• Tidak ada hasil yang ditemukan

GANGGUAN SINOPTIK DI WILAYAH BENUA MARITIM BAGIAN BARAT PADA PERIODE BOREAL WINTER RISMA PURNAMASARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GANGGUAN SINOPTIK DI WILAYAH BENUA MARITIM BAGIAN BARAT PADA PERIODE BOREAL WINTER RISMA PURNAMASARI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

GANGGUAN SINOPTIK DI WILAYAH BENUA MARITIM

BAGIAN BARAT PADA PERIODE BOREAL WINTER

RISMA PURNAMASARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gangguan Sinoptik di Wilayah Benua Maritim Bagian Barat pada Periode Boreal Winter adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017 Risma Purnamasari NIM G24130032

(4)

ABSTRAK

RISMA PURNAMASARI. Gangguan Sinoptik di Wilayah Benua Maritim Bagian Barat pada Periode Boreal Winter. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT.

Wilayah benua maritim merupakan wilayah yang banyak ditutupi awan-awan konvektif selama periode Boreal winter. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gangguan sinoptik di wilayah benua maritim bagian barat. Selama periode pengamatan pada bulan DJF dari tahun 2005-2015, terdapat 290 hari kejadian Borneo vortex dan 284 hari kejadian cold surge, dengan frekuensi kejadian terbanyak berada pada bulan Desember. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian Borneo vortex dan cold surge berkontribusi dalam variabilitas konveksi di wilayah Indonesia bagian barat. Selain itu, dengan menilai dampak kedua sistem gerak yang berbeda terhadap sistem konvektif di benua maritim, ditunjukkan bahwa cold surge berinteraksi dengan Borneo vortex. Saat terjadi Borneo vortex dan cold surge menunjukkan persebaran curah hujan yang relatif rendah di pulau Jawa. Sedangkan saat kasus tidak terjadi Borneo vortex tetapi terjadi cold surge persebaran curah hujan di pulau Jawa menunjukkan nilai anomali positif. Kejadian Borneo vortex dan cold surge secara bersamaan dapat meningkatkan pembentukan awan konvektif yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar wilayah pusat sirkulasi berada terutama Laut Cina Selatan bagian selatan dan di sepanjang garis pantai barat Kalimantan hingga bertambah 90 mm/hari di atas rata-ratanya.

Kata kunci : benua maritim , borneo vortex, cold surge, curah hujan, konveksi

ABSTRACT

RISMA PURNAMASARI. Synoptic Disturbances over The Western Maritime Continent during Boreal Winter. Supervised by RAHMAT HIDAYAT.

The maritime continent is the region of deep cumulus convection during boreal winter. In this study we investigate synoptic disturbances over the western maritime continent. During the observation period in DJF from 2005-2015, there were 290 days of Borneo vortex and 284 days of cold surge. Borneo vortex and cold surge have the highest frequency of occurrences in December. We found that the synoptic scale of Borneo vortex and cold surge contribute to the variability of deep convection in western part of Indonesian region. In addition, by assessing the impact of the both different motion system against convective system in the maritime continent, it is shown that the cold surge interacts with Borneo vortex. In the event of Borneo vortex and cold surge shows the relatively low rainfall distribution in Java. While the case is not happening Borneo vortex but the cold surge spread of rainfall in Java shows a positive anomaly value. Co-occurence Borneo vortex and cold surge contribute to deep convection and thus increase precipitation around the central circulation especially in the southern South China Sea and along western coast of Kalimantan up to 90 mm/day above the average. Keywords: borneo vortex, cold surge, convection, maritime continent, precipitation

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

GANGGUAN SINOPTIK DI WILAYAH BENUA MARITIM

BAGIAN BARAT PADA PERIODE BOREAL WINTER

RISMA PURNAMASARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(6)
(7)

Judul Skripsi : Gangguan Sinoptik di Wilayah Benua Maritim Bagian Barat pada Periode Boreal Winter

Nama : Risma Purnamasari NIM : G24130032 Disetujui oleh Dr Rahmat Hidayat, MSc Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gangguan Sinoptik di Wilayah Benua Maritim Bagian Barat pada Periode Boreal Winter”. Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi salah satu syarat tugas akhir agar memperoleh gelar Sarjana Sains (SSi) pada Departemen Geofisika Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dr Rahmat Hidayat, MSc selaku pembimbing skripsi, orang tua, keluarga, Moch Chaikal Nur Adiansyah, teman-teman GFM 50, Himarika dan seluruh pihak yang terlibat dalam proses penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017 Risma Purnamasari

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Borneo Vortex 2 Cold Surge 3

Divergensi Angin Permukaan 3

Vortisitas Angin Permukaan 4

Transpor Uap Air 4

METODE 5

Waktu dan Tempat 5

Alat dan Data 5

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kondisi Klimatologis pada Periode Boreal Winter di Benua Maritim Bagian

Barat 7

Identifikasi Borneo Vortex 8

Identifikasi Cold Surge 9

Pengaruh Borneo Vortex dan Cold Surge terhadap Sirkulasi Atmosfer 10

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(10)

DAFTAR TABEL

1 Data parameter atmosfer yang digunakan untuk penelitian 5 2 Jumlah kejadian Borneo vortex selama periode musim dingin BBU

tahun 2005/2006 sampai 2014/2015 9

3 Distribusi kejadian cold curge selama periode musim dingin BBU

tahun 2005/2006 sampai 2014/2015 9

4 Distribusi kejadian Borneo vortex dengan intensitas cold surge selama periode musim dingin BBU tahun 2005/2006 sampai 2014/2015 12

DAFTAR GAMBAR

1 Ilustrasi proses terjadinya Boreno Vortex (Chang et al. 2005) 2 2 Kondisi klimatologis OLR (A), transpor uap air (B), divergensi (C),

vortisitas (D) dan curah hujan (E) DJF (2005-2015) 7 3 Plot streamline saat “Ada” Borneo vortex (Kanan), “Tidak Ada”

Borneo vortex (Kiri) 8

4 Komposit semua kejadian vortex (atas) [divergensi (A), transpor uap air (B), anomali OLR (C), anomali CH (D)] dan cold surge (bawah) [divergensi (E), transpor uap air (F), anomali OLR (G), Anomali CH

(H)] pada DJF 2005-2015 10

5 Komposit semua kejadian tidak terjadi vortex (atas) [divergensi (A), transpor uap air (B), anomali OLR (C), anomali CH (D)] dan tidak terjadi cold surge (bawah) [divergensi (E), transpor uap air (F),

anomali OLR (G), Anomali CH (H)] pada DJF 2005-2015 11 6 Komposit saat tidak terjadi cold surge dan vortex (atas) [divergensi (A),

transpor uap air (B), anomali OLR (C), anomali CH (D)], dan saat terjadi cold surge dan vortex (bawah) [divergensi (E), transpor uap air (F), anomali OLR (G), anomali CH (H)] pada DJF 2005-2015 12 7 Komposit (atas-bawah) [divergensi, transpor uap air, anomali OLR,

anomali CH] saat terjadi vortex dan cold surge lemah (A, D, G, J), vortex dan cold surge sedang (B, E, H, K), vortex dan cold surge kuat

