi pengganti Lembaga Hypotheek yang diatur dalam Buku II KUHPerdata dan Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542 Juncto. S.1937-190.

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti bahwa jika Debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain.3

3Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD,Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 39.

(3)

Guna menjalankan perekonomian dan dunia usaha terutama sektor riil sudah pasti membutuhkan pendanaan yang besar dan juga modal yang besar. Masalah dana dan permodalan adalah sesuatu yang vital bagi dunia usaha. Modal merupakan sesuatu yang mutlak bagi suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya, begitu pula halnya dengan perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dengan demikian salah satu permasalahan dalam bidang ekonomi adalah masalah permodalan.

Sebagaimana yang diarahkan dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bahwa pembangunan nasional merupakan suatu usaha bersama antara masyarakat dan pemerintah4. Masyarakat adalah pelaku utama pembagunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional, khususnya dibidang ekonomi yang pelakunya meliputi semua unsur kehidupan ekonomi, baik pemerintah, swasta, badan hukum, maupun perseorangan, pembiayaan merupakan sarana yang mutlak diperlukan.

Bank sebagai salah satu lembaga pembiayaan yang membantu kelancaran usaha debiturnya melalui pinjaman uang dalam bentuk pemberian kredit mempunyai fungsi utama dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan sebagai berikut :

(4)

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.

Pemberian Kredit yang dilakukan oleh bank sebagai lembaga pembiayaan atau keuangan sudah semestinya mendapat perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga jaminan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam perkembangan kegiatan perkreditan seperti dijelaskan diatas, tidak bisa dilepaskan dari pemberian kredit oleh bank itu sendiri dan jaminan atas pelunasan kredit tersebut. Oleh karena itu pemerintah mendorong perbankan untuk menyelurkan kredit tanpa adanya keharusan pemohon kredit memberikan jaminan, tetapi pada umumnya perbankan tidak memberikan kredit tanpa adanya jaminan.

Hal ini disebabkan karena kedudukan bank sebagai lembaga keuangan yang kegiatan operasionalnya berada dalam lingkup penghimpunan dana dari masyarakat (dalam bentuk kredit) sampai dana tersebut kembali lagi ke Bank. Dengan demikian dalam setiap kegiatan perkreditan, pihak bank perlu memperoleh jaminan atas pembayaran piutangnya, yaitu dengan cara meminta jaminan kepada nasabah.

Dalam perwujudan tentang jaminan umum yang bersumber karena peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, yang menentukan bahwa semua harta kekayaan kebendaan si debitur, baik bergerak

(5)

maupun yang tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas seluruh perikatannya5. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitor dijual lelang dan dibagi-dibagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Namun perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditor, sehingga dalam praktik penyaluran kredit, agar bank (kreditur) memiliki hak yang istimewa atau preferen atas benda jaminan yang secara khusus disediakan oleh debitor, maka jaminan tersebut harus diikat secara khusus. Pasal 1131 KUHPerdata mengatur hak untuk didahulukan diantara kreditur muncul dari hak istimewa seperti hak hipotik, hak tanggungan, gadai dan fidusia.

Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Perbankan. Dalam Perbankan ada azas yang harus diperhatikan oleh Bank sebelum mamberikan kredit kepada nasabahnya, yang dikenal dengan istilah The five C’s of Credit, artinya pada pemberian kredit tersebut harus diperhatikan lima faktor, yaitu Character (karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan utang), Collateral (jaminan), Capital (modal), dan Condition

(situasi dan kondisi).

Didalam setiap pemberian kredit selalu diperlukan jaminan atau agunan. Adapun jaminan yang diberikan dapat berbentuk benda tidak bergerak (tetap), misalnya tanah, rumah, sawah, ladang, tambak dan lain sebagainya. Sebenarnya 5Sutarno,Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 129.

(6)

yang dijadikan jaminan disini adalah hak atas tanah tersebut diatas. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pada Pasal 28 yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan di bebani Hak Tanggungan6 yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Obyek Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pada pasal 28 yang sekarang telah diatur dengan adanya Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) Nomor 4 tahun 1996 yang disebutkan pada Pasal 4 ayat 1, bahwa Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Selain hak-hak atas tanah diatas disebutkan juga pada Pasal 2 UUHT tersebut bahwa Hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar menurut sifatnya dapat dialihkan juga dapat dibebani Hak Tanggungan, dan disebutkan pada Pasal 4 UUHT, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan juga disebutkan pada Pasal 27 bahwa Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

(7)

Seperti yang kita ketahui bahwa pemberian Hak Tanggungan hanya akan terjadi bilamana sebelumnya diadakan Perjanjian Pokok yang berupa perjanjian yang menimbulkan suatu hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian Hak Tanggungan7. Adapun fungsi daripada jaminan tersebut adalah demi keamanan pinjaman yang diberikan oleh Bank selaku kreditur kepada nasabahnya (debitur).

