SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh : Anastasia Aprilistyawati
NIM : 068114026
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh : Anastasia Aprilistyawati
NIM : 068114026
FAKULTAS FARMASI
ii
iii
iv
What we do diligently will be easier - not because of the nature of the task has changed, but because of our capacity to work has increased (Emerson)
Sukses adalah keberhasilan yang anda capai di dalam menggunakan talenta-talenta yang telah Tuhan berikan kepada Anda (Rick Devos)
Inilah hasil dari semua perjuangan yang telah kulakukan selama ini, dan kini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nya
v
vi
evaluatif.
Hasil menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak ditangani adalah pasien dengan umur 60-69 tahun (48%); tahap hipertensi derajat 2 (76%); komplikasi penyerta yang paling banyak diderita adalah dislipidemia (12%) dan penyakit penyerta Infeksi Saluran Kemih (20%).
Kelas terapi, golongan dan jenis obat yang paling banyak digunakan adalah obat kardiovaskuler dan obat yang mempengaruhi sistem hormon (100%), golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARBs) dan antagonis kalsium (56%), jenis obat kaptopril (32%).
Dari hasil evaluasi Drugs Related Problems (DRPs) didapat 7 kasus dengan rincian 4 kasus perlu terapi obat tambahan, 2 kasus tidak perlu terapi obat, 2 kasus pilihan obat tidak tepat.
Outcome therapy pasien DM komplikasi hipertensi diperoleh dari lama tinggal paling banyak 4-6 hari (40%).Pasien pulang dengan keadaan sembuh (48%).
vii
The result showed that the patient distribution in Panti Rapih Hospital were 60-69 years old (48%);hypertension at stage II (76%); complication other than hypertension was dyslipidemia (12%) and another disease utikaria (20%).
The highest frequency of drug class therapy; group; and type used by the patients were cardiovascular and hormonal drug (100%); Angiotensin Receptor Blocker (ARBs) and Calcium Channel Blocker (56%); drug type Captopril (32%) respectively.
Based on Drug Related Problems (DRPs) evaluation, it was found that of 4 cases of need for additional drug therapy, 2 cases unnecessary drug therapy and 2 cases of wrong drug.
Length of Stay (LOS) of the patients was 4-6 days (40%). The outcome theraphy during patient discharge from hospital was recover condition (48%).
viii
yang berjudul “Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2005-Mei 2009”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam penyelesaian studi untuk meraih gelar Sarjana Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Keberhasilan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan perhatian orang-orang di sekitar Penulis, baik secara materi maupun emosional. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih pada beberapa pihak yang telah memberi dukungan didalam penyelesaian skripsi ini antara lain:
1. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini dan sebagai dosen penguji yang telah memberi dukungan, gagasan, dan kritik dalam proses penyusunan skripsi ini
2. dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes. selaku dosen pembimbing utama dan penguji yang telah sabar membimbing, memberi dukungan, semangat, gagasan, dan kritik yang sangat berarti dalam proses penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah
memberi bantuan dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis.
ix
Rapih Yogyakarta yang telah banyak membantu Penulis dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini.
7. Seluruh pasien diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang secara tidak langsung telah membantu dan mendukung penelitian ini.
8. Kedua orang tuaku Agustinus Sutarjono dan Lucia Tatinah atas segala kasih sayang, perhatian, perjuangan dan dukungan dalam setiap langkah hidupku. 9. Kedua adekku Vincentia Septi Puspitawati dan Christina Putri Ningsih yang
telah mendukung dengan doa dan keceriaan untuk selalu membantuku.
10.M. Ari Wibowo atas kehadirannya untuk selalu memberi waktu, dukungan, mendengarkan dan menemani dalam setiap kesempatan hingga terselesainya skripsi ini.
11.Maria Laksmi Parahita atas dukungan, kebersamaan dan perjuangan yang menyenangkan, menyedihkan dan mengharukan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
12.Teman-teman kos Pasadena, Arum, Eva, Rara dan Aya atas keceriaan, kebersamaan dan dukungan yang telah kalian berikan selama ini.
x
dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungannya.
xi
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
INTISARI ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I. PENGANTAR A.Latar Belakang... 1
1. Permasalahan... 3
2. Keaslian penelitian... 3
3. Manfaat penelitian a. Manfaat Teoritis... 5
b. Manfaat Praktis... 5
xii
1. Definisi ... 7
2. Klasifikasi ... 7
3. Patogenesis ... 8
4. Gejala Klinik ... 11
5. Faktor Risiko... 12
6. Diagnosis ... 12
7. Komplikasi ... 13
B.Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi 1. Definisi ... 14
2. Klasifikasi ... 14
3. Patogenesis ... 16
4. Gejala Klinik ... 18
C.Penatalaksanaan Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi... 19
D.Drug Related Problems (DRPs)... 27
E. Subjective data, Objective data, Assessment and Plan ... 28
F. Keterangan Empiris ... 30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31
B.Definisi Operasional ... 31
xiii
1. Persiapan ... 34
2. Pengambilan Data ... 35
3. Analisis Data ... 36
G.Kesulitan Penelitian ... 36
H.Analisis Hasil ... 37
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Profil Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Hipertensi 1. Berdasar Umur ... 39
2. Berdasar Komplikasi Penyerta ... 40
3. Berdasar Penyakit Penyerta ... 42
4. Gambaran Tingkat Tekanan Darah saat Pasien Masuk Rumah Sakit ... 43
B.Profil Obat-obat yang Digunakan oleh Pasien Diabetes Mellitus dengan Komplikasi Hipertensi 1. Kelas Terapi ... 44
2. Golongan Obat a. Obat Kardiovaskuler ... 46
b. Obat yang Mempengaruhi Sistem Hormon ... 48
c. Obat Gizi dan Darah ... 51
d. Obat Analgesik ... 52
xiv
C.Gambaran Kasus Drug Related Problems
1. Membutuhkan Terapi Obat Tambahan ... 58 2. Tidak Perlu Terapi Obat ... 59 3. Pemilihan Obat Kurang Tepat ... 60 D.Gambaran Dampak Terapi Pasien Diabetes Melitus dengan Komplikasi
Hipertensi
1. Gambaran Keadaan Pasien Keluar Rumah Sakit Dilihat dari Tingkat Tekanan Darah ... 61 2. Gambaran Lama Tinggal Pasien ... 62 E. Rangkuman Pembahasan ... 63
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan ... 65 B.Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
DAFTAR LAMPIRAN
xv
Tabel III. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa (lebih dari 18 Tahun) Menurut JNC VII
Tabel IV. Penyebab Drug Related Problems (DRPs)
Tabel V. Persentase Komplikasi Penyerta pada Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel VI. Persentase Penyakit Penyerta pada Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel VII. Persentase Golongan dan Jenis Obat Kardiovaskuler yang Digunakan Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel VIII. Persentase Golongan dan Jenis Obat yang Mempengaruhi Sistem Hormon yang Digunakan Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009 Tabel IX. Persentase Golongan dan Jenis Obat Gizi dan Darah yang
xvi
Tabel XI. Persentase Golongan dan Jenis Obat yang Mempengaruhi Sistem Saraf Pusat yang Digunakan Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009 Tabel XII. Persentase Golongan dan Jenis Antibiotik yang Digunakan Pasien
DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel XIII. Persentase Golongan dan Jenis Obat Saluran Cerna yang Digunakan Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel XIV. Persentase Golongan dan Jenis Obat Sendi dan Gout yang Digunakan Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel XV. Persentase Kasus DRP yang Teridentifikasi pada Pasien DM Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
xvii
Tabel XVIII. Kasus pemilihan obat kurang tepat yang teridentifikasi pada pasien DM komplikasi hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
Tabel XIX. Gambaran Tingkat Tekanan Darah dan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Komplikasi Hipertensi saat Keluar Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009
xviii
Gambar 2 Diagram Persentase Tingkat Tekanan Darah saat Pasien Masuk Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Mei 2008-Mei 2009 Gambar 3 Diagram Persentase Kelas Terapi Pasien DM Komplikasi
xix
1
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa jumlah pasien DM di Indonesia
menempati urutan keempat terbesar di dunia. Tahun 2000 terdapat 8,4 juta
penduduk yang mengidap DM. Tahun 2006 jumlahnya diperkirakan meningkat
tajam menjadi 14 juta orang, di antaranya baru 50% orang yang sadar mengidap
DM dan hanya 30% yang berobat secara teratur. WHO juga memperkirakan,
tahun 2030 akan ada sekitar 21,3 juta penduduk Indonesia yang mengidap DM
(Fitria, 2009).
Diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi karena
insulin berpengaruh dalam banyak organ dan berperan dalam penyimpanan
berbagai hasil metabolisme ke dalam jaringan. Hipertensi merupakan salah satu
jenis komplikasi yang sering dijumpai pada penderita DM. Prevalensi penderita
hipertensi pada orang DM adalah 1,5–3 kali dibandingkan orang tanpa DM dalam
kelompok umur yang sama.
Pada pasien DM kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan masuk ke
dalam ginjal. Saat kadar glukosa yang tertimbun ginjal melebihi ambang batas
maka akan terjadi proses diuretik osmotik dimana ginjal mengeluarkan cairan
berlebih untuk mengeluarkan glukosa melalui urin akibatnya cairan ekstrasel akan
berkurang dan untuk mengkompensasinya cairan intrasel akan keluar dan
Dalam studi klinik menunjukkan orang dengan DM komplikasi
hipertensi mempunyai peluang 2 kali lipat terhadap penyakit kardiovaskuler
daripada orang tanpa DM. Hipertensi dapat menimbulkan risiko terjadinya stroke,
penyakit jantung koroner (PJK), retinopati, nefropati dan dapat meningkatkan
mortalitas sebesar empat sampai lima kali lipat karena komplikasi pada arteri
koroner (PJK) atau stroke.
Penatalaksanaan terapi pada DM komplikasi hipertensi diharapkan
mampu mencegah terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang
terjadi pada gejala lanjutan DM. Pasien DM dengan komplikasi hipertensi akan
mendapatkan terapi obat antidiabetes dan antihipertensi, serta obat–obatan lain
yang terkait dengan penyakit penyerta lainnya, misalnya infeksi, nefropati, stroke
dan retinopati. Kompleksnya terapi obat yang diterima penderita DM komplikasi
hipertensi memungkinkan timbulnya masalah-masalah yang terkait dengan
penggunaan obat (Drug Related Problems) (Puspitaningtyas, 2008).
Untuk mengetahui adanya kemungkinan timbulnya DRPs selama terapi
maka pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi penatalaksanaan terapi pada
pasien diabetes melitus dengan komplikasi hipertensi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui profil pasien DM komplikasi hipertensi, profil peresepan
yang digunakan oleh pasien DM komplikasi hipertensi, melihat ada tidaknya
Drug Related Problems (DRPs) dalam proses terapi, mengevaluasi terapi dan
melihat hasil terapi obat yang diberikan pada pasien DM komplikasi hipertensi.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR)
memberikan layanan rawat inap yang dapat memberikan terapi pada pasien
diabetes melitus komplikasi hipertensi. Data diperoleh dari rekam medik pasien
yang menjalani rawat inap karena proses terapi pada pasien yang menjalani rawat
inap lebih terkontrol dan kemajuan terapi dapat teramati dengan baik.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat
diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.
a) Bagaimanakah profil pasien DM komplikasi hipertensi meliputi umur,
komplikasi penyerta, penyakit penyerta dan tingkat tekanan darah pasien saat
masuk di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode Mei 2008–Mei
2009?
b) Bagaimanakah profil peresepan obat yang digunakan pada pasien DM
komplikasi hipertensi meliputi kelas terapi, golongan obat dan jenis obat?
c) Bagaimanakah kasus Drug Related Problems (DRPs) yang mungkin terjadi
pada pasien DM komplikasi hipertensi selama menjalani terapi di RSPR?
d) Bagaimanakah outcome terapi pada pasien DM komplikasi hipertensi setelah
menjalani terapi di instalasi rawat inap RSPR meliputi lama tinggal, tekanan
darah dan keadaan pasien saat keluar rumah sakit?
2. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan data yang ditelusuri di Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma, penelitian berjudul “Evaluasi Penatalaksanaan
Terapi Pasien Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
pernah dilakukan sebelumnya. Namun penelitian mengenai DM telah banyak
dilakukan oleh para peneliti lain, akan tetapi penelitian ini berbeda dalam hal
tujuan penelitian, subjek penelitian, waktu penelitian dan lokasi penelitian.
Beberapa penelitian mengenai diabetes melitus yang pernah dilakukan di
Universitas Sanata Dharma, antara lain:
a) Nadeak (2000) tentang pola penggunaan antidiabetika oral bagi pasien
diabetes melitus rawat jalan di RS Bethesda Yogyakarta Periode 1998.
b) Triastuti (2004) tentang gambaran peresepan obat pada pasien diabetes
melitus tipe-2 di instalasi rawat inap RS dr.Sardjito Yogyakarta Periode
2001-2002.
c) Novita (2006) tentang evaluasi penatalaksanaan terapi komplikasi nefropati
pada kasus diabetes melitus di instalasi rawat inap RS Panti Rapih
Yogyakarta Periode 2005.
d) Astri (2006) tentang evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes melitus
komplikasi hipertensi rawat inap periode 2005 RS Panti Rapih Yogyakarta.
e) Fransisca Widyastuti (2007) tentang evaluasi penatalaksanaan terapi pasien
diabetes melitus dengan komplikasi stroke di instalasi rawat inap RS Panti
Rapih Yogyakarta Periode 2005.
Penelitian ini berfokus pada evaluasi penatalaksanaan terapi pada pasien
diabetes melitus komplikasi hipertensi dengan melihat ada tidaknya DRPs dan
3. Manfaat Penelitian
a) Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi
evaluasi penatalaksanaan terapi pada pasien diabetes melitus dengan
komplikasi hipertensi, sehingga dapat digunakan dalam mengembangkan
konsep pelayanan farmasi klinik khususnya pada pasien diabetes melitus
komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap rumah sakit.
b) Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran
pola peresepan obat yang digunakan pada pasien diabetes melitus
komplikasi hipertensi dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak farmasis
dalam pengelolaan obat kepada pasien diabetes melitus komplikasi
hipertensi di instalasi rawat inap rumah sakit.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
penatalaksanaan terapi pada pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi di
instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode Mei 2008–Mei 2009.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui profil pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi, yang
meliputi umur, komplikasi dan penyakit penyerta lain serta tingkat tekanan
darah pasien saat masuk di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta periode
b) Mengetahui profil peresepan obat yang digunakan pada pasien diabetes
melitus komplikasi hipertensi yang meliputi kelas terapi, golongan obat
dan jenis obat.
c) Mengetahui Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada
penatalaksanaan terapi pasien diabetes melitus dengan komplikasi
hipertensi, meliputi perlu terapi obat tambahan, tidak perlu terapi obat,
obat tidak tepat, dosis obat kurang, dosis obat berlebih, efek obat yang
tidak diinginkan dan ketidaktaatan pasien.
Mengetahui outcome terapi pada pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi
setelah menjalani terapi yang meliputi lama tinggal pasien, tekanan darah dan
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa dalam darah yang dapat disebabkan adanya
gangguan produksi insulin oleh sel–sel β Langerhans kelenjar pankreas dan
insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2001).
Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel β pulau
Langerhans. Insulin dalam jaringan akan berfungsi untuk membantu sintesis
dan penyimpanan glikogen serta mencegah pemecahannya. Bila terjadi
kerusakan atau kekurangan insulin di jaringan maka glukosa tidak dapat
masuk dalam jaringan dan akan menumpuk di peredaran darah sehingga
terjadi hiperglikemia yang dapat menyebabkan diabetes melitus.
