1
1.1Latar Belakang Masalah
Korupsi sudah lama melanda Negara Indonesia dan sudah menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Fenomena ini semakin berkembang karena selama ini masyarakat dalam berinteraksi, selalu memikirkan untuk mendapat keuntungan bagi dirinya. Hal ini yang menyebabkan sebagaian besar warga masyarakat malas untuk melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat dan oknum aparat hukum yang melakukan korupsi.1
Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP.2 Di Indonesia tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai Extra ordinary Crime atau kejahatan luar biasa yang juga membutuhkan penanganan luar biasa.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan korupsi dengan menetapkan berbagai strategi nasional, lebih-lebih di era reformasi ini, pemerintah telah membentuk suatu lembaga yaitu lembaga
1.
Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, hlm. 3.
2. Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT.Alumni,Bandung,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini dibentuk agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani secara profesional, intensif dan berkesinambungan, sehingga apa yang menjadi tujuan KPK dapat tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ini didasari oleh ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Sejak berdirinya lembaga KPK maka institusi yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan “KPK adalah Lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Kekuasaan manapun yang dimaksud yakni semua aspek yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individu baik dari pihak legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun pihak lain yang berkaitan dengan kasus korupsi yang sedang atau akan ditangani.
Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa “Penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih
dahulu telah dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP merumuskan yang dimaksud dengan Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga memiliki
kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa “Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu.”
Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan pengertian penyelidikan adalah “Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.” Pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana.3 Sedangkan pada penyidikan, titik beratnya tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta
3. M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana sangat mempengaruhi tahap penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan bila suatu penyidikan berhenti di tengah jalan karena suatu hal, misalkan tidak ditemukannya alat bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka dalam hal ini KUHAP memberikan kewenangan penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa : “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya.” Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP tersebut setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan Suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).4
Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penyidik suatu tindak pidana, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang menyebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”
4. Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis Dan
Kewenangan KPK yang tidak dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntutan ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat5, karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tidak berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia, hal tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Serta hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada tindak pidana korupsi ini juga menciptakan pencitraan negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, karena dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh penyidik selalu menjadi bahan pembicaraan di masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negara ini, sehingga masyarakat menghendaki agar pelaku tindak pidana korupsi dapat diproses secara hukum sehingga mendapatkan sanksi hukuman yang seadil-adilnya, pemberian Surat Perintah Penghentian
5. Taufiqurrohman, “Pro-Kontra Ide KPK Bisa Menerbitkan SP3 “, Kompas Rabu, 17 Juni
2015, hlm. 1.
Penyidikan (SP3) pada pelaku tindak pidana korupsi dinilai dapat menghancurkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka tidak berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi sekilas, ketentuan dalam Pasal tersebut dinilai melanggar hak asasi tersangka yang juga merupakan warga negara, sebab tanpa adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kesempatan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah sebagai bahan koreksi bagi instrumen penegak hukum untuk memulihkan kehormatan dan martabat tersangka, bila penyidik ternyata tidak memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke tahapan yang lebih tinggi yaitu tahap penuntutan dan persidangan.
Berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari sudut pandang yang kedua bahwa latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai salah satu lembaga untuk menegakan hukum di Indonesia dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini tercantum dan tercermin dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 bahwa wewenang yang dimiliki KPK berada di luar sistem hukum material dan formal Undang-Undang hukum pidana yang
konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 adalah kewenangan untuk : Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan (Pasal 12 ayat (1) huruf a), Supervisi terhadap instansi lain (Pasal 6 huruf b), Mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh instansi lain (Pasal 8), Melakukan penyelidikan, penyidikan dan sekaligus penuntutan (Pasal 6 huruf c), sehingga dengan adanya kewenangan yang sangat luas tersebut KPK disebut sebagai lembaga superbody.
Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan juga mengungkapkan bahwa “Awalnya KPK dibentuk oleh DPR RI karena melihat situasi pemberantasan korupsi yang perlu dikuatkan, kewenangan penyidikan bukan hanya dari Kejaksaan Agung ataupun Polri, Dalam posisi itulah kita awalnya menyusun dalam Undang-Undang KPK yang isinya menyatakan bahwa KPK tidak bisa melakukan SP3.”6
Oleh karena itu semuanya dikembalikan lagi kepada landasan sosiologis, yuridis dan filosofis Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government dan menegakan keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang.
