BAB II
KAJIAN TEORETIK
Pada bab ini diuraikan landasan teori yang meliputi deskripsi konseptual
(minat, menulis, cerita pendek, unsur-unsur intrinsik cerita pendek, dan pendekatan
kontekstual), penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis.
A. Deskripsi Konseptual 1. Minat
Minat atau sering disebut interest merupakan gambaran sifat dan sikap ingin memiliki kecenderungan tertentu. Minat ini juga diartikan kecenderungan hati yang
tinggi terhadap sesuatu dan keinginan yang kuat untuk melaksanakan sesuatu. Minat
bukan bawaan dari lahir, melainkan dapat dipengaruhi oleh bakat. Minat harus dibina
agar tumbuh dan terasa sehingga menjadi kebiasaan.
Menurut Djamarah (2008: 166) minat adalah kecenderungan yang menetap
untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas. Seseorang yang berminat
terhadap suatu aktivitas akan memperhatikan aktivitas itu secara konsisten dan
dengan rasa senang yang dapat menumbuhkan suatu rasa lebih suka dan rasa
ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyeluruh.
Menurut Slameto (2010: 57) minat adalah kecenderungan yang tetap untuk
memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati
seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa senang. Jadi berbeda
diikuti dengan perasaan senang, sedangkan minat selalu diikuti dengan perasaan
senang dan dari situ diperoleh kepuasaan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar,
karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa
tidak akan belajar denga sebaik-baipknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Ia
segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu. Bahan
pelajaran yang menarik minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan, karena
minat menambah kegiatan belajar.
Menurut Winkel (Prasetyono, 2008: 50) minat adalah kecenderungan yang agak
menetap dan subjek merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa senang
berkecimpung dalam bidang itu. Jika dalam hati ada perasaan senang, biasanya akan
menimbulkan minat. Suatu keadaan dimana seseorang mempunyai perhatian terhadap
suatu objek, disertai dengan keinginan untuk mengetahui dan mempelajari, dan
akhirnya dibuktikan lebih lanjut dengan objek tertentu. Dapat dikatakan bahwa
timbulnya minat itu dikarenakan adanya perasaan senang atau adanya rasa
ketertarikan terhadap objek yang dipilihhnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat tiga batasan minat, yakni (1)
suatu sikap yang dapat mengikat perhatian seseorang kearah obyek tertentu secara
selektif, (2) suatu perasaan bahwa aktivitas dan kegemaran terhadap obyek tertentu
sangat berharga bagi individu, dan (3) minat atau kesiapan yang membawa tingkah
Terdapat tiga faktor yang mendasari timbulnya minat adalah sebagai berikut.
a. Faktor dorongan dalam: dorongan dari individu itu sendiri, sehingga timbul
minat untuk melakukan aktivitas atau tindakan tertentu untuk memenuhinya.
Misalnya untuk dorongan makan, menimbulkan minat untuk mencari makan.
b. Faktor motivasi sosial: faktor ini merupakan faktor untuk melakukan sesuatu
aktivitas agar dapat diterima dan diakui oleh lingkungannya. Minat ini
merupakan semacam kompromi pihak individu dengan lingkungan sosialnya.
Misalnya, minat pada studi karena ingin mendapat penghargaan dari orang
tuanya.
c. Faktor emosional: minat erat hubungannya dengan emosi karena faktor ini selalu
menyertai seseorang dalam berhubungan dengan objek minatnya. Kesuksesan
seseorang pada suatu aktivitas disebabkan karena aktivitas tersebut menimbulkan
perasaan suka atau puas, sedangkan kegagalan akan menimbulkan perasaan tidak
senang dan mengurangi minat seseorang terhadap kegiatan yang bersangkutan
(Drever dalam Herliana, 2009: 41-42).
Aspek minat terdiri atas aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa
konsep positif terhadap suatu objek dan berpusat pada manfaat dari objek tersebut.
Aspek afektif tampak dalam rasa suka atau tidak suka dan kepuasan pribadi terhadap
2. Menulis
a. Hakikat Menulis
Menulis adalah salah satu jenis keterampilan berbahasa yang dimiliki dan
digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi tidak langsung antara mereka. Hal
ini terjadi karena dalam kenyataan hidup bermasyarakat, kontak komunikasi itu tidak
selalu dilakukan dengan tatap muka. Kegiatan menulis baru dapat tertulis, setelah
manusia “belajar” dahulu mengenai bahasa tertulis karena keterampilan ini berbeda
dengan keterampilan menyimak dan berbicara yang dimiliki manusia normal sejak
lahir. Dengan perkataan lain, menulis merupakan keterampillan berbahasa yang tidak
sederhana. (Syamsuddin A.R., 2011: 1-2).
