• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK - PENGARUH PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP MINAT DAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN (Eksperimen pada Siswa Kelas IX SMP Purnama Sumpiuh) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIK - PENGARUH PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP MINAT DAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN (Eksperimen pada Siswa Kelas IX SMP Purnama Sumpiuh) - repository perpustakaan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

Pada bab ini diuraikan landasan teori yang meliputi deskripsi konseptual

(minat, menulis, cerita pendek, unsur-unsur intrinsik cerita pendek, dan pendekatan

kontekstual), penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis.

A. Deskripsi Konseptual 1. Minat

Minat atau sering disebut interest merupakan gambaran sifat dan sikap ingin memiliki kecenderungan tertentu. Minat ini juga diartikan kecenderungan hati yang

tinggi terhadap sesuatu dan keinginan yang kuat untuk melaksanakan sesuatu. Minat

bukan bawaan dari lahir, melainkan dapat dipengaruhi oleh bakat. Minat harus dibina

agar tumbuh dan terasa sehingga menjadi kebiasaan.

Menurut Djamarah (2008: 166) minat adalah kecenderungan yang menetap

untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas. Seseorang yang berminat

terhadap suatu aktivitas akan memperhatikan aktivitas itu secara konsisten dan

dengan rasa senang yang dapat menumbuhkan suatu rasa lebih suka dan rasa

ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyeluruh.

Menurut Slameto (2010: 57) minat adalah kecenderungan yang tetap untuk

memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati

seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa senang. Jadi berbeda

(2)

diikuti dengan perasaan senang, sedangkan minat selalu diikuti dengan perasaan

senang dan dari situ diperoleh kepuasaan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar,

karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa

tidak akan belajar denga sebaik-baipknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Ia

segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu. Bahan

pelajaran yang menarik minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan, karena

minat menambah kegiatan belajar.

Menurut Winkel (Prasetyono, 2008: 50) minat adalah kecenderungan yang agak

menetap dan subjek merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa senang

berkecimpung dalam bidang itu. Jika dalam hati ada perasaan senang, biasanya akan

menimbulkan minat. Suatu keadaan dimana seseorang mempunyai perhatian terhadap

suatu objek, disertai dengan keinginan untuk mengetahui dan mempelajari, dan

akhirnya dibuktikan lebih lanjut dengan objek tertentu. Dapat dikatakan bahwa

timbulnya minat itu dikarenakan adanya perasaan senang atau adanya rasa

ketertarikan terhadap objek yang dipilihhnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat tiga batasan minat, yakni (1)

suatu sikap yang dapat mengikat perhatian seseorang kearah obyek tertentu secara

selektif, (2) suatu perasaan bahwa aktivitas dan kegemaran terhadap obyek tertentu

sangat berharga bagi individu, dan (3) minat atau kesiapan yang membawa tingkah

(3)

Terdapat tiga faktor yang mendasari timbulnya minat adalah sebagai berikut.

a. Faktor dorongan dalam: dorongan dari individu itu sendiri, sehingga timbul

minat untuk melakukan aktivitas atau tindakan tertentu untuk memenuhinya.

Misalnya untuk dorongan makan, menimbulkan minat untuk mencari makan.

b. Faktor motivasi sosial: faktor ini merupakan faktor untuk melakukan sesuatu

aktivitas agar dapat diterima dan diakui oleh lingkungannya. Minat ini

merupakan semacam kompromi pihak individu dengan lingkungan sosialnya.

Misalnya, minat pada studi karena ingin mendapat penghargaan dari orang

tuanya.

c. Faktor emosional: minat erat hubungannya dengan emosi karena faktor ini selalu

menyertai seseorang dalam berhubungan dengan objek minatnya. Kesuksesan

seseorang pada suatu aktivitas disebabkan karena aktivitas tersebut menimbulkan

perasaan suka atau puas, sedangkan kegagalan akan menimbulkan perasaan tidak

senang dan mengurangi minat seseorang terhadap kegiatan yang bersangkutan

(Drever dalam Herliana, 2009: 41-42).

Aspek minat terdiri atas aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa

konsep positif terhadap suatu objek dan berpusat pada manfaat dari objek tersebut.