(C, F, I, L) pada DJF 2005-2015 13

8 Komposit (atas-bawah) [divergensi, transpor uap air, anomali OLR, anomali CH] saat terjadi no-vortex dan cold surge lemah (A, D, G, J), no-vortex dan cold surge sedang (B, E, H, K), no-vortex dan cold surge

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Scripting Language untuk klimatologis musiman (bulan DJF) Curah

Hujan 18

2 Scripting Language untuk divergensi angin permukaan pada hari

terjadinya cold surge dan Borneo vortex 18

3 Scripting Language untuk anomali OLR pada hari terjadinya cold

surge dan Borneo vortex 19

4 Scripting Language untuk transpor uap air pada hari terjadinya cold

surge dan Borneo vortex 19

5 Scripting Language untuk anomali curah hujan pada hari terjadinya

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selama musim dingin di Belahan Bumi Utara (BBU), wilayah benua maritim yang meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan pulau-pulau Indonesia besar lainnya di sepanjang sabuk ekuator merupakan wilayah yang banyak ditutupi awan-awan konvektif karena migrasi Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). Pelepasan panas laten di wilayah tersebut merupakan sumber panas di benua maritim yang sangat berperan dalam beberapa proses skala global dan regional. Sumber panas berinteraksi secara langsung dengan sistem baroklinik kuat Asia Timur yang mempengaruhi East Asian Jet dan kondisi cuaca di Amerika Utara (Yang et al. 2002).

Wilayah benua maritim terdiri dari topografi yang beragam, sehingga memiliki pengaruh yang kuat pada distribusi awan konvektif. Selain itu, wilayah ini juga mengalami gangguan skala besar yang signifikan dan bervariasi dalam skala waktu berbeda. Fenomena sinoptik yang cukup dominan di sekitar Laut Cina Selatan adalah cold surge, yaitu penjalaran massa udara dingin yang terjadi pada saat Monsun Musim Dingin Asia dari tekanan tinggi di Asia menuju selatan dan dan timur di atas perairan Indonesia. Cold surge sering mendominasi pola sirkulasi tekanan rendah di atas ekuator Laut Cina Selatan. Sekitar satu hingga dua kejadian cold surge biasanya dapat terjadi dalam satu bulan dan berlangsung dalam beberapa hari hingga satu minggu (Chang et al. 2003). Hal ini menyebabkan tingginya frekuensi kejadian osilasi angin monsun timur laut.

Selain itu, gangguan skala sinoptik juga terjadi di sekitar pulau Kalimantan, yaitu Borneo vortex. Menurut Chang et al. (2003), pembentukan Borneo vortex terjadi karena adanya vortisitas yang dihasilkan oleh windshear, kemudian diperkuat oleh konvergensi angin monsun timur laut dengan topografi di pulau Kalimantan. Cold surge dan Borneo vortex merupakan dua sirkulasi utama di Asia Tenggara. Fenomena cold surge sering dikaitkan dengan fenomena Borneo vortex. Faktor utama yang menghubungkan cold surge dan Borneo vortex adalah interaksi antara angin dari cold surge dengan topografi pulau Kalimantan, Sumatera dan Malaysia (Chang et al. 2005). Hal ini menyebabkan wilayah tersebut mengalami konveksi kuat dan intensitas curah hujan yang tinggi.

Kedua sistem sirkulasi tersebut memiliki daerah awal mula pembentukan yang berbeda. Cold surge terbentuk di atas daerah lintang tengah Asia Timur (Lau NC dan Lau KM 1984) dan Borneo vortex berkembang secara lokal di atas bagian selatan Laut Cina Selatan (Cheang 1977). Selain berbeda dari daerah awal mula pembentukan, kedua sistem sirkulasi tersebut berbeda secara skala spasial maupun temporal. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui dampak dari interaksi kedua sistem gerak yang berbeda terhadap sistem konvektif di wilayah benua maritim.

Penelitian mengenai Borneo vortex maupun Cold surge telah banyak dilakukan. Namun, kebanyakan hanya membahas fenomena tersebut sedangkan pembahasan mengenai pengaruhnya terhadap iklim di Indonesia masih sedikit. Salah satunya Syahidah (2012), telah melakukan penelitian mengenai keterkaitan Borneo vortex dengan curah hujan di Indonesia antara Sumatera bagian timur

(14)

2

sampai NTT bagian barat. Penelitian tersebut tidak membahas pengaruh dari interaksi antara Borneo vortex dengan gangguan sinoptik lainnnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chang et al. (2005), terdapat dua parameter yang digunakan dalam menganalisis interaksi gangguan sinoptik cold surge dan Borneo vortex, yaitu menggunakan convective index dan divergensi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis transpor uap air untuk melihat pengaruh terhadap curah hujan akibat adanya kejadian sinoptik cold surge dan Borneo vortex. Beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh kejadian cold surge maupun non cold surge terhadap kondisi curah hujan di wilayah benua maritim bagian barat?

2. Bagaimana pengaruh kejadian Borneo vortex maupun non Borneo vortex terhadap kondisi curah hujan di wilayah benua maritim bagian barat?

3. Bagaimana kondisi curah hujan di wilayah benua maritim bagian barat apabila cold surge dan Borneo vortex terjadi secara bersamaan?

4. Daerah mana saja yang mengalami kondisi curah hujan yang tinggi dan seberapa besar peningkatannya saat terjadi cold surge dan Borneo vortex?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi kejadian Borneo vortex dan cold surge serta pengaruhnya terhadap pembentukan awan konvektif dan kondisi curah hujan di wilayah benua maritim bagian barat pada periode boreal winter.

TINJAUAN PUSTAKA

Borneo Vortex

Gambar 1 Ilustrasi proses terjadinya Boreno Vortex (Chang et al. 2005) Selama musim dingin di BBU angin monsun timur laut bertiup dari dataran tinggi Siberia melalui Laut Cina Selatan menuju ke Australia Utara, disaat bersamaan ada angin pasat tenggara yang diduga sebagai southerly surge. Monsun timur laut yang melewati Laut Cina Selatan saat sampai di sekitar pantai barat laut

(15)

3 Kalimantan bertemu dengan angin pasat tenggara lalu membentuk pola siklonik maka terbentuklah vortex. Vortex tersebut sering terjadi di sekitar barat laut Kalimantan, sehingga disebut Borneo vortex.

Sirkulasi angin yang merupakan pusat tekanan rendah ini membentuk daerah konvergensi sehingga terjadi penumpukan massa uap air yang akan mengakibatkan intensitas curah hujan yang tinggi. Sehingga, adanya pusaran sering dikaitkan dengan kondisi hujan lebat selama monsun musim dingin.