Ketentuan ini telah secara tegas dinyatakan dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa :

“Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.”

Perjanjian Pokok yang dimaksud tersebut diatas dapat berupa Perjanjian Kredit. Perjanjian kredit yang telah ditandatangani oleh Kreditur dan Debitur (para pihak) tersebut dapat berbentuk akta dibawah tangan (yang dibuat oleh para pihak sendiri) atau dalam bentuk akta Otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris), yang mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut8:

1. Perjanjian Kredit sebagai alat bukti bagi Kreditur dan Debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara Bank sebagai Kreditur dan Debitur. Hak Debitur adalah menerima pinjaman dan

7Rachmadi Usman,Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 411. 8Rachmadi Usman,Op Cit, hal. 146.

(8)

menggunakan sesuai dengan tujuannya dan kewajiban Debitur mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang telah ditentukan dan Hak Kreditur untuk mendapat pembayaran bunga dan kewajiban Kreditur adalah meminjamkan sejumlah uang kepada Debitur dan Kreditur berhak kembali menerima pembayaran kembali pokok dann bunga. 2. Perjanjian Kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pengawasan kredit

yang telah diberikan Karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit.

3. Perjanjian Kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik Debitur atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan.

4. Perjanjian Kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang Debitur artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank selaku kreditur untuk mengeksekusi barang jaminan apabila Debitur tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi).

Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai

(9)

prospek yang menguntungkan. Dalam praktek terlihat, bahwa sebagian besar benda yang menjadi objek jaminan adalah tanah. Hal ini dikarenakan tanah mempunyai nilai ekonomi yang senantiasa meningkat. Kondisi yang demikian ini disebabkan oleh nilai permintaan dan ketersediaan barang (tanah) yang senantiasa semakin besar.

Sesuai dengan hukum ekonomi, kondisi ini mengakibatkan nilai tanah cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kenyataan diatas telah menempatkan tanah sebagai benda jaminan yang ideal. Tanah memilik peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujukan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pengaturan penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib dibidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud.

Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukan berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi

(10)

wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi.

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian) dari bumi, air dan ruang angkasa itu;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.9

Dengan demikian jelaslah, bahwa Negara harus mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan tanah (merupakan bagian dari bumi) tersebut, agar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu sendiri, artinya sampai seberapa jauh Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan haknya, maka sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut.10

Tujuan utama diberlakukannya UUPA adalah untuk memberikan pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah. Selain itu juga terlihat dalam konsideran UUPA dibagian berpendapat yang menyebutkan11:

“Perlu adanya hukum agraria, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia“ “Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria“

9Angka 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960

10A.P. Parlindungan,Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 44.

11Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya),Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 550

(11)

Dengan demikian jelaslah tujuan pemberlakuan UUPA tersebut adalah untuk menghilangkan sifat dualisme dalam hukum tanah nasional, yang berarti terciptanya unifikasi hukum tanah nasional dan terciptanya kepastian hukum mengenai hak atas tanah, disamping tercapainya fungsi tanah secara optimal sesuai dengan perkembangan kebutuhan rakyat Indonesia.

Untuk itu diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai hak tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disingkat UUHT.

Dalam Pasal 1 ayat 1 UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

(12)

Sebagaimana yang terkandung dalam UUHT, maka unsur-unsur pokok Hak Tanggungan antara lain12:

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan terhadap tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap Kreditor-kreditor yang lain.

Menelaah kembali defenisi Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Bahwa jika debitur cedera janji, Bank selaku kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Selain dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang

12Sutan Remy Sjahdeini,Hak Tanggungan, Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999, hal. 11.

(13)

diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa :

Apabila debitor cedera janji, maka :

(a) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau

(b) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. Dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut,

Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah

(14)

yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT sebagai “Benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat dibebani pula dengan Hak Tanggungan tidak terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 4 UUHT), tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat 5 UUHT). Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Pada pasal 18 UUHT disebutkan peristiwa-peristiwa yang dapat mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan batasan hal-hal yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.

Dalam Pasal 18 UUHT disebutkan mengenai hapusnya Hak Tanggungan Yaitu:

1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

(15)

b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri;

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

2. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

3. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaiman diatur dalam Pasal 19.

4. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

Salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT, bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya jangka waktu hak tersebut diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya dari pada hak milik seperti Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai terbatas jangka waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan

(16)

berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada tanah negara.