Aspek afektif tampak dalam rasa suka atau tidak suka dan kepuasan pribadi terhadap

(4)

2. Menulis

a. Hakikat Menulis

Menulis adalah salah satu jenis keterampilan berbahasa yang dimiliki dan

digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi tidak langsung antara mereka. Hal

ini terjadi karena dalam kenyataan hidup bermasyarakat, kontak komunikasi itu tidak

selalu dilakukan dengan tatap muka. Kegiatan menulis baru dapat tertulis, setelah

manusia “belajar” dahulu mengenai bahasa tertulis karena keterampilan ini berbeda

dengan keterampilan menyimak dan berbicara yang dimiliki manusia normal sejak

lahir. Dengan perkataan lain, menulis merupakan keterampillan berbahasa yang tidak

sederhana. (Syamsuddin A.R., 2011: 1-2).

Sedangkan menurut Soebacman (2014: 10) mengemukakan bahwa menulis

adalah kemampuan yang juga Anda pelajari saat pertama kali mengenal huruf dan

belajar kata-kata baru.

Menulis merupakan suatu proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam

lambang-lambang tulisan. Dalam menulis memiliki aspek utama. Yang pertama,

adanya tujuan dan maksud tertentu yang henpdak dicapai. Kedua, adanya gagasan

sesuatu yang hendak dikomunikasikan. Ketiga, adanya sistem pemindahan gagasan

itu, yaitu berupa sistem bahasa (Semi, 2007: 14).

Menurut Tarigan (2008: 22), mengungkapkan bahwa menulis ialah menurunkan

atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang

dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca

(5)

Gambar atau lukisan mungkin dapat menyampaikan makna-makna, tetapi tidak

menggambarkan kesatuan-kesatuan bahasa. Menulis merupakan suatu representasi

bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Berkaitan dengan

pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa menulis adalah kemampuan

berkomunikasi verbal dengan melibatkan unsur penulis sebagai penyampai pesan,

pesan atau isi tulisan, saluran atau medium tulisan, dan pembaca sebagai penerima

pesan. Menulis merupakan kegiatan yang kompleks dan rumit karena memerlukan

pengungkapan ide-ide yang jelas, bahasa yang tepat, dan pemahaman tentang orang

yang akan membaca tulisan tersebut.

b. Ciri-ciri Tulisan yang Baik

Setiap tulisan mempunyai komposisi dan takaran sendiri-sendiri dengan apa

yang telah menjadi kelebihan dan kekurangannya. Tulisan yang dihasilkan haruslah

berupa tulisan yang dapat dinikmati pembacanya, sehingga pembaca mengerti apa

yang sedang ia baca dengan begitu penulis berhasil menyampaikan maksud dari apa

yang telah ia tulis. Adanya hal itu menyebabkan sebuah tulisan harus memenuhi

ciri-ciri tulisan yang baik. Selain itu, banyak penyuting dan kritikus yang mempunyai

standar tersendiri sehingga tulisan dapat dikatakan tulisan yang baik. Enre (1988: 8),

menyatakan tulisan yang baik ialah tulisan yang berkomunikasi secara efektif dengan

(6)

Enre (1988: 8-11) menyatakan ciri-ciri tulisan yang baik antara lain sebagai

berikut.

1) Tulisan yang baik selalu bermakna

Tulisan yang baik harus mampu menyatakan sesuatu yang mempunyai makna bagi

seseorang dan memberikan bukti terhadap apa yang dikatakan itu.

2) Tulisan yang baik selalu jelas

Sebuah tulisan dapat disebut jelas jika pembaca yang kepadanya tulisan itu

ditunjukkan dapat membacanya dengan kecepatan yang tetap dan menangkap

maknanya sesudah itu berusaha dengan cara yang wajar.

3) Tulisan yang baik selalu padu dan utuh

Sebuah tulisan dikatakan padu dan utuh jika pembaca dapat mengikutinya dengan

mudah karena ia diorganisasikan dengan jelas menurut suatu perencanaan dan

karena bagian-bagiannya dihubungkan satu dengan yang lain, baik dengan

perantara pola yang mendasar atau dengan kata atau frase penghubung.