Vortex teridentidikasi saat sirkulasi angin pada 925 hPa di wilayah 107.5ºBT – 117.5ºBT dan 7.5ºLU – 2.5ºLS menunjukkan sirkulasi yang berlawanan arah jarum jam dengan kecepatan angin melebihi 2 m/s dalam empat titik dari grid 2.5º x 2.5º persegi tempat pusat sirkulasi (Chang et al. 2005). Sirkulasi angin yang merupakan pusat tekanan rendah ini membentuk daerah konvergensi sehingga terjadi pemusatan massa uap air yang dapat mengakibatkan curah hujan tinggi.

Cold Surge

Cold surge merupakan salah satu fenomena sinoptik yang cukup dominan di Laut Cina Selatan yang biasa terjadi pada saat musim dingin Asia. Fenomena tersebut berupa aliran masa udara dingin yang bergerak memasuki wilayah Indonesia bagian barat dari daratan Asia menuju selatan dan timur di atas perairan Indonesia. Angin cold surge memiliki karakteristik bersifat kering karena membawa massa udara dingin yang mencegah keluarnya penguapan (Aldrian dan Utama 2007). Namun, dalam perjalanan menuju ekuator, cold surge akan membawa uap air di sepanjang lintasan di atas Laut Cina Selatan yang cenderung lebih hangat sehingga menjadi lembab.

Aliran cold surge terbentuk karena adanya siklon–antisiklon dengan pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia timur dan pusat tekanan rendah di atas Jepang (Lau NC dan Lau KM 1984). Hal tersebut menyebabkan adanya penguatan dan propagasi angin ke arah tenggara dari permukaan dataran tinggi Siberia (Chen et al. 2002). Pergerakan cold surge ke selatan mempengaruhi posisi ITCZ lebih ke selatan. ITCZ membentuk awan hujan yang berakibat pada naiknya intensitas curah hujan di wilayah tersebut (Aldrian dan Utama 2007). Menurut Chang et al. (2005), fenomena cold surge di kawasan Asia Tenggara dapat diidentifikasi dengan merata-ratakan komponen angin meridional di ketinggian 925 hPa pada wilayah 110ºBT – 117.5ºBT dan 15ºLU serta memiliki kecepatan angin lebih dari 8 m/s yang mengarah ke selatan.

Divergensi Angin Permukaan

Divergensi angin permukaan adalah pergerakan massa udara yang menyebar pada suatu wilayah yang mengakibatkan pengurangan massa udara secara horizontal. Wilayah yang mengalami divergensi arus udara bergerak turun menuju permukaan sehingga tidak terjadi pembentukan awan. Menurut Holton (2010), nilai divergensi angin permukaan dapat diduga dari persamaan divergensi aliran horizontal fluida dalam sistem koodinat bola bumi. Divergensi memiliki nilai yang positif. Apabila divergensi bernilai negatif disebut konvergensi, sedangkan jika bernilai nol dinyatakan non-divergensi.

(16)

4 𝛻⃗ 𝐻⋅ 𝑣 𝐻= 1 𝛼 cos 𝜙 𝜕𝑢 𝜕𝜆+ 1 𝛼 𝜕𝑣 𝜕𝜙− 𝑣 tan 𝜙 𝑎 (1) Keterangan: a : radius bumi : sudut lintang λ : sudut bujur

u : komponen angin zonal v : komponen angin meridional

Vortisitas Angin Permukaan

Vortisitas adalah medan vektor yang didefinisikan sebagai curl dari medannya yang merupakan ukuran mikroskopis rotasi dalam fluida (Holton 2010). Fluida yang dimaksud dalam penelitian ini adalah udara. Vortisitas relatif dihitung dengan rumus: 𝜁 =𝜕𝑣 𝜕𝑥− 𝜕𝑢 𝜕𝑦 (2) Simbol 𝜁 yang merupakan komponen vertikal vortisitas (s-1), u dan v adalah

komponen vektor kecepatan angin horizontal arah-x dan arah-y (m/s). Komponen vertikal vortisitas merupakan hasil jumlah dari dua bagian, yaitu (1) laju perubahan kecepatan angin yang normal terhadap arah aliran yang disebut vortisitas geser, dan (2) putaran angin di sepanjang streamline karena adanya lengkungan disebut vortisitas lengkungan.

Vortisitas positif menunjukkan arah rotasinya berlawanan jarum jam (counter-clockwise) yang terkait dengan badai siklonik di BBU dan negatif menunjukkan rotasi searah jarum jam (clockwise) yang terkait dengan badai siklonik di BBS. Distribusi vortisitas relatif sangat baik untuk mendiagnosa analisis cuaca. Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis vortisitas yaitu dengan menggunakan vortex. Vortex merupakan gerakan fluida yang berpusar mengelilingi suatu pusat. Semakin besar vortisitas maka vortex semakin kuat. Kecepatan dan laju rotasi terbesar berada di pusat vortex dan semakin berkurang ketika menjauihi pusatnya.

Transpor Uap Air

Salah satu yang mengendalikan mekanisme monsun adalah proses kelembaban. Massa udara yang besar dan perubahan transpor kelembaban dapat menggeser tempat terbentuknya hujan. Proses transpor kelembaban di equator terjadi ketika uap air bergerak dari utara ke selatan atau sebaliknya.

Menurut Zhou (2003) batas tekanan yang digunakan pada persamaan transpor uap air yaitu dari permukaan hingga ketinggian 300 hPa. Hal tersebut karena uap air hanya terkosentrasi pada lapisan troposfer bawah. Berdasarkan penelitian Zhou dan Yu (2005), transpor uap air dapat diduga dari persamaan integral vertikal fluks uap air berikut.

(17)

5 𝑄 = 1 𝑔∫𝑝𝑡 𝑝𝑠 𝑞𝑉 𝑑𝑝 (3) Keterangan:

Q : transpor uap air (kg/m/s)

g : percepatan gravitasi bumi (m/s2) q : kelembaban spesifik (g/kg) V : vektor angin zonal-meridional dp : perubahan tekanan (hPa) ps : tekanan permukaan (1000 hPa) pt : tekanan pada level atas (300 hPa)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2017. Wilayah kajian penelitian berada pada 90°BT-120°BT dan 15°LU-10°LS. Divisi Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Intstitut Pertanian Bogor.

Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Grid Analysis and Display System (GrADS) dan Microsoft Excell. Data yang digunakan untuk menunjang penelitian adalah data lima parameter atmosfer tahun 2005-2015.