Sebagai dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Perturan dasar-dasar pokok agraria yang dalam pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa :

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”

Dengan adanya hak menguasai dari Negara yang dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.13

“Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka pemegang Hak atas tanah yang bersangkutan diberikan Sertipikat Hak atas Tanah. Sedangkan untuk melaksanakan fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, tujuan tertib administrasi pertanahan maka setiap bidang atau satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar”.14

13Muchsin, Imam Koeswoyo, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah, Refina Aditama, Bandung, 2007, hal. 56.

14Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 169.

(17)

Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna bangunan di atas tanah yang sama.

Pengaturan mengenai prosedur permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah yaitu:

1. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya.

2. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.

Hak Guna Bangunan dapat hapus oleh sebab-sebab seperti yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena :

(18)

a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau

pemegang Hak MiIik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau

2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan ; atau

3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

d) dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e) ditelantarkan;

f) tanahnya musnah;

g) ketentuan Pasal 20 ayat 2.

Dengan berakhirnya Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara. Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Negara berakhir dan

(19)

tidak diperpanjang jangka waktu berlakunya, maka sesuai dengan ketentuan pasal 37 ayat 1 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa pemegang “bekas” Hak Guna Bangunan wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan.

Berdasarkan hal-hal yang melatar belakangi permasalahan tersebut diatas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Obyek Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan apabila Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang sedang dijaminkan berakhir Haknya?

2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Bank selaku pemegang hak tanggungan dalam mengantisipasi Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang telah berakhir tersebut?

3. Apa tindakan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan dengan berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut?

(20)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan apabila Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang sedang dijaminkan berakhir Haknya.

2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Bank selaku pemegang hak tanggungan dalam mengantisipasi Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang telah berakhir tersebut.

3. Untuk mengetahui Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Bank selaku pemegang Hak Tanggungan dengan berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Teoritis

Penelitian ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang perbankan terutama dalam Hukum Agraria dan Pertanahan.

2. Praktis

Hasil penelitian ini berguna sebagai masukan (input) maupun sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil langkah-langkah kebijakan dibidang perekonomian dan bahwasanya dalam penyaluran dana dalam bentuk kredit, bank memerlukan jaminan yang berfungsi sebagai antisipasi kredit macet dalam pengembalian pinjaman.

(21)

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan para peneliti terdahulu di Perpustakaan Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terhadap penelitian yang telah ada, akan tetapi penelitian yang membahas tentang Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Obyek Hak Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro) belum pernah dilakukan penelitiannya. Oleh sebab itu penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis berdasarkan objektivitas dan professional.

Dari uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penelitian tentang “Kajian Hukum Terhadap Kedudukan Bank Selaku Pemegang Hak Tanggungan Atas Berakhirnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (HPL) Yang Menjadi Obyek Jaminan (Studi : PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro)” belum pernah ada yang melakukan penelitiannya.

(22)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.15

Kegiatan penelitian dimulai apabila seorang peneliti melakukan usaha untuk bergerak dari teori. Dalam proses ini akan timbul preferensi seorang ilmuwan terhadap teori-teori dan metode-metode tertentu.16

Teori dapat diartikan sebagai suatu system yang berisi proporsi-proporsi yang telah diuji kebenarannya, maka suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.17

Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.18

Landasan teori merupakan suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak

15 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Univesitas Indonesia UI Press, Jakarta, 2005, hal. 6

16Ibid 17Ibid

(23)

disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.19

Lebih lanjut fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan mengenai gejala yang diamati. Berdasarkan dari pengertian tersebut serta berangkat dari pemikiran bahwa dalam masyarakat Indonesia hukum tanah memegang peranan yang sangat penting yang bertalian erat dengan sifat masyarakat.

Menurut ajaran Yuridis Dogmatis bahwa :

”Tujuan Hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaaan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian”.20

Selanjutnya Van Kan mengatakan bahwa Hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.21

19M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

20Achmad Ali, Menguak Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 83.

21C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 44.

(24)

Adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah adalah teori Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), yaitu teori yang menjelaskan bahwa hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.22 Demikian halnya dengan kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan apabila Sertipikat Hak Guna Bangunan yang berada diatas Hak Pengelolaan (HPL) yang sedang dijaminkan pada PT. Bank Internasional Indonesia Cabang Medan Diponegoro berakhir Haknya harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak ini terbatas jangka waktunya sampai dengan 30 tahun, akan tetapi dapat diperpanjang selama 20 tahun.23 Perpanjangan jangka waktu Hak atas tanah ini termasuk kategori pendaftaran tanah, karena perubahan data yuridis dan terjadinya perubahan jangka waktu berlakunya hak yang dicantumkan tersebut dalam Sertipikat tanah yang bersangkutan.24

22Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 1.

23Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1986. 24Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op cit, hal. 292.