4) Tulisan yang baik selalu ekonomis

Penulis yang baik tidak akan membiarkan waktu pembaca hilang dengan sia-sia,

sehingga ia akan membuang semua kata yang berlebihan dari tulisannya.

5) Tulisan yang baik selalu mengikuti kaidah gramatikal

Yang dimaksud dengan tulisan yang memenuhi kaidah gramatikal di sini biasa

(7)

dipakai oleh kebanyakan anggota masyarakat yang berpendidikan dan

mengharapkan orang lain juga menggunakannya dalam komunikasi formal atau

informal, khususnya yang dalam bentuk tulisan.

3. Cerita Pendek

Cerita pendek merupakan cerita yang isinya mengisahkan peristiwa pelaku

cerita secara singkat dan padat tetapi mengandung kesan yang mendalam. Peristiwa

itu nyata atau imajinasi saja (Sukirno, 2013: 83).

Cerita pendek (Cerpen) adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk

pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif, namun pada

umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit

atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5.000 kata. Karena itu, cerita pendek

sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Oleh karena

itu, cerita pendek pada umumnya bertema sederhana. Jumlah tokohnya terbatas. Jalan

ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas (Kosasih,

2003: 222).

Cerita pendek (short story) adalah jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk-beluknya melalui sebuah tulisan pendek.

Adapula yang mendefinisikan cerita pendek adalah salah satu ragam fiksi atau cerita

rekaan yang sering kali disebut kisah prosa pendek. (Soebachman, 2014: 68).

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian cerpen

adalah cerita fiksi (rekaan) yang memiliki ruang lingkup permasalahan serta memiliki

(8)

kesatuan bentuk, dan tidak ada bagian yang tidak perlu (penyajian kehidupan tokoh

yang paling menarik bagi pengarang).

4. Unsur Intrinsik Cerita Pendek

Cerita pendek adalah salah satu jenis prosa yang dibangun oleh dua unsur

penting yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Menurut Nurgiyantoro (2010: 10) cerpen

dibangun oleh unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik cerpen adalah

sebagai berikut.

a. Tema

Tema merupakan inti atau ide dasar sebuah cerita. Dari ide dasar itulah

kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur

intrinsik seperti plot, penokohan dan latar. Tema merupakan pangkal tolak

pengalaman menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya. Tema suatu cerpen

menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, baik itu berupa masalah

kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan sebagainya (Kosasih,

2003: 223).

Tema merupakan unsur cerita yang memberi makna menyeluruh terhadap isi

cerita yang telah disampaikan kepada pembaca (Hidayati, 2009: 45). Menurut

Stanton (2007: 36), mengungkapkan bahwa tema merupakan aspek cerita yang

sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan

suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan

(9)

takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri,

disilusi, atau bahkan usia tua.

b. Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah

cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung

secara kausal saja, yakni peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari

berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada

keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja

seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter,

kilasan-kilasan pemandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang

menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007: 26).

Menurut Hidayati (2009: 97), alur atau plot adalah bagian dari jalan cerita

yang berfungsi memperjelas suatu masalah atau urutan kejadian dan diatur secara

tersusun dan sistematis, serta mengandung hubungan sebab akibat.

Kosasih (2003: 225), menyatakan bahwa Alur (plot) merupakan bagian dari

unsur intrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola pengembangan cerita

yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Pola pengembangan cerita suatu

cerpen tidaklah seragam.

Secara umum jalan cerita terbagi ke dalam bagian-bagian berikut.

1) Pengenalan situasi cerita (exposition)

Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan

(10)

2) Pengungkapan peristiwa (complication)

Dalam bagian ini di sajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai

masalah pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.

3) Menuju pada adanya konflik (rising action)

Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan

berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

4) Puncak konflik (turning pont)

Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar

dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib

beberapa tokohnya .