Prosedur Analisis Data Perhitungan Divergensi

Suku ketiga dari persamaan (1) dapat diabaikan karena penelitian ini terbatas hanya pada wilayah 15ºLU – 10ºLS dan 90ºBT – 120ºBT, sehingga nilai tangen sudut lintang cukup kecil dibandingkan dengan radius bumi. Selain itu, karena 𝛼 cos 𝜙 𝜕𝜆 = dx (jarak zonal) dan𝑎 𝜕𝜙 = dy (jarak meridional), maka persamaan (1) dapat ditulis sebagai

Tabel 1 Data parameter atmosfer yang digunakan untuk penelitian

Jenis Data Resolusi Sumber

Temporal Spasial (º)

Angin Zonal Harian 2.5 x 2.5 National Centers for Environmental Prediction –

National Center for Atmospheric Reseach (Kalnay

et al. 1996 ; Liebmann dan Smith 1996)

Angin Meridional Harian 2.5 x 2.5

TRMM Harian 2.5 x 2.5

Kelembaban Spesifik Harian 2.5 x 2.5 Outgoing Longwave

(18)

6 𝛻⃗ 𝐻⋅ 𝑣 𝐻 =𝜕𝑢 𝜕𝑥+ 𝜕𝑣 𝜕𝑦 (3) Nilai numerik divergensi medan angin permukaan ditentukan menggunakan metode beda hingga. Secara sistematis dapat ditulis sebagai

(𝛻⃗ 𝐻⋅ 𝑣 𝐻)𝑖,𝑗 = [𝑢𝑖+1,𝑗− 𝑢𝑖−1,𝑗] 2ℎ𝑥 +[𝑣𝑖+1,𝑗 − 𝑣𝑖−1,𝑗] 2ℎ𝑦 (4) dengan hx adalah jarak zonal dan hy adalah jarak meridional. Pengolahan data

tersebut dilakukan menggunakan GrADS, sehingga menghasilkan peta divergensi / konvergensi.

Perhitungan Vortisitas

Persamaan vortisitas (2) akan dihitung berdasarkan metode beda hingga untuk menentukan nilai numerik vortisitas medan angin permukaan yang dituliskan sebagai berikut. 𝜁𝑖,𝑗 =[𝑣𝑖+1,𝑗 − 𝑣𝑖−1,𝑗] 2ℎ𝑥 − [𝑢𝑖+1,𝑗 − 𝑢𝑖−1,𝑗] 2ℎ𝑦 (5) Perhitungan Transpor Uap Air

Transpor uap air dihitung berdasarkan persamaan (3) dengan menggunakan data kelembaban spesifik dan angin zonal-meridionnal pada delapan ketinggian mulai dari 1000 hPa sampai 300 hPa.

Identifikasi Borneo Vortex

Analisis kejadian Borneo vortex dapat diidentifikasi ketika sirkulasi angin pada ketinggian 925 hPa di wilayah 107.5ºBT – 117.5ºBT dan 7.5ºLU – 2.5ºLS menunjukkan sirkulasi yang berlawanan arah jarum jam dengan kecepatan angin melebihi 2 m/s dalam empat titik dari grid 2.5º x 2.5º persegi tempat pusat sirkulasi berada (Chang et al. 2005). Analisis streamline harian di bulan DJF selama tahun 2005-2015 dilakukan pada tahap ini.

Identifikasi Cold Surge

Menurut Chang et al. (2005), analisis kejadian cold surge pada periode boreal winter dapat diidentifikasi dengan cara merata-ratakan komponen angin meridional di ketinggian 925 hPa pada wilayah 110ºBT – 117.5ºBT dan 15ºLU serta memiliki kecepatan angin lebih dari 8 m/s yang mengarah ke selatan.

Pembuatan Peta Komposit

Hari-hari terjadinya cold surge dan hari-hari tidak terjadinya cold surge dirata-ratakan, begitu pula untuk kejadian vortex dan tidak terjadi vortex serta hari-hari cold surge dan vortex terjadi bersamaan. Selanjutnya, klasifikasi tersebut divisualisasikan dalam bentuk peta yang menggambarkan kondisi divergensi/konvergensi, transpor uap air, keawanan, dan curah hujan.

(19)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Klimatologis pada Periode Boreal Winter di Benua Maritim Bagian Barat

Boreal winter atau disebut juga musim dingin di Belahan Bumi Utara (BBU) biasa terjadi selama periode bulan Desember-Januari-Februari (DJF). Fenomena alam tersebut dicirikan dengan rata-rata nilai angin timur laut yang lebih kuat daripada saat musim gugur. Karakteristik udaranya dingin dan kering serta suhu permukaan laut di Laut Cina Selatan bagian tengah dan utara lebih rendah (Jhonson dan Houze 1987 dalam Chang et al. 2005). Tekanan tinggi berada di wilayah lintang utara dan tekanan rendah berada di wilayah lintang selatan pada saat terjadi musim dingin di BBU. Hal ini terjadi karena pada bulan DJF matahari berada di selatan. Selain itu, pergerakan angin dari utara menuju selatan membawa uap air dari Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan sehingga daerah ekuator menjadi pusat konvergensi yang berpotensi adanya pertumbuhan awan.

Pertumbuhan awan dapat dilihat dari besarnya nilai Outgoing Longwave Radiation (OLR). Semakin kecil nilai OLR menunjukkan keawanan yang semakin tebal. Hal ini terjadi karena butir-butir air yang terkandung dalam awan dapat menyerap energi dari radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan bumi. Pusat-pusat konvergensi dan pertumbuhan awan ditunjukkan dengan warna biru dan pusat divergensi warna merah.

Berdasarkan hasil pada Gambar 2, selama periode musim dingin di BBU konveksi terkonsentrasi di atas pulau-pulau besar di benua maritim. Konveksi maksimum dan curah hujan yang tinggi terjadi di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan meluas ke Samudera Hindia bagian timur yang merupakan bagian dari ITCZ. Pusat konvergensi di dekat Pulau Sumatera berhubungan dengan adanya Gambar 2 Kondisi klimatologis OLR (A), transpor uap air (B), divergensi (C),

(20)

8

interaksi antara aliran monsun timur laut dengan topografi Semenanjung Malaysia. Selama periode musim dingin di BBU juga menimbulkan adanya gangguan skala sinoptik di wilayah Kalimantan. Gambar 2 juga menunjukkan Borneo Vortex genesis yang berkaitan dengan adveksi dari vortisitas relatif yang perlahan melambat dan intensif di ujung Pulau Kalimanatan. Sesekali, sistem siklonik yang intensif dan berkekuatan seperti badai tropis mungkin merambat ke sepanjang barat laut Laut Cina Selatan dan menyebabkan cuaca berbahaya di sepanjang pantai timur Semenanjung Malaysia (Tanggang dan Juneng 2010).

Identifikasi Borneo Vortex

Identifikasi Borneo vortex dilakukan di area identifikasi selama periode musim dingin di BBU tahun 2005/2006 sampai 2014/2015. Identifikasi ini dilakukan dengan menganalisis streamline harian di bulan DJF selama tahun 2005-2015. Berikut contoh streamline untuk mengidentifiksi Borneo vortex. Gambar 3 merupakan contoh streamline pada 7 Desember 2005 dan 26 Desember 2010 di 925 hPa dengan colorbar di sebelah kanan menunjukkan besar kecepatan angin (m/s).

Terlihat pada Gambar 3 (kanan) adanya sirkulasi yang berlawanan arah jarum jam dan kecepatan angin yang ditunjukkan pada pusat Borneo vortex adalah antara 2.2 m/s sampai 3.3 m/s dengan colour bar berwarna ungu. Hal tersebut telah memenuhi kriteria syarat terjadinya Borneo vortex. Berbeda dengan yang ditunjukkan pada Gambar 3 (kiri) yang menunjukkan tidak terjadi Borneo vortex. Meskipun kecepatan angin di pusat Borneo vortex melebihi 2 m/s namun sirkulasi yang ditunjukkan Gambar 3 (kiri) memiliki arah yang searah jarum jam sehingga streamline angin tersebut tidak dapat dikatakan Borneo vortex.