Terjadinya beberapa kasus pada tahun 2014-2015 belakangan ini menimbulkan pandangan negatif masyarakat pada KPK, mereka menilai bahwa dengan tidak berwenangnya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) maka kinerja KPK dianggap tidak maksimal serta kurang teliti dalam melaksanakan tugasnya dan memaksakan suatu kasus untuk diteruskan ke tahapan yang lebih tinggi yaitu tahap penuntutan dan persidangan, contoh kasus yang terjadi yaitu dikabulkannya pengajuan praperadilan penetapan tersangka oleh Pengadilan Negeri yang berwenang, terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, Dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, Hakim menyatakan penetapan status tersangka pada kasus tindak pidana korupsi tidak sah karena KPK tidak memiliki cukup alat bukti serta tidak mengikuti prosedur yang berlaku.
Contoh Kasus Komisaris Jenderal Pol. Budi Gunawan misalnya, Hakim Sarpin menyebutkan bahwa “KPK, dalam persidangan, menyebut penetapan tersangka sudah melalui dua alat bukti kuat. Namun, dalam persidangan KPK hanya menyerahkan nomor register sprindik. Penetapan tersangka Budi Gunawan, harus dibatalkan karena tidak memiliki alat bukti kuat.”7
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen dan bukan merupakan lembaga inti penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, mempunyai prosedur khusus yang digunakan untuk menegakan hukum, salah satunya adalah KPK tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sehingga akibatnya setiap kasus
7. Imam Sukamto ,” Lima Dalil Hakim Sarpin Menangkan Budi Gunawan” Kompas
korupsi yang ditangani oleh KPK harus betul-betul sesuai dengan qualifikasi yang menjadi kewenangan KPK dan kasus tersebut harus dilanjutkan sampai proses persidangan dipengadilan. Menurut penulis hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi dan dicarikan solusi yang tepat sehingga mekanisme proses penangganan tindak pidana korupsi tetap menjujung tinggi nilai-nilai keadilan serta tetap menghormati hak asasi setiap warga negara, sehingga tidak ada lagi persepsi penilaian negatif masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dan KPK dalam menanggani kasus korupsi di Indonesia. berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis membuat penelitian ilmiah yang berjudul “URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA”
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka dari itu ada dua rumusan masalah yang akan penulis angkat sebagai rumusan masalah dari skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimanakah koordinasi antara penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia ?
2. Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam penanganan tindak pidana korupsi ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam penulisan skripsi ini ruang lingkup masalahnya hanya dibatasi pada :
1. Untuk rumusan masalah yang pertama akan di bahas tentang koordinasi terkait tugas, wewenang dan fungsi dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan tindak pidana korupsi.
2. Untuk rumusan masalah yang kedua akan di bahas tentang tidak berwenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara korupsi.
1.4.Orisinalitas Penelitian
Penulis menyatakan bahwa sesungguhnya penelitian yang berjudul “Urgensi Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini merupakan pemikiran asli penulis. Beberapa penelitian terdahulu dengan jenis yang sama ada dalam perpustakaan skripsi dan internet diantaranya :
1. Pluralisme Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Tesis Tahun 2006) Oleh I Ketut Sudjana, Universitas Udayana. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana sinkronisasi dan koordinasi penyidikan dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Polisi, Jaksa dan KPK di Indonesia?
b. Bagaimana cara penyelesaian/proses penyidikan tindak pidana korupsi ? 2. Ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Untuk
Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)(Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) Skripsi Tahun 2009, Oleh Ahmad Muzamil, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah latar belakang lahirnya ketententuan ketidakwenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ? b. Bagaimanakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap ketidakwenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam Pasal 40 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ? 1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum dalam bidang peradilan tentang Urgensi Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Sehingga harapan penulis nantinya
masyarakat dapat mengetahui pentingnya penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 3. Untuk dapat mengembangkan diri pribadi mahasiswi ke dalam kehidupan
bermasyarakat. 1.5.2 Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu :
1. Agar kita dapat mengetahui tentang koordinasi terkait tugas, wewenang dan fungsi dari Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan tindak pidana korupsi.
