• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT IBU ANAK DENGAN OTONOMI PADA MAHASISWA PERANTAUAN ANGKATAN TAHUN PERTAMA DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT IBU ANAK DENGAN OTONOMI PADA MAHASISWA PERANTAUAN ANGKATAN TAHUN PERTAMA DI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT IBU – ANAK DENGAN

OTONOMI PADA MAHASISWA PERANTAUAN ANGKATAN

TAHUN PERTAMA DI UNIVERSITAS KRISTEN

SATYA WACANA

OLEH

FERA CHRISTIN HENDRIYANI DAY 802014195

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT IBU – ANAK DENGAN

OTONOMI PADA MAHASISWA PERANTAUAN ANGKATAN

TAHUN PERTAMA DI UNIVERSITAS KRISTEN

SATYA WACANA

Fera Christin Hendriyani Day Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

1

Perguruan Tinggi baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Mahasiswa dalam tahap perkembangannya digolongkan sebagai remaja akhir dan menuju ke dewasa awal, yaitu 18-21 tahun dan 22-24 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 2002). Bagi sebagian besar individu, transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi melibatkan peningkatan otonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Bleeker & Silver (dalam Santrock, 2007) bahwa banyak anak muda mengalami transisi dalam perkembangan otonomi ketika mereka meninggalkan rumah dan menjadi mahasiswa.

Istilah otonomi umumnya berkonotasi dengan keterarahan-diri dan kemandirian (Santrock, 2007). Menurut Havirgust (dalam Permatasari & Kurniawan, 2002) seorang remaja yang mandiri akan mampu mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua, ia juga dapat mengatur perekonomiannya dengan baik. Seorang remaja yang mandiri juga memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, memiliki kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain, dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Seorang remaja yang mandiri akan dapat mengurus dirinya sendiri dengan baik, tanpa harus bergantung dan tergantung pada orang tuanya ataupun orang lain. Namun, bukan berarti memecahkan atau memisahkan diri dari orang tua dan keluarganya.

Menurut Noom, Dekovic, & Meeus (2001) otonomi adalah sebuah konsep dengan latar belakang teoritis yang sangat beragam. Beberapa teori dalam perspektif psikologis yang berbeda menggambarkan proses pemisahan bertahap dari pengaruh orang tua. Noom (dalam Murphy, Greenwell, Resell, Brecht, &

(9)

Schuster, 2008) mendefinisikan otonomi sebagai kemampuan untuk memberi arah dalam hidupnya sendiri dengan cara menetapkan tujuan, merasa kompeten, dan mampu untuk mengatur perilakunya sendiri.

Dengan memiliki otonomi, remaja dapat berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal. Apabila dari masa remaja sudah memiliki otonomi, maka ketika dewasa, remaja tadi akan menjadi orang dewasa yang memiliki otonomi, dan mampu menjalankan tugasnya sebagai manusia dewasa dengan baik. Oleh karena itu, otonomi merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh remaja, sebagai kunci menuju otonomi lebih lanjut pada masa dewasa (Permatasari & Kurniawan, 2002).

Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap mahasiswa tingkat awal yang merantau di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), menunjukkan sikap yang tergantung pada orang tua, dimana selalu bertanya kepada orang tua mengenai sesuatu hal yang ingin ia lakukan, misalnya ingin membeli makan, ingin mengikuti lomba di kampus, ingin mengambil mata kuliah, ingin membeli buku, ingin memilih teman, ingin membeli peralatan kuliah. Mereka harus menanyakan dahulu kepada orang tua, tanpa bisa mengambil keputusan sendiri.

Selain hal-hal tersebut, mahasiswa yang merantau di UKSW juga melakukan perilaku merokok, meminum-minuman keras, membolos kelas, berpacaran hingga hamil diluar nikah, tidak mengerjakan tugas kuliah, bermain

game dalam jumlah waktu yang lama. Hal-hal ini berakibat pada terganggunya

proses perkuliahan mereka bahkan sampai ada harus drop out dari kuliah. Mereka mengaku bahwa hal-hal tersebut mereka lakukan karena ikut-ikutan teman dan

(10)

merasa tidak ada pengontrolan langsung dari orang tua karena berada jauh dari orang tua.

Contoh kasus yang terjadi pada mahasiswa diatas menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang tidak mampu memperhitungkan resiko yang ia ambil dari tindakannya. Misalnya, mahasiswa yang hamil diluar nikah sebagai akibat dari gaya berpacaran yang tidak sehat. Mahasiswa juga terlibat dalam perilaku merokok, minum minuman beralkohol, membolos kuliah, dikarenakan ikut-ikutan teman saja, yang berakibat pada drop out dari kuliah, tanpa bisa memutuskan sendiri mana yang baik dan buruk bagi dirinya.

Padahal jika saja mahasiswa tersebut sudah memiliki otonomi dalam dirinya, tentunya ia dapat memutuskan sendiri mana yang baik, mana yang buruk untuk dirinya, tanpa harus terpengaruh dan sekedar ikut-ikutan teman atau selalu bergantung pada orang tua. Terutama mahasiswa yang merantau dan hidup jauh dari orang tua, dituntut untuk memiliki otonomi yang tinggi dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Permatasari & Kurniawan (2002) bahwa remaja (dalam hal ini ialah mahasiswa) yang memiliki otonomi juga dapat memperhitungkan resiko yang ia ambil dari setiap tindakannya.