5) Penyelesaian (ending)

Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib

yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu.

c. Latar

Stanton (2007: 35), latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah

peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa

yang sedang berlangsung. Sedangkan, menurut Hidayati (2009: 37), latar

mengacu pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa dalam plot. Masih menurut

Hidayati (2009: 9), menguatkan bahwa latar tidak hanya berkaitan dengan tempat

(11)

Kosasih (2003: 227), mengatakan bahwa Latar (setting) merupakan salah

satu unsur intrinsik karya sastra. Latar adalah keadaan tempat, waktu, dan

budaya. Tempat dan waktu dirujuk dalam sebuah cerita biasa merupakan sesuatu

yang factual atau bisa pula yang imajiner.

d. Penokohan

Kosasih (2003: 228), mengatakan bahwa Penokohan merupakan salah satu

unsur intrinsik karya sastra. Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan

dan mengembangkan karakter tokoh- tokoh dalam cerita. Untuk menggambarkan

karakter seorang tokoh tersebut, pengarang dapat menggunakan teknik sebagai

berikut.

1) Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarang.

2) Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui :

a) penggambaran fisik dan perilaku tokoh,

b) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh,

c) penggambaran tata kebahasaan tokohh,

d) pengungkapan jalan pikiran tokoh,

e) penggambaran tokoh lain.

e. Sudut Pandang

(12)

1) Berperan langsung sebagai tokoh utama, sebagai tokoh yang terlihat

dalam cerita yang bersangkutan. Tokoh aku atau saya, mungkin

menceritakan sebagian pengalamannya yang dapat ditonjolkan sebagai

bahan cerpen, atau hanya angan-angan belaka.

2) Hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat. Pengarang

mempergunakan kata ia, dia, atau memakai nama orang.

Hidayati (2009: 40-41) menyatakan bahwa pada dasarnya sudut

pandang itu terbagi atas dua bagian, yaitu:

1) Sudut pandang orang pertama, karena pada umumnya pengarang

menggunakan kata ‘Aku’ dalam karangannya.

2) Sudut pandang orang ketiga, karena pengarang jarang menceritakan

dirinya sendiri, tetapi sering memakai dan menunjuk di luar dirinya.

Kedua jenis sudut pandang itu bervariasi. Adapun variasi

penggunaannya itu terbagi dalam pola-pola berikut.

a) Sudut pandang orang pertama, memiliki pola:

(1) Narator – Tokoh utama

Dalam tipe ini pengisah (narator) menceritakan perbuatan atau

tindak-tanduk yang melibatkan dirinya sendiri sebagai partisipan

utama dari seluruh narasi itu.

(2) Narator – Pengamat

Tipe ini pengisah (narator) terlibat dalam seluruh tindakan tetapi

(13)

(3) Narator – Pengamat langsung

Dalam tipe ini pengisah atau narator mengambil bagian langsung

dalam seluruh rangkaian tindakan (sebagai partisipan) dan turut

menentukan hasilnya, tetapi ia tidak menjadi tokoh utama (ia bukan

‘main character’). Ini dianggap sebagai tipe tengah antara tipe a

dan tipe b.

b) Sudut pandang orang ketiga, memiliki pola:

(1) Sudut pandang panoramik atau serba tahu

Dalam tipe ini pengarang berusaha melaporkan semua segi dari

suatu peristiwa atau suatu rangkaian tindak-tanduk. Ia berusaha

untuk langsung menuju ke inti dari semua karakter yang terlibat

dalam seluruh gerak dan kegiatan. Pandangannya menyapu seluruh

ruangan; ia melaporkan apa saja yang menarik perhatian atau apa

saja yang dianggap relevan.

(2) Sudut pandang terarah

Dalam tipe ini pengarang memusatkan perhatiannya hanya pada

satu karakter saja yang mempunyai pertalian dengan proses atau

tindak-tanduk yang dikisahkan. Tentu saja ia haus mengetahui

seluruh hal yang menyangkut karakter yang ditetapkannya menjadi

fokus perhatiannya itu.