2. Klasifikasi
Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan sebagai berikut ini.
a. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI) atau DM tipe I.
Diabetes Melitus tipe I disebabkan adanya destruksi sel β pulau
Langerhans di kelenjar pankreas oleh sistem kekebalan tubuh (Triplitt et
al, 2005). Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin secara absolut
sehingga pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. DM
tipe I biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk, berusia kurang
b. Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau DM tipe II.
Diabetes Melitus tipe II adalah penyakit hiperglikemia akibat
resistensi sel terhadap insulin. Sel–sel β pankreas tetap menghasilkan
insulin, namun mungkin sedikit menurun atau tetap berada dalam
rentang normal sehingga DM tipe II ini dianggap sebagai Diabetes
Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) dan biasanya timbul pada
orang yang berusia lebih dari 40 tahun (Corwin, 2001).
c. Diabetes Melitus pada kehamilan atau DM Gestasional.
Penyakit ini hanya dialami terbatas pada wanita hamil dan
gangguan toleransi glukosa terjadi pertama kali selama kehamilan
(Moningkey, 2000).
d. Diabetes tipe lain yang spesifik atau DM akibat kerusakan genetik.
Tipe DM ini bermacam-macam, antara lain disebabkan terjadinya
mutasi gen yang mengakibatkan resistensi insulin dan gangguan pada
reseptor insulin, atau dapat juga disebabkan adanya gangguan genetik
pada fungsi sel β, penyakit pada pankreas, infeksi bakteri dan berbagai
penyakit kelainan genetik (Triplitt et al, 2005).
3. Patogenesis
a. Diabetes Melitus tipe I
Diabetes Melitus tipe I pada umumnya berkembang pada masa
kanak–kanak atau sebelum dewasa dan disebabkan adanya kerusakan
immune mediated dari sel β pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin
Banyak faktor yang dapat menyebabkan kerusakan atau kelainan
pada sel β pankreas antara lain:
1) faktor lingkungan.
Destruksi otoimun sel β pulau Langerhans diperkirakan dapat
disebabkan oleh lingkungan. Serangan otoimun ini timbul setelah terjadi
infeksi virus, misalnya gondongan (mumps), rubella, sitomegalovirus
kronik, atau setelah pajanan obat atau toksin (misalnya golongan
nitrosamine yang terdapat pada daging awetan) (Corwin, 2001).
2) faktor genetik (keturunan).
Diabetes Melitus Tipe I ini dapat disebabkan adanya pengaruh
genetik. Orang–orang tertentu mungkin memiliki “gen diabetogenik”,
yaitu suatu profil genetik yang menyebabkan mereka rentan terhadap DM
tipe I (atau penyakit otoimun lainnya) (Corwin, 2001).
b. Diabetes Melitus tipe II
Diabetes Melitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih umum
terjadi dan jumlah penderita mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. Umumnya penderita berusia di atas 40 tahun dan
disebabkan adanya resistensi insulin. Penyakit DM tipe II ini dapat
dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan, antara lain obesitas,
diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya gerak badan
(Muchid,2005).
Pada umumnya penderita DM tipe II yang masih berada pada tahap
tinggi dan jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya. Jadi, awal
patofisiologis DM tipe II bukan disebabkan kurangnya sekresi insulin
seperti pada DM tipe I, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau
tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut
sebagai “Resistensi Insulin” (Muchid,2005).
Sekresi insulin melalui sel–sel β kelenjar pankreas terjadi dalam dua
fase. Fase pertama yaitu sekresi insulin yang terjadi ketika terdapat
peningkatan kadar glukosa darah, sedangkan fase kedua adalah sekresi
insulin yang terjadi 20 menit sesudah sekresi insulin fase pertama. Pada
awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, yaitu sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Bila tidak ditangani dengan baik, maka akan terjadi
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali
akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa
pada penderita DM tipe II ini umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,
yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Muchid,2005).
c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional dapat disebabkan adanya peningkatan
kebutuhan energi dan kadar estrogen serta hormon pertumbuhan yang
terus meningkat selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan estrogen
yang berlebih seperti pada diabetes tipe II dan akhirnya menyebabkan
penurunan responsivitas sel (Corwin, 2001).
d. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah suatu kondisi dimana kadar gula seseorang
berada di antara kadar normal dan diabetes, yaitu lebih tinggi dari pada
normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan dalam diabetes tipe
II (Muchid, 2005).
Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu seperti berikut ini.
1) Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu kondisi dimana kadar glukosa
darah puasa antara 100-125 mg/dl (Muchid, 2005).
2) Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT), yaitu kondisi dimana kadar glukosa darah saat uji toleransi
glukosa berada di atas normal tapi tidak cukup tinggi untuk
dikategorikan dalam kondisi diabetes (Muchid, 2005).
4. Gejala Klinik
Gejala klasik yang umum timbul pada DM tipe I adalah peningkatan
pengeluaran urin (poliuria), peningkatan rasa lapar (polifagia), penurunan
berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas dan pruritus. Penderita
DM tipe II umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka,
penglihatan makin buruk dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,
5. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus tipe II dapat dilihat pada tabel II
berikut ini.
Tabel I. Faktor Risiko DM Tipe II (Muchid, 2005)
Riwayat
Diabetes dalam keluarga Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg Obesitas >120% berat badan ideal
Umur 20-59 tahun : 8,7% > 65 tahun : 18% Tekanan Darah >140/90mmHg
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl
Faktor lain Kurang olah raga Pola makan rendah serat
6. Diagnosis
Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut American Diabetes
Association (ADA) (cit., Triplitt et al., 2005) adalah sebagai berikut ini.
Tabel II . Kategori Status Glukosa Darah (Triplitt et al., 2005)
Kategori Kadar Glukosa Darah Puasa Kadar Glukosa Darah
2 jam Sesudah Makan
Normal < 100mg/dL < 140mg/dL
Pra-diabetes 100 – 125mg/dL 140 – 199mg/dL
Diabetes Melitus ≥ 126mgdL ≥ 200mg/dL
HbA1C adalah suatu produk non-enzim yang dapat menggambarkan
level gula dalam darah. HbA1C ini juga dapat untuk diagnosis kadar gula
darah. Pengukuran HbA1C ini penting karena efektif untuk pengontrolan
7. Komplikasi
Penderita DM akan mengalami komplikasi akut maupun kronis.
Komplikasi akut yang berbahaya adalah hipoglikemia (kadar gula darah
sangat rendah) yang dapat mengakibatkan koma bahkan kematian.
Gejala-gejala hipoglikemia antara lain pusing, lemas, gemetar, pandangan
berkunang–kunang, keringat dingin dan peningkatan detak jantung sampai
kejang. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe I, yang
dapat dialami 1–2 kali perminggu. (Mucihd, 2001).
Komplikasi kronis pada penderita DM disebabkan oleh tingginya
konsentrasi glukosa darah yang dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler terjadi di
arteriol, kapiler dan venula. Komplikasi ini disebabkan tingginya kadar
glukosa darah sehingga terjadi penebalan membran basal
pembuluh-pembuluh kecil. Penebalan ini menyebabkan iskemia dan penurunan
penyaluran oksigen dan zat–zat gizi ke jaringan. Selain itu, hemoglobin
terglikosilasi akan memiliki afinitas terhadap oksigen yang tinggi sehingga
oksigen terikat erat ke molekul hemoglobin dan ketersediaan oksigen untuk
jaringan berkurang. Hal inilah yang mendorong timbulnya
komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati
(Corwin, 2001).
Komplikasi makrovaskuler terjadi di arteri besar dan sedang.
Komplikasi ini timbul terutama akibat aterosklerosis. Pada penderita diabetes
glukosa maupun kadar asam lemak. Kerusakan ini menyebabkan
permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang mengandung
lemak masuk ke dalam arteri (Corwin, 2001).
B. Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan
pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi
bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda
(Corwin, 2001). Menurut Joint National Committee (JNC) VII, kriteria
tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Seseorang mengalami hipertensi
jika tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik
(TDD) ≥90 mmHg. Hipertensi tidak dapat disembuhkan tapi dapat
dikendalikan (Yusuf, 2008).
Pada penderita DM tipe I, hipertensi biasanya muncul setelah pasien
mengalami nefropati diabetik atau gangguan ginjal. Sedangkan pada
penderita DM tipe II, hipertensi biasanya timbul sebelum penderita
didiagnosa diabetes atau pada saat penderita didiagnosa diabetes (Tandra,
2004).
2. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi JNC VII mengelompokkan kelas hipertensi
dalam batasan di atas umur 18 tahun. Berikut ini ini tabel klasifikasi
Tabel III. Klasifikasi Tekanan Darah Dewasa (≥ 18 tahun) Menurut JNC VII (Sassen and Carter, 2005)
Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal ≤ 120 ≤ 80
Prehipertensi 120 - 139 80 - 89 Hipertensi derajat 1 140 -159 90 - 99 Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100
Sistolik adalah tekanan darah yang terukur saat sebelum kontraksi
kardiak dan menunjukkan nilai maksimal tekanan darah, sedangkan tekanan
diastolik adalah tekanan yang diperoleh sesaat setelah kontraksi dan saat
jantung dikosongkan (Sassen and Carter, 2005).
Berdasarkan etiologi, hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai
hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder. Hampir 90 – 95% kasus
hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut hipertensi primer
(esensial). Hipertensi primer dapat dipengaruhi oleh faktor genetik yang
menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf
simpatis dan sisten renin-angiotensin yang mempengaruhi keadaan
hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta
obesitas dan faktor endotel (Yusuf, 2008).
Sedangkan sekitar 5–10% kasus hipertensi telah diketahui
penyebabnya atau disebut hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi ini dapat
diketahui melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Hipertensi
sekunder sering terjadi sebelum usia 35 tahun atau sesudah usia 55 tahun
3. Patogenesis
Tekanan darah adalah hasil dari curah jantung dan resistensi perifer.
BP (Tekanan Darah) = CO (Curah Jantung) X TPR (Tahanan Perifer)
Jika curah jantung mengalami kenaikan dan resistensi pembuluh darah
perifer tetap maka tekanan darah meningkat. Kebanyakan pasien hipertensi
esensial mengalami kenaikan resistensi perifer sedangkan curah jantung tetap
sama. Resistensi perifer dipengaruhi oleh viskositas darah, diameter
pembuluh darah dan elastisitas pembuluh darah. Viskositas darah yang
semakin meningkat membutuhkan tekanan darah yang semakin tinggi pula
agar darah dapat melalui pembuluh darah. Tekanan darah yang tinggi juga
diperlukan untuk mendorong darah melalui pembuluh darah yang mengalami
penyempitan (Setiawati dan Bustami, 1999).
Pada pasien DM tipe I, hipertensi dapat disebabkan karena adanya
gangguan fungsi ginjal, sedangkan pada pasien DM tipe II, hipertensi dapat
terjadi karena adanya metabolik sindrom yaitu obesitas, hiperglikemi dan
dislipidemia yang dapat meningkatkan faktor risiko kardiovaskuler (Anonim,
2005).
Proses terjadinya DM komplikasi hipertensi dapat disebabkan saat
kadar glukosa darah meningkat dan tidak dapat masuk kedalam sel maka
glukosa tersebut akan masuk ke dalam tubulus ginjal. Nilai ambang ginjal
untuk timbulnya glukosa dalam urin adalah 180 mg/dl, saat keadaan kadar
terabsorbsi akan tertimbun di ginjal dan harus dikeluarkan melalui urin
(Guyton and Hall, 1996).
Saat glukosa yang tertimbun dalam ginjal melebihi ambang batas,
maka akan terjadi proses diuresis osmotik dimana ginjal mengeluarkan cairan
berlebih melalui urin untuk mengurangi kadar glukosa darah. Pengeluaran
urin yang berlebih tersebut menyebabkan cairan ekstrasel berkurang dan
tubuh mengalami dehidrasi. Maka untuk kompensasinya volume intrasel
ditarik keluar sehingga cairan tubuh berlebih dan terjadi hipertensi. Dalam
jangka waktu yang lama maka pada penderita DM dapat mengalami
gangguan pada pembuluh darah halus di ginjal, ditemukan juga adanya
penahanan air dan garam di ginjal yang merupakan faktor lain terjadinya
hipertensi (Guyton and Hall, 1996).
Hipertensi pada penderita DM dapat juga disebabkan adanya
pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Ateroskerosis ini banyak terjadi pada penderita yang mengalami obesitas.
Hampir 80% penderita diabetes melitus mengalami obesitas. Pada penderita
diabetes melitus terjadi resistensi insulin yang akan menyebabkan glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga kadar glukosa dan lemak dalam
darah akan meningkat. Tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa atau kadar asam lemak dalam darah dapat menyebabkan kerusakan
pada lapisan endotel arteri. Kerusakan ini menyebabkan permeabilitas sel
endotel terhadap berbagai bahan di plasma meningkat sehingga kolesterol
Kerusakan pada sel endotel ini menimbulkan reaksi peradangan dan
imun, sehingga terjadi pelepasan peptida- peptida vasoaktif dan penimbunan
makrofag dan trombosit di dalam maupun di luar arteri. Produk–produk
peradangan tersebut akan merangsang proliferasi sel otot polos sehingga
sel-sel otot polos tumbuh ke dalam tunika intima. Bila kerusakan dan peradangan
berlanjut, maka agregasi trombosit meningkat dan terbentuk bekuan darah
(trombus). Sebagian dinding pembuluh diganti oleh jaringan parut sehingga
struktur dinding berubah dan mengalami penebalan (aterosklerosis). Karena
terjadinya proliferasi sel otot polos, pembentukan trombus dan jaringan parut
tersebut maka lumen arteri berkurang dan resistensi terhadap aliran darah
yang melintasi arteri meningkat. Ventrikel kiri harus memompa secara lebih
kuat untuk menghasilkan cukup gaya yang mendorong darah melewati sistem
vaskuler yang mangalami aterosklerosis sehingga timbul hipertensi (Corwin,
2001).
4. Gejala Klinik
Gejala yang timbul pada penderita hipertensi berbeda–beda
bergantung pada tingginya tekanan darah. Berdasarkan hasil survei hipertensi
di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi
seperti pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang
sering dijumpai, selain gejala lain seperti mimisan, sukar tidur, dan sesak
napas. Rasa berat di tengkuk, mata berkunang-kunang, palpitasi, dan mudah
C. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi
Tujuan utama terapi penatalaksanaan DM komplikasi hipertensi adalah
mengontrol tekanan darah, mengurangi risiko komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler terutama yang menyangkut ginjal dan kardiovaskuler,
memperbaiki gejala yang sudah muncul, mengurangi angka kematian dan
meningkatkan kualitas hidup pasien (Triplitt et al, 2005).
Penatalaksanaan diabetes yang berhasil membutuhkan kerjasama yang erat
dan terpadu dari penderita dan keluarga dengan para tenaga kesehatan yang
menanganinya, antara lain dokter, apoteker, dan ahli gizi. Kebanyakan pasien
dengan diabetes tidak mendapatkan perawatan optimal, seringkali kadar gula tidak
terkontrol dengan baik. Menurut The National Community Pharmacists
Association’s National Institute for Pharmacist Care Outcome di USA, kontribusi
apoteker berfokus kepada pencegahan dan perbaikan penyakit, termasuk
mengidentifikasi dan menilai kesehatan pasien, memonitor, mengevaluasi,
memberikan pendidikan dan konseling, menyelesaikan terapi yang berhubungan
dengan obat untuk meningkatkan pelayanan ke pasien dan kesehatan secara
keseluruhan (Muchid, 2005).