Melihat kenyataan tersebut, ternyata tidak semua remaja dapat mencapai otonominya. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pencapaian otonomi, sesuai dengan penjelasan Steinberg (2002) bahwa otonomi pada remaja terkait dengan hubungan, kelekatan antara remaja dengan orang tuanya, juga pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya. Selain orang tua, otonomi pada remaja juga dipengaruhi oleh hubungan dengan saudaranya (sibling relationship), hubungan

(11)

4

dengan teman sebaya (peer), dan juga termasuk hubungan dengan orang lain di lingkungannya, seperti guru, dan orang dewasa lainnya di sekitarnya.

Orang tua sebagai lingkungan terdekat bagi remaja, memberi sumbangan besar dalam perkembangan seorang remaja, termasuk dalam hal otonomi.

Attachment anak pada orang tua, terutama ibu sebagai figur attachment dirasa

memengaruhi otonomi pada seorang remaja. Attachment seorang remaja pada orang tua yang seperti apa yang akan memberi pengaruh pada otonominya, dalam hal ini perlu dipahami bagaimana sebenarnya attachment seorang anak atau remaja pada orang tua tersebut, dan bagaimana hal tersebut memberi efek pada otonomi terhadap remaja yang bersangkutan (Permatasari & Kurniawan, 2002).

Menurut Bowlby (dalam Armsden & Greenberg, 1987) attachment didefinisikan sebagai ikatan afeksi antara dua individu yang memiliki intensitas yang kuat. Armsden & Greenberg (1987) berpendapat bahwa attachment anak pada orang tua sebenarnya adalah hal yang positif, selama attachment tersebut adalah attachment yang sehat, dalam batas yang wajar, dan tidak berlebihan, attachment yang aman. Attachment pada orang tua dapat menumbuhkan rasa percaya diri, membuat anak mudah beradaptasi, mampu mengembangkan hubungan antar sesama, displin dan juga mendukung pertumbuhan intelektual serta psikologis.

Armsden & Greenberg (1987) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki attachment yang tinggi dengan orang tua akan menunjukkan tingkat kepercayaan dan komunikasi yang tergolong sedang sampai tinggi, namun menunjukkan tingkat keterasingan yang tergolong rendah. Sebaliknya, individu yang memiliki attachment yang rendah dengan orang tua akan menunjukkan tingkat

(12)

kepercayaan dan komunikasi yang tergolong rendah, namun tingkat keterasingan nya tergolong sedang sampai tinggi.

Remaja yang memiliki hubungan attachment dengan orang tua mereka menunjukkan harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosi yang lebih baik. Attachment dengan orang tua dapat membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Santrock, 2007). Namun, bila attachment pada orang tua ini terlalu berlebihan dan tidak masuk attachment yang aman, malah sebaliknya, akan dapat menimbulkan dampak negatif pada anak tersebut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa attachment pada saat masih kecil memberikan dasar bagi perkembangan anak untuk tumbuh menjadi seorang remaja dan dewasa yang memiliki otonomi yang tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Becker, Stoll, & Soufe (dalam Hurst, 2010) bahwa bayi dan anak yang memiliki

attachment menunjukkan tingkat otonomi yang lebih tinggi, menjadi lebih

kompeten secara sosial, dan memiliki lebih sedikit perilaku bermasalah dibanding anak yang tidak memiliki attachment.

Sebaliknya, anak yang tidak memiliki attachment menunjukkan perkembangan negatif bagi otonomi mereka. Mereka akan mengalami kesulitan untuk mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga menghalangi perkembangan otonomi mereka (Hurst, 2010). Hal ini disebabkan karena anak merasa cemas bila berada jauh ataupun dekat dari pengasuhnya sehingga membatasi perkembangannya.

(13)

6

Terdapat beberapa studi yang telah meneliti hubungan antara otonomi dan kualitas attachment pada remaja di luar negeri, salah satu contohnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Hurst (2010) dan hasilnya menunjukkan bahwa anak yang memiliki nilai attachment cukup tinggi dengan orang tua nya mengindikasikan tingkat otonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki nilai

attachment lebih rendah. Penelitian-penelitian ini memberikan bukti bahwa

attachment terhadap orang tua mempunyai korelasi dengan otonomi anak.

Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan antara attachment pada orang tua dengan otonomi masih sedikit sekali. Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Permatasari & Kurniawan (2002), Dewi & Valentina (2013), serta Prabowo & Aswanti (2014), ketiganya menemukan hasil bahwa attachment pada orang tua memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan otonomi/kemandirian pada remaja. Namun, belum ada penelitian sebelumnya yang secara khusus meneliti attachment ibu – anak dengan otonomi pada mahasiswa perantauan, yang secara usia termasuk dalam tahap remaja akhir menuju dewasa awal. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang menguji hubungan antara attachment ibu – anak dengan otonomi pada mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di Universitas Kristen Satya Wacana.

Definisi Attachment Ibu – Anak

Attachment menurut Bowlby (dalam Armsden & Greenberg, 1987)

didefinisikan sebagai ikatan afeksi antara dua individu yang memiliki intensitas yang kuat.

(14)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan attachment ibu – anak pada penelitian ini adalah ikatan afeksi antara ibu dan anak yang memiliki intensitas yang kuat.