Sedangkan menurut Soebacman (2014: 10) mengemukakan bahwa menulis
adalah kemampuan yang juga Anda pelajari saat pertama kali mengenal huruf dan
belajar kata-kata baru.
Menulis merupakan suatu proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam
lambang-lambang tulisan. Dalam menulis memiliki aspek utama. Yang pertama,
adanya tujuan dan maksud tertentu yang henpdak dicapai. Kedua, adanya gagasan
sesuatu yang hendak dikomunikasikan. Ketiga, adanya sistem pemindahan gagasan
itu, yaitu berupa sistem bahasa (Semi, 2007: 14).
Menurut Tarigan (2008: 22), mengungkapkan bahwa menulis ialah menurunkan
atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang
dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca
Gambar atau lukisan mungkin dapat menyampaikan makna-makna, tetapi tidak
menggambarkan kesatuan-kesatuan bahasa. Menulis merupakan suatu representasi
bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Berkaitan dengan
pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa menulis adalah kemampuan
berkomunikasi verbal dengan melibatkan unsur penulis sebagai penyampai pesan,
pesan atau isi tulisan, saluran atau medium tulisan, dan pembaca sebagai penerima
pesan. Menulis merupakan kegiatan yang kompleks dan rumit karena memerlukan
pengungkapan ide-ide yang jelas, bahasa yang tepat, dan pemahaman tentang orang
yang akan membaca tulisan tersebut.
b. Ciri-ciri Tulisan yang Baik
Setiap tulisan mempunyai komposisi dan takaran sendiri-sendiri dengan apa
yang telah menjadi kelebihan dan kekurangannya. Tulisan yang dihasilkan haruslah
berupa tulisan yang dapat dinikmati pembacanya, sehingga pembaca mengerti apa
yang sedang ia baca dengan begitu penulis berhasil menyampaikan maksud dari apa
yang telah ia tulis. Adanya hal itu menyebabkan sebuah tulisan harus memenuhi
ciri-ciri tulisan yang baik. Selain itu, banyak penyuting dan kritikus yang mempunyai
standar tersendiri sehingga tulisan dapat dikatakan tulisan yang baik. Enre (1988: 8),
menyatakan tulisan yang baik ialah tulisan yang berkomunikasi secara efektif dengan
Enre (1988: 8-11) menyatakan ciri-ciri tulisan yang baik antara lain sebagai
berikut.
1) Tulisan yang baik selalu bermakna
Tulisan yang baik harus mampu menyatakan sesuatu yang mempunyai makna bagi
seseorang dan memberikan bukti terhadap apa yang dikatakan itu.
2) Tulisan yang baik selalu jelas
Sebuah tulisan dapat disebut jelas jika pembaca yang kepadanya tulisan itu
ditunjukkan dapat membacanya dengan kecepatan yang tetap dan menangkap
maknanya sesudah itu berusaha dengan cara yang wajar.
3) Tulisan yang baik selalu padu dan utuh
Sebuah tulisan dikatakan padu dan utuh jika pembaca dapat mengikutinya dengan
mudah karena ia diorganisasikan dengan jelas menurut suatu perencanaan dan
karena bagian-bagiannya dihubungkan satu dengan yang lain, baik dengan
perantara pola yang mendasar atau dengan kata atau frase penghubung.
4) Tulisan yang baik selalu ekonomis
Penulis yang baik tidak akan membiarkan waktu pembaca hilang dengan sia-sia,
sehingga ia akan membuang semua kata yang berlebihan dari tulisannya.
5) Tulisan yang baik selalu mengikuti kaidah gramatikal
Yang dimaksud dengan tulisan yang memenuhi kaidah gramatikal di sini biasa
dipakai oleh kebanyakan anggota masyarakat yang berpendidikan dan
mengharapkan orang lain juga menggunakannya dalam komunikasi formal atau
informal, khususnya yang dalam bentuk tulisan.
3. Cerita Pendek
Cerita pendek merupakan cerita yang isinya mengisahkan peristiwa pelaku
cerita secara singkat dan padat tetapi mengandung kesan yang mendalam. Peristiwa
itu nyata atau imajinasi saja (Sukirno, 2013: 83).