Sasaran terapi DM komplikasi hipertensi adalah memperlambat proses
berkembangnya risiko kardiovaskuler dengan cara sebagai berikut ini.
1. Menurunkan tekanan darah dibawah angka 130/80 mmHg.
2. Pengaturan kadar glukosa darah mendekati normal yaitu,
(a) kadar gula sesudah makan < 180mg/dl
(c) HbA1C < 7%
3. Pengaturan kadar lipid
(a) HDL > 40mg/dl
(b) LDL < 100mg/dl
(c) Trigliserida < 150mg/dl (Anonim, 2005).
Strategi terapi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan terapi
non-farmakologi (tanpa menggunakan obat) dan terapi non-farmakologi dengan
penggunaan obat antihipertensi oral.
a. Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada
pengobatan farmakologi dan dapat diberikan mendahului atau bersama–sama
sejak awal dengan pengobatan farmakologi. Terapi non-farmakologi dapat
dilakukan dengan pengurangan berat badan, pengurangan asupan garam, olahraga
teratur, menghentikan rokok, alkohol dan stres untuk menghindari risiko
hipertensi.
Pengurangan berat badan dapat dilakukan dengan mempertahankan Body
Mass Index antara 18,5-24,9 kg/m2. Pengurangan berat badan merupakan indikasi
pengobatan, baik pada hipertensi maupun diabetes melitus. Pengurangan berat
badan ini dapat dilakukan dengan melakukan olahraga teratur dan pembatasan
kalori. Berdasarkan penelitian, olahraga telah terbukti dapat menurunkan tekanan
darah melalui penurunan tahanan perifer. Selain itu olahraga juga dapat
b. Terapi farmakologi
1) Terapi farmakologi untuk hipertensi
Tingginya tekanan darah merupakan salah satu faktor yang menentukan
dimulainya pengobatan farmakologi. Berdasarkan pedoman JNC VII tahun 2003,
penderita hipertensi derajat satu dapat diberikan terapi farmakologi jika terapi
non-farmakologi tidak mencapai target tekanan darah yang ditetapkan. Individu
yang mengalami prehipertensi tidak diberikan terapi farmakologi tetapi dengan
melakukan terapi non-farmakologi untuk mengurangi risiko berkembangnya ke
arah hipertensi dikemudian hari. Namun, individu dengan prehipertensi yang juga
mengalami diabetes melitus atau penyakit ginjal harus diberikan pengobatan
apabila terapi non-farmakologi gagal menurunkan tekanan darah menjadi 130/80
mmHg atau kurang (Yusuf, 2008).
Sasaran utama yang ingin dicapai pada terapi pasien DM komplikasi
hipertensi adalah pencapaian tekanan darah 130/80 mmHg, untuk itu terapi utama
dengan penggunaan antihipertensi yaitu menggunakan Penghambat Angiotensin
Converting Enzyme (ACE) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARBs). Kedua
obat antihipertensi tersebut terbukti mengurangi risiko kardiovaskuler serta
mencegah adanya risiko gagal ginjal. Terapi dapat pula ditambah dengan thiasid
diuretik serta obat antihipertensi lain seperti β-blocker dan Calcium Channel
a) First Line Therapy
Berdasarkan standar yang dikeluarkan American Diabetes Association
(ADA), obat yang digunakan sebagai First Line Therapy pada pasien DM
komplikasi hipertensi meliputi golongan obat yang ada dibawah ini.
(1) Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
Penghambat ACE terbukti menguntungkan untuk pasien yang
mengalami infark miokardium, gagal jantung dan pasien DM yang
mengalami gangguan ginjal. Berdasarkan ADA, obat ini dianggap lebih
sesuai untuk pasien DM dengan komplikasi hipertensi, karena berdasarkan
penelitian yang mengevaluasi penggunaan penghambat ACE pada pasien
dengan komplikasi hipertensi menunjukkan bahwa penggunaan penghambat
ACE dapat menurunkan 20–30% risiko stroke, jantung koroner dan kelainan
kardiovaskuler mayor. Penghambat ACE juga dapat meningkatkan
sensitivitas insulin (Konzem, 2002).
Mekanisme penghambat ACE sebagai terapi utama DM komplikasi
hipertensi adalah menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin
II yang mengakibatkan dilatasi perifer dan mengurangi resistensi perifer yang
efeknya dapat menurunkan tekanan darah. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor yang mampu meningkatkan ekskresi aldosteron, dengan
aldosteron yang jumlahnya kecil akibatnya terjadi retensi air dan sodium,
sehingga menurunkan tekanan darah.
Penghambat ACE dengan tiazid dapat dipakai saat β-blocker dan
kardiovaskuler dapat menyebabkan hipotensi, sedangkan jika dengan β
-blocker menyebabkan keracunan litium. Penggunaan bersama potassium
mengkibatkan hiperkalemia dan jika dipakai dengan Non Steroid Anti
Inflamatory Drug (NSAID) dapat menurunkan efek dari penghambat ACE
(Rudnick, 2001).
Penghambat ACE meliputi kaptopril, enalapril, lisinopril. Kaptopril
cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga
bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik
pada pemberian penghambat ACE. Dosis pertama penghambat ACE harus
diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak
mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar
sodium rendah (Gormer, 2007).
(2) Angiotensin Receptor Blocker (ARBs)
Antagonis angiotensin II menghambat reseptor angiotensin II dan
memiliki potensi yang sama dengan penghambat ACE dalam menurunkan
tekanan darah namun efek sampingnya lebih kecil (Clarke and Hebron,
1999).
Efek ARBs adalah menghambat angiotensin II yang berperan dalam
vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivitas saraf simpatik, pelepasan
hormon antidiuretik dan konstriksi pada glomerulus. Interaksi obat ARBs
b) Second Line Therapy
(1) Diuretik
Mekanisme kerja diuretik adalah mengekskresikan air dan elektrolit
melalui ginjal sehingga terjadi pengurangan sirkulasi volume darah,
mengurangi cardiac output. Tekanan darah turun karena berkurangnya curah
jantung sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. Pada
pemberian kronik, volume plasma kembali normal tetapi masih 5% di bawah
nilai sebelum pengobatan. Tekanan darah tetap turun karena sekarang
resistensi perifer menurun. Vasodilatasi perifer yang terjadi bukan merupakan
efek langsung tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer
terhadap pengurangan volume plasma yang terus menerus atau dapat juga
karena berkurangnya volume cairan interstisial yang dapat mengurangi
kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur (Setiawati
dan Bustami, 1999).
(2) β-blocker
β-blocker bekerja dengan mengurangi denyut jantung dan
kontraktilitas miokard sehingga curah jantung berkurang. Pada pemberian
kronik resistensi perifer menurun, mungkin sebagai penyesuaian terhadap
pengurangan curah jantung yang kronik (Setiawati dan Bustami, 1999).
Jika obat ini dipakai bersamaan dengan phenitoin dapat meningkatkan
efek antihipertensi, pemakaian dengan verapramil dapat menekan jantung dan
menyebabkan hipotensi, sedangkan jika pemakaian dengan sulfonilurea dapat
(3) Calcium Channel Blocker (CCB)
Pada otot jantung dan otot vaskuler, ion kalsium berperan dalam
peristiwa kontraksi. Meningkatnya kadar ion kalsium dalam sitosol akan
meningkatkan kontraksi. Obat antihipertensi golongan antagonis kalsium
bekerja dengan jalan memblok kanal kalsium yang terletak pada otot polos
sehingga mencegah terjadinya vasokonstriksi (Setiawati dan Bustami, 1999).
Obat golongan antagonis kalsium ini akan menangkal kalsium yang
masuk sehingga kalsium tidak dapat masuk dan mengakibatkan terjadi
dilatasi, suplai oksigen terhadap miokardial meningkat dan menurunkan detak
jantung. Golongan obat antihipertensi ini menurunkan tekanan darah secara
efektif dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik serta menekan kejadian
stroke. Indikasi terutama hipertensi sistolik pada lansia.