Kekurangan dari identifikasi dengan metode ini adalah terlalu subjektif karena streamline harus dilihat satu per satu untuk mengidentifikasi apakah setiap harinya ada kejadian Borneo vortex atau tidak. Sampai saat ini belum ditemukan metode identifikasi Borneo vortex yang objektif. Banyak faktor yang Gambar 3 Plot streamline saat “Ada” Borneo vortex (Kanan), “Tidak Ada” Borneo

(21)

9 mempengaruhi sehingga kemungkinan-kemungkinan kesalahan dapat terjadi saat proses identifikasi.

Selama rentang waktu 2005-2015 di bulan DJF telah teridentifikasi sebanyak 290 kejadian Borneo vortex. Kejadian Borneo vortex terbanyak ada pada bulan Desember dan yang paling sedikit pada bulan Februari. Saat monsun musim dingin berlangsung dari bulan November sampai Februari, Borneo vortex memiliki umur tepanjang di bulan Desember. Hal tersebut menunjukkan bahwa monsun musim dingin yang paling aktif berada pada bulan Desember (Hisham 2010). Karena umur terpanjang vortex berada pada bulan Desember hal itulah yang menyebabkan frekuensi kejadian tertinggi ada pada bulan Desember.

Identifikasi Cold Surge

Salah satu analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah mengategorikan cold surge berdasarkan intensitasnya. Menurut Chang et al. (2005), intensitas cold surge dikategorikan ke dalam cold surge lemah yang memiliki indeks antara 8-10 m/s, cold surge sedang 10-12 m/s dan cold surge kuat lebih dari 12 m/s. Kenaikan indeks cold surge yang dikategorikan cold surge lemah, sedang dan kuat terjadi sebanyak 284 hari dari 902 hari selama periode pengamatan 2005-2015, atau sebesar 31.5%.

Kejadian cold surge terbanyak berada pada kategori cold surge lemah, sebesar 160 hari cold surge dari 284 hari cold surge dari tahun 2005-2015, atau sebesar 56.3% dari keseluruhan hari cold surge yang terdistribusi. Cold surge lemah Tabel 3 Distribusi kejadian cold curge selama periode musim dingin BBU tahun

2005/2006 sampai 2014/2015

Bulan Total Hari Cold Surge Lemah Sedang Kuat No Cold Surge

Des 310 126 63 48 15 184

Jan 310 119 68 40 11 191

Feb 282 39 29 8 2 243

DJF 902 284 160 96 28 618

Tabel 2 Jumlah kejadian Borneo vortex selama periode musim dingin BBU tahun 2005/2006 sampai 2014/2015

Periode Musim Dingin

Kejadian Borneo vortex

Des Jan Feb

2005/2006 12 6 3 2006/2007 11 14 2 2007/2008 13 5 8 2008/2009 24 12 6 2009/2010 9 3 2 2010/2011 21 13 5 2011/2012 11 9 7 2012/2013 12 8 10 2013/2014 18 10 5 2014/2015 10 17 4 Total 141 97 52

(22)

10

terjadi secara konsisten pada bulan Desember dan Januari. Cold surge sedang sebanyak 96 hari atau sebesar 33.8% dari jumlah keseluruhan cold surge yang terkonsentrasi pada bulan Desember sebanyak 48 hari dan bulan Januari sebanyak 40 hari. Cold surge kuat terjadi sebanya 28 kali selama periode pengamatan dari 2005-2015 atau sebesar 9.9% yang terdistribusi pada bulan Desember sebanyak 15 hari dan bulan Januari 11 hari.

Jadi dapat disimpulkan bahwa hari cold surge maksimum terjadi pada awal musim dingin BBU, yaitu bulan Desember dengan jumlah hari cold surge lemah, sedang dan kuat yang besar sedangkan cold surge minimum pada periode musim dingin BBU terjadi pada bulan Februari. Pertengahan musim dingin, yaitu bulan Januari kategori cold surge didominasi oleh cold surge lemah. Hal ini dapat terjadi karena pada bulan tersebut angin timur laut mencapai maksimum, sehingga jarang menimbulkan lonjakan tekanan yang besar antara kedua daerah syarat batas di Hongkong dan 30° LU, 115° BT (Aldrian dan Utama 2007).

Pengaruh Borneo Vortex dan Cold Surge terhadap Sirkulasi Atmosfer

Analisis pengaruh Borneo vortex dan cold surge terhadap sirkulasi atmosfer pada penelitian ini digunakan beberapa parameter, di antaranya divergensi /konvergensi, transpor uap air, kondisi keawanan dan curah hujan. Divergensi yang semakin positif menunjukkan daerah bertekanan tinggi yang menyebabkan massa udara bergerak turun, sehingga kondisi langit yang semakin cerah karena pembentukan awan semakin sedikit. Kondisi sebaliknya, apabila divergensi semakin bernilai negatif artinya konvergensi semakin kuat yang menunjukkan daerah bertekanan rendah dan massa udara bergerak naik sehingga semakin banyak pembentukan awan.

Gambar 4 Komposit semua kejadian vortex (atas) [divergensi (A), transpor uap air (B), anomali OLR (C), anomali CH (D)] dan cold surge (bawah) [divergensi (E), transpor uap air (F), anomali OLR (G), Anomali CH (H)] pada DJF 2005-2015

(23)

11 Transpor uap air menunjukkan distribusi uap air dari beberapa lapisan tekanan mulai dari level permukaan hingga level atas yang ditransporkan secara horizontal. Proses transpor uap air di wilayah ekuator terjadi saat uap air bergerak dari utara ke selatan dan sebaliknya. Massa udara yang besar dan perubahan transpor kelembaban dapat menggeser pembentukkan awan dan tempat terbentuknya hujan. Tanda panah menunjukkan arah dari transport kelembaban, sedangkan colour bar menunjukkan besarnya kelembaban.

Gambar 4 menunjukkan kondisi atmosfer saat kejadian Borneo vortex (atas) dan cold surge (bawah) semua kejadian selama periode pengamatan pada masing-masing parameter. Terlihat bahwa selama kejadian Borneo vortex maupun cold surge terdapat peningkatan konvergensi di bagian selatan Laut Cina Selatan, barat laut Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Sumatera bagian utara, sebelah selatan pulau Sumatera, dan Laut Jawa. Konvergensi maksimum berasosiasi dengan angin timur laut kuat yang melintas di atas Laut Cina Selatan dan membawa banyak uap air. Hal ini menyebabkan banyak pertumbuhan awan di wilayah tersebut. Tutupan awan paling tebal ditunjukkan dengan anomali OLR (Gambar 4 C, G) yang berwarna biru berada di pusat siklonik dengan nilai anomali OLR lebih dari -30 W/m2.