Cerita pendek (Cerpen) adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk
pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif, namun pada
umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit
atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5.000 kata. Karena itu, cerita pendek
sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Oleh karena
itu, cerita pendek pada umumnya bertema sederhana. Jumlah tokohnya terbatas. Jalan
ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas (Kosasih,
2003: 222).
Cerita pendek (short story) adalah jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk-beluknya melalui sebuah tulisan pendek.
Adapula yang mendefinisikan cerita pendek adalah salah satu ragam fiksi atau cerita
rekaan yang sering kali disebut kisah prosa pendek. (Soebachman, 2014: 68).
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian cerpen
adalah cerita fiksi (rekaan) yang memiliki ruang lingkup permasalahan serta memiliki
kesatuan bentuk, dan tidak ada bagian yang tidak perlu (penyajian kehidupan tokoh
yang paling menarik bagi pengarang).
4. Unsur Intrinsik Cerita Pendek
Cerita pendek adalah salah satu jenis prosa yang dibangun oleh dua unsur
penting yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Menurut Nurgiyantoro (2010: 10) cerpen
dibangun oleh unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik cerpen adalah
sebagai berikut.
a. Tema
Tema merupakan inti atau ide dasar sebuah cerita. Dari ide dasar itulah
kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur
intrinsik seperti plot, penokohan dan latar. Tema merupakan pangkal tolak
pengalaman menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya. Tema suatu cerpen
menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, baik itu berupa masalah
kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan sebagainya (Kosasih,
2003: 223).
Tema merupakan unsur cerita yang memberi makna menyeluruh terhadap isi
cerita yang telah disampaikan kepada pembaca (Hidayati, 2009: 45). Menurut
Stanton (2007: 36), mengungkapkan bahwa tema merupakan aspek cerita yang
sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan
suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan
takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri,
disilusi, atau bahkan usia tua.
b. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung
secara kausal saja, yakni peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari
berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada
keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja
seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter,
kilasan-kilasan pemandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang
menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007: 26).
Menurut Hidayati (2009: 97), alur atau plot adalah bagian dari jalan cerita
yang berfungsi memperjelas suatu masalah atau urutan kejadian dan diatur secara
tersusun dan sistematis, serta mengandung hubungan sebab akibat.
Kosasih (2003: 225), menyatakan bahwa Alur (plot) merupakan bagian dari
unsur intrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola pengembangan cerita
yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Pola pengembangan cerita suatu
cerpen tidaklah seragam.
Secara umum jalan cerita terbagi ke dalam bagian-bagian berikut.
1) Pengenalan situasi cerita (exposition)
Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan
2) Pengungkapan peristiwa (complication)
Dalam bagian ini di sajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai
masalah pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
3) Menuju pada adanya konflik (rising action)
Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan
berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.
4) Puncak konflik (turning pont)
Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar
dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib
beberapa tokohnya .
5) Penyelesaian (ending)
Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib
yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu.
c. Latar
Stanton (2007: 35), latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung. Sedangkan, menurut Hidayati (2009: 37), latar
mengacu pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa dalam plot. Masih menurut
Hidayati (2009: 9), menguatkan bahwa latar tidak hanya berkaitan dengan tempat
Kosasih (2003: 227), mengatakan bahwa Latar (setting) merupakan salah
satu unsur intrinsik karya sastra. Latar adalah keadaan tempat, waktu, dan
budaya. Tempat dan waktu dirujuk dalam sebuah cerita biasa merupakan sesuatu
yang factual atau bisa pula yang imajiner.
d. Penokohan
Kosasih (2003: 228), mengatakan bahwa Penokohan merupakan salah satu
unsur intrinsik karya sastra. Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan
dan mengembangkan karakter tokoh- tokoh dalam cerita. Untuk menggambarkan
karakter seorang tokoh tersebut, pengarang dapat menggunakan teknik sebagai
berikut.
1) Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarang.
2) Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui :
a) penggambaran fisik dan perilaku tokoh,
b) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh,
c) penggambaran tata kebahasaan tokohh,
d) pengungkapan jalan pikiran tokoh,
e) penggambaran tokoh lain.
e. Sudut Pandang
1) Berperan langsung sebagai tokoh utama, sebagai tokoh yang terlihat
dalam cerita yang bersangkutan. Tokoh aku atau saya, mungkin
menceritakan sebagian pengalamannya yang dapat ditonjolkan sebagai
bahan cerpen, atau hanya angan-angan belaka.
2) Hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat. Pengarang
mempergunakan kata ia, dia, atau memakai nama orang.
Hidayati (2009: 40-41) menyatakan bahwa pada dasarnya sudut
pandang itu terbagi atas dua bagian, yaitu:
1) Sudut pandang orang pertama, karena pada umumnya pengarang
menggunakan kata ‘Aku’ dalam karangannya.
2) Sudut pandang orang ketiga, karena pengarang jarang menceritakan
dirinya sendiri, tetapi sering memakai dan menunjuk di luar dirinya.
Kedua jenis sudut pandang itu bervariasi. Adapun variasi
penggunaannya itu terbagi dalam pola-pola berikut.
a) Sudut pandang orang pertama, memiliki pola:
(1) Narator – Tokoh utama
Dalam tipe ini pengisah (narator) menceritakan perbuatan atau
tindak-tanduk yang melibatkan dirinya sendiri sebagai partisipan
utama dari seluruh narasi itu.
(2) Narator – Pengamat
Tipe ini pengisah (narator) terlibat dalam seluruh tindakan tetapi
(3) Narator – Pengamat langsung
Dalam tipe ini pengisah atau narator mengambil bagian langsung
dalam seluruh rangkaian tindakan (sebagai partisipan) dan turut
menentukan hasilnya, tetapi ia tidak menjadi tokoh utama (ia bukan
‘main character’). Ini dianggap sebagai tipe tengah antara tipe a
dan tipe b.
b) Sudut pandang orang ketiga, memiliki pola:
(1) Sudut pandang panoramik atau serba tahu
Dalam tipe ini pengarang berusaha melaporkan semua segi dari
suatu peristiwa atau suatu rangkaian tindak-tanduk. Ia berusaha
untuk langsung menuju ke inti dari semua karakter yang terlibat
dalam seluruh gerak dan kegiatan. Pandangannya menyapu seluruh
ruangan; ia melaporkan apa saja yang menarik perhatian atau apa
saja yang dianggap relevan.
(2) Sudut pandang terarah
Dalam tipe ini pengarang memusatkan perhatiannya hanya pada
satu karakter saja yang mempunyai pertalian dengan proses atau
tindak-tanduk yang dikisahkan. Tentu saja ia haus mengetahui
seluruh hal yang menyangkut karakter yang ditetapkannya menjadi
fokus perhatiannya itu.
Tipe ini sebenarnya mengandung kedua macam sudut pandang di
atas. Percampuran ini tidak terbatas antara kedua sudut di atas,
tetapi dapat juga terjadi kombinasi antara tipe ini dengan sudut
pandang orang pertama.
f. Amanat
Kosasih (2003: 230), mengungkapkan bahwa Amanat merupakan
ajaran moral atau pesan dikatis yang hendak disampaikan pengarang kepada
pembaca melalui karyanya itu. Tidak jauh berbeda dengan bentuk cerita lainnya,
amanat dalam cerpen akan disimpan rapat dan disembunyikan pengarangnya
dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukannya, tidak cukup
hanya membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus menghabiskannya
sampai tuntas.
g. Gaya Bahasa
Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu
nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu
memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesame tokoh. Kemampuan sang
penulis mempergunakan bahasa secara cermat dalam menjelmakan suatu suasana
yang berterus terang atau satiris, simpatik, atau menjengkelkan, objektif, atau
emosional (Kosasih, 2003: 229).
5. Pendekatan Kontekstual
CTL (Contextual Teaching and Learning ) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran dihadapkan lebihh bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,
bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil (Sholeh, 2014: 193).
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak sekedar menghafal. Peserta didik
mengkontruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Pengetahuan tidak
bisa dipisah-pisahkan menjadi fakta. (Yamin, 2013: 47).
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.(Sanjaya, 2010:
255)
Pendekatan kontekstual merupakan suatu kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang lebih mengedepankan idealitas
yang efektif dan efisien. Idealitas pembelajaran dimaksudkan melaksanakan
proses pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada upaya pemberdayaan
siswa bukan penindasan terhadap siswa baik penindasan secara intelektual,
sosial maupun budaya (Muchith, 2008: 2).
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja. Hal ini menunjukan
bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan
penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam
konteks dunia nyata. Siswa menginternalisasi konsep melalui penemuan,
penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual menuntut guru
mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk
pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan (Komalasari, 2013: 6).