(4) Obat Simpatolitik
Obat ini bekerja menurunkan tekanan darah dengan menekan saraf
simpatik sehingga mengurangi cardiac output dan mengurangi tekanan darah.
Salah satu jenis obat ini adalah klonidin. Jika klonidin dipakai bersamaan
dengan antidepresan trisiklik dapat meningkatkan tekanan darah dan
penggunaan dengan Central Nervous System (CNS) dapat menurunkan efek
CNS depresan.
(5) Vasodilator
Obat ini bekerja sebagai vasodilator pada arteri, vena ataupun
dengan mengembangkan dinding arteriola sehingga daya tahan pembuluh
perifer berkurang dan tekanan darah menurun.
2) Terapi farmakologi untuk diabetes melitus
a) Insulin
Insulin biasa digunakan pada DM tipe I dan efektif jika diberikan secara
subkutan atau intravena karena jika diberikan secara oral di dalam
gastrointestinal insulin yang berbentuk protein akan pecah dan rusak sebelum
lewat peredaran darah dan didistribusikan.
Insulin juga dapat diberikan pada penderita DM tipe II jika saat terapi
untuk DM tipe II terjadi kegagalan atau kontraindikasi karena masa kehamilan
atau hipersensitif dan saat kadar glukosa naik akibat stress ataupun infeksi serta
akibat pembedahan. Mekanisme kerja insulin mengubah glukosa menjadi
glikogen, meningkatkan sintesis protein dan lemak, memperlambat pemecahan
glikogen, protein dan lemak, menyeimbangkan cairan dan elektrolit dalam tubuh
(Rudnick, 2001).
b) Obat Antidiabetika Oral
Obat antidiabetika oral adalah obat yang digunakan mengatasi keadaan
kadar glukosa darah yang tinggi akibat gangguan kerja insulin, obat ini
mempunyai sistem kerja ganda di dalam dan di luar pankreas, efek di dalam
pankreas adalah mampu menstimulasi pankreas agar mengeluarkan insulin
dengan kerja pankreas yang seminimal mungkin dan efek di luar pankreas
D. Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems (DRPs) masalah–masalah yang berkaitan dengan
pemakaian obat atau sering disebut Drug Therapy Problems (DTPs)
didefinisikan sebagai permasalahan yang sering muncul didalam farmasi klinis
atau kejadian yang tidak diharapkan yang dialami pasien selama proses terapi.
Sedangkan potensial DRP yaitu masalah yang diperkirakan akan terjadi
berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada penderita (Cipolle, 1998).
Dalam Pharmaceutical Care Practice oleh Robert J. Cipolle (1998),
masalah–masalah dalam kajian DRP ditunjukkan oleh kemungkinan penyebab
DRP yang disajikan dalam tabel VI berikut ini.
Tabel IV. Penyebab Drug Related Problems (DRPs) (Cipolle, 1998)
DRPs Kemungkinan penyebab DRPs
1. Perlu terapi obat tambahan (Need for additional drug therapy)
a) Pasien dengan kondisi baru yang membutuhkan obat. b) Pasien kronis membutuhkan kelanjutan terapi obat. c) Pasien dengan kondisi yang membutuhkan kombinasi obat.
d) Pasien dengan kondisi yang berisiko dan membutuhkan obat untuk mencegah.
2. Tidak perlu terapi obat (Unnecessary drug therapy)
a) Tidak ada indikasi pada saat itu.
b) Pasien mendapat obat dalam jumlah toksis. c) Kondisi pasien akibat drug abuse.
d) Pasien lebih baik disembuhkan dengan terapi non farmakologi. e) Pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup dengan single
drug.
f) Pasien minum obat untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindarkan.
3. Obat tidak tepat (Wrong drug)
a) Kondisi pasien yang menyebabkan obat bekerja tidak efektif (kurang sesuai dengan indikasinya).
b) Pasien menerima obat yang bukan paling efektif untuk indikasi. c) Pasien mempunyai alergi terhadap obat tertentu.
d) Obat yang diberikan memiliki faktor risiko kontraindikasi dengan obat lain yang juga dibutuhkan.
Lanjutan tabel IV. Penyebab Drug Related Problems (DRPs) (Cipolle, 1998)
DRPs Kemungkinan penyebab DRPs
4.Dosis kurang (Dosage too low)
a) Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon. b) Konsentrasi obat di bawah therapeutic range.
c) Obat, dosis, rute atau konversi formula obat tidak cukup d) Dosis dan interval obat tidak cukup.
e) Pemberian obat terlalu awal. 5. Dosis berlebih
(Dosage too high)
a) Dosis yang digunakan pasien terlalu tinggi untuk memberikan respon.
b) Konsentrasi obat di atas therapeutic range. c) Dosis obat terlalu cepat dinaikkan. d) Akumulasi obat karena penyakit kronis.
e) Obat, dosis, rute atau konversi formula obat tidak sesuai. 6.Efek obat yang
tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction/ADR)
a) Dosis obat yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi kecepatannya.
b) Adaya reaksi alergi terhadap obat tertentu. c) Ada faktor risiko yang membahayakan pasien. d) Interaksi dengan obat – obat atau makanan. e) Hasil laboratorium pasien berubah akibat obat. 7.Ketidaktaatan
pasien (In compliance)
a) Pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena medication error. b) Pasien tidak taat instruksi.
c) Pasien tidak mengambil obat karena harga obat mahal. d) Pasien tidak mengambil obat karena tidak memahami. e) Pasien tidak mengambil obat karena keyakinan kurang.
E. Subjective data, Objective data, Assessment and Plan
Metode SOAP (Subjective data, Objective data, Assessment and Plan)
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
dari medical record. Informasi tersebut dapat digunakan untuk membantu
menyelesaikan masalah maupun situasi yang kompleks (Kimbe and Young,
2005). Metode SOAP terdiri dari:
1. data subyektif.
Data subyektif adalah informasi yang dapat diketahui dari informasi yang
diberikan oleh pasien, anggota keluarga pasien, atau tenaga medis yang merawat
a. keluhan atau gejala yang dirasakan pasien
b. riwayat penyakit
c. riwayat pengobatan
d. alergi
e. riwayat sosial atau keluarga (Jones and Rospond, 2003).
2. data obyektif.
Data obyektif diperoleh berdasarkan hasil observasi atau pengukuran oleh
tenaga medis yang merawat pasien (Kimble and Young, 2005). Informasi yang
termasuk dalam data obyektif yaitu:
a. data vital
b. pemeriksaan fisik
c. hasil tes laboratorium
d. konsentrasi obat dalam serum
e. hasil tes diagnosa
f. profil pengobatan (Jones and Rospond, 2003).
3. menentukan assessment.
Setelah diperoleh data subyektif dan obyektif, maka langkah selanjutnya
adalah menegakkan diagnosa pasien. Selain itu perlu dilakukan identifikasi
adanya drug related problems yang mungkin terjadi pada pengobatan sebelumnya
(Kimble and Young, 2005).
4. menentukan plan/rekomendasi.
Dalam tahap penentuan plan/rekomendasi ini dilakukan perencanaan
problems yang telah teridentifikasi. selain itu diberikan pembelajaran kepada
pasien mengenai masalah kesehatan serta pengobatan yang dilakukan untuk dapat
mencapai target penyembuhan penyakit maupun pemeliharaan kondisi pasien
(Kimble and Young, 2005).
F. Keterangan Empiris
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai penatalaksanaan DM komplikasi hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih
periode Mei 2008-Mei 2009. Dari hasil penelitian dapat diketahui mengenai
31
BAB III
METODE PENELITIAN A.Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian “Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes Melitus
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Periode Mei 2008–Mei 2009” merupakan jenis penelitian
non-eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif. Data diperoleh dari lembar
rekam medik yang diambil secara retrospektif. Retrospektif adalah penelusuran
data masa lalu pasien dari catatan rekam medis pasien (Kountour,2003).
Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental karena subjek uji
tidak diberi perlakukan. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif, disebut
deskriptif karena penelitian ini memberikan gambaran atau uraian atas suatu
keadaan dengan sejelas mungkin dengan mengamati fenomena kesehatan yang
terjadi (Kountour, 2003).
B. Definisi Operasional
1. Pasien rawat inap merupakan pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi yang
menjalani perawatan di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
periode Mei 2008-Mei 2009.
2. Pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi adalah pasien yang didiagnosa
mengalami diabetes melitus komplikasi hipertensi dengan kadar glukosa darah
puasa ≥ 126mg/dl atau kadar gula darah 2 jam sesudah makan ≥ 200mg/dl.
3. Tekanan darah masuk adalah tekanan saat pengukuran pertama pasien masuk
pasien saat masuk instalasi rawat inap RSPR. Menurut JNC VII, kategori derajat
hipertensi pasien terdiri dari prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi
derajat 2.
4. Profil pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi meliputi umur, komplikasi
dan penyakit penyerta lain serta derajat hipertensi pasien saat masuk di instalasi
rawat inap RSPR.
5. Data umur pasien dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok umur
40-49 tahun, 50-59 tahun, 60-69 tahun, 70-79 tahun, ≥80 tahun.
6. Komplikasi penyerta adalah penyakit yang menyertai DM komplikasi hipertensi
terkait dengan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.
7. Penyakit penyerta adalah penyakit yang menyertai perjalanan penyakit DM
komplikasi hipertensi tetapi bukan termasuk dalam komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler.
8. Profil Obat meliputi kelas terapi, golongan obat dan jenis obat.
9. Kelas terapi adalah kelompok besar obat yang terdiri beberapa golongan obat
yang memiliki sasaran pengobatan yang sama, misalnya kelas terapi obat sistem
kardiovaskuler, terdiri dari golongan obat antihipertensi, antiangina dan lain–lain.
10. Golongan obat adalah kelompok obat berdasarkan efek terapi dari setiap kelas
terapi yang diberikan untuk pasien. Misalnya, golongan obat hipoglikemik,
golongan antipiretik, golongan antihipertensi.
11. Jenis obat adalah nama generik obat pada peresepan pasien rawat inap dalam satu
12. Outcome terapy adalah hasil terapi atau keadaan pasien setelah menjalani terapi,
yang meliputi lama tinggal, tekanan darah dan keadaan pasien saat keluar RSPR.
13. Data lama tinggal pasien dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu 1-3 hari, 4-6
hari, 7-9 hari, 10-12 hari, 13-15 hari dan ≥16 hari.
14. Tekanan darah keluar adalah tekanan darah saat pengukuran sebelum pasien
keluar dari rawat inap RSPR yang dapat digunakan untuk menentukan keadaan
pasien saat keluar RSPR.
15. Data keadaan pasien dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu sembuh,
membaik dan belum membaik. Keadaan pasien sembuh jika tekanan darah darah
turun sampai ≤130/80mmHg, membaik jika tekanan darah pasien mengalami
penurunan tetapi tidak sampai ≤130/80mmHg, sedangkan belum membaik jika
tekanan darah pasien tidak mengalami penurunan, tetap atau justru mengalami
peningkatan.
16. Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada penatalaksanaan terapi pasien
diabetes melitus dengan komplikasi hipertensi, meliputi perlu terapi obat
tambahan, tidak perlu terapi obat, obat tidak tepat, dosis obat kurang, dosis obat
berlebih dan efek obat yang tidak diinginkan.
17. Data yang diperoleh dihitung dengan cara jumlah kasus yang ada dibagi jumlah
kasus (n=25) dikalikan seratus persen. Penghitungan ini digunakan dalam
menghitung persentase umur pasien, profil tekanan darah, komplikasi penyerta,
penyakit penyerta, kelas terapi obat, golongan obat, jenis obat dan outcome
C.Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah 25 pasien DM komplikasi
hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Mei 2008-Mei 2009
yang memenuhi kriteria inklusi penelitian yaitu pasien yang didiagnosa
mengalami diabetes melitus komplikasi hipertensi dengan kadar glukosa darah
puasa ≥ 126mg/dl atau kadar gula darah 2 jam sesudah makan ≥ 200mg/dl.
D.Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan berasal dari lembar rekam medik (Medical
Record) pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Panti Rapih periode Mei 2008–Mei 2009.
E. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes melitus
dengan komplikasi hipertensi dilaksanakan di unit rekam medik Rumah Sakit
Panti Rapih yang terletak di Jalan Cik Dik Tiro No. 39 Yogyakarta.
F. Tata Cara Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan 3 tahap, yaitu sebagai berikut ini.
1. Persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal, yaitu dengan proses pengumpulan informasi
yang dibutuhkan untuk penelitian. Setelah dilakukan proses tersebut kemudian
diperoleh informasi dari unit rekam medis RS Panti Rapih dangan melihat pola
penyebaran penyakit diabetes melitus komplikasi hipertensi selama Mei 2008–
melitus dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RS Panti Rapih
periode Mei 2008–Mei 2009 sebanyak 144 pasien.
2. Pengambilan Data
Tahap pengambilan data ini terdiri dari 3 proses, yaitu:
a. proses penelusuran data
Berdasarkan informasi dari unit rekam medis RS Panti Rapih diperoleh data
bahwa jumlah penderita DM komplikasi hipertensi pada periode Mei 2008-Mei
2009 sebanyak 144 pasien. Dari 144 pasien DM komplikasi hipertensi
dilakukan pengambilan sampel kasus dengan menggunakan kriteria inklusi
penelitian sehingga diperoleh 25 kasus yang memenuhi kriteria inklusi.
b. proses pengumpulan data
Proses pengumpulan data dimulai dengan melihat medical record
pasien DM komplikasi hipertensi. Data pasien yang diambil meliputi nama,
umur, keluhan utama, riwayat penyakit, diagnosis, jenis obat, dosis obat, cara
pemberian obat, lama tinggal, tekanan darah saat masuk dan keadaan pasien
saat pulang atau outcome therapy.
c. proses pengolahan data
Data yang telah diambil dari medical record pada tahap sebelumnya
kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Tabel tersebut berisi profil pasien
(umur, diagnosa masuk, diagnosa keluar, komplikasi dan penyakit penyerta),
data laboratorium (tekanan darah, kadar ureum, kreatinin, asam urat, SGOT,
SGPT, kolesterol dan glukosa darah), profil pengobatan (jenis obat, dosis) serta
3. Analisis Data
Data dari medical record tersebut kemudian dievaluasi berdasarkan drug
related problems dengan metode SOAP secara kasus per kasus. Literatur yang
digunakan sebagai acuan adalah American Diabetes Association (ADA) guideline,
MIMS Indonesia (periode 2008/2009), Informatorium Obat Nasional Indonesia
(2000).
Data berdasarkan pencatatan medical record dievaluasi mengenai drug
related problems-nya. Dengan melihat drug related problems yang terjadi selama
proses terapi dapat diketahui perlu terapi obat tambahan, tidak perlu terapi obat,
obat tidak tepat, dosis obat kurang, dosis obat berlebih dan efek obat yang tidak
diinginkan. Data yang telah diperoleh kemudian dibandingkan dengan standar
pengobatan untuk DM komplikasi hipertensi, kemudian data dievaluasi secara
kasus perkasus.
G. Kesulitan Penelitian
Proses pengambilan data pasien DM komplikasi hipertensi di unit rekam
medik RSPR Yogyakarta Periode Mei 2008–Mei 2009 ini mengalami beberapa
kesulitan. Kesulitan pertama adalah kesulitan dalam membaca beberapa tulisan
yang ada di medical record. Usaha yang dilakukan adalah dengan menanyakan
kepada beberapa pihak yang mengerti. Kesulitan yang kedua adalah kesulitan
dalam mendapatkan dokumen medical record karena seringkali saat peneliti akan
mengambil data, medical record yang akan dipakai sedang digunakan pasien
Usaha yang dilakukan adalah dengan menunggu beberapa hari atau beberapa
minggu sampai dokumen medical record tersebut kembali.