(25)

Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 pasal 22 menyebutkan bahwa :

1. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk

2. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.

3. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.

Terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan diatas Hak Pengelolaan, setiap perbuatan hukum yang berhubungan dengan Hak Guna Bangunan diatas bidang tanah tersebut harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Pengaturan mengenai pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan sebagai hak yang dapat dibebankan Hak tanggungan diatur dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.

Hapusnya Hak Guna Bangunan seperti yang diatur dalam pasal 40 UUPA yang menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena :

a. jangka waktu berakhir

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi

(26)

d. dicabut untuk kepentingan umum e. diterlantarkan

f. tanahnya musnah

g. ketentuan dalam pasal 36 ayat 2.

Dengan demikian apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud dalam pasal 35, maka tanah tersebut kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan seperti yang telah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan.

2. Konsepsi

Kerangka konseptual pada dasarnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit kepada kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak. Walaupun demikian suatu kerangka konseptual belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Dengan demikian maka kecuali terdiri dari pada konsep-konsep, suatu kerangka konsepsional dapat pula mencakup definisi-definisi operasional. Definisi merupakan keterangan mengenai maksud untuk memakai sebuah lambang secara khusus yaitu menyatakan apa arti sebuah kata.25

25Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 132

(27)

Konsepsi juga diterjemahkan sebagai usaha membawa suatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit. Dari uraian kerangka teori di atas, akan dijelaskan beberap konsep dasar yang digunakan dalam penulisan tesis ini, antara lain :

Sertipikat adalah Surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.26

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu Hak Guna Bangunan seperti yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.27

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.28

Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.29

26Lihat pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

27Lihat pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.

28Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, pasal 1 angka 3. 29Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 pasal 1 angka 1.

(28)

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengengkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.30 Penelitian pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan.31

1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian maka jenis penelitian yang diterapkan adalah dengan metode penulisan dan pendekatan yuridis normatif.32 Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas33 yaitu berupa perundang-undangan, peraturan pemerintah yang berkaitan dengan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan

30Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1.

31Ronny Hantijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 15 32Roni Hantijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta 1998, hal. 11

(29)

hukum primer34, misalnya buku-buku teks, hasil penelitian para ahli, makalah-makalah seminar dan hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan : a. Penelitian Kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku yang berkaitan

dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaannya yang berkaitan tentang Hak Tanggungan atas Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang telah berakhir jangka waktu Haknya dan masih menjadi jaminan Bank.

b. Penelitian lapangan yaitu untuk mendapatkan data primer yang berkaitan dengan materi penelitian, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap Hak Tanggungan atas Sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan yang telah berakhir jangka waktu Haknya dan masih menjadi jaminan Bank.

3. Alat Pengumpul Data

Dalam melakukan penelitian ini, adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan :

1. Studi dokumen (document study), yaitu dengan mempelajari makalah-makalah, tulisan-tulisan ataupun buku-buku yang berkaitan dengan materi penelitian. 2. Wawancara (interview), yaitu melakukan wawancara dengan para informan

atau nara sumber dengan menggunakan pedoman wawancara bebas agar data

34Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,2003,hal. 114

(30)

diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih mendalam. Para informan atau nara sumber yang akan diwawancarai, yaitu pihak PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan Diponegoro, Notaris/PPAT dan Kantor Pertanahan Kota Medan.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data/ mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.35Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data secara kualitatif yang diolah dengan menggunakan metode deduktif dan kemudian ditarik kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan.

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) disusun secara berurut dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara metode deduktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ditetapkan dalam tesis ini.

Referensi

Dokumen terkait

The same condition also applies to The Indonesian National Police (INP) with the case of Evans BRIMOB Fa cebook’s status. Utilizing documentary analysis as well

Ketercapaian siswa yang memenuhi ketiga indikator berkemampuan visual, berkemampuan persamaan atau ekspresi matematis dan berkemampuan kata-kata atau teks tertulis hanya

Dengan menggunakan metode penelitian asosiatif, maka dapat digunakan sebagai penetapan mengenai tata cara penelitian yang dilakukan secara tersusun dan sistematis untuk

1451 Bantuan Rabat Jalan Dsn Krajan Ds Punung Kec Punung 15.000.000,00 Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan. Kebersihan

Telah diketahui bahwa berbagai jenis makanan dan minuman yang beredar di Indonesia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, telah diwarnai dengan pewarna tekril atau yang bukan

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Besarnya biaya, penerimaan, dan pendapatan pada agroindustri

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Untuk kasus Indonesia, tampaknya penempatan calon perempuan dalam daftar calon harus diatur secara lebih detil agar tidak menimbulkan beragam penafsiran dari partai politik yang