Penutupan awan yang tebal berhubungan dengan peningkatan curah hujan (Gambar 4 D, H) di wilayah yang sama terutama di bagian selatan Laut Cina Selatan, barat laut Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dan Laut Jawa. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai anomali positif curah hujan. Kondisi ini juga dapat dilihat dari sumber uap air ada di Laut Cina Selatan. Kemudian sumber uap air dari Laut Cina Selatan ditransporkan menuju bagian selatan Laut Cina Selatan, barat laut Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dan Laut Jawa. Namun, pola keawanan dan curah hujan berkebalikan saat tidak terjadi Borneo vortex maupun tidak terjadi cold surge (Gambar 5 C, D, G, H).

Gambar 5 Komposit semua kejadian tidak terjadi vortex (atas) [divergensi (A), transpor uap air (B), anomali OLR (C), anomali CH (D)] dan tidak terjadi cold surge (bawah) [divergensi (E), transpor uap air (F), anomali OLR (G), Anomali CH (H)] pada DJF 2005-2015

(24)

12

Peta komposit pada Gambar 6 merupakan kombinasi antara kejadian Borneo vortex dan cold surge yang distribusi kejadiannya disajikan pada Tabel 4. Saat tidak terjadi cold surge dan Borneo vortex, pola divergensi (Gambar 6 A), transpor uap air (Gambar 6 B), anomali OLR (Gambar 6 C) dan anomali curah hujan (Gambar 6 D) lebih lemah dan berkebalikan dibandingkan saat terjadi cold surge dan Borneo vortex (Gambar 6 E, F, G, H) secara bersamaan.

Gambar 6 (F) merupakan transpor uap air saat terjadi cold surge dan Borneo vortex secara bersamaan. Nilai transpor uap air tertinggi berada di Laut Cina Selatan sebagai sumbernya. Arah angin menunjukan bahwa transpor uap air bergerak menuju pusat konvergensi yang memiliki tekanan rendah di wilayah pusat sirkulasi berada. Uap air yang terpusat ini akan mengalami kondensasi membentuk butiran air dan menjadi kumpulan awan konvektif di daerah siklonik tersebut. Nilai negatif anomali OLR pada Gambar 6 (G) menunjukkan pusat pembentukan awan. Nilai curah hujan yang tinggi berada di wilayah pusat vortex maksimum yang ditunjukkan dengan anomali positif curah hujan. Hal itu membuktikan bahwa saat Borneo vortex dan cold surge terjadi bersamaan, aliran udara membawa banyak uap air sehingga curah hujan tinggi di wilayah tersebut.

Peningkatan konveksi di atas Laut Cina Selatan bagian selatan saat terjadi cold surge dan Borneo vortex sangat sensitif terhadap intensitas cold surge. Semakin kuat intensintas cold surge maka transpor uap air semakin besar yang menyebabkan konvergensi semakin kuat. Sehingga keawanan semakin tebal dan curah hujan semakin meningkat sampai bertambah 90 mm/hari dari rata-rata Gambar 6 Komposit saat tidak terjadi cold surge dan vortex (atas) [divergensi (A), transpor uap air (B), anomali OLR (C), anomali CH (D)], dan saat terjadi cold surge dan vortex (bawah) [divergensi (E), transpor uap air (F), anomali OLR (G), anomali CH (H)] pada DJF 2005-2015

Tabel 4 Distribusi kejadian Borneo vortex dengan intensitas cold surge selama periode musim dingin BBU tahun 2005/2006 sampai 2014/2015

Cold Surge Lemah Sedang Kuat No Cold Surge

Vortex 112 63 39 10 178

(25)

13 hariannya. Hal ini menyebabkan hujan yang sangat lebat. Peningkatan konveksi dan curah hujan dengan intensitas cold surge merupakan hasil dari dua proses (Chang et al. 2005). Penguatan angin timur laut menyebabkan konvegensi dan kelembaban meningkat di dekat daerah pesisir Kalimantan. Selain itu, peningkatan vortisitas geser karena angin timur laut yang kuat memberikan kontribusi terhadap penguatan Borneo vortex.

Gambar 7 Komposit (atas-bawah) [divergensi, transpor uap air, anomali OLR, anomali CH] saat terjadi vortex dan cold surge lemah (A, D, G, J), vortex dan cold surge sedang (B, E, H, K), vortex dan cold surge kuat (C, F, I, L) pada DJF 2005-2015

(26)

14

Gambar 8 Komposit (atas-bawah) [divergensi, transpor uap air, anomali OLR, anomali CH] saat terjadi no-vortex dan cold surge lemah (A, D, G, J), no-vortex dan cold surge sedang (B, E, H, K), no-vortex dan cold surge kuat (C, F, I, L) pada DJF 2005-2015

(27)

15 Dampak dari kejadian Borneo vortex selama terjadinya cold surge kuat (Gambar 7) dapat diuji oleh pola divergensi/konvergensi, transpor uap air, anomali OLR dan anomali curah hujan saat terjadi cold surge kuat tetapi tidak terjadi Borneo vortex (Gambar 8). Tanpa adanya kejadian Borneo vortex pembentukan awan dan nilai curah hujan di Laut Cina Selatan bagian selatan dan di sepanjang garis pantai barat Kalimantan sangat berkurang.

Gambar 7 (J, K, L) saat terjadi Borneo vortex dan cold surge menunjukkan persebaran curah hujan yang relatif rendah di pulau Jawa. Sedangkan saat kasus tidak terjadi Borneo vortex tetapi terjadi cold surge (Gambar 8 J, K, L) persebaran curah hujan di pulau Jawa menunjukkan nilai anomali positif. Menurut Aldrian dan Utama (2007), perambatan cold surge dapat terjadi sampai ke BBS apabila tidak ada faktor penghalang, seperti siklon di tengah Laut Cina Selatan, Borneo vortex, dan easterly wave dari Pasifik Barat.