H. Analisis Hasil
1. Persentase umur pasien DM komplikasi hipertensi dihitung dengan cara
menghitung jumlah pasien yang terdapat pada range umur tertentu dibagi jumlah
sampel kemudian dikalikan 100%.
2. Persentase jenis komplikasi penyerta pasien DM komplikasi hipertensi dihitung
dengan cara menghitung jumlah pasien masing-masing jenis komplikasi penyerta
dibagi jumlah sampel dikalikan 100%.
3. Persentase jenis penyakit penyerta pasien DM komplikasi hipertensi dihitung
dengan cara menghitung jumlah pasien masing-masing jenis penyakit penyerta
dibagi jumlah sampel dikalikan 100%.
4. Persentase derajat hipertensi pasien saat masuk instalasi rawat inap RSPR
dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien yang terdapat pada range derajat
hipertensi tertentu dibagi jumlah sampel kemudian dikalikan 100%.
5. Persentase kelas terapi pasien DM komplikasi hipertensi dihitung dengan cara
menghitung jumlah pasien masing-masing kelas terapi dibagi jumlah sampel
pasien kemudian dikalikan 100%.
6. Persentase lama tinggal perawatan pasien DM komplikasi hipertensi di RSPR
dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien yang terdapat pada range lama
7. Persentase keadaan pasien DM komplikasi hipertensi saat keluar dari RSPR
dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien masing-masing keadaan saat
keluar RSPR dibagi jumlah sampel pasien kemudian dikalikan 100%.
8. Persentase jumlah drug related problems pasien DM komplikasi hipertensi
dihitung dengan cara menghitung jumlah masing-masing kasus drug related
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian tentang Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes
Melitus Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Periode Mei 2008–Mei 2009 ini dilakukan dengan menelusuri data
rekam medis pasien yang terdiagnosa sebagai penderita diabetes melitus dengan
komplikasi hipertensi yang menjalani terapi di Instalasi Rawat Inap RSPR
Yogyakarta pada periode Mei 2008-Mei 2009. Berdasarkan data yang telah
diperoleh dari Instalasi Rekam Medik diperoleh 25 kasus pasien DM dengan
komplikasi hipertensi yang menjalani terapi rawat inap di RSPR Yogyakarta.
Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah memperoleh data rekam medis pasien
adalah dengan mencatat seluruh data pasien yang dibutuhkan yang tercantum
dalam lembar rekam medis.
A. Profil Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Hipertensi
1) Berdasar Umur
Hipertensi merupakan salah satu jenis komplikasi yang sering dijumpai
pada penderita DM. Hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah hingga
lebih dari 140/90 mmHg. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari lembar
rekam medis profil umur pasien DM komplikasi hipertensi dibagi menjadi 5
kelompok. Berdasarkan gambar 1 diperoleh penderita paling banyak terdapat
dalam kategori umur 60-69 tahun. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada
umur diatas 60 tahun resiko komplikasi hipertensi pada pasien DM lebih tinggi
2) Gam di R S mengalam tersebut p telah dijal hidup. B dan terus Komplika muncul se berjalan 1 Berdasar K hipertensi Terjadinya terapi yan
bar 1. Diag Rumah Sak
Setelah umu
mi penuruna
asien tidak
ani tidak da
Berdasarkan s menerus asi hipertens etelah umur 0-15 tahun. Komplika Komplikasi yang terk a komplika ng dijalani gram Perse kit Panti R
ur 60-69 tah
an. Hal ini m
mampu me
apat memba
n teori, pada
s dapat m
si biasanya
r 40 tahun d
si Penyerta
penyerta a
kait dengan
asi tersebut
i oleh pas 48% 8% entase Umu Rapih Yogya hun, persen mungkin da engelola pen antu pasien
a pasien DM
menyebabka terjadi pada dan komplik a adalah peny n komplikas tergantung sien. Sema 8% 4%
ur Pasien D akarta Per
ntase pasien
apat disebab
nyakitnya d
sehingga pa
M dengan k
an timbuln
a pasien DM
kasi umumn
yakit yang
si mikrova
g dari peng
akin rendah 32%
DM Kompli iode Mei 2
n DM komp
bkan setelah
dengan baik
asien tidak m
adar gula d
nya berbag
M tipe II. P
nya timbul menyertai skuler dan endalian se h kesadaran 40- 50- 60-
70-≥ 8
ikasi Hiper 008-Mei 20 plikasi hiper h melewati atau terapi mampu ber
darah yang t
gai kompl
asien DM t
setelah pen
DM komp
makrovask
erta keberha
memperhatikan kondisi kesehatannya terutama dalam menjaga kestabilan glukosa
darahnya, maka semakin tinggi pula resiko pasien tersebut untuk mengidap
komplikasi.
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat 4 jenis komplikasi
penyerta yang diderita pasien antara lain dislipidemia, stroke, nefropati, Chronic
Renal Failure (CRF). Berdasarkan data yang diambil, komplikasi penyerta yang
paling banyak diderita pada pasien DM komplikasi hipertensi adalah dislipidemia.
Tabel V. Persentase komplikasi penyerta pada pasien DM komplikasi hipertensi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode
Mei 2008-Mei 2009
No Komplikasi penyerta Jumlah kasus
(n=8)
Persentase (%)
1 Dislipidemia 3 12
2 Stroke 2 8
3 Nefropati 2 8
4 Chronic Renal Failure 1 4
Dislipidemia merupakan salah satu faktor resiko utama aterosklerosis.
Dislipidemia ditandai dengan kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
kenaikan kadar trigliserida serta penurunan kadar HDL. Pada penderita DM,
glukosa tidak dapat diproses menjadi energi sehingga energi yang akan digunakan
terpaksa dibuat dari sumber lain seperti lemak dan protein. Akibatnya kadar
kolesterol terutama kadar LDL akan meningkat dalam darah. Partikel LDL yang
berada dalam darah akan terjebak dalam pembuluh darah dan mengalami oksidasi
sehingga mengakibatkan terjadinya luka endotel dan perlekatan trombosit yang
akan memacu timbulnya aterosklerosis. Hal tersebut mengakibatkan jantung
bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh sehingga tekanan
Diabetes melitus merupakan faktor resiko utama terjadinya stroke. Pada
penderita DM, semakin tinggi kadar kolesterol dalam darah maka akan semakin
memicu terbentuknya aterosklerosis yang akan mengakibatkan gangguan pada
pembuluh darah yang menuju ke otak dan dapat menimbulkan terjadinya stroke
yang dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian.
Gangguan ginjal yang terjadi pada penderita DM dapat terjadi karena
kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol dengan baik. Tingginya kadar
glukosa darah tersebut akan menyebabkan kerusakan sistem penyaringan, berupa
pembuluh darah halus ginjal.
3) Berdasar Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta adalah penyakit yang menyertai perjalanan penyakit
DM komplikasi hipertensi tetapi bukan termasuk dalam komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Penyakit penyerta ini dapat disebabkan oleh
virus luar ataupun efek samping obat yang dipakai selama perawatan. Pada
penelitian ini terdapat 4 jenis penyakit penyerta yang dialami pasien, yaitu Infeksi
Saluran Kencing (ISK), dispepsia, radices dentis dan anemia.
Berdasarkan tabel VI dapat diketahui bahwa penyakit penyerta yang
paling banyak diderita oleh pasien DM komplikasi hipertensi adalah Infeksi
Saluran Kemih (ISK). Pada pasien DM yang memiliki kadar glukosa darah tinggi
sangat mungkin mengalami infeksi karena mikroorganisme penyebab infeksi akan
mudah berkembang dalam lingkungan tersebut. Dalam penelitian ini infeksi yang
paling banyak dialami pasien adalah infeksi saluran kemih yang ditandai dengan
mengeluarkan urin sehingg