2. Agar kita dapat mengetahui alasan tidak berwenangnya KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama tentang koordinasi terkait tugas, wewenang dan fungsi dari KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan tersebut, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk penanganan tindak pidana korupsi dan alasan tidak berwenangnya KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
1.6.2.Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum seperti Jaksa, Hakim, Polisi, Advokat, Lembaga Pemasyarakatan serta lembaga lain yang terkait permasalahan ini seperti KPK ataupun lembaga lainnya yang dalam menanggani serta menyelesaikan permasalahan tentang koordinasi tugas,wewenang dan fungsi dari KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi serta Kewenangan Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1.7. Landasan Teoritis
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andrea dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti penyuapan. Kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpore yang berarti merusak, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris : corruption, corrupt, Perancis : corruption dan Belanda : corruptie.8
Menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri
8. Andi Hamzah , 2006, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan
dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya.9
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain.10
Berdasarkan hal tersebut maka, pemerintah telah membentuk suatu lembaga yaitu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini adalah agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani secara profesional, intensif dan berkesinambungan, sehingga apa yang menjadi tujuan KPK dapat tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ini didasari oleh ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
9.
Muzadi, 2004, Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang, hlm.22.
10. Poerwadarminta. 1976, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta.
Sejak berdirinya lembaga KPK maka institusi yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan bahwa “KPK adalah Lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa “Penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP Penyidik adalah “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu”.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda
dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hal ini tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang No.30 Tahun 2002.
Setiap penyidikan perkara pidana, tidak tertutup kemungkinan menemukan jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan. Dalam situasi demikian, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan, Hal ini tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa : “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya”. Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP tersebut setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).11
Penghentian penyidikan adalah tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
11.
dihentikan demi hukum.12 Sedangkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada Penuntut Umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya.
Penghentian penyidikan dapat dilakukan dengan alasan-alasan sebagaimana berikut:13
a) Karena tidak cukup bukti
Tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa itu dan menentukan pelaku-pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
b) Karena bukan merupakan tindak pidana
Penyidikan telah dilakukan dan ternyata terungkap fakta-fakta yang tadinya dipersangkakan perbuatan pidana namun ternyata bukan perbuatan pidana, maka penyidik harus menghentikan penyidikan. Terhadap penghentian penyidikan dengan alasan bukan merupakan perkara pidana, penyidik tidak dapat mengadakan penyidikan ulang karena perkara tersebut bukan merupakan lingkup hukum pidana. Kecuali bila ditemukan indikasi yang kuat membuktikan sebaliknya.
c) Penyidikan dihentikan demi hukum
12. Harun M. Husein, Penyidikan Dan Penentuan Dalam Proses Pidana, 1991, Rineka
Cipta, Jakarta, hlm.311.
13.
Penghentian penyidikan demi hukum ini dikaitkan dengan alasan-alasan hukum yang mengakibatkan penyidikan tidak dapat dilanjutkan, yaitu:
1. Hapusnya hak menuntut pidana karena nebis in idem (Pasal 76 KUHP) 2. Tersangka pelaku tindak pidana meninggal dunia (Pasal 77 KUHP)
3. Kadaluwarsa (lewat waktu) Hal ini juga kadang berkaitan dengan kepentingan pribadi korban yang merasa keberatan jika perkaranya diketahui orang banyak (Pasal 78 KUHP)
Berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penyidik suatu tindak pidana, KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam setiap penyidikan yang dilakukannya14. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 yang menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini, merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka,15 yang diteliti dan dikaji dalam penulisan ini adalah Pasal-Pasal dan proses penerapan Pasal terkait dengan
14.
Emerson Yuntho, Tanpa Tahun, "Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi", URL : Http://Www.Hukumonline.Com/Detail.Asp?Id=11608&Cl=Kolom, Diakses Pada Rabu, 16 September 2015, Pukul 22:10:21 WITA.
15. Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu
koordinasi tugas, wewenang dan fungsi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi serta Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, serta literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang hendak diteliti.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan, yaitu : pendekatan kasus (case approach), pendekatan Fakta (fact approach), pendekatan frasa (words & pharase approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analisis (analytical approach), pendekatan filasafat (philosophical approach).16 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk skripsi ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach).
1.8.3 Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
16. Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hlm.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 67,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401).
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain : buku-buku hukum (literatur), artikel, makalah, thesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum seperti dokumen dan surat-surat perjanjian yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan sebagainya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi, dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan menggunakan sistem kartu. Masing-Masing kartu diberikan identitas sumber bahan hukum yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan. Di samping itu, diklasifikasikan menurut sistematika rencana skripsi, sehingga ada kartu untuk bahan-bahan Bab I, Bab II, dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara analisis Kualitatif deskriptif, artinya, analisa dilakukan dengan menguraikan dan menjelaskan masalah terkait secara detail dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian, selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada terkait dengan permasalahan.