Berdasarkan Samah (2010), kejadian cold surge dapat meningkatkan kekuatan Borneo vortex, namun belum ada penjelasan menyeluruh mengenai hal tersebut. Kemudian Andarini (2012), melakukan penelitian menganalisis vortisitas potensial untuk melihat pengaruh cold surge terhadap Borneo vortex. Vortisitas potensial adalah rasio antara vortisitas absolut terhadap kedalaman efektif vortex. Nilai dari vortisitas potensial bersifat kekal. Adanya kejadian cold surge dapat meningkatkan anomali vortisitas potensial positif di pulau Kalimantan, tetapi tidak secara langsung terhubung, yaitu melalui anomali vortisitas potensial positif di bagian barat Filipina dan Samudera Hindia. Vortisitas potensial yang semakin positif akan menambah kedalaman efektif vortex. Hal tersebut menyebabkan konvergensi semakin meningkat sehingga pertumbuhan awan konvektif semakin intensif dan menimbulkan hujan deras.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Selama tahun 2005-2015 terdapat 290 hari kejadian Borneo vortex dan 284 hari kejadian cold surge di bulan DJF. Sehingga untuk kejadian normal atau tidak terjadi cold surge maupun Borneo vortex berjumlah 440 hari, sedangkan kejadian Borneo vortex saja berjumlah 178 hari, cold surge saja berjumlah 172 hari, dan jumlah hari kejadian keduanya sebanyak 112 hari. Maksimum terjadinya Borneo vortex dan cold surge berada pada bulan Desember dengan jumlah masing-masing 141 dan 126 hari kejadian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian Borneo vortex dan cold surge dapat meningkatkan pembentukan awan konvektif sehingga meningkatkan curah hujan di sekitar wilayah pusat sirkulasi berada terutama Laut Cina Selatan bagian selatan dan di sepanjang garis pantai barat Kalimantan. Peningkatan konveksi di Laut Cina Selatan bagian selatan saat terjadi cold surge dan Borneo vortex sangat sensitif terhadap intensitas cold surge. Semakin kuat intensintas cold surge maka transpor uap air semakin besar yang menyebabkan konvergensi semakin kuat. Sehingga keawanan semakin tebal dan curah hujan semakin meningkat sampai bertambah 90 mm/hari dari rata-rata hariannya.

(28)

16

Saat terjadi Borneo vortex dan cold surge menunjukkan persebaran curah hujan yang relatif rendah di pulau Jawa. Sedangkan saat kasus tidak terjadi Borneo vortex tetapi terjadi cold surge persebaran curah hujan di pulau Jawa menunjukkan nilai anomali positif. Hal tersebut karena kejadian Borneo vortex merupakan penghalang bagi cold surge untuk melintas ke BBS.

Saran

Penelitian selanjutnya perlu adanya algoritma yang baku untuk identifikasi Borneo vortex, sehingga memiliki objektivitas yang teruji. Selanjutnya dilakukan pengkajian durasi dan lifetime Borneo vortex secara khusus untuk menentukan hari sebelum dan sesudah terjadinya Borneo vortex.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Utama GSA. 2007. Identifikasi dan karakteristik seruak dingin (Cold Surge) Tahun 1995-2003. Jurnal Sains Dirgantara 4 (2): 107-127.

Andarini DF. 2012. Analisis Cold Surge dan Borneo Vortex menggunakan Vortisitas Potensial [skripsi]. Bandung (ID): Fakultas Ilmu dan teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.

Chang CP, Liu CH, Kuo HC. 2003. Typhoon Vamei: An equatorial tropical cyclone formation. Geophys. Res. Lett. 30:1150.

Chang CP, Harr PA, Chen HJ. 2005. Synoptic disturbances over the equatorial South China Sea and Western Maritime Continent during boreal winter. Monthly Weather Review. 133: 489-503.

Cheang BK. 1977. Synoptic features and structures of some equatorial vortices over the South China Sea in the Malaysian region during the winter monsoon of December 1973. Pure Appl. Geophys. 115:1303-1333.

Chen TC, Yen MC, Huang WR, dan Gallus WA .2002. An East Asian cold surge: case study. Monthly Weather Review. 130 (9): 2271-2290.

Hisham MMA. 2010. Climatological Behaviors of Borneo Vortex during Northern Hemisphere Winter Monsoon. USA: Abstract, University of Missouri-Columbia.

Holton JR. 2010. An Introduction to Dynamic Meteorology, 4th Edision. San Diego (USA): Elsevier Academic Press.

Kalnay E, Kanamitsu M, Kistler R, Collins W, Deaven D, Gandin L, Iredell M, Saha S, White G, Woollen J, Zhu Y, Leetmaa A, Reynolds B, Chelliah M, Ebisuzaki W, Higgins W, Janowiak J, Mo KC, Ropelewski C, Wang J, Jenne R, dan Joseph D. 1996. The NCEP/NCAR 40-Year Reanalysis Project. Bulletin of the American Meteorological Society.

Lau NC, Lau KM. 1984. The structure and energetics of midlatitude disturbances accompanying cold-air outbreaks over east Asia. Mon. Wea. Rev. 112: 1309-1327.

(29)

17 Liebmann B, Smith CA. 1996. Description of a complete (interpolated) outgoing longwave radiation dataset. Bulletin of the American Meteorological Society. 77: 1275 –1277.

Samah AA, Hai OS, Nor FM, Kumarsentharan. (2010). Borneo Vortex: A Case Study of Multi-Scale Influences from Midlatitude Forcing, Topography to Global Circulations. Kuala Lumpur (MY): National Antarctic Reseach Centre, University Malaya.

Syahidah M. 2012. Keterkaitan Bornoe Vortex dengan Curah Hujan di Indonesia antara Sumatera bagian Timur sampai NTT bagian Barat [skripsi]. Bandung (ID): Fakultas Ilmu dan teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Tanggang TF, Juneng L. 2010. Long-trends of winter monsoon synoptic

circulations over the maritime continent: 1962-2007. Athmospheric Science Letters. 11: 199-203.

Yang S, Lau KM, Kim KM. 2002. Variations of the East Asian jet stream and Asian–Pacific–American winter climate anomalies. J. Climate. 15:306-325. Zhou TJ. 2003. Comparison of the global air-sea freshwater exchange evaluated

from independent data sets. Prog. Natural Sci. 13(8): 626-631.

Zhou TJ, Yu RC. 2005. Atmospheric water vapor transpor associated with typical anomalous summer rainfall patterns in Cina. Journal of Geophysical Reseach D: Atmospheres, 110 (8): 1-10.

(30)

18

LAMPIRAN

Lampiran 1 Scripting Language untuk klimatologis musiman (bulan DJF) Curah Hujan

====Seasonal Climatology of Precipitation==== #Script by Risma Purnamasari

#Department of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

#================================== 'reinit' 'sdfopen D:/TRMM.nc' 'define ch=ave(precipitation, t=1, t=3376)' 'set lon 90 120' 'set lat -10 15' 'set gxout shaded' 'set csmooth on'

'color 2 20 2 -kind rainbow' 'd ch'

'cbar'

'draw title CH Bulan DJF Level 925 hPa' 'printim F:/CH_DJF.png white'

Lampiran 2 Scripting Language untuk divergensi angin permukaan pada hari terjadinya cold surge dan Borneo vortex

====Divergenve for Vortex and Cold Surge Event==== #Script by Risma Purnamasari

#Department of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

#======================================== 'reinit' 'sdfopen D:/Data_U.nc' 'set dfile 1' 'define u=ave(u, t=1, t=112)' 'sdfopen D:/Data_V.nc' 'set dfile 2' 'define v=ave(v, t=1, t=112)' 'set lon 90 120' 'set lat -10 15' 'set lev 925' 'define du=cdiff(u*cos(lat*3.1416/180),y)' 'define dx=cdiff(lon,x)*3.1416/180' 'define dv=cdiff(v,x)' 'define dy=cdiff(lat,y)*3.1416/180' 'define div=((dv/dx)+(du/dy))/(6.36e6*cos(lat*3.1416/180))*100000' 'set gxout shaded'

(31)

19 'set gxout vector'

'color -1.2 1.2 0.2' 'd div'

'd skip(u,0,0);v' 'cbarn'

'draw title Divergensi_CS_Vortex Level 925 hPa (x 10^-5/s)' 'printim F:/Div_Vortex_CS.png white'

Lampiran 3 Scripting Language untuk anomali OLR pada hari terjadinya cold surge dan Borneo vortex

====Anomaly OLR for Vortex and Cold Surge Event==== #Script by Risma Purnamasari

#Department of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

#========================================== 'reinit' 'sdfopen D:/OLR.nc' 'define olrclim=ave(olr, t=1, t=3011)' 'define olrcsvortex=ave(olr, t=1, t=85)' 'define anomali=olrcsvortex-olrclim' 'set lon 90 120' 'set lat -10 15' 'set lev 925' 'set gxout shaded' 'set csmooth on' 'color -30 30 5' 'd anomali' 'cbarn'

'draw title Anomali OLR_CS_Vortex (W/m2) Level 925 hPa' 'printim F:/OLR_CS_Vortex.png white'

Lampiran 4 Scripting Language untuk transpor uap air pada hari terjadinya cold surge dan Borneo vortex

====Moisture Transpor for Vortex and Cold Surge Event==== #Script by Risma Purnamasari

#Department of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

#============================================= 'reinit'

'sdfopen F:/MT/SpecificHumidity.nc' 'sdfopen F:/MT/uwnd.nc'

'sdfopen F:/MT/vwnd.nc' 'set gxout fwrite'

'set fwrite Q.dat' i=1

(32)

20 say i 'set t' i 'define p1000=const(qa,1000,-a)' 'define Bqu=vint(p1000,qa.1*u.2,300)' 'define Bqv=vint(p1000,qa.1*v.3,300)' 'd Bqu' 'd Bqv' i=i+1 endwhile 'disable fwrite' # 'DSET ^Q.dat'

'TITLE Moisture Transpor'

'UNDEF -9999999999 _FillValue' 'XDEF 13 LINEAR 90 2.5'

'YDEF 17 LINEAR -20 2.5' 'ZDEF 1 LEVELS 0'

'TDEF 3376 LINEAR 12Z01DEC2005 1dy' 'VARS 2'

'Bqu 1 3376 Zonal Moisture Transpor [kg/m/s]' 'Bqv 1 3376 Meridional Moisture Transpor [kg/m/s]' 'ENDVARS' # 'reinit' 'open F:MT/Q.ctl' 'define qu=ave(Bqu, t=1, t=112)' 'define qv=ave(Bqv, t=1, t=112)' 'set lon 90 120' 'set lat -10 15' 'set gxout vector' 'set gxout shaded' 'set csmooth on'

'color 50 450 50 -kind rainbow' 'd mag(qu,qv)'

'd skip(qu,0,0);qv' 'cbarn'

'draw title Moisture Transpor_Cs_Vortex [kg/m/s]' 'printim F:/MT_CS_Vortex.png white'

Lampiran 5 Scripting Language untuk anomali curah hujan pada hari terjadinya cold surge dan Borneo vortex

====Anomaly Precipitation for Vortex and Cold Surge Event==== #Script by Risma Purnamasari

#Department of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

#=============================================== 'reinit'

(33)

21 'sdfopen D:/TRMM.nc' 'define chclim=ave(precipitation, t=1, t=3376)' 'define chcsvortex=ave(precipitation, t=1, t=112)' 'define anomali=chcsvortex-chclim' 'set lon 90 120' 'set lat -10 15' 'set lev 925' 'set gxout shaded' 'set csmooth on' 'color -16 16 2' 'd anomali' 'cbarn'

'draw title CH_CS_Vortex'

(34)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kabupaten Kuningan pada tanggal 6 November 1995 sebagai anak terakhir dari orang tua benama Bapak H Mohamad Mukim dan Ibu Toyi Tresnawati. Tahun 2010 penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2013. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 pada tahun 2013 di Institut Pertanian Bogor dengan mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA melalui jalur SNMPTN. Selama masa studi di IPB, penulis mendapatkan beasiswa PPA periode Juli-Desember 2014 dan Januari-Juni 2015, juga beasiswa Karya Salemba Empat periode 2015/2016 dan 2016/2017. Selain itu, penulis juga aktif berorganisasi dalam Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) periode 2014/2015, Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia (HMMI) periode 2015/2016, Paguyuban Karya Salemba Empat, dan berbagai kepanitiaan. Bulan Agustus 2016, penulis melakukan magang di Pusat Sains dan Teknologi Antariksa - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PSTA - LAPAN) untuk memprediksi musim kemarau basah.

Gambar

Gambar 1  Ilustrasi proses terjadinya Boreno Vortex (Chang et al. 2005)  Selama musim dingin di BBU angin monsun timur laut bertiup dari dataran  tinggi  Siberia  melalui  Laut  Cina  Selatan  menuju  ke  Australia  Utara,  disaat  bersamaan ada angin pasa
Tabel 1  Data parameter atmosfer yang digunakan untuk penelitian
Tabel  2    Jumlah  kejadian  Borneo  vortex  selama  periode  musim  dingin BBU tahun 2005/2006 sampai 2014/2015
Gambar 4  Komposit semua kejadian vortex (atas) [divergensi (A),  transpor uap air  (B),  anomali  OLR  (C),  anomali  CH  (D)]  dan  cold  surge  (bawah)  [divergensi  (E),    transpor  uap  air  (F),  anomali  OLR  (G),  Anomali  CH  (H)] pada DJF 2005-2
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis strategi kesantunan dan tingkat pengaruh tindakan mengancam muka dalam pernyataan perintah yang ditemukan dalam

Dalam sebuah percobaan, yang ingin kita ketahui mungkin adalah munculnya kejadian tertentu bukan hasil unsur tertentu dalam ruang

pe errh hiittu un ng ga an n tte errs se eb bu ut t d di i jja ad diik ka an n pedoman dalam membuat penguat yang pedoman dalam membuat penguat yang di kehendaki

DAS Blorong merupakan Daerah Aliran Sungai yang melintasi 2 kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Kendal dan Kabupaten Kota Semarang. Perubahan penggunaan DAS Blorong, dimana

PENGARUH TERPAAN IKLAN POP UP DI APLIKASI SPOTIFY NON PREMIUM TERHADAP BRAND AWARENESS (Survei Pada Mahasiswa/i Fakultas Ekonomi Di Universitas Al-Azhar Jakarta

Implementasi adalah tahap penerapan sistem yang dilakukan jika sistem disetujui, proses implementasi dilakukan sebagai akhir dari desain informasi akuntansi persediaan

Demikian pula populasi Pondok Pesantren Salafiyah tingkat Wustha terbesar berada di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berjumlah 2.672 lembaga atau 57.6%

Chenab Filling Station Faisalabad Sragodha road, in between 36-37 KMs, Opposite General Bus stand, Tehsil & Dist.. Faisalabad Faisalabad 109.10