(14)

Tipe ini sebenarnya mengandung kedua macam sudut pandang di

atas. Percampuran ini tidak terbatas antara kedua sudut di atas,

tetapi dapat juga terjadi kombinasi antara tipe ini dengan sudut

pandang orang pertama.

f. Amanat

Kosasih (2003: 230), mengungkapkan bahwa Amanat merupakan

ajaran moral atau pesan dikatis yang hendak disampaikan pengarang kepada

pembaca melalui karyanya itu. Tidak jauh berbeda dengan bentuk cerita lainnya,

amanat dalam cerpen akan disimpan rapat dan disembunyikan pengarangnya

dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukannya, tidak cukup

hanya membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus menghabiskannya

sampai tuntas.

g. Gaya Bahasa

Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu

nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu

memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesame tokoh. Kemampuan sang

penulis mempergunakan bahasa secara cermat dalam menjelmakan suatu suasana

yang berterus terang atau satiris, simpatik, atau menjengkelkan, objektif, atau

emosional (Kosasih, 2003: 229).

5. Pendekatan Kontekstual

(15)

CTL (Contextual Teaching and Learning ) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil

pembelajaran dihadapkan lebihh bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran

berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,

bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih

dipentingkan daripada hasil (Sholeh, 2014: 193).

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah belajar yang

menekankan bahwa belajar tidak sekedar menghafal. Peserta didik

mengkontruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Pengetahuan tidak

bisa dipisah-pisahkan menjadi fakta. (Yamin, 2013: 47).

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara

penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan

menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong

siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.(Sanjaya, 2010:

255)

Pendekatan kontekstual merupakan suatu kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang lebih mengedepankan idealitas

(16)

yang efektif dan efisien. Idealitas pembelajaran dimaksudkan melaksanakan

proses pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada upaya pemberdayaan

siswa bukan penindasan terhadap siswa baik penindasan secara intelektual,

sosial maupun budaya (Muchith, 2008: 2).

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan

situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja. Hal ini menunjukan

bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan

penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam

konteks dunia nyata. Siswa menginternalisasi konsep melalui penemuan,

penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual menuntut guru

mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk

pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan (Komalasari, 2013: 6).

Berdasarkan beberapa definisi pendekatan kontekstual tersebut dapat

disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran

yang mengaitkan antara materi yang dipelajarai dengan kehidupan nyata siswa

sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun

warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi

kehidupannya. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu metode pembelajaran

(17)

dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait

dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba,

melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak

sekedar di lihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses.

b. Karakteristik Pendekatan Kontekstual

Menurut Sholeh (2014: 197-198) mengungkapkan bahwa pendekatan

kontekstual sebagai sebuah pendekatan yang efektif memiliki karakteristik

tersendiri, antara lain sebagai berikut.

1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan

yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian

pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh

yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

2) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh

dan menambah pengetahuan baru (aquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan

mempelajari secara utuh, kemudian memperhatikan detailnya.

3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge). Artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafalkan tetapi untuk dipahami dan diyakini,

(18)

pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru

pengetahuan itu dikembangkan.

4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan

perilaku siswa.

5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses

perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Menurut Sanjaya (2010: 256) mengungkapkan bahwa pendekatan

kontekstual terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran

yaitu sebagai berikut.

1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan

yang sudah ada (activating knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian

pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh

yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

2) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh

dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).

3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge ), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafalkan tetapi untuk

(19)

4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge ), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak

perubahan perilaku siswa.

5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge ) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik

untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Menurut Komalasari (2013: 7-8) mengungkapkan bahwa pendekatan

kontekstual memiliki beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya

dengan pembelajaran yang lain. Terdapat delapan karakteristik Contextual

teaching and learning, yaitu:

1) Making meaningful connections (membuat penuh makna)

Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar aktif dalam

mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja

sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar

sambil berbuat (learning by doing).

2) Doing significant work (melakukan pekerjaan penting)

Siswa membuat hubungan-hubungan antar sekolah dan berbagai konteks

yang ada dalam kehidupan nyata sebagai anggota masyarakat.

(20)

Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada

urusannya dengan orang lain, ada hubungan dengan penentuan pilihan,

dan ada produk/hasilnya yang sifatnya nyata.

4) Collaborating (kerjasama)

Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif

dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling

mempengaruhi dan saling berkomunikasi.

5) Critical and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif)

Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis

dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah,

membuat keputusan, dan menggunakan bukti-bukti dan logika.

6) Nurturing the individual (memelihara individu)

Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, member

harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri.