Berdasarkan beberapa definisi pendekatan kontekstual tersebut dapat
disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran
yang mengaitkan antara materi yang dipelajarai dengan kehidupan nyata siswa
sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun
warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi
kehidupannya. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu metode pembelajaran
dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait
dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba,
melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak
sekedar di lihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses.
b. Karakteristik Pendekatan Kontekstual
Menurut Sholeh (2014: 197-198) mengungkapkan bahwa pendekatan
kontekstual sebagai sebuah pendekatan yang efektif memiliki karakteristik
tersendiri, antara lain sebagai berikut.
1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh
yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru (aquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan
mempelajari secara utuh, kemudian memperhatikan detailnya.
3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge). Artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafalkan tetapi untuk dipahami dan diyakini,
pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru
pengetahuan itu dikembangkan.
4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan
perilaku siswa.
5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses
perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Menurut Sanjaya (2010: 256) mengungkapkan bahwa pendekatan
kontekstual terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran
yaitu sebagai berikut.
1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activating knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh
yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).
3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge ), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafalkan tetapi untuk
4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge ), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak
perubahan perilaku siswa.
5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge ) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik
untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Menurut Komalasari (2013: 7-8) mengungkapkan bahwa pendekatan
kontekstual memiliki beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya
dengan pembelajaran yang lain. Terdapat delapan karakteristik Contextual
teaching and learning, yaitu:
1) Making meaningful connections (membuat penuh makna)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar aktif dalam
mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja
sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar
sambil berbuat (learning by doing).
2) Doing significant work (melakukan pekerjaan penting)
Siswa membuat hubungan-hubungan antar sekolah dan berbagai konteks
yang ada dalam kehidupan nyata sebagai anggota masyarakat.
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada
urusannya dengan orang lain, ada hubungan dengan penentuan pilihan,
dan ada produk/hasilnya yang sifatnya nyata.
4) Collaborating (kerjasama)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif
dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling
mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
5) Critical and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif)
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis
dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah,
membuat keputusan, dan menggunakan bukti-bukti dan logika.
6) Nurturing the individual (memelihara individu)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, member
harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri.
7) Using authentic assessment (penggunaan penilaian sebenarnya)
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi
tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan
kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excel lence”.
8) Using authentic (mengadakan asesmen autentik)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata
c. Proses Pendekatan Kontekstual
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL,
terlebih dahulu guru harus membuat desain/ skenario pembelajaran sebagai
pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya.
Menurut Yamin (2013: 51)mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran
dengan CTL adalah sebagai berikut.
1) Persiapan/Pembukaan
a) Pembelajaran mengingatkan kepada peserta didik tentang materi
pembelajaran yang lalu dan mengaitkan dengan materi pembelajaran
yang akan dipelajarai terutama tentang tata cara pemecahan masalah.
b) Pembelajar menyatakan tujuan pembelajaran.
c) Peserta didik memperhatikan tujuan belajar tidak hanya untuk
menguasai materi pelajaran, tetapi juga untuk mempelajari stategi
memahami masalah.
2) Penyajian
a) Pembelajar mengemukakan masalah, memberi contoh bagaimana cara
memecahkan masalah, merumuskan masalah, menyelesaikan masalah,
menjawab masalah, dan mengaitkan dengan kehidupan dunia nyata.
b) Peserta didik dan pembelajar membuat generalisasi dan menggunakan
alat-alat pemecahan masalah.
d) Peserta didik melakukan penguatan internal terhadap materi.
e) Pembelajar mendorong peserta didik untuk menghasilkan jawaban
kritis dan kreatif.
f) Peserta didik membuat kesimpulan terhadap materi yang dipelajari.
3) Penutup
a) Pembelajaran memberikan penguatan terhadap kesimpulan yang dibuat
peserta didik.
b) Peserta didik meneguhkan kesimpulansesuai penguatan yang diberikan
pembelajar.
c) Peserta didik mengerjakan tes atau tugas yang diberikan pembelajar.
d) Pembelajar membuat kesimpulan hasil proses belajar.