Dimensi-dimensi Attachment

Berdasarkan teori attachment dari Bowlby, maka Armsden & Greenberg (1987) mengungkap dimensi attachment yaitu, komunikasi (communication), kepercayaan (trust), dan keterasingan (alienation).

Berikut adalah penjelasan mengenai ketiga dimensi tersebut menurut Armsden & Greenberg (dalam Barrocas, 2008) :

1. Komunikasi (communication), yang dimaksud ialah terjadi pertukaran komunikasi timbal balik secara sadar, sinkron, dan harmonis. Aspek komunikasi membantu menciptakan ikatan emosional yang kuat antara orang tua dan anak pada masa bayi.

2. Kepercayaan (trust), didefinisikan sebagai perasaan dan keyakinan yang aman bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhan tertentu. Kepercayaan adalah salah satu komponen hubungan yang kuat antara anak dan figur attachment mereka, seperti terlihat bahwa anak-anak membangun kepercayaan dalam hubungan dengan belajar bahwa orang lain secara konsisten ada untuk mereka.

3. Keterasingan (alienation), berkaitan erat dengan penghindaran dan penolakan, dua hal yang sangat penting dalam attachment. Ketika seseorang merasa bahwa figur attachment tidak ada, attachment menjadi kurang aman, mungkin berdasarkan perasaan terasing.

(15)

8

Efek dari Attachment

Attachment dianggap sebagai landasan yang penting bagi perkembangan

selanjutnya di masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Jika anak merasa aman saat berpisah dari pengasuhnya, ia akan menjadi lebih bebas dalam mengeksplorasi lingkungannya (Bowlby & Ainsworth dalam Santrock, 2007).

Attachment pada orang tua dapat menumbuhkan rasa percaya diri, membuat anak mudah beradaptasi, mampu mengembangkan hubungan antar sesama, displin dan juga mendukung pertumbuhan intelektual serta psikologis (Armsden & Greenberg, 1987).

Remaja yang memiliki attachment dengan orang tua mereka menunjukkan harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosi yang lebih baik. Attachment dengan orang tua dapat membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Santrock, 2007).

Bayi dan anak yang memiliki attachment menunjukkan tingkat otonomi yang lebih tinggi, menjadi lebih kompeten secara sosial, dan memiliki lebih sedikit perilaku bermasalah dibanding anak yang tidak memiliki attachment (Becker, Stoll, & Soufe dalam Hurst, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efek dari attachment dalam penelitian ini ialah anak merasa aman jika berpisah dari ibunya, bebas mengeksplorasi lingkungan, menumbuhkan rasa percaya diri, mudah beradaptasi, mampu mengembangkan hubungan antar sesama, disiplin, mendukung pertumbuhan intelektual serta psikolois, harga diri lebih tinggi, kesejahteraan emosi

(16)

yang lebih baik, membantu dalam kecemasan/tertekan/ketegangan, tingkat otonomi lebih tinggi, lebih kompeten secara sosial, dan lebih sedikt perilaku bermasalah.

Definisi Otonomi

Istilah otonomi umumnya berkonotasi dengan keterarahan-diri dan kemandirian (Santrock, 2007). Menurut Noom, Dekovic, & Meeus (2001) otonomi adalah sebuah konsep dengan latar belakang teoritis yang sangat beragam. Beberapa teori dalam perspektif psikologis yang berbeda menggambarkan proses pemisahan bertahap dari pengaruh orang tua. Noom (dalam Murphy, Greenwell, Resell, Brecht, & Schuster, 2008) mendefinisikan otonomi sebagai kemampuan untuk memberi arah dalam hidupnya sendiri dengan cara menetapkan tujuan, merasa kompeten, dan mampu untuk mengatur perilakunya sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan definisi otonomi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam menetapkan tujuan, merasa kompeten, dan mengatur perilakunya sendiri.

Dimensi-dimensi Otonomi

Noom, Dekovic, & Meeus (2001) mengemukakan bahwa terdapat tiga dimensi dalam otonomi yaitu :

1. Otonomi sikap (attitudinal autonomy), didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan beberapa pilihan, untuk membuat keputusan, dan menentukan tujuan. Kemandirian sikap tercapai apabila seorang remaja telah mampu menentukan tujuan dalam hidupnya. Dimensi ini berkaitan dengan konsep Dworkin (dalam Noom, Dekovic, & Meeus, 2001) yaitu refleksi dari

(17)

pilihan-10

pilihan dan keinginan. Intinya adalah kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak.

2. Otonomi emosional (emotional autonomy), didefinisikan sebagai rasa percaya diri dalam menentukan pilihan dan tujuan sendiri. Dimensi ini melibatkan persepsi kemandirian emosi dari orang tua dan teman sebaya. Keduanya memberikan pengaruh yang sangat besar pada diri remaja. Oleh karena itu, remaja harus memiliki kepercayaan diri untuk mencapai tujuannya dan juga menghargai tujuan orang lain. Pada masa ini, remaja akan lebih mandiri secara emosional dari orang tua jika dibandingkan dengan ketika mereka masih anak-anak. Remaja dikatakan lebih mencapai kemandirian emosional ketika mereka merasa yakin dan percaya diri dalam menentukan tujuan tanpa pengaruh orang tua dan teman sebaya.

3. Otonomi fungsional (functional autonomy), didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan. Dimensi ini melibatkan persepsi akan kompetensi dan persepsi akan kontrol. Persepsi akan kompetensi berarti mampu menggunakan strategi-strategi untuk mencapai tujuan. Persepsi akan kontrol berarti mampu memilih strategi yang spesifik dan efektif untuk mencapai tujuan. Selain itu, aspek penting yang juga memotivasi tingkah laku remaja adalah persepsi akan tanggung jawab. Remaja dikatakan telah mencapai kemandirian fungsional ketika mereka mampu mengembangkan strategi pribadi untuk mencapai tujuan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan tertentu.

(18)

Faktor-faktor yang Memengaruhi Otonomi

Steinberg (2002) mengungkapkan bahwa otonomi pada remaja terkait dengan hubungan, kelekatan antara remaja dengan orang tuanya, juga pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya. Selain orang tua, otonomi pada remaja juga dipengaruhi oleh hubungan dengan saudaranya (sibling relationship), hubungan dengan teman sebaya (peer), dan juga termasuk hubungan dengan orang lain di lingkungannya, seperti guru, dan orang dewasa lainnya di sekitarnya.

Selain itu, menurut Caesar (dalam Dewi & Valentina, 2013) faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan otonomi pada individu antara lain, genetis atau keturunan dari orang tua, pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah, serta sistem kehidupan di masyarakat. Ada juga yang mengatakan faktor lain pembentukan otonomi adalah urutan kelahiran (Latifatul, dalam Dewi & Valentina, 2013) serta usia dan jenis kelamin (Noom, Meeus, & Dekovic, 2001).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor yang memengaruhi otonomi dalam penelitian ini adalah hubungan, kelekatan dengan orang tua (attachment), pola asuh yang diterapkan orang tua, hubungan dengan saudara, hubungan dengan teman sebaya, hubungan dengan orang lain di lingkungannya, genetis atau keturunan orang tua, sistem pendidikan, sistem masyarakat, urutan kelahiran, usia, dan jenis kelamin.

Definisi Mahasiswa Perantauan

Mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan belajar pada Perguruan Tinggi baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Mahasiswa dalam

(19)

12

tahap perkembangannya digolongkan sebagai remaja akhir dan menuju ke dewasa awal, yaitu 18-21 tahun dan 22-24 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 2002).

Dengan demikian, yang dimaksud dengan mahasiswa perantauan dalam penelitian ialah merupakan peserta didik (yang berasal dari luar pulau) yang terdaftar dan belajar pada Peguruan Tinggi baik perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terdapat di pulau tersebut.

Hubungan antara Attachment Ibu – Anak dengan Otonomi pada Mahasiswa Perantauan Angkatan Tahun Pertama di Universitas Kristen Satya Wacana Orang tua sebagai lingkungan terdekat bagi remaja, memberi sumbangan besar dalam perkembangan seorang remaja, termasuk dalam hal otonomi.

Attachment pada orang tua, terutama ibu sebagai figur attachment dirasa

memengaruhi otonomi pada seorang remaja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa attachment pada saat masih kecil memberikan dasar bagi perkembangan anak untuk tumbuh menjadi seorang remaja dan dewasa yang memiliki otonomi yang tinggi.

Bayi dan anak yang memiliki attachment yang aman menunjukkan tingkat otonomi yang lebih tinggi, menjadi lebih kompeten secara sosial, dan memiliki lebih sedikit perilaku bermasalah dibanding anak yang tidak memiliki attachment yang aman (Becker, Stoll, & Soufe dalam Hurst, 2010). Attachment pada orang tua dapat menumbuhkan rasa percaya diri, membuat anak mudah beradaptasi, mampu mengembangkan hubungan antar sesama, displin dan juga mendukung pertumbuhan intelektual serta psikologis (Armsden & Greenberg, 1987).

(20)

Attachment dengan orang tua dapat membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Santrock, 2007). Namun, bila attachment pada orang tua ini terlalu berlebihan dan tidak masuk attachment yang aman lagi, malah sebaliknya, akan dapat menimbulkan dampak negatif pada anak tersebut.

Anak yang tidak memiliki attachment yang aman menunjukkan perkembangan negatif bagi otonomi mereka. Mereka akan mengalami kesulitan untuk mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga menghalangi perkembangan otonomi mereka (Hurst, 2010). Hal ini disebabkan karena anak merasa cemas bila berada jauh ataupun dekat dari pengasuhnya sehingga membatasi perkembangannya.

Dengan demikian, anak yang memiliki attachment sejak kecil dapat bertumbuh menjadi seorang remaja dan dewasa yang bisa mengekplorasi lingkungannya dengan baik, sekalipun ketika ia harus berpisah dan tinggal jauh dari orang tua. Mengeksplorasi lingkungan dengan baik menunjukkan adanya otonomi yang tinggi pada diri seseorang.

Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan hipotesis bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara attachment ibu – anak dengan otonomi pada mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di Universitas Kristen Satya Wacana.

(21)

14

METODE PENELITIAN Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu, variabel independen (X) dan variabel dependen (Y). Variabel X adalah attachment ibu – anak dan variabel Y adalah otonomi.

Definisi Operasional 1. Otonomi

Otonomi adalah kemampuan seseorang untuk melepaskan diri dan tidak bergantung kepada orang tua, baik secara emosional, dalam membuat keputusan, maupun dalam menetapkan nilai-nilai yang diyakini.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala otonomi yang dimodifikasi dari Adolescent Autonomy Questionnaire yang dibuat oleh Noom (dalam Noom, Dekovic, & Meeus, 2001).

2. Attachment Ibu – Anak

Attachment merupakan suatu ikatan emosional antara ibu dan anak yang menunjukkan tingkat kepercayaan dan komunikasi yang tergolong sedang sampai tinggi, namun menunjukkan tingkat keterasingan yang tergolong rendah.

Variabel ini diukur dengan menggunakan skala attachment yang dimodifikasi dari Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) pada bagian ibu, yang dibuat oleh Armsden & Greenberg (2009) berdasarkan pada attachment theory nya Bowlby.

(22)

Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa/i di Universitas Kristen Satya Wacana. Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai ciri-ciri yaitu, merupakan mahasiswa perantauan yang berasal dari luar pulau Jawa, berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, usia 18 - 24 tahun, dan berada pada tingkat pertama kuliah.

Peneliti menggunakan subjek mahasiswa perantauan dikarenakan ketika seseorang menjadi mahasiswa dan harus merantau ke tempat yang jauh dari orang tua maka dituntut untuk harus mempunyai otonomi yang tinggi. Kemudian alasan peneliti menggunakan subjek usia 18 - 24 tahun dan berada pada tingkat pertama kuliah karena pada usia ini seseorang dikategorikan sebagai remaja akhir menuju dewasa awal yang mengalami transisi perkembangan otonomi ketika berkuliah di tahun pertama.

2. Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiyono, 2011).

Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Yamane (dalam Sukandarrumidi, 2006), sehingga diperoleh sampel berjumlah 100 orang.

(23)

16

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala yaitu, pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang diberikan pada subjek yang berisi aitem-aitem (Azwar, 2012). Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Skala Otonomi

Dalam penelitian ini, skala otonomi dimodifikasi dari Adolescent

Autonomy Questionnaire yang dibuat oleh Noom (dalam Noom, Dekovic, &

Meeus, 2001) dengan jumlah 15 aitem serta memiliki reliabilitas 0,71. Skala ini terdiri dari tiga dimensi yaitu, otonomi sikap (attitudinal autonomy), otonomi emosional (emotional autonomy), dan otonomi fungsional (functional autonomy).

Skala otonomi berbentuk skala Likert yang terdiri dari pernyataan

favorable dan unfavorable serta terdapat empat pilihan jawaban yaitu, SS

(Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Skor yang diberikan untuk pernyataan favorable bergerak dari skor 4 sampai dengan skor 1. Sebaliknya, skor yang diberikan untuk pernyataan unfavorable bergerak dari skor 1 sampai dengan skor 4.

Setelah diuji kembali oleh peneliti, skala otonomi memiliki reliabilitas 0,728 denggan aitem yang gugur sebanyak 6 aitem yaitu, aitem nomor 4, 6, 8, 9, 10, dan 11 sehingga aitem yang tersisa sebanyak 9 aitem. Skala otonomi dapat dikatakan reliabel karena Crobach’s Alpha memiliki nilai r>0,05.

(24)

2. Skala Attachment

Dalam penelitian ini, skala attachment dimodifikasi dari Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) yang dibuat oleh Armsden & Greenberg (2009) berdasarkan pada attachment theory nya Bowlby dengan jumlah 25 aitem serta memiliki reliabilitas 0,87. Skala ini terdiri dari tiga dimensi yaitu, komunikasi (communication), kepercayaan (trust), dan keterasingan (alienation).

Skala attachment berbentuk skala Likert yang terdiri dari pernyataan

favorable dan unfavorable serta terdapat lima pilihan jawaban yaitu, HSL

(Hampir Selalu), SS (Sangat Sering), KD (Kadang-kadang), SJ (Sangat Jarang), dan HTP (Hampir Tidak Pernah). Skor yang diberikan untuk pernyataan

favorable bergerak dari skor 5 sampai dengan skor 1. Sebaliknya, skor yang

diberikan untuk pernyataan unfavorable bergerak dari skor 1 sampai dengan skor 5.

Setelah diuji kembali oleh peneliti, skala otonomi memiliki reliabilitas 0,895 denggan aitem yang gugur sebanyak 5 aitem yaitu, aitem nomor 3, 4, 7, 9, 10, dan 14 sehingga aitem yang tersisa sebanyak 20 aitem. Skala otonomi dapat dikatakan reliabel karena Crobach’s Alpha memiliki nilai r>0,05.

Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur

Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut.

(25)

18

Akurat dalam hal ini berarti tepat dan cermat sehingga apabila tes menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran maka dikatakan sebagai pengukuran yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2012). Dalam penelitian ini dilakukan proses validasi skala otonomi dan skala attachment menggunakan pendekatan validitas konstruk dan validitas isi.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Pengertian reliabilitas mengacu pada keterpercayaan atau konsistensi hasil ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran. Pengukuran dikatakan tidak cermat bila eror pengukurannya terjadi secara random (Azwar, 2012). Dalam penelitian ini dilakukan analisis reliabilitas skala otonomi dan skala attachment menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan bantuan software SPSS 16.0 for windows.

Teknik Analisis Data

Keseluruhan teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan software SPSS 16.0 for windows. Pengujian normalitas pada penelitian ini menggunakan Kolmogorov-Smirnov, untuk uji linearitas digunakan ANOVA

table for linearity, sedangkan untuk pengujian hipotesis dan korelasi antara

(26)

HASIL PENELITIAN

Analisis Deskriptif

Tabel 1

Kategorisasi Pengukuran Skala Attachment

Interval Kategori N Persentase Mean

105 < x ≤ 125 Sangat Tinggi 0 0% 82,07 85 < x ≤ 105 Tinggi 44 44% 65 < x ≤ 85 Sedang 47 47% 45 < x ≤ 65 Rendah 7 7% 25 ≤ x ≤ 45 Sangat Rendah 2 2%

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata subjek memiliki attachment dalam ketegori sedang, yaitu sebanyak 47 orang (47%).

Tabel 2

Kategorisasi Pengukuran Skala Otonomi

Interval Kategori N Persentase Mean

51 < x ≤ 60 Sangat Tinggi 0 0% 23,72 42 < x ≤ 51 Tinggi 0 0% 33 < x ≤ 42 Sedang 0 0% 24 < x ≤ 33 Rendah 40 40% 15 ≤ x ≤ 24 Sangat Rendah 60 60%

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata subjek memiliki otonomi dalam ketegori sangat rendah, yaitu sebanyak 60 orang (60%).

Analisis Data

Berikut adalah hasil perhitungan dari kedua skala yang digunakan yaitu, skala pertama Adolescent Autonomy Questionnaire dan skala kedua Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R). Dengan melalukan uji coba terpakai pada kedua skala maka didapatkan hasilnya sebagai berikut :

(27)

20

Uji Normalitas

Tabel 5

Rangkuman Hasil Uji Normalitas Attachment dengan Otonomi

Variabel K-S Z Sig.

Attachment 1,128 0,157

Otonomi 0,827 0,502

Berdasarkan hasil uji normalitas (Tabel 5), pada attachment diperoleh nilai K-S Z sebesar 1,128 dengan sig.= 0,157, kemudian pada otonomi diperoleh nilai K-S Z sebesar 0,827 dengan sig.= 0,502. Hasil ini menunjukkan bahwa data kedua variabel berdistribusi normal karena sig. memiliki nilai p>0,05.

Uji Linearitas

Tabel 6

Rangkuman Hasil Uji Linearitas Attachment dengan Otonomi

Variabel Deviation from Linearity Linearity

Attachment dengan

Otonomi 0,643 0,025

Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa hubungan antara attachment dengan otonomi memiliki nilai deviation from linerarity sebesar 0,643 dengan sig. = 0,025. Hasil perhitungan data dikatakan linear karena deviation from linerarity memiliki nilai p>0,05, dan data dikatakan signifikan sebab linearity memiliki nilai p<0,05.

(28)

Uji Korelasi

Tabel 7

Rangkuman Hasil Uji Korelasi Attachment dengan Otonomi

Variabel r Sig. N

Attachment

dengan Otonomi 0,231 0,021 100

Berdasarkan hasil uji korelasi antara attachment dengan otonomi (Tabel 7) memiliki nilai r = 0,231 dengan sig. = 0,021 (p<0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya korelasi positif yang signifikan antara attachment dengan otonomi pada mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di UKSW.

Diketahui pula bahwa nilai R square = 0,053 hal ini berarti bahwa

attachment memberikan pengaruh terhadap otonomi sebesar 5,3% sedangkan

94,7% dipengaruhi oleh faktor lain.

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara attachment ibu – anak dengan otonomi pada mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara attachment ibu – anak dengan otonomi. Dengan demikian

attachment berkorelasi positif terhadap otonomi seseorang. Sekalipun hasil

koefisien korelasi (r) kedua variabel hanya sebesar 0,231, hal ini menunjukkan tingkat hubungan yang rendah dimana menurut Sugiyono (2011) koefisien korelasi 0,200 - 0,399 termasuk dalam tingkat hubungan yang rendah.

(29)

22

Selanjutnya, hasil analisis data yang telah dilakukan membuktikan sekaligus menjawab hipotesis penelitian bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara attachment ibu – anak dengan otonomi, hal ini terlihat dari signifikansi nya sebesar 0,021. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo & Aswanti (2014), yang mendapatkan hasil bahwa attachment ibu – anak memiliki hubungan yang signifikan dengan otonomi/kemandirian.

Hasil analisis data memperlihatkan otonomi yang dimiliki oleh mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di UKSW sebanyak 60% dalam ketegori sangat rendah dan sisanya 40% dalam kategori sedang. Hal ini mencerminkan bahwa mayoritas mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di UKSW belum mampu secara baik melepaskan diri dan ketergantungan dari orang tua, baik secara emosional, dalam membuat keputusan, dan dalam menetapkan nilai-nilai yang diyakini atau perilakunya sendiri.

Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan attachment terhadap ibu pada mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di UKSW sebanyak 47% dalam kategori sedang, 44% dalam kategori tinggi, sisanya 7% dalam kategori rendah dan 2% sangat rendah. Hal ini berarti bahwa mayoritas mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di UKSW memiliki ikatan emosional terhadap ibunya dengan menunjukkan tingkat kepercayaan dan komunikasi yang tergolong sedang sampai tinggi, serta tingkat keterasingan yang tergolong rendah.

Sebagaimana yang diungkapkan Santrock (2007) bahwa remaja dengan orang tua yang terlalu lekat dan memegang kendali penuh atas anak remaja nya, cenderung tidak memiliki otonomi yang diharapkan. Tetapi orang tua yang mampu

(30)

melepas kendali tertentu atas anak nya dan mampu membina attachment yang aman cenderung memiliki remaja dengan otonomi yang lebih baik.

Kualitas attachment yang tinggi terhadap ibu menandakan bahwa ibu sebagai figur attachment yang aman bagi remaja. Remaja memandang ibu sebagai orang yang memberikan keamanan psikologis bagi diri remaja yang ditunjukkan dengan adanya komunikasi yang baik dan kepercayaan antara ibu dan remaja. Remaja yang memiliki hubungan attachment dengan orang tua mereka menunjukkan harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosi yang lebih baik. Attachment dengan orang tua dapat membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Santrock, 2007).

Masa remaja memang dikatakan sebagai masa saat hubungan orang tua dengan remaja diwarnai dengan perdebatan, namun hal tersebut tidak menurunkan ikatan emosional antara orang tua dan remaja. Konflik sehari-hari berupa perselisihan kecil memfasilitasi transisi dari remaja yang bergantung pada orang tua menjadi individu yang mandiri (Santrock, 2007).

Sesuai yang dikemukakan oleh Permatasari & Kurniawan (2002), bahwa salah satu indikasi attachment terhadap orang tua adalah ketersediaan orang tua bagi anaknya. Apabila anak kurang merasakan ketersediaan dari orang tua khususnya ibu sebagai figur attachment, biasanya anak tidak berminat mengambil resiko untuk mengeksplor dunia, mereka memilih untuk tetap berada sedekat mungkin dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa jika anak tidak merasakan adanya atau tersedianya ibu sebagai salah satu indikasi attachment terhadap ibu, maka anak

(31)

24

menjadi takut dan tidak bisa mencapai otonominya. Jika hal ini terjadi dan berlangsung sampai remaja, maka remaja tersebut akan menjadi remaja yang tidak memiiki otonomi yang baik.

Penelitian ini menujukkan R square (r2) sebesar 0,053. Artinya, attachment

ibu – anak memberikan kontribusi sebesar 5,3% terhadap otonomi. Sedangkan sisanya 94,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Faktor lain yang mungkin memengaruhi otonomi pada remaja adalah jenis kelamin, sistem pendidikan, sistem kehidupan di masyarakat, urutan kelahiran serta pola asuh. Berikut adalah pemaparan faktor-faktor lain yang memengaruhi otonomi pada remaja :

(a) Jenis kelamin

Hurlock (2002) mengatakan bahwa perbedaan perlakuan antar anak laki-laki dan perempuan menyebabkan terjadinya perbedaan otonomi/kemandirian. Laki-laki lebih banyak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri dan menanggung resiko, serta lebih banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif daripada anak perempuan.

(b) Sistem pendidikan

Menurut Caesar (dalam Dewi & Valentina, 2013) menyatakan bahwa kegiatan pendidikan di sekolah yang melarang peserta didiknya untuk berargumentasi akan menghambat perkembangan otonomi mereka.

(c) Sistem kehidupan di masyarakat

Penelitian yang dilakukan Adriansyah & Silalahi (2011) pada remaja eks panti sosial anak nakal menunjukkan bahwa lingkungan yang tidak pernah

(32)

membedakan individu menurut status sosial ekonominya dapat membantu individu mendapatkan rasa aman. Lingkungan yang memberikan rasa aman serta memberi kebebasan untuk mengembangkan potensi akan membantu perkembangan otonomi individu (Ali & Asrori, 2009).

(d) Urutan kelahiran

Penelitian Dewi & Valentina (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara otonomi/kemandirian dengan urutan kelahiran. Seperti yang diungkapkan Adler (dalam Feist & Feist, 2014) bahwa urutan kelahiran memberi pengaruh terhadap pembentukan perilaku dan kepribadian individu.

Berdasarkan keseluruhan analisis, dapat dilihat bahwa penelitian ini telah mencapai tujuannya yaitu mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara

attachment ibu – anak dengan otonomi pada remaja. Hal ini menandakan bahwa

semakin tinggi tingkat attachment dengan ibu maka semakin tinggi pula otonomi pada remaja. Namun, walaupun memiliki hubungan, attachment bukanlah hal yang dominan dalam pembentukan otonomi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, disimpulkan bahwa hipotesis penelitian dapat diterima. Dimana ada hubungan yang signifikan antara attachment ibu – anak dengan otonomi pada mahasiswa perantauan angkatan tahun pertama di Universitas Kristen Satya Wacana.

(33)

26

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menyarankan hal-hal yang ditujukan kepada pihak tertentu, yaitu :

1. Bagi Orang Tua

Orang tua diharapkan dapat menjalin hubungan yang menimbulkan rasa aman pada remaja, sehingga remaja dapat mempelajari lingkungan di luar keluarga seperti tempat pendidikan dan lingkungan masyarakat dengan lebih baik dan percaya diri. Komunikasi yang terbuka dan bersifat dua arah antara orang tua dan remaja dapat membantu remaja untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitannya saat mengembangkan kemandirian/otonomi. Selain komunikasi, remaja juga perlu diberikan kesempatan dan dorongan untuk mengembangkan kemandiriannya. Ketika remaja sudah memiliki inisiatif untuk melakukan pekerjaan sehari-hari sendiri tanpa dibantu orang tua, sebaiknya orang tua memberikan kesempatan itu dan tidak melarang remaja untuk melakukannya. Terutama ketika remaja mulai merantau untuk bersekolah di luar pulau, diharapkan orang tua tetap membangun hubungan yang aman, komunikasi yang terbuka, dan memberikan kepercayaan serta kesempatan kepada anak untuk melakukan kegiatan/aktivitas yang dipilihnya.

2. Bagi Mahasiswa

Mahasiswa diharapkan untuk tetap mempertahankan attachment dengan orang tua sebagai figur attachment, dimana mahasiswa bisa membangun komunikasi dan kepercayan dengan orang tua, dengan demikian orang tua bisa memberikan kepercayaan untuk mahasiswa mengeksplor dunia nya dengan

(34)

baik dan bertanggungjawab agar otonomi mahasiswa pun bisa berkembang. Terutama mahasiswa perantauan yang jauh dari orang tua dan keluarga.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti yang ingin meneliti topik yang serupa, diharapkan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap attachment dan otonomi, serta menggali hal tersebut lebih dalam lagi melalui observasi atau wawancara, karena faktor-faktor tersebut tidak dapat diukur hanya melalui kuesioner. Selain itu, diharapkan membuat alat ukur dengan memperhatikan pilihan jawaban yang disediakan, kalimat, dan bahasa yang digunakan.

(35)

28

DAFTAR PUSTAKA

Adriansyah, E., & Silalahi, B. (2011). Kemandirian remaja awal eks panti sosial anak nakal panti sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta TImur.

Proceeding PESAT, 72-85.

Ali, M., & Asrori, M. (2009). Psikologi Remaja Pengembangan Peserta Didik . Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Armsden, G. C., & Greenberg, M. T. (1987). The inventory of parent and peer attachment: individual differences and their relationship to psychological well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 427-454. Armsden, G. C., & Greenberg, M. T. (2009). inventory of parent and peer

attachment (IPPA). college of health and human development, 1-12. Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Barrocas, A. L. (2008). Adolescent attahcment to parents and peers. The emory

center for myth and ritual in American life working paper, 1-28.

Dewi, A. A., & Valentina, T. D. (2013). Hubungan kelekatan orang tua-remaja dengan kemandirian pada remaja di SMKN 1 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 181-189.

Feist, J. & Feist, G. J. (2014). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika. Hurlock, E. B. (2002). Perkembangan Anak . Jakarta: Erlangga.

Hurst, J. R. (2010). The development of adolescent autonomy: contribustions of the mother-child attachment relationship and maternal sensitivity. The university of Texas at Dallas, 1-65.

Monks, F. J., Knoers, A. M., & Haditono, S. R. (2002). Psikologi Pekembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Murphy, D. A., Greenwell, L., Resell, J., Brecht, M.-L., & Schuster, M. A. (2008). Early and middle adolescent's autonomy development. Clinical child psychology psychiatry, 253-276.

(36)

Noom, M. J., Dekovic, M., & Meeus, W. (2001). Conceptual analysis and

measurement of adolescent autonomy. Journal of youth and adolescence, 577-595.

Permatasari, N. I., & Kurniawan, I. N. (2002). Hubungan antara kelekatan terhadap orang tua dengan otonomi pada remaja. Jurnal psikologi UII, 1-12.

Prabowo, R. D., & Aswanti, M. (2014). Hubungan attachment ibu-anak dan ayah-anak dengan kemandirian pada remaja akhir. Jurnal psikologi UI, 1-16. Santrock, J. (2007). Remaja. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. (2011). Life-Span Development Perkembangan Masa-Hidup. Jakarta: Erlangga.

Steinberg, R. (2002). Adolescence. Boston: Mc Graw Hill.

Sugiyono. (2011). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukandarrumidi. (2006). Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gambar

table  for  linearity,  sedangkan  untuk  pengujian  hipotesis  dan  korelasi  antara  attachment dengan otonomi menggunakan Pearson Product Moment.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteria asam laktat yang terbentuk pada nira terfermentasi 4 hari lebih mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme, yang mana tidak

Salah satunya adalah project MvcContrib yang menyediakan helper method Grid() untuk membuat sebuah tampilan grid dalam View dengan menerima parameter Model, dan

penokohan, analisis latar, tema, analisis penceritaan, dan analisis bahasa. Kaitan unsur-unsur tersebut dengan kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan

Keunikan proses komunikasi yang terjadi di Pesantren Langitan adalah jika seorang santri ingin berkomunikasi ten- tang permasalahan yang dihadapinya, baik tentang

Dalam kaitannya dengan inovasi pendidikan, maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pada masanya, dengan melakukan upaya-upaya yang dianggap..

Berdasarkan hasil wawancara dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa tentang perilaku ibu dalam memilih tenaga penolong persalinan di wilayah kerja Puskesmas Tembilahan

c) Memiliki wawasan di bidang Sistem Kesehatan Hewan Nasional dan legislasi veteriner. Keterampilan Khusus a) Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan kedokteran

- Menunjukkan contoh hukum yang mencerminkan Allah bersifat