7) Using authentic assessment (penggunaan penilaian sebenarnya)

Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi

tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan

kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excel lence”.

8) Using authentic (mengadakan asesmen autentik)

Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata

(21)

c. Proses Pendekatan Kontekstual

Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL,

terlebih dahulu guru harus membuat desain/ skenario pembelajaran sebagai

pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya.

Menurut Yamin (2013: 51)mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran

dengan CTL adalah sebagai berikut.

1) Persiapan/Pembukaan

a) Pembelajaran mengingatkan kepada peserta didik tentang materi

pembelajaran yang lalu dan mengaitkan dengan materi pembelajaran

yang akan dipelajarai terutama tentang tata cara pemecahan masalah.

b) Pembelajar menyatakan tujuan pembelajaran.

c) Peserta didik memperhatikan tujuan belajar tidak hanya untuk

menguasai materi pelajaran, tetapi juga untuk mempelajari stategi

memahami masalah.

2) Penyajian

a) Pembelajar mengemukakan masalah, memberi contoh bagaimana cara

memecahkan masalah, merumuskan masalah, menyelesaikan masalah,

menjawab masalah, dan mengaitkan dengan kehidupan dunia nyata.

b) Peserta didik dan pembelajar membuat generalisasi dan menggunakan

alat-alat pemecahan masalah.

(22)

d) Peserta didik melakukan penguatan internal terhadap materi.

e) Pembelajar mendorong peserta didik untuk menghasilkan jawaban

kritis dan kreatif.

f) Peserta didik membuat kesimpulan terhadap materi yang dipelajari.

3) Penutup

a) Pembelajaran memberikan penguatan terhadap kesimpulan yang dibuat

peserta didik.

b) Peserta didik meneguhkan kesimpulansesuai penguatan yang diberikan

pembelajar.

c) Peserta didik mengerjakan tes atau tugas yang diberikan pembelajar.

d) Pembelajar membuat kesimpulan hasil proses belajar.

B. Penelitian yang Relevan

Pada bagian ini peneliti mengemukakan beberapa hasil penelitian yang

mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Penelitian yang tengah dilakukan oleh

Wasono Ardi Saputro (2013) tentang Efektifitas Penerapan Pendekatan Contextual

Teaching Learning (CTL) Berbasis Berita di Koran dalam Pembelajaran Menulis

Cerpen. Hasilnya menunjukan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching

Learning (CTL) berbasis berita di koran dalam pembelajaran menulis cerpen

(23)

Siswa dapat melengkapi aspek formal cerpen (judul, nama pengarang,

dialog, narasi); dapat melengkapi unsure intrinsik cerpen (plot, tokoh, latar, sudut

pandang, pengembangan tema); dapat memadukan struktur cerpen (kaidah plot,

dimensi tokoh, dimensi latar); dapat menggunakan bahasa cerpen (kaidah EYD,

ketetapan penulisan, ragam bahasa). Siswa lebih aktif, inovatif, kreatif, pembelajaran

lebih efektif, dan menyenangkan, hal ini dibuktikan dengan hasil analisis kuantitatif

menunjukan bahwa nilai ( t hitung = 8,149 > t tabel = 1,997) dengan taraf signifikan

= 0,05 dan df = 66. Dengan demikian kesimpulannya adalah terdapat pengaruh

signifikan penggunaan pendekatan Contextual Teaching Lerning (CTL) berbasis

berita di Koran terhadap kemampuan menulis cerpen pada siswa kelas XII SMA

Negeri Patikraja Banyumas.

Penelitian lain oleh Wahyuniati (2013) tentang Keefektifan Model

Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Narasi. Berdasarkan pengujian

statistik menggunakan uji t diperoleh nilai t hitung = 2,986 pada taraf signifikansi =

0,05 dan df = 62, dengan nilai t tabel = 1,99 berarti t hitung > t tabel (2,986 > 1,99).

Hal ini menunjukan adanya perbedaan peningkatan kemampuan menulis narasi siswa

kelas eksperimen dengan kelas kontrol setelah menggunakan pendekatan model

pembelajaran kontekstual. Peningkatan kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan

dengan kelas kontrol. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan model

pembelajaran kontekstual lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan menulis

(24)

Dengan demikian ada relevansi dari penelitian di atas dengan penelitian ini

karena meneliti variabel yang sama yaitu pendekatan kontekstual. Terdapat

kesamaaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah tentang aspek bahasa

yang akan diteliti yaitu aspek menulis. Selain ada persamaan, terdapat juga perbedaan

aspek materi yang digunakan yang digunakan berbeda. Pada penelitian kesatu

menggunakan materi cerpen berbasis berita di Koran, penelitian kedua menggunakan

karangan berjenis narasi, sedangkan materi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah materi cerpen bertema pengalaman pribadi.

C. Kerangka Teori

Kemampuan menulis sebagai salah satu dari empat kemampuan berbahasa

yang mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan kemampuan lainnya.

Dengan kemampuan menulis yang baik, diharapkan para peserta didik dapat

meningkatkan kualitas tulisannya.

Peserta didik diharapkan dapat memunculkan minat dan kemampuan

menulis yang baik, melalui pelatihan menulis cerpen. Penelitian ini berawal dari

pandangan peneliti, bahwa siswa mengalami kesulitan ketika akan menulis cerpen.

Dalam menulis cerpen, peserta didik diharapkan, cerpen yang ditulis terdapat aspek

formal cerpen, unsur instrinsik cerpen, struktur cerpen, dan penggunaan bahasa pada

cerpen. Peneliti memilih pendekatan yang diharapkan dapat mengatasi kesulitan

(25)

Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kontekstual. Dengan pendekatan

kontekstual ini, diharapkan minat siswa dalam menulis cerpen dan kemampuan

siswa dalam menulis cerpen akan lebih baik jika di bandingkan dengan hasil belajar

siswa yang tidak menggunakan pendekatan kontekstual. Kerangka teori dalam

penelitian ini dapat dijelaskan melalui gambar sebagai berikut.

(26)

D. Hipotesis Penelitian

Rumusan hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Ha : Pendekatan kontekstual berpengaruh dalam meningkatkan minat

menulis cerpen siswa kelas IX SMP Purnama Sumpiuh.

Ho : Pendekatan kontekstual tidak berpengaruh dalam meningkatkan

minat menulis cerpen siswa kelas IX SMP Purnama Sumpiuh.

2. Ha : Pendekatan kontekstual berpengaruh dalam meningkatkan

kemampuan menulis cerpen siswa kelas IX SMP Purnama Sumpiuh.

Ho : Pendekatan kontekstual tidak berpengaruh dalam meningkatkan

Gambar

Gambar atau lukisan mungkin dapat menyampaikan makna-makna, tetapi tidak
Gambar. 2.1 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

Therefore the study will focus on the service and promotion variables, and their influence on customers’ decision in taking credit for SMEs from the banking sector in Jakarta

If you intend to download and install the Wide Sargasso Sea By Jean RHYS, it is extremely simple after that, since currently we proffer the connect to acquire and make deals to

Bagi orang modern seni dalam arti yang luas merupakan kebutuhan sebagai sarana proses penyadaran manusia, bahwa hidup bukan semata- mata kenyataan matematis tetapi

Die Studien- und Prüfungsordnung der Rechtswissenschaftlichen Fakultät für den Studiengang Rechtswissenschaft der Universität zu Köln vom 15. bb) Hinter dem Wort

Dari hasil perhitungan didapat persamaan regresi bergandanya : y = 153,45 + 31,9x1 + 76,4x2 ini berarti, jika perusahaan tidak mengeluarkan biaya untuk promosi maka hasil penjualan

Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara yang telah mengijinkan penulis melakukan observasi di perpustakaan tersebut, serta seluruh pustakawan

menyelipkan label di antara header layer kedua dan layer ketiga pada paket yang diteruskan yang dikenal dengan mekanisme forwarding berdasarkan label, yakni. setiap paket data

ULAR / BAGI SEBAGIAN ORANG BELUT / DIANGGAP MENAKUTKAN // NAMUN DITANGAN BUDI UTOMO / BINATANG LICIN INI BISA DIBUAT CAMILAN //. TIDAK HANYA ENAK DIGORENG /