B. Penelitian yang Relevan
Pada bagian ini peneliti mengemukakan beberapa hasil penelitian yang
mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Penelitian yang tengah dilakukan oleh
Wasono Ardi Saputro (2013) tentang Efektifitas Penerapan Pendekatan Contextual
Teaching Learning (CTL) Berbasis Berita di Koran dalam Pembelajaran Menulis
Cerpen. Hasilnya menunjukan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching
Learning (CTL) berbasis berita di koran dalam pembelajaran menulis cerpen
Siswa dapat melengkapi aspek formal cerpen (judul, nama pengarang,
dialog, narasi); dapat melengkapi unsure intrinsik cerpen (plot, tokoh, latar, sudut
pandang, pengembangan tema); dapat memadukan struktur cerpen (kaidah plot,
dimensi tokoh, dimensi latar); dapat menggunakan bahasa cerpen (kaidah EYD,
ketetapan penulisan, ragam bahasa). Siswa lebih aktif, inovatif, kreatif, pembelajaran
lebih efektif, dan menyenangkan, hal ini dibuktikan dengan hasil analisis kuantitatif
menunjukan bahwa nilai ( t hitung = 8,149 > t tabel = 1,997) dengan taraf signifikan
= 0,05 dan df = 66. Dengan demikian kesimpulannya adalah terdapat pengaruh
signifikan penggunaan pendekatan Contextual Teaching Lerning (CTL) berbasis
berita di Koran terhadap kemampuan menulis cerpen pada siswa kelas XII SMA
Negeri Patikraja Banyumas.
Penelitian lain oleh Wahyuniati (2013) tentang Keefektifan Model
Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Narasi. Berdasarkan pengujian
statistik menggunakan uji t diperoleh nilai t hitung = 2,986 pada taraf signifikansi =
0,05 dan df = 62, dengan nilai t tabel = 1,99 berarti t hitung > t tabel (2,986 > 1,99).
Hal ini menunjukan adanya perbedaan peningkatan kemampuan menulis narasi siswa
kelas eksperimen dengan kelas kontrol setelah menggunakan pendekatan model
pembelajaran kontekstual. Peningkatan kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
dengan kelas kontrol. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan model
pembelajaran kontekstual lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan menulis
Dengan demikian ada relevansi dari penelitian di atas dengan penelitian ini
karena meneliti variabel yang sama yaitu pendekatan kontekstual. Terdapat
kesamaaan antara penelitian di atas dengan penelitian ini adalah tentang aspek bahasa
yang akan diteliti yaitu aspek menulis. Selain ada persamaan, terdapat juga perbedaan
aspek materi yang digunakan yang digunakan berbeda. Pada penelitian kesatu
menggunakan materi cerpen berbasis berita di Koran, penelitian kedua menggunakan
karangan berjenis narasi, sedangkan materi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah materi cerpen bertema pengalaman pribadi.
C. Kerangka Teori
Kemampuan menulis sebagai salah satu dari empat kemampuan berbahasa
yang mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan kemampuan lainnya.
Dengan kemampuan menulis yang baik, diharapkan para peserta didik dapat
meningkatkan kualitas tulisannya.
Peserta didik diharapkan dapat memunculkan minat dan kemampuan
menulis yang baik, melalui pelatihan menulis cerpen. Penelitian ini berawal dari
pandangan peneliti, bahwa siswa mengalami kesulitan ketika akan menulis cerpen.
Dalam menulis cerpen, peserta didik diharapkan, cerpen yang ditulis terdapat aspek
formal cerpen, unsur instrinsik cerpen, struktur cerpen, dan penggunaan bahasa pada
cerpen. Peneliti memilih pendekatan yang diharapkan dapat mengatasi kesulitan
Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kontekstual. Dengan pendekatan
kontekstual ini, diharapkan minat siswa dalam menulis cerpen dan kemampuan
siswa dalam menulis cerpen akan lebih baik jika di bandingkan dengan hasil belajar
siswa yang tidak menggunakan pendekatan kontekstual. Kerangka teori dalam
penelitian ini dapat dijelaskan melalui gambar sebagai berikut.
D. Hipotesis Penelitian
Rumusan hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Ha : Pendekatan kontekstual berpengaruh dalam meningkatkan minat
menulis cerpen siswa kelas IX SMP Purnama Sumpiuh.
Ho : Pendekatan kontekstual tidak berpengaruh dalam meningkatkan
minat menulis cerpen siswa kelas IX SMP Purnama Sumpiuh.
2. Ha : Pendekatan kontekstual berpengaruh dalam meningkatkan
kemampuan menulis cerpen siswa kelas IX SMP Purnama Sumpiuh.
Ho : Pendekatan kontekstual tidak berpengaruh dalam